Tuyul merupakan salah satu figur paling unik dalam folklor Nusantara karena posisinya yang berada pada persimpangan antara dunia spiritual, moralitas sosial, dan ekonomi tradisional. Tidak seperti makhluk halus lain yang cenderung dikaitkan dengan ketakutan atau ruang liminal, tuyul justru berada dalam ranah yang sangat manusiawi, yakni persoalan harta, rezeki, dan ketidakadilan sosial. Dalam kerangka antropologi klasik, Koentjaraningrat (1990) menyatakan bahwa kepercayaan masyarakat Jawa tidak pernah berdiri terpisah dari konteks sosial, sehingga setiap makhluk halus memiliki fungsi tertentu dalam menjaga keteraturan dan keseimbangan masyarakat. Tuyul menjadi representasi penting dari hal tersebut: ia hadir sebagai simbol keganjilan ekonomi sekaligus agen moral yang mengungkap relasi kuasa dalam masyarakat yang dilanda ketimpangan.
Endraswara (2018) menempatkan tuyul sebagai salah satu bentuk “makhluk liminal ekonomi”, karena keberadaannya selalu dikaitkan dengan perputaran uang yang tidak normal. Dalam masyarakat agraris dan awal industri di Jawa, hilangnya uang tanpa sebab, keberuntungan bisnis mendadak, atau kecurigaan terhadap tetangga yang tiba-tiba kaya sering kali dipahami melalui narasi tentang tuyul. Dengan demikian, figur ini tidak hanya bagian dari kepercayaan gaib, tetapi juga mekanisme penafsiran terhadap gejala sosial yang tidak dapat dijelaskan secara langsung.
Dalam masyarakat modern, tuyul juga menempati posisi penting dalam imajinasi publik. Keberadaannya dalam media populer, seperti film dan televisi, menunjukkan bahwa makhluk ini mengalami transformasi dari figur magis menjadi ikon budaya yang dikonsumsi secara luas. Hal ini sejalan dengan kajian Burgess & Green (2018) tentang bagaimana budaya digital mengubah cara masyarakat memahami simbol tradisional. Tuyul menjadi salah satu figur yang paling mudah beradaptasi karena sifatnya yang fleksibel: ia dapat tampil sebagai makhluk menakutkan, lucu, polos, atau bahkan tragis, tergantung konteks naratifnya. Dengan demikian, kajian tentang tuyul tidak hanya membicarakan makhluk gaib, tetapi juga tentang perubahan masyarakat Indonesia itu sendiri.
Asal-Usul dan Persebaran Tradisi Tuyul
0Asal-usul tuyul tidak dapat dilepaskan dari sistem kepercayaan Austronesia yang menempatkan roh anak kecil yang meninggal sebagai entitas yang memiliki potensi aktif dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Mulder (2005), dalam masyarakat Jawa terdapat keyakinan kuat bahwa roh anak yang belum melalui proses ritual kematian yang lengkap cenderung menjadi roh gentayangan atau berada dalam keadaan transisional. Kondisi transisional inilah yang sering kali dimanfaatkan dalam praktik magis, yakni melalui ritual pemanggilan atau pemeliharaan oleh okultis lokal seperti dukun atau paranormal.
Dalam tradisi Melayu, istilah toyol telah dicatat sejak abad ke-19 dalam literatur kolonial. Wilkinson (1959) menyebut bahwa toyol adalah makhluk kecil menyerupai anak-anak yang dimanfaatkan untuk mencuri uang, sering kali dipanggil melalui ritual tertentu yang menggunakan media boneka atau janin hewan. Catatan ini menunjukkan bahwa konsep tuyul bukan hanya milik Jawa, tetapi merupakan bagian dari sistem mitologi Melayu yang lebih luas. Winstedt (1951), dalam penelitiannya tentang ilmu gaib Melayu, menegaskan bahwa kepercayaan terhadap roh anak kecil yang dapat dipelihara sudah lama dikenal dalam kosmologi lokal, meski wujudnya bervariasi.
