(Cerita Rakyat Nusa Tenggara Barat)
Alkisah, ada seekor burung bangau dan seekor kera hidup di dalam sebuah hutan. Sejak lama mereka bersahabat. Namun persahabatan mereka tidak bersifat resiprositas atau timbal balik yang saling menguntungkan. Dalam hal ini, Kera hanya sekadar memanfaatkan burung bangau untuk kepentingan dirinya sendiri.
Burung Bangau sering sekali membantu Kera mencari kutu-kutu yang menempel di bulunya. Selain itu, bila mereka ingin bepergian Sang Burung Bangau selalu terbang membawa Kera di punggungnya. Sementara Kera sendiri hanya duduk manis sambil melihat pemandangan alam yang ada dibawahnya. Begitulah bentuk persahabatan yang dijalin keduanya yang selalu menguntungkan Sang Kera.
Bahkan pernah suatu hari Kera bekerja sama dengan Bangau untuk menangkap ikan di sebuah kolam. Dengan susah payah Sang Bangau mencari dan menangkap ikan yang ada di kolam tersebut, sedangkan Sang Kera hanya duduk sambil mengumpulkan hasil tangkapan Bangau. Selesai penangkapan hasilnya dibagi dua. Padahal, sebelumnya Sang Kera telah menyembunyikan sebagian hasil tangkapan Sang Bangau, sehingga ketika dibagi dua hasilnya menjadi lebih sedikit lagi.
Kelakuan licik Sang Kera tersebut dilakukan beberapa kali sampai akhirnya kesabaran Sang Bangau habis. Hal ini terjadi ketika Sang Kera mengajaknya pergi ke Pulau Medang yang terkenal akan buah sawonya. Oleh karena Sang Bangau tidak makan buah sawo, Kera pun memperdayainya dengan mengatakan bahwa di pulau tersebut banyak terdapat belalang dan katak yang merupakan makanan kesukaan Sang Bangau.
Tergiur oleh rayuan Kera, Sang Bangau segera menyetujuinya. Padahal, jarak yang harus ditempuh menuju Pulau Medang lumayan jauh. Di sepanjang perjalanan, Kera selalu saja mengajak Sang Bangau Berbicara.
“Bangau sahabatku,” kata Sang Kera. “Nanti setelah sampai di Pulau Medang aku akan membuat perahu. Jadi, engkau tidak perlu lagi membawaku terbang. Kita dapat menaiki perahu bersama-sama.”
“Apakah engkau pandai membuat perahu?” tanya Sang Bangau dengan nada tidak percaya.
“Aku pernah pergi ke negeri orang-orang yang pandai membuat perahu. Tetapi saat ini aku hanya bisa membuat perahu dari bahan tanah liat. Nanti tolong bantu aku mengumpulkan tanah liatnya,” kata Sang Kera.
Setelah sekian lama terbang, barulah tampak Pulau Medang yang menghijau dari kejauhan. Sang Kera yang hanya duduk santai di atas punggung Bangau segera saja membayangkan buah-buah sawo matang yang harum serta manis rasanya.
“Cepatlah sahabatku, kita sudah hampir sampai,” kata Kera tidak sabar.
Namun apalah daya, Sang Bangau sudah tidak mampu terbang cepat lagi karena kelelahan akibat perjalanan jauh serta selalu diajak bercakap-cakap oleh Kera yang duduk dipunggungnya. Tetapi, dengan sisa tenaga yang dimilikinya akhirnya mereka sampai juga di pantai Pulau Medang. Mereka beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan ke tengah pulau untuk mencari “katak dan belalang”, seperti yang diceritakan Sang Kera. Padahal, tujuan sebenarnya adalah menemukan pepohonan sawo yang tengah musim berbuah.
Setelah sampai di tengah pulau yang dipenuhi pepohonan sawo, Sang Kera langsung memanjat salah satunya dan memakan buah-buah sawo matang yang bergelantungan. Ketika pohon sawo yang dipanjatnya sudah mulai habis buahnya, dia lalu meloncat ke pohon lain untuk mengambil sawo matang lainnya. Begitu seterusnya hingga perutnya kembung dan tertidur karena kekenyangan.
