Sasak adalah salah satu sukubangsa di Indonesia yang sebagian besar mendiami Pulau Lombok, yaitu sekitar 2,6 juta orang atau 85% dari keseluruhan jumlah penduduknya. Dalam kehidupan keseharian mereka menggunakan bahasa Sasak yang merupakan anggota suku kumpulan bahasa Bali-Sasak-Sumbawa, dalam cabang bahasa Melayu-Polinesia Barat, keluarga bahasa Austronesia (ms.wikipedia.org).
Ada beberapa versi mengenai asal usul dari kata Sasak itu sendiri. Versi pertama, menyatakan bahwa sasak berasal dari kata “sak-sak” yang dalam bahasa Indonesia berarti “sampan”. Sedangkan versi lainnya diambil dari Kitab Negarakertagama yang menyebut kata “Sasak” menjadi satu frase dengan kata “Lombok”, yaitu “Lombok Sasak Mirah Adhi”. Dalam tradisi lisan masyarakat Lombok, kata sasak dipercaya berasal dari kata “sa’-saq” yang berarti “satu”, sedangkan “Lombok” berasal dari kata “Lomboq” yang berarti “lurus” atau “jujur”. Adapun makna “Lombok Sasak Mirah Adhi” dalam Negarakertagama karangan Mpu Prapanca yang menggunakan bahasa Kawi dapat diartikan sebagai “Kejujuran adalah permata kekayaan yang baik atau utama”. Kata “lombok” dalam bahasa Jawa Kawi berarti “lurus” atau “jujur”, “mirah” berarti “permata”, “sasak” berarti “kenyataan”, dan “adhi” berarti “yang baik” atau “yang utama” (id.wikipedia.org).
Masyarakat Sasak sebagian besar menganut agama Islam yang diperkirakan telah dibawa pada awal abad ke-16 hingga ke-17 di bawah pengaruh Sunan Giri dan orang-orang muslim Makassar, Sulawesi Selatan. Tetapi, dalam perkembangannya terjadi sinkretisme dengan agama yang telah dianut sebelumnya, yaitu Hindu, Budha, dan animisme. Hasil sinkretisme tersebut berupa sebuah “aliran” baru yang dikenal sebagai Wetu Telu. Nama Wetu Telu digunakan untuk membedakannya dengan Wetu Lima yang merujuk kepada amalan orang Islam yang bersembahyang lima kali sehari. Penganut Wetu Telu jumlahnya hanya sekitar 1% dan mayoritas hanya berada di Kampung Bayan, Mataram, Pujung, Sengkol, Rambitan, Sade, Tetebatu, Bumbung, Sembalun, Senaru, Loyol, dan Pasugulan (ms.wikipedia.org).
Lepas dari berbagai kepercayaan tersebut, sebagai sebuah sukubangsa masyarakat Sasak tentu menumbuhkembangkan suatu kebudayaan sebagai tanggapan aktif terhadap lingkungannya. Salah satu dari kebudayaan tersebut adalah tradisi Metulak yang berasal dari kata “tulak” berarti “kembali” dengan ditambah awalan “me”, sehingga secara harfiah dapat diartikan sebagai “mengembalikan”.
Metulak adalah sebuah upacara penolak bala dari gangguan hama, penyakit, bencana alam dan atau roh jahat yang berada di sekitar tempat tinggal. Konon, upacara yang prosesinya sering disebut besentulak ini berasal dari tradisi para leluhur pra-Islam di Desa Pujut, Lombok Tengah (Wacana dkk., 1985). Setelah Islam masuk, tradisi Metulak tetap dipertahankan dengan ditambahkan unsur dari agama Islam berupa barzanji atau syair-syair berisi pujian kepada Nabi Muhammad SAW.
Waktu, Tempat, Pemimpin dan Pihak-pihak yang Terlibat dalam Upacara
Tempat pelaksanaan upacara Metulak bergantung pada maksud dan tujuannya. Misalnya, apabila diadakan untuk meminta penyembuhan salah seorang anggota keluarga yang sakit, mendirikan dan menempati rumah baru, pemotongan rambut bayi, atau selamatan orang yang ingin berhaji, maka metulak dilaksanakan di rumah orang yang bersangkutan. Sedangkan, apabila diadakan untuk mengusir wabah penyakit atau hama tanaman saat padi mulai berisi, maka metulak diadakan di balai desa atau di persawahan (kebudayaanindonesia.net).
