Pindang serani adalah masakan tradisional khas Merangin yang dimakan sebagai lauk nasi sewaktu makan sehari-hari. Masakan pindang serani ini identik dengan masakan ikan berbuah atau masakan asam pedas dari berbagai daerah di Indonesia.
Bedanya barangkali terletak pada bahan utama yaitu ikannya. Di daerah lain tentu saja akan memakai ikan yang terdapat di daerah itu. Di Merangin biasanya yang paling umum adalah ikan patin. Selain itu bumbu dan cara meracikannya juga akan menghasilkan cita rasa yang khas yang akan membedakannya dari daerah lain.
Pindang serani ini bahannya dari ikan patin. Untuk satu keluarga cukup 1 kg. Untuk membuat masakan pindang sebanyak itu diperlukan bumbu antara lain (5) siung bawang merah. Bawang merah ini bisa didapatkan di pasar-pasar seperti di Bangko dan pasar-pasar tradisional. Bawang merah belum dibudayakan di Merangi karena iklimnya tidak sesuai.
Oleh sebab itu bawang merah harus dibeli. Kebiasaan masyarakat di Merangin dan juga daerah lain, mengusahakan bawanh merah selalu ada di rumahnya, karena setiap memasak lauk pauk bawang merah hampir tidak pernah luput. Selain bawang merah diperlukan juga 3 siung bawang putih. Bawang putih ini juga harus dibeli ke pasar.
Bumbu lainnya adalah 4 buah cabe merah. Sebagian kecil petani telah membudidayakan cabe ini di ladangnya baik cabe merah maupun cabe rawit. Di beberapa kecamatan seperti Muara Siak dan Jangkat tanaman ini sudah menjadi komoditi bersama dengan tanaman palawija lainnya, seperti sayur, kentang dan tomat. Daerahnya yang subur dan iklimnya memungkinkan untuk berbagai tanaman palawija. Jadi tidak tergantung pada tanah perkebunan karet, sawit, atau lainnya.
Pengaruh transmigrasi yang ditempatkan di Kabupaten Merangin cukup melecut semangat orang Merangin untuk berusaha, termasuk dalam hal pertanian jangka pendek yaitu tanaman muda (palawija). Kebiasaan lama yang turun-temurun yang mengutamakan tanaman keras (tua) sudah mulai bergeser sesuai dengan tingginya tingkat kebutuhan hidup yang harus dipenuhi oleh setiap keluarga.
Kini para lelaki yang biasanya jarang ikut mengerjakan sawah di sela kesibukannya menyadap karet, mulai bergerak mengisi waktunya membuka tanaman palawija yang cepat menghasilkan uang. Mereka beranggapan kalau tidak bisa menjual, dapat dimakan sendiri.
Bumbu-bumbu lainnya adalah jahe satu ruas yang bisa didapatkan pada setiap pekarangan rumah, selain itu kunyit 1 jari, laos 1 jari, jahe 1 ruas, 1 batang serai di memar; 3 lembar daun salam, 1 batang daun bawang (prei) dan 6 buah tomat kecil serta 1 atau 2 buah jeruk nipis.
Bumbu-bumbu diatas bisa didapatkan di pekarangan, tetapi ada kalanya bahan itu tidak lengkap dimiliki oleh satu keluarga. Biasanya kalau hanya sedikit, kekurangan bahan bisa diminta kepada tetangga. Kebiasaan meminta ini sudah lazim di kalangan ibu-ibu pada umumnya, karena suatu hari nanti sebaliknya tetangga juga bisa memerlukan sesuatu. Dalam istilah ekonomi hal ini bisa dikategorikan barter, walaupun barternya kadang-kadang tidak langsung bersama diterima oleh kedua belah pihak.
Malahan orang akan merasa senang bila sesekali tetangga minta dan atau tukar-menukar barang kepada tetangga. Hal itu semakin mempererat solidaritas/kebersamaan dalam satu tempat tinggal. Karena tidak ada manusia yang sempurna baik lahir batin maupun kepemilikan dalam hal materi.
