Bahasa Lampung termasuk dalam cabang Sundik dari rumpun bahasa Melayu-Polinesia. Adapun penuturnya adalah Ulun Lampung yang mendiami Provinsi Lampung dan sebagian di selatan Palembang serta pantai Barat Provinsi Banten. Menurut adatistiadatlpg.blogspot.co.id, rumpun bahasa Lampung dibagi menjadi tiga, yaitu: bahasa Komering, bahasa Lampung dialek Belalau (Api), dan bahasa Lampung dialek abung (Nyo).
Dialek Belalau, Abung, maupun Komering sama-sama memiliki aksara yang ada hubungannya dengan aksara Palawa atau Dewdatt Deva Nagari dari India Selatan yang diperkirakan masuk ke Pulau Sumatera semasa kejayaan Kerajaan Sriwijaya (700-1300). Selain dengan aksara Palawa, bentuk aksara (had) Lampung juga mirip dengan aksara Reuncong (Aceh), Rejang (Bengkulu), dan aksara Bugis. Aksara ini terdiri dari huruf induk, anak huruf, anak huruf ganda, gugusan konsonan, lambang, angka, dan tanda baca. Aksara Lampung disebut dengan istilah Ka-Ga-Nga serta ditulis dan dibaca dari kiri ke kanan. Jumlahnya ada 20 buah, yaitu: ka–ga–nga–pa–ba–ma–ta–da–na–ca–ja–nya–ya–a –la–ra–sa–wa–ha–gha (http://indahlampungku.blogspot.co.id).
Menurut irfanmovick.blogspot.com, istilah kaganga diciptakan untuk mengelompokkan aksara Rejang, Lampung, dan Rencong (Kerinci). Istilah ini pertama kali dikemukakan oleh Mervyin A. Jaspan, antropolog dari University of Hull (Inggris) dalam buku Folk Literature of South Sumatra, Redjang Ka-Ga-Nga Texts. Sementara masyarakat Lampung sendiri menggunakan Surat Ulu atau Surat Ogan untuk mengistilahkan had Lampung.
Struktur fonetiknya (vokal dan diftong) merupakan huruf hidup seperti dalam aksara Arab, dengan menggunakan tanda-tanda fathah di baris atas dan tanda-tanda kasrah di baris bawah, tetapi tidak memakai tanda dammah di baris depan, melainkan menggunakan tanda di belakang (adatistiadatlpg.blogspot.co.id). Masing-masing tanda (anak huruf) mempunyai nama tersendiri yang jumlahnya ada 12 buah. Anak huruf yang terletak di bagian atas terdiri atas ulan, bicek, tekelubang (ang), rerenjung (ar), datas (an). Anak huruf di bagian bawah terdiri atas bitan dan tekelungau (au). Dan, anak huruf yang terletak di belakang huruf induk terdiri atas tekelingai (ai), keleniah (ah), dan nengen (tanda huruf mati).
Anak huruf yang terletak di bagian atas yaitu ulan berbentuk setengah lingkaran kecil yang terletak di atas huruf induk. Ulan terdiri dari dua macam: ulan yang menghadap ke atas melambangkan bunyi [i], sedangkan ulan yang menghadap ke bawah melambangkan bunyi [e]. Anak huruf bicek berbentuk garis tegak yang terletak di atas induh huruf. Bicek melambangkan bunyi [e]. Anak huruf terkelubang berbentuk garis mendatar (seperti tanda hubung dalam ejaan bahasa Indonesia) yang melambangkan bunyi [ng]. Anak huruf rejenjung berbentuk menyerupai angka empat dan melambangkan huruf [r]. Anak huruf datas berbentuk mirip seperti tanda hubung dalam ejaan bahasa Indonesia yang melambangkan bunyi [n] (www.kotametro.com).