Dalam beberapa komunitas Bali, konsep roh anak juga hadir dalam bentuk buta cilik atau makhluk kecil yang dapat dipanggil untuk membantu pekerjaan manusia (Eiseman, 1990), meskipun tidak seluruhnya identik dengan tuyul. Sementara itu, dalam komunitas Sunda, terdapat mitos mengenai kolor ijo dan orok-orok halus yang fungsinya mirip tuyul, yaitu membantu manusia dalam aktivitas tertentu, terutama yang berkaitan dengan rezeki. Hal ini menunjukkan bahwa ide dasar tentang roh anak kecil yang memiliki peran aktif dalam kehidupan manusia merupakan motif umum dalam budaya Nusantara. Namun, nama “tuyul” dan karakteristik ekonominya paling berkembang dalam tradisi Jawa dan Melayu.
Persebaran kepercayaan ini juga dipengaruhi oleh perkembangan kolonialisme dan modernisasi ekonomi. Wieringa (1998) mencatat bahwa pada awal abad ke-20, ketika ekonomi uang mulai menggantikan sistem barter, kisah tentang tuyul semakin sering muncul dalam surat kabar dan diskusi masyarakat lokal. Hal ini menunjukkan bahwa kepercayaan terhadap tuyul beradaptasi dengan struktur ekonomi baru dan menjadi alat untuk menafsirkan perubahan sosial yang berlangsung cepat.
Wujud dan Ciri-Ciri Tuyul
Deskripsi wujud tuyul memiliki konsistensi tinggi di berbagai wilayah, meski variasi lokal tetap ditemukan. Dalam kajian folklor Jawa, Endraswara (2018) menyatakan bahwa tuyul biasanya digambarkan sebagai makhluk kecil seukuran anak usia balita dengan kepala botak, mata besar, tubuh kurus atau gemuk kecil, dan kulit berwarna pucat, kehijauan, atau abu-abu. Penampilan tuyul sering kali mencerminkan statusnya sebagai roh anak yang tidak mendapatkan ritus kematian sempurna, sehingga tubuhnya digambarkan belum lengkap atau tidak sempurna.
Koentjaraningrat (1990) menambahkan bahwa makhluk halus anak-anak sering dianggap tidak sepenuhnya dewasa secara spiritual, sehingga tingkah lakunya digambarkan nakal, polos, atau suka bermain. Hal ini selaras dengan gambaran tuyul yang sering kali dianggap suka menertawakan korbannya atau bermain-main dengan barang-barang sebelum mencuri. Ciri khas lain adalah ketelanjangannya, yang menurut Sweeney (2006), mencerminkan status “ketidakberpakaian ritual”—yaitu kondisi roh yang belum menerima perlengkapan kematian.
Ciri yang paling sering muncul dalam literatur adalah kemampuan tuyul mencuri uang.
Wieringa (1998) menyatakan bahwa tuyul sering kali dikaitkan dengan hilangnya uang kecil, bukan barang besar atau kekayaan masif. Motif ini menunjukkan hubungan antara narasi tuyul dengan ekonomi kelas menengah ke bawah, di mana kehilangan uang kecil saja dapat menjadi isu besar. Dalam banyak cerita, tuyul digambarkan dapat masuk ke rumah tanpa meninggalkan jejak, mengindikasikan sifatnya yang berada dalam ranah liminal antara dunia roh dan dunia nyata.
Selain itu, banyak narasi yang menyebutkan bahwa tuyul hanya dapat dilihat anak kecil atau orang dengan kemampuan supranatural tertentu. Endraswara (2018) menafsirkan ciri ini sebagai bentuk diferensiasi persepsi, di mana masyarakat percaya bahwa dunia spiritual lebih mudah diakses oleh individu yang belum sepenuhnya masuk ke dalam sistem sosial dewasa. Dalam konteks ini, tuyul muncul sebagai simbol “ketidaklengkapan sosial”, yakni makhluk yang secara spiritual tidak utuh tetapi tetap memiliki agensi dalam kehidupan manusia.
Fungsi Sosial dan Makna Simbolik Tuyul
Fungsi sosial tuyul berkaitan erat dengan dinamika ekonomi tradisional. Mulder (2005) mencatat bahwa masyarakat Jawa memiliki konsep bahwa rezeki harus diperoleh melalui cara yang benar secara moral, sehingga seseorang yang kaya mendadak atau memiliki kekayaan tidak wajar sering kali dicurigai menggunakan bantuan makhluk halus. Kehadiran tuyul menjadi sarana masyarakat untuk mengontrol perilaku ekonomi yang dianggap tidak etis atau mencurigakan. Tuduhan memelihara tuyul sering digunakan sebagai bentuk sanksi sosial terhadap individu yang dianggap tidak transparan dalam urusan ekonomi.