Oleh karena itu kekurangan bumbu bagi masyarakat Merangin mudah diatasi sebab kalau toh tidak dapat dari tetangga, maka di warung-warung dan pasar selalu ada tersedia.
Cara memasak “Pindang Serani” ini diawali dengan ikan patin dibersihkan dan dipotong-potong. Cabe merahnya dipotong-potong (bisa lurus atau miring) Bumbu-bumbu diiris semua kecuali daun salam dan serai. Didihkan air dalam panci sebanyak 5 gelas, setelah mendidih, bumbu dimasukkan. Kira-kira 5 menit bumbu dimasukkan (kecuali tomat dan bumbu penyedap), kemudian masukkan ikan yang sudah terpotong-potong tersebut. Lalu taburkan garam secukupnya serta bumbu penyedap rasa seperti “sasa” atau sejenisnya. Setelah ikannya masak, masukkan irisan tomat sesaat kemudian baru diangkat dan diap dihidangkan.
Pindang serani, bagi masyarakat biasa tidaklah menjadi menu yang rutin, kecuali mereka sering pergi menangkap ikan di sungai, dan mendapatkan ikan patin. Masyarakat Merangin memang sering dan terbiasa membuat pindang sebagai lauk sehari-hari, tetapi ikannya sembarangan (bercampur).
Ikan-ikan di sungai, rawa-rawa yang terdapat di Merangin terdiri dari berbagai jenis. Seperti ikan lele, ikan patin, ikan gabus, ikan mudik, sepat dan lain-lain. Khusus ikan mudik didapat dengan menjaring (jala), karena ikan ini berkelompok dalam jumlah besar, badannya kecil-kecil. Biasa dikeringkan dulu jika dapat banyak.
Pindang serani sering disajikan untuk berbagai acara formal untuk menunjukkan kekhasan makanan tradisional daerah. Bahkan makanan ini selalu menjadi salah satu pilihan mewakili Kabupaten Merangin untuk diperlombakan baik di tingkat Propinsi maupun nasional.
Pindang serani juga mempunyai arti khusus menyatakan rasa hormat, apabila tamu yang datang disuguhi makanan dengan lauk pindang serani. Bahan ikan patin ini begitu bergengsi di mata masyarakat Merangin. Sama halnya dengan keberadaan ikan mas di Sumatera Utara, walaupun ikan teri harganya 2 kali lipat bahkan lebih dari ikan mas tetapi apabila disuguhkan ikan mas, maka rasa hormat akan menyelimuti orang yang menerima makanan yang dihidangkan oleh tuan rumah.
Umumnya daerah Jambi bahkan Palembang juga sangat akrab dengan jenis makanan yang bahannya patin. Bermacam-macam nama, tampilan, cara dan variasi dibuat untuk menghidangkannya antara lain: pate patin, patin reneh (digiling), sop patin, patin dibalut jamur, patin kuah hitam dan lain-lain. Bila pindang serani dibandingkan dengan patin kuah hitam maka pindang serani nampak lebih sederhana. Sedangkan patin kuah hitam sudah termodifikasi dengan bahan-bahan modern seperti tepung gandum, blue band, telor, keju, saos, kaldu daging, kecap, bimoli (minyak) putih telur dan lain-lain. Tentu saja menghidangkannya juga lebih sulit dan mahal.
Sumber:
Mardanas Izarwisma dan Sitanggangi Hilderia (ed.). 1990. Isi dan Kelengkapan Rumah Tangga Tradisional Menurut Tujuan, Fungsi dan Kegunaan Daerah Jambi, Proyek P2NB. Departemen Pendidikan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Kebudayaan. Direktorat Sejarah dan Nila Tradisional.
Melalato. M. Yunus. 1995. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia Jilid A—K. Jakarta: Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya (P2NB).
Sri Kamti. 1994. Pangan. Vol. V tahun 1994. Jakarta: Bulog.
U.U. Hamidy. 1993. Nilai Suatu Kajian Awal. Pekanbaru: UIR Press.