Adapun waktu pelaksanaannya juga disesuaikan dengan maksud dan tujuannya. Metulak dengan tujuan sebagai penolak wabah penyakit umumnya digelar ketika ada wabah penyakit yang menyerang penduduk atau secara rutin diadakan sekali dalam jangka waktu satu, empat, atau enam tahun. Sementara metulak sebagai penolak bala untuk individu, dilakukan sesuai dengan siklus lingkaran hidup individu tersebut.
Apabila metulak dilaksanakan oleh seluruh warga masyarakat sebuah desa, pemimpin upacaranya adalah kepala desa (datu) atau /ustad/kyai/ulama setempat. Namun, apabila metulak hanya dilakukan oleh sebuah keluarga, maka pemimpin upacaranya dapat ustad atau ulama setempat saja. Dalam melaksanakan tugasnya pemimpin upacara metulak dibantu oleh penowaq (orang yang dituakan) sebagai pengundang roh leluhur dan Dewi Anjani (penguasa gunung Rinjani), keliang (pembantu kepala desa), petabah (kelompok pembaca lontar), belian (dukun), dan pemangku. Sedangkan pihak lain yang juga terlibat dalam penyelenggaraan upacara adalah: nyai (isteri kyai), para perempuan tua yang sudah menopause (tidak haid lagi) sebagai pembantu penowaq, dan warga masyarakat lainnya. Mereka (warga masyarakat) biasanya membawa sebuah botol kosong yang nantinya akan diisi air setelah didoakan oleh belian untuk dibawa pulang sebagai penolak bala dan sejumlah 9 buah kepeng atau uang koin sebagai syarat dan bukan alat tukar.
Peralatan Upacara
Peralatan dan perlengkapan yang dipersiapkan dalam upacara metulak diantaranya adalah: (1) dulang berisi satu piring bubur putih, bubur merah, moto seong (ketan yang digoreng sangan); (2) tempayan berisi air dan daun beringin; (3) pucuk enak sebagai rambu-rambu atau saweq; (4) dula merah atau kemenyan dan dupa; dan (5) bokor kuningan berisi sembilan buah gulungan sirih beserta kapurnya yang diikat dengan benang putih, sembilan batang rokok juga diikat dengan benang putih, benang lima warna (putih, hitam, kuning, merah, dan ungu), dan sembek (ampas bekas kunyahan sirih). Bahan-bahan tersebut nantinya akan ditata berjajar dari utara ke selatan secara berurutan, mulai dari pucuk enau yang ditancapkan di tanah, tempayan, bokor, dulang dan dupa.
Jalannya Upacara
Apabila suatu desa akan mengadakan upacara metulak untuk menolak bala, maka datu akan memanggil kyai, para pemangku adat, dan pemuka masyarakat untuk mengadakan musyawarah di rumahnya atau di rumah salah seorang pemuka masyarakat. Tujuannya, adalah membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan prosesi besentulak, seperti: waktu dan tempat penyelenggaraan, penyelenggara upacara, tata tertib upacara, serta peralatan dan perlengkapan yang diperlukan dalam upacara. Untuk tata tertib upacara, tujuannya adalah mengatur tentang bagaimana metulak akan dilaksanakan agar terhindar dari pantangan-pantangan adat besentulak, yaitu: kaum perempuan pembantu pemangku haruslah orang yang telah mengalami menopause, kaum lelaki yang menjadi penyelenggara upacara harus bersih jasmani dan rohani, selama upacara berlangsung tidak boleh ada yang berhubungan badan, metulak baru boleh diadakan setelah prosesi penangkapan nyale (cacing) atau ketika padi mulai menunduk sebelum bulan ke sepuluh tahun Masehi.