Wieringa (1998) menekankan bahwa narasi tuyul sangat kuat pada masyarakat dengan tingkat ketimpangan ekonomi tinggi. Ketika seseorang merasakan ketidakadilan atau tidak mampu menjelaskan keberhasilan orang lain, tuyul menjadi alat naratif untuk mengatasi kecemasan tersebut. Dalam konteks ini, tuyul berfungsi sebagai penjelas sosial terhadap fenomena ekonomi yang tidak dapat dijelaskan secara langsung.
Secara simbolik, tuyul merupakan representasi anak yang dimanfaatkan secara ekonomi. Federici (2004), dalam analisisnya mengenai tubuh dan kapitalisme awal, menyatakan bahwa figur anak sering digunakan untuk menggambarkan tenaga kerja yang tidak memiliki agensi, tetapi sangat produktif. Tuyul menjadi metafora terhadap bentuk kerja eksploitatif yang memanfaatkan entitas tidak berdaya untuk kepentingan ekonomi seseorang. Narasi ini menunjukkan bagaimana masyarakat tradisional memahami isu eksploitasi melalui simbol gaib.
Makna simbolik lainnya adalah representasi moralitas keluarga. Dalam banyak cerita rakyat Jawa, individu yang memelihara tuyul digambarkan hidup dalam ketidakbahagiaan atau mengalami balasan tertentu. Hal ini memperkuat gagasan bahwa praktik memperoleh kekayaan secara tidak etis akan berdampak negatif secara spiritual dan sosial.
Representasi Tuyul dalam Media Modern
Media modern memainkan peran besar dalam membentuk ulang citra tuyul. Sejak era 1980–1990-an, film dan televisi Indonesia mulai menggambarkan tuyul sebagai sosok humoris, bukan makhluk menakutkan. Heider (1991) menyebut bahwa sinema Indonesia pada masa itu sering memadukan horor dan komedi sebagai strategi hiburan. Dalam banyak film, seperti Tuyul dan Mbak Yul, tuyul digambarkan sebagai makhluk lucu, polos, dan baik hati.
Heryanto (2014) menganalisis bahwa representasi tersebut menggambarkan perubahan budaya populer Indonesia yang cenderung menyesuaikan makhluk halus agar sesuai dengan selera urban masyarakat modern. Hal ini mencerminkan perubahan relasi masyarakat terhadap dunia gaib: dari rasa takut menjadi nostalgia.
Dalam konteks media digital, Burgess & Green (2018) menunjukkan bahwa budaya internet kini mendorong format konten singkat, lucu, dan mudah dibagikan. Figur tuyul sangat cocok dengan format ini karena ciri-cirinya mudah dikenali dan dapat dieksploitasi dalam berbagai skenario komedik. Banyak video viral menampilkan tuyul sebagai karakter slapstick atau makhluk yang salah tingkah di situasi modern.
Transformasi ini menunjukkan bahwa tuyul tidak lagi diperlakukan sebagai entitas sakral atau tabu, tetapi sebagai ikon hiburan yang fleksibel.
Transformasi Budaya dan Perubahan Makna Tuyul
Transformasi makna tuyul dari makhluk gaib ekonomis menuju ikon media menunjukkan adaptasi folklor terhadap perubahan sosial. Mulder (2005) menegaskan bahwa modernitas membawa perubahan cara masyarakat memahami dunia gaib, di mana makhluk halus tidak lagi menjadi objek kepercayaan literal, tetapi simbol budaya. Perubahan ini terlihat jelas pada bagaimana tuyul kini lebih dipahami sebagai karakter dalam film dan televisi daripada sebagai ancaman spiritual nyata.