Sementara anak huruf yang terletak di bawah huruf yaitu bintan yang berbentuk garis pendek mendatar melambangkan bunyi [u] dan garis tegak melambangkan bunyi [o]; serta tekelungau berbentuk setengah lingkaran kecil yang melambangkan bunyi [au]. Sedangkan anak huruf yang terletak di kanan induk huruf adalah anak huruf tekelingan yang berbentuk tegak lurus dan melambangkan bunyi [ai]; anak huruf keleniah yang berbentuk seperti huruf ha dan melambangkan bunyi [h]; serta anak huruf nengen berbentuk garis miring yang melambangkan sebagai huruf mati (www.kotametro.com).
Mengenai huruf "r" [ra], ada perbedaan pendapat di antara orang Lampung sendiri. Perbedaan ini umumnya dikaitkan dengan masalah penulisan huruf 'r' menjadi 'kh' atau 'gh'.
Udo Z. Karzi (2008), seorang penyair terkenal asal Liwa, menyatakan bahwa ada beberapa literatur yang memakai 'r' dan bukan 'ch', 'kh', atau 'gh' diantaranya: (1) H. N. van der Tuuk, “Het Lampongsch en Zijne Tongvallen”, TBG (Tijdschrift Bataviaasch Genootschap), deel 18, 1872, pp. 118-156; C. A. van Ophuijsen, “Lampongsche Dwerghert-Verhalen”, BKI (Bijdragen Koninklijk Instituut), deel 46, 1896, pp. 109-142; (2) Dale Franklin Walker, “A Grammar of the Lampung Language”, Ph.D. Thesis, Cornell University, 1973; (3) Junaiyah H.M. dkk dalam Pedahuluan untuk Kamus Bahasa Lampung-Indonesia(diterbitkan Balai Pustaka, Jakarta, 2001, hlm. 3) menulis: "... huruf gh dibaca seperti huruf ghain dalam bahasa Arab ditandai dengan penanda bunyi /R/. Hal ini dilakukan demi kemudahan penulisan, misalnya, ghedak /Reda'/."; (4) Aksara Lampung yang 19 huruf, dari ka-ga-nga sampai ra-sa-wa-ha, dibahas oleh Prof. Karel Frederik Holle, Tabel van Oud en Nieuw Indische Alphabetten (Batavia, 1882), dan meskipun selintas disinggung juga oleh Prof. Johannes Gijsbertus de Casparis, Indonesian Palaeography: A History of Writing in Indonesia (Leiden, 1975); (5) William Marsden dalam buku Sejarah Sumatra terbitan Komunitas Bambu, 2008 hlm. 190, menyebutkan susunan alfabet Lampung, yaitu ka ga nga pa ba ma ta da na cha ja nya ya a la ra sa waha (19 huruf); dan (6) Moehamad Noeh dalam buku Pelajaran Membaca dan Menulis Huruf Lampung (Dinas Pendidikan danKebudayaan Lampung, 1971) hlm. 4 menyebutkan banyak huruf kuno Lampung—disebut huruf Basaja karena kalau huruf itu berdiri sendiri dia mengandung bunyi a—ada19 buah. Banyak huruf tulisan sekarang ada 19 buah ditambah dengan huruf gha jadi 20 buah. Urutan huruf Lampung adalah ka ga nga pa ba ma ta da na ca ja nyaya a la ra sa wa ha gha.
Pendapat Udo Z. Karzi mengenai pemakaian ejaan 'r' yang argumennya didasarkan oleh beberapa akademisi ini disanggah oleh Natakembahang (2014). Menurutnya, Udo justru terjebak pada klaim sepihak tentang pembenaran penggunaan huruf 'r' sebagai satu-satunya yang sah dalam penulisan huruf Lampung pada kosakata berlafal 'kh' dan 'gh'. Padahal, sejak era kolonial yang berarti sebelum EYD digunakan pada medio 1972, justru telah dikenal penggunaan 'ch' sebagai penulisan kosakata yang berlafal 'kh'.