Setelah terjadi kesepakatan, atas perintah datu atau kepala desa, orang-orang yang ditunjuk sebagai penyelenggara upacara segera melakukan berbagai macam hal berkaitan dengan metulak, seperti: mendirikan terop dari batang bambu dan anyaman daun kelapa (kelasah), menyiapkan tempayan yang ditutup kelambu dan diberi langit-langit, menyiapkan lima panginang (penginang selao, tulis, tombak, rowah, dan sembeq), membuat das atau pondok kecil dari kayu beratap ilalang tanpa dinding dengan lantai dari bilah bambu yang dianyam dengan ijuk atau rotan, menjemput dan membawa tombak oleh dua orang penyelenggara berpakaian adat, menginstruksikan setiap keluarga membuat saweg dan memasak gulai ayam, dan mencari berbagai macam tumbuhan hutan sebagai hiasan tempayan (tumbuhan nagasari, tandan uwar, injan bote) (Wacana dkk., 1985).
Ketika seluruh persiapan selesai, pelaksanaan upacara pun segera dilaksanakan dengan diawali pembacaan barzanji atau syarakalan setelah sholat Isya. Pembacaan barzanji ini memakan waktu lama karena jumlah baitnya yang sangat banyak, sehingga harus dilakukan secara bergantian oleh para jamaah yang dipimpin kyai dan pemangku. Adapun hidangan yang disuguhkan bagi para jamaah selama menunggu dan mensyairkan barzanji, diantaranya adalah: poteng (tape), tebu, sumping, jongkong, tombek, ketupat, dan rowut. Pemilihan jenis-jenis makanan tersebut bukanlah tanpa alasan karena mengandung makna-makna simbolis tertentu bagi masyarakat Sasak. Poteng misalnya, mengandung makna simbolis sebagai daging manusia, tebu menyimbolkan tulang, sumping menyimbolkan sum-sum tulang, jongkong dan tombek menyimbolkan isi dalam tubuh, ketupat dan tekel menyimbolkan laki-laki dan perempuan, dan rowut merupakan simbol dari kehidupan (kebudayaanindonesia.net).
Usai pelantunan barzanji, prosesi dilanjutkan dengan cakepan atau pembacaan kisah Nabi Yusuf yang ditulis dalam daun lontar. Pembaca dan penterjemahnya (pembayun) adalah para petabah yang terdiri dari kyai, pemangku dan beberapa orang jemaah. Sebelum ada listrik, di dekat kitab daun lontar yang akan dibaca diletakkan sebuah lampu berbahan biji jarak atau minyak kelapa sebagai penerang. Selain penerang, diletakkan juga kelengkapan lain berupa penginang tulis, air berisi kembang, dan penganan serabi.
Ketika kyai atau pemangku selesai membacakan bait ke-9 (timpak) dari kisah Nabi Yusuf, dia akan beristirahat sejenak dengan membuka hidangan surabi yang ada dihadapannya. Surabi itu digarami dan dicucuri santan lalu dicicipi sebanyak tiga kali. Selanjutnya kyai atau pemangku mulai barzanji lagi hingga bait yang menceritakan tentang kisah Nabi Yusuf dilemparkan ke dalam sumur oleh saudaranya sendiri. Kisah pelemparan Nabi Yusuf diiringi pula dengan pembasahan lontar oleh Kyai atau Pemangku dengan air kembang yang telah disediakan.
Selesai pembasahan lontar, Kyai atau Pemangku akan menutup kembali surabi yang tadi telah dicicipi lalu mendoakannya dan melanjutkan lagi membaca cakepan. Setelah cakepan tuntas dibaca, Kyai atau Pemangku akan membacakan rowah berupa doa kubur, doa selamat, Surat Al Ikhlas sebanyak tiga kali, Surat Al Fatihah, dan bagian awal dari Surat Al Baqarah, serta dzikir la ilaha illallah sebanyak seratus kali yang diikuti oleh para jamaah.
Dan, prosesi terakhir dalam upacara metulak adalah makan bersama yang diikuti oleh seluruh peserta upacara. Selanjutnya, pembagian air bercampur kembang yang tadi telah didoakan dan digunakan sebagai pembasuh lontar kepada para peserta upacara. Air tersebut nantinya dapat digunakan sebagai penolak bala untuk menyiram lahan persawahan, areal perladangan, kandang, pekarangan dan rumah tempat tinggal, dan dapat pula diminumkan pada orang yang sedang sakit sebagai penolak bala penyakit. Prosesi pembagian air ini merupakan akhir dari serentetan rangkaian dalam upacara metulak yang dipimpin oleh Kyai atau Pemangku.