Federici (2004) menunjukkan bahwa representasi anak dalam budaya sering mencerminkan nilai-nilai sosial terkait kerja, kepolosan, dan eksploitasi. Dalam konteks modern, tuyul mencerminkan nostalgia terhadap masa kanak-kanak sekaligus kritik terhadap struktur ekonomi yang eksploitatif. Di sisi lain, representasi komedi tuyul menunjukkan domestikasi makhluk gaib, di mana masyarakat modern “menjinakkan” sesuatu yang dahulu menakutkan.
Proses re-kontekstualisasi ini memperlihatkan bahwa folklor tidak pernah statis; ia selalu berubah mengikuti kebutuhan zaman. Tuyul bertahan dalam imajinasi kolektif karena fleksibilitas maknanya—ia dapat menjadi simbol eksploitasi, ketidakadilan, kecemasan ekonomi, atau sekadar sumber humor.
Penutup
Kajian mengenai tuyul memperlihatkan bahwa makhluk halus dalam budaya Nusantara tidak hanya berfungsi sebagai elemen mitologis, tetapi juga sebagai perangkat untuk memahami dinamika sosial, ekonomi, dan budaya. Dari akar sejarahnya sebagai roh anak kecil hingga perannya dalam masyarakat modern sebagai ikon hiburan, tuyul mencerminkan perjalanan panjang perubahan nilai dan struktur sosial Indonesia.
Melalui kombinasinya sebagai figur ekonomi, simbol moralitas, dan objek hiburan, tuyul menjadi gambaran tentang bagaimana masyarakat menafsirkan dunia yang terus berubah. Keberadaannya sebagai salah satu makhluk gaib paling terkenal di Indonesia menunjukkan bahwa folklor tetap memiliki tempat penting, bukan sebagai sisa masa lalu, tetapi sebagai ruang imajinasi kolektif yang terus berkembang.
Foto: https://jatim.suaramerdeka.com/sisi-lain/108814512395/rahasia-memelihara-tuyul-untuk-kekayaan-instan-berani-coba
Wieringa (1998) menyatakan bahwa tuyul sering kali dikaitkan dengan hilangnya uang kecil, bukan barang besar atau kekayaan masif. Motif ini menunjukkan hubungan antara narasi tuyul dengan ekonomi kelas menengah ke bawah, di mana kehilangan uang kecil saja dapat menjadi isu besar. Dalam banyak cerita, tuyul digambarkan dapat masuk ke rumah tanpa meninggalkan jejak, mengindikasikan sifatnya yang berada dalam ranah liminal antara dunia roh dan dunia nyata.
Selain itu, banyak narasi yang menyebutkan bahwa tuyul hanya dapat dilihat anak kecil atau orang dengan kemampuan supranatural tertentu. Endraswara (2018) menafsirkan ciri ini sebagai bentuk diferensiasi persepsi, di mana masyarakat percaya bahwa dunia spiritual lebih mudah diakses oleh individu yang belum sepenuhnya masuk ke dalam sistem sosial dewasa. Dalam konteks ini, tuyul muncul sebagai simbol “ketidaklengkapan sosial”, yakni makhluk yang secara spiritual tidak utuh tetapi tetap memiliki agensi dalam kehidupan manusia.
Fungsi Sosial dan Makna Simbolik Tuyul
Fungsi sosial tuyul berkaitan erat dengan dinamika ekonomi tradisional. Mulder (2005) mencatat bahwa masyarakat Jawa memiliki konsep bahwa rezeki harus diperoleh melalui cara yang benar secara moral, sehingga seseorang yang kaya mendadak atau memiliki kekayaan tidak wajar sering kali dicurigai menggunakan bantuan makhluk halus. Kehadiran tuyul menjadi sarana masyarakat untuk mengontrol perilaku ekonomi yang dianggap tidak etis atau mencurigakan. Tuduhan memelihara tuyul sering digunakan sebagai bentuk sanksi sosial terhadap individu yang dianggap tidak transparan dalam urusan ekonomi.
Wieringa (1998) menekankan bahwa narasi tuyul sangat kuat pada masyarakat dengan tingkat ketimpangan ekonomi tinggi. Ketika seseorang merasakan ketidakadilan atau tidak mampu menjelaskan keberhasilan orang lain, tuyul menjadi alat naratif untuk mengatasi kecemasan tersebut. Dalam konteks ini, tuyul berfungsi sebagai penjelas sosial terhadap fenomena ekonomi yang tidak dapat dijelaskan secara langsung.