Sementara Sang Bangau yang masih kelelahan hanya menunggu di bawahnya sambil memperhatikan sekelilingnya kalau ada katak atau belalang lewat. Maklum, selain lelah, perut Sang Bangau juga lapar seperti Kera. Tetapi makanannya bukanlah buah sawo, melainkan katak, belalang, dan berbagai macam jenis serangga lainnya. Sayangnya, makanan “pokok” Sang Bangau tersebut ternyata tidak ada, sehingga dia pun lantas membangunkan Sang Kera yang sedang tertidur pulas di atas pohon.
“Hai Kera sahabatku, di bagian mana dari pulau ini yang banyak terdapat katak dan belalang seperti yang engkau katakan sebelum kita berangkat?” tanya Sang Bangau agak sedikit kesal.
“Dahulu di tempat ini banyak sekali terdapat katak dan belalang. Mungkin mereka sedang bersembunyi atau telah pindah di bagian lain dari pulau ini,” kata Kera berbohong.
“Kalau sampai besok tidak juga ada katak atau belalang aku akan pulang,” kata Sang Bangau mengancam. “Engkau tinggal saja di sini karena makananmu berlimpah.”
“Janganlah engkau begitu, sahabatku,” kata kera merajuk. “Manalah mungkin aku hidup sendirian di sini.”
“lalu aku harus makan apa?” tanya Sang Bangau sambil mendongkol.
Setelah berpikir sejenak akhirnya Sang Kera berkata, “Baiklah kalau itu maumu. Besok pagi aku akan ikut pulang denganmu.”
“Tubuhku masih lemah karena belum mendapat makanan. Jadi, mana mungkin aku membawamu terbang,” kata Sang Bangau bertambah kesal.
“Kalau begitu tunggu saja sampai kekuatanmu pulih lalu kita pulang,” kata Kera membujuk.
“Aku bisa mati kelaparan jika harus menunggumu. Lagi pula, engkau kan pandai membuat perahu? Jadi, buatlah perahu sendiri sehingga engkau bisa tinggal lebih lama dan puas memakan seluruh buah yang ada di sini,” jawab Sang Bangau.
Sang Kera terperanjat karena cerita bohongnya ternyata diingat oleh Sang Bangau. Oleh karena itu, dia lalu berkata, “aku memang pandai membuat perahu. Tetapi untuk mengumpulkan tanah liat sebagai bahan pembuatnya tidaklah mungkin dapat kukerjakan sendirian. Aku membutuhkan bantuanmu, wahai saudaraku.”
Bujukan Sang Kera ternyata ampuh memengaruhi pendirian bangau, sehingga dia rela membantu Kera mengumpulkan tanah liat sebagai bahan pembuat perahu. Selain itu, Bangau juga berpikir kalau pulang menggunakan perahu pasti akan lebih meringankan bebannya karena tidak harus terbang untuk pulang ke rumah.
Singkat cerita, perahu tanah liat rancangan Sang Kera pun jadi. Secara perlahan-lahan mereka mendorongnya ke laut untuk berlayar pulang. Di tengah perjalanan sesekali perahu diterjang ombak kecil. Tentu saja hal ini membuat nyali Kera menjadi ciut dan wajahnya pucat pasi karena takut perahunya hancur. Sebaliknya, Sang Bangau malah bernyanyi riang, “Curcur humat, curcur humat, bila hancur saya selamat, bila hancur saya selamat.”
Nyanyian Sang Bangau itu ternyata menjadi kenyataan. Ketika perahu hampir mencapai daratan Pulau Sumbawa, secara tiba-tiba datanglah badai disertai guntur dan hujan lebat. Ombak lautan pun menjelma menjadi gulungan-gulungan raksasa yang dalam waktu singkat berhasil memecahkan perahu tanah liat buatan Kera.
Melihat perahu hancur berantakan, Sang Bangau langsung mengepakkan sayapnya dan terbang menuju Pulau Sumbawa yang telah tampak di ujung cakrawala. Sementara Sang Kera yang tidak bisa terbang, berusaha menggapai sisa-sisa sisa tanah liat bekas perahu buatannya untuk dijadikan pelampung. Namun, karena hanya terbuat dari tanah liat, dalam sekejap sisa-sisa perahu itu akhirnya larut dengan air laut. Sang Kera yang tidak begitu pandai berenang, secara perlahan-lahan tenggelam dan mati ditelan ombak yang mengganas.
Diceritakan kembali oleh ali gufron