Alkisah, hiduplah dua orang pemuda bersahabat. Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Pemuda yang satu bertubuh kekar tetapi matanya buta, sedangkan sahabatnya dapat melihat namun tubuhnya bungkuk. Oleh karena itu, orang sering menyebut mereka dengan panggilan Si Buta dan Si Bungkuk.
Kedua sahabat ini seakan tidak dapat terpisahkan karena kemana pun pergi akan selalu bersama. Selain itu, keduanya juga saling memahami. Jika salah seorang sedang marah, sahabatnya akan berdiam diri atau membujuk agar kemarahannya reda. Begitu juga ketika menghadapi suatu masalah, mereka akan mengatasinya secara bersama-sama.
Tetapi apabila diperhatikan lebih seksama, ternyata rasa saling membutuhkan itu lebih menguntungkan Si Bungkuk ketimbang Si Buta. Anehnya, Si Buta yang sangat baik hatinya tidak sedikit pun merasa curiga kalau Si Bungkuk selalu menipunya. Ketika mereka sedang makan di acara selamatan misalnya, Si Bungkuk selalu saja mengambil jatah lauk berupa ikan atau ayam dan hanya menyisakan nasi dan sayuran dalam piring Si Buta.
Sebenarnya kelakuan “nakal” Si Bungkuk tersebut tidak hanya dilakukan pada saat ada acara selamatan saja, tetapi juga setiap ada kesempatan. Si Bungkuk selalu memanfaatkan kebutaan mata sahabatnya untuk mendapatkan keuntungan sendiri. Celakanya, Si Buta tidak mengetahui hal itu dan tetap menganggap Si Bungkuk juga jujur seperti dirinya.
Tetapi, sepandai-pandai tupai melompat suatu saat akan jatuh juga ke tanah. Hal ini terjadi ketika Si Bungkuk mengajak Si Buta pergi ke hutan untuk berburu binatang. Konon, karena waktu itu belum ada senapan, para pemburu hanya menggunakan peralatan tradisional berupa jipah atau faring (jaring), tombak, dan kadang anjing sebagai pencari jejak binatang buruan. Peralatan ini juga dipakai oleh Si Bungkuk dan Si Buta untuk berburu.
Dalam perjalanan ke tengah hutan, Si Bungkuk berkata, “Nanti kalau mendapatkan binatang buruan, hasilnya akan kita bagi dua sama rata.”
Perkataan Si Bungkuk tadi tentu saja membuat hati Si Buta menjadi gembira. Dengan bersemangat ia langsung memerintahkan anjing burunya untuk mencari jejak binatang. Sedangkan Si Bungkuk mengikutinya dari belakang sambil membawa tombak di tangan kanannya. Mereka berdua mengikuti arah yang ditunjukkan oleh si anjing buru.
Rupanya hari itu mereka sedang bernasib baik. Tidak berapa lama berjalan sang anjing buru telah berhasil menemukan seekor rusa jantan cukup besar dengan tanduknya yang bercabang-cabang. Si Bungkuk segera menombak rusa jantan tersebut hingga mati.
Setelah mati, tubuh rusa segera dipotong-potong dengan tujuan untuk dibagi dua sama rata menurut keinginan Si Bungkuk. Tetapi karena sifat Si Bungkuk yang licik, maka setelah dibagi dua bagian Si Buta hanyalah berupa tulang-tulang rusa. Sedangkan daging dan lemaknya menjadi milik Si Bungkuk.
“Karena telah dibagi dua, sebaiknya kita masak sendiri-sendiri saja agar sesuai dengan selera kita,” kata Si Bungkuk bersiasat karena tidak ingin Si Buta memakan secuil pun daging bagiannya.
Keduanya pun mulai memasak sesuai dengan selera masing-masing. Oleh karena Si Bungkuk tidak pandai memasak, ia hanya menusuk daging-daging besar bagiannya kemudian membakarnya. Sedangkan Si Buta yang pandai memasak segera mengeluarkan bumbu-bumbu gulai yang dibawanya dari rumah. Setelah daging rusa matang keduanya lalu duduk berhadapan untuk makan bersama.
“Nikmat,” kata Si Bungkuk sambil memasukkan potongan daging besar ke dalam mulutnya.
“Sedap,” kata Si Buta sambil mencium bau harum masakannya. Namun, ketika mulai memakannya barulah ia sadar kalau yang dimasaknya hanyalah berupa tulang-belulang rusa.
“Aku kira hasil buruan kita berupa rusa besar dan gemuk. Rupanya hanya rusa kecil yang banyak tulangnya. Besok pagi kita harus berburu lebih keras lagi,” kata Si Buta sambil tetap mengiggit gulai tulangnya dengan sangat keras karena kesal hingga bola matanya hampir keluar.
Ketika bola mata Si Buta hampir keluar dari lubangnya, atas kehendak Tuhan, secara ajaib ia dapat melihat. “Aku dapat melihat! Aku dapat melihat!” teriaknya kegirangan sambil menatap sekeliling dan akhirnya tertuju pada daging-daging milik Si Bungkuk dan tulang-tulang hasil buruan miliknya.
“Wah, rupanya rusa buruan kita memang besar dan gemuk. Engkau telah berbuat curang kepadaku!” teriak Si Buta dengan sangat marah.
Si Buta lalu berjalan menuju tulang-tulang rusa yang menjadi bagiannya dan mengambil sebuah tulang kaki. Tulang itu kemudian dipukulkan berkali-kali ke tubuh Si Bungkuk hingga menjerit kesakitan dan minta ampun. Namun, Si Buta yang sudah tidak buta lagi tetap saja memukulinya sebagai pelampiasan rasa amarahnya terhadap Si Bungkuk.
Agar tidak dipukuli terus oleh Si Buta, Si Bungkuk berusaha bangkit menghindar. Dan, sama seperti Si Buta, terjadi keajaiban pula pada Si Bungkuk. Setelah bangkit badannya tidak bungkuk lagi layaknya manusia normal.
“Aku tidak bungkuk lagi! Aku tidak bungkuk lagi!” teriaknya kegirangan.
Keduanya pun akhirnya sadar kalau itu adalah kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Mereka kemudian saling meminta maaf dan diakhiri dengan berpelukan sebagai tanda terjalinnya persahabatan kembali.
Diceritakan kembali oleh ali gufron