Riwayat Singkat
Rais Latif adalah salah seorang pelopor tradisi literasi di wilayah Lampung Barat. Pria yang pernah menyusun terjemahan hadist sahih Muslim1 ini lahir pada awal abad ke-20 (sekitar tahun 1900) di Desa Sebarus, Gedung Asin, sekitar 1 kilometer dari Pasar Liwa, Kabupaten Lampung Barat.
Semasa kecil Rais Latief didik dalam suasana keagamaan yang kuat. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila setelah menyelesaikan pendidikan Sekolah Rakyat di Liwa dia kemudian hijrah ke daerah Pandang Panjang untuk melanjutkan pendidikan di sekolah agama Thawalib. Namun karena keterbatasan biaya, Latief terpaksa pulang ke kampung halaman. Sekembalinya di Liwa Latief bekerja membantu ayahandanya berdagang kopi dan hasil bumi dari kebun mereka2.
Setelah usaha perdagangan keluarga maju, Latief berminat melanjutkan sekolah lagi. Kali ini institusi pendidikan yang dipilihnya bukanlah di Indonesia, melainkan ke Kairo di jazirah Arab. Di Kairo dia bermukim selama tujuh tahun lalu hijrah ke Mekkah dan bermukim di sana selama empat tahun sebelum akhirnya kembali ke tanah air3. Tetapi Latief tidak langsung menuju Liwa. Dalam perjalanan pulang dia singgah di Singapura dan sempat mengajar di Madrasah Sultan (sekarang komplek Masjid Sultan di Arab Street Singapore).
Beberapa waktu tinggal di Singapura, Latief kemudian memutuskan hijrah ke Jakarta. Di Jakarta Latief dan beberapa koleganya yang sama-sama alumnus Kairo dan berasal dari Lampung mendirikan sebuah sekolah Mualim di Gang Sentiong. Konon, sekolah ini sangat terkenal pada masanya dan mampu bersaing dengan sekolah-sekolah yang dipimpin oleh para pastor dari Belanda.
Sukses mendirikan sekolah Mualim di Gang Sentiong, menjelang Perang Dunia II Rais Latief kembali ke kampung halamannya (Liwa). Di tanah kelahirannya tersebut dia mendirikan sekolah di daerah Talangparis, dekat Bukit Kemuning. Selain itu dia juga menjadi pengajar di Wustho Mualim Muhammadiyah Liwa yang waktu itu mulai memperkenalkan sistem pendidikan modern dengan proses belajar-mengajar yang sangat progresif.
Dalam proses beajar-mungajar Wustho Mualim menerapkan aturan main yang cukup ketat. Misalnya, sebelum pelajaran dimulai para siswa diharuskan bersenam dengan menggunakan aba-aba dalam bahasa Arab. Para siswa pun diwajibkan mengenakan celana panjang dan bersepatu. Apabila terjadi sesuatu hal hingga kedua benda itu tidak dapat dikenakan, maka siswa diperbolehkan mengenakan kain dan bersandal.
Saat menjadi pengajar di Wustho Mualim inilah Rais Latief dijodohkan dengan salah seorang mantan muridnya yang kebetulah berasal dari desa yang sama. Usai menikah Latief berkeinginan kembali berkarya di Jakarta karena bangsa Indonesia telah merdeka. Kebetulan pada tahun itu (sekitar tahun 1949), pemerintah Republik Indonesia sedang membutuhkan banyak tenaga kerja terdidik untuk mengisi kekosongan formasi di berbagai jawatan. Setelah mengirim lamaran, tidak berapa lama kemudian datanglah surat panggilan dari Jakarta untuk mengisi mengisi formasi pada Jawatan Penerangan Agama (Departemen Agama).
Jawatan Penerangan Agama bertugas membenahi pendidikan agama di seluruh tingkatan sekolah. Salah satunya adalah mengadakan ujian persamaan bagi para guru agama pada tingkatan sekolah dasar hingga sekolah menengah atas serta mendirikan sekolah-sekolah bagi calon guru agama. Sementara pada bidang penyediaan materi ajar dibentuk tim yang ditugaskan membuat berbagai macam buku agama berbahasa Indonesia. Rais Latief dan H. Abdul Razak ditunjuk sebagai penterjemah hadist sahih Muslim dan menyusunnya menjadi buku.
Rais Latief mengabdi pada Departemen Agama hingga pensiun pada sekitar tahun 1962. Selanjutnya, dia memilih pulang untuk memajukan kampung halamannya (Liwa) ketimbang menjadi pengajar di Sekolah Tinggi Agama Islam Jakarta. Di Liwa Latief memimpin dan mengajar di Sekolah Tsanawiyah Muhammadiyah Pekon Tengah Sabarus hingga usianya mencapai 70 tahun. Tujuh tahun kemudian beliau wafat dan dikebumikan di Desa Sebarus, Liwa.
Foto: http://paratokohlampung.blogspot.co.id/2008/11/rais-latief-1900-1977-pendidikan-par.html
Sumber:
1. "Siswa Lambar Bisa Suburkan Tradisi Literasi", diakses dari http://lampost.co/berita/siswa -lambar-bisa-suburkan-tradisi-literasi, tanggal 27 Maret 2016.
2. Heri Wardoyo, dkk. 2008. 100 Tokoh Terkemuka Lampung, 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Bandar Lampung: Lampung Post.Hlm. 9-11.
3. "Rais Latief (1900-1977): Pendidikan 'Par Excellence' Prakemerdekaan, diakses dari http://parato kohlampung.blogspot.co.id/2008/11/rais-latief-1900-1977-pendidikan-par.html, tang gal 26 Maret 2016.