Sebagai pelengkap upacara metulak, keesokan harinya digelar kesenian tradisional berupa sebuah permainan yang disebut “peresean” yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai “pelindung atau penangkis pukulan” (Idealita, 2011). Dalam permainan ini para pemainnya akan melakukan suatu pertarungan (saling pukul) dengan menggunakan sebatang tongkat dari rotan sebagai alat pemukul dan sebuah perisai (ende) untuk menangkis pukulan lawan.
Ada beberapa versi mengenasi asal usul permainan bela diri ini. Versi pertama, menyatakan bahwa konon peresean berasal dari legenda Ratu Mandalika yang bunuh diri karena melihat dua orang saling berkelahi hingga mati untuk memperebutkan cintanya. Sedangkan versi yang lainnya lagi menyatakan bahwa peresean timbul dari pelampiasan emosional para raja Sasak ketika akan dan atau telah selesai menghadapi peperangan melawan musuh-musuhnya. Oleh karena itu, peresean juga digunakan sebagai ajang untuk menunjukkan atau memupuk keberanian, ketangkasan dan ketangguhan seseorang dalam sebuah pertempuran. Darah yang menetes ke bumi dalam pertarungan peresean akibat sabetan alat pemukul juga diyakini sebagai simbol turunya hujan, sehingga semakin banyak darah yang menetes, semakin lebat pula hujan yang akan turun.
Nilai Budaya
Ada beberapa nilai yang terkandung dalam upacara adat metulak. Nilai-nilai itu antara lain adalah: kebersamaan, ketelitian, gotong royong, dan keselamatan. Nilai kebersamaan tercermin dari berkumpulnya sebagian besar anggota masyarakat dalam suatu tempat untuk makan dan doa bersama demi keselamatan bersama pula. Ini adalah wujud kebersamaan dalam hidup bersama di dalam lingkungannya (dalam arti luas). Oleh karena itu, upacara ini mengandung pula nilai kebersamaan. Dalam hal ini, kebersamaan sebagai komunitas yang mempunyai wilayah, adat-istiadat dan budaya yang sama.
Nilai ketelitian tercermin dari proses upacara itu sendiri. Sebagai suatu proses, upacara memerlukan persiapan, baik sebelum upacara, pada saat prosesi, maupun sesudahnya. Persiapan-persiapan itu, tidak hanya menyangkut peralatan upacara, tetapi juga tempat, waktu, pemimpin, dan peserta. Semuanya itu harus dipersiapkan dengan baik dan seksama, sehingga upacara dapat berjalan dengan lancar. Untuk itu, dibutuhkan ketelitian.
Nilai kegotong-royongan tercermin dari keterlibatan berbagai pihak dalam penyelenggaraan upacara. Mereka saling bantu demi terlaksananya upacara. Dalam hal ini ada yang membantu menyiapkan makanan dan minuman, menjadi pemimpin upacara, dan lain sebagainya.
Nilai keselamatan tercermin dalam adanya kepercayaan bahwa alam dan manusia dapat juga mengalami gangguan dari hama, penyakit, maupun roh jahat, sehingga harus di “tulak” atau “dikembalikan” agar menjadi seimbang kembali. Metulak merupakan salah satu upacara yang bertujuan untuk mencari keselamatan dari gangguan-gangguan yang dapat merusak keseimbangan alam dan manusia tersebut. (gufron)
Sumber:
Idealita, Neky Noorwinda, “Budaya Lokal Lombok Peresean”, dalam http://neky-neky.blogspot.com/2011/05/budaya-lokal-lombok-peresean.html, diakses tanggal 27 Januari 2013.
Lalu Wacana dkk,. 1985. Upacara Tradisional yang Berkaitan dengan Peristiwa Alam dan Kepercayaan Daerah Nusa Tenggara Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
“Sasak”. http://ms.wikipedia.org/wiki/Sasak. Diakses 26 September 2013.
“Suku Sasak”. http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Sasak. Diakses 26 September 2013.
“Upacara Metulak”. http://kebudayaanindonesia.net/id/culture/1144/upacara-metulak#.UkEcNIaouuI. Diakses 26 September 2013.