Selanjutnya, Natakembahang (2014) juga mengemukakan beberapa alasan mengapa huruf 'r' tidak bisa menggantikan kosakatan Lampung yang berlafal 'kh' atau 'gh'. Pertama, huruf Lampung saat ini terdiri dari dua puluh buah (ka, ga, nga, pa, ba, ma, ta, da, na, ca, ja, nya, ya, a, la, ra, sa, wa, ha, gha/kha) sehingga jelas bahwa ra dan gha/kha adalah dua huruf yang berbeda dan peruntukannya disesuaikan dengan kosakata yang akan ditulis, karena jika tidak dibedakan maka pembaca khususnya yang bukan penutur bahasa Lampung akan mengalami kegalatan dalam membedakan huruf 'r' yang dibaca 'r' dengan huruf 'r' yang dibaca 'kh/gh'.
Kedua, komparasi yang tepat dan ideal dalam menggambarkan penggunaan lafal kh dan gh adalah seperti kho dan ghin dalam huruf Arab. Dalam penulisan aksara Arab juga dalam penulisan latinnya, kosakata yang menggunakan huruf 'kho' atau 'ghin' tidak lantas ditulis atau diganti dengan huruf 'r' [ra] karena arti dan maknanya berbeda, hal yang tentunya berlaku juga dalam penulisan kosakata Lampung. Sebab, pelafalan 'kho' dalam huruf Arab sama persis seperti pelafalan 'kh' pada mayoritas penutur bahasa Lampung yang berdialek Belalau (api), sementara pelafalan 'ghin' persis sama seperti pelafalan 'gh' pada penutur bahasa Lampung berdialek Abung (nyo).
Ketiga, penulisan 'kh/gh' yang berlafal sama lebih lazim digunakan ketimbang digantikan atau ditulis dengan huruf 'r'. Berbagai media penulisan teks berbahasa Lampung menggunakan penulisan kh/gh, mulai dari kehidupan sehari-hari seperti saat menulis di sms dan media sosial hingga yang relatif formal dan baku seperti penulisan naskah pidato di pemerintah daerah, hingga buku-buku pelajaran bahasa Lampung dan kamus bahasa Lampung. Hal tersebut membuktikan bahwa secara empiris penulisan kh/gh jauh lebih lazim digunakan sehari-hari hingga untuk kebutuhan yang lebih formal oleh penutur bahasa Lampung secara de facto ketimbang ditulis dengan huruf 'r'.
Keempat, dalam bahasa Indonesia dikenal beberapa konsonan atau gabungn huruf, masing-masing adalah ng, ny, sy, dan hk. Hal ini jelas membuktikan bahwa penggunaan kh adalah sesuai dengan tata bahasa Indonesia. Bahkan, pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) terdapat beberapa kosakata yang menggunakan konsonan kh. Ini menjelaskan bahwa KBBI juga mengakomodir penulisan kh dalam kosakata yang berlafal sama dan tidak menuliskannya dengan huruf r, h, k, atau g. Pelafalan kh seperti pada kosakata yang terdapat dalam KBBI adalah persis sama dengan pelafalan kh pada sebagian besar penutur dialek Belalau (Api).
Sumber:
"Bahasa Lampung", diakses dari http://indahlampungku.blogspot.co.id/p/bahasa_11.html, tanggal 9 Mei 2016.
"Bahasa Lampung dan Aksara Lampung", diakses dari http://adatistiadatlpg. blogspot.co.id/2015/05/bahasa-lampung-dan-aksara-lampung.html, tanggal 9 Mei 2016.
"Mengenal Huruf Sunda Kaganga", diakses dari http://irfanimovick.blogspot.com/2009 /10/mengenal-huruf-sunda-kaganga.html, tanggal 20 Mei 2016.
"Aksara Lampung dan Tanda Bacanya (Huruf Induk dan Anak Huruf)", diakses dari http://www.kotametro.com/aksara-lampung-dan-tanda-bacanya-huruf-induk-dan-anak-huruf.html, tanggal 21 Mei 2016.
Karzi, Udo. Z. 2008. "Bingkai: Peta Bahasa- Budaya Lampung". Lampung Post, Minggu 23 Maret 2008.
Natakembahang, Diandra. 2014. Perdebatan Penggunaan Kh dan Gh dalam Penulisan Kota Kata Lampung. Lampung Ekspres Plus 15 Januari 2014.