Secara simbolik, tuyul merupakan representasi anak yang dimanfaatkan secara ekonomi. Federici (2004), dalam analisisnya mengenai tubuh dan kapitalisme awal, menyatakan bahwa figur anak sering digunakan untuk menggambarkan tenaga kerja yang tidak memiliki agensi, tetapi sangat produktif. Tuyul menjadi metafora terhadap bentuk kerja eksploitatif yang memanfaatkan entitas tidak berdaya untuk kepentingan ekonomi seseorang. Narasi ini menunjukkan bagaimana masyarakat tradisional memahami isu eksploitasi melalui simbol gaib.
Makna simbolik lainnya adalah representasi moralitas keluarga. Dalam banyak cerita rakyat Jawa, individu yang memelihara tuyul digambarkan hidup dalam ketidakbahagiaan atau mengalami balasan tertentu. Hal ini memperkuat gagasan bahwa praktik memperoleh kekayaan secara tidak etis akan berdampak negatif secara spiritual dan sosial.
Representasi Tuyul dalam Media Modern
Media modern memainkan peran besar dalam membentuk ulang citra tuyul. Sejak era 1980–1990-an, film dan televisi Indonesia mulai menggambarkan tuyul sebagai sosok humoris, bukan makhluk menakutkan. Heider (1991) menyebut bahwa sinema Indonesia pada masa itu sering memadukan horor dan komedi sebagai strategi hiburan. Dalam banyak film, seperti Tuyul dan Mbak Yul, tuyul digambarkan sebagai makhluk lucu, polos, dan baik hati.
Heryanto (2014) menganalisis bahwa representasi tersebut menggambarkan perubahan budaya populer Indonesia yang cenderung menyesuaikan makhluk halus agar sesuai dengan selera urban masyarakat modern. Hal ini mencerminkan perubahan relasi masyarakat terhadap dunia gaib: dari rasa takut menjadi nostalgia.
Dalam konteks media digital, Burgess & Green (2018) menunjukkan bahwa budaya internet kini mendorong format konten singkat, lucu, dan mudah dibagikan. Figur tuyul sangat cocok dengan format ini karena ciri-cirinya mudah dikenali dan dapat dieksploitasi dalam berbagai skenario komedik. Banyak video viral menampilkan tuyul sebagai karakter slapstick atau makhluk yang salah tingkah di situasi modern.
Transformasi ini menunjukkan bahwa tuyul tidak lagi diperlakukan sebagai entitas sakral atau tabu, tetapi sebagai ikon hiburan yang fleksibel.
Transformasi Budaya dan Perubahan Makna Tuyul
Transformasi makna tuyul dari makhluk gaib ekonomis menuju ikon media menunjukkan adaptasi folklor terhadap perubahan sosial. Mulder (2005) menegaskan bahwa modernitas membawa perubahan cara masyarakat memahami dunia gaib, di mana makhluk halus tidak lagi menjadi objek kepercayaan literal, tetapi simbol budaya. Perubahan ini terlihat jelas pada bagaimana tuyul kini lebih dipahami sebagai karakter dalam film dan televisi daripada sebagai ancaman spiritual nyata.
Federici (2004) menunjukkan bahwa representasi anak dalam budaya sering mencerminkan nilai-nilai sosial terkait kerja, kepolosan, dan eksploitasi. Dalam konteks modern, tuyul mencerminkan nostalgia terhadap masa kanak-kanak sekaligus kritik terhadap struktur ekonomi yang eksploitatif. Di sisi lain, representasi komedi tuyul menunjukkan domestikasi makhluk gaib, di mana masyarakat modern “menjinakkan” sesuatu yang dahulu menakutkan.
Proses re-kontekstualisasi ini memperlihatkan bahwa folklor tidak pernah statis; ia selalu berubah mengikuti kebutuhan zaman. Tuyul bertahan dalam imajinasi kolektif karena fleksibilitas maknanya—ia dapat menjadi simbol eksploitasi, ketidakadilan, kecemasan ekonomi, atau sekadar sumber humor.
Penutup
Kajian mengenai tuyul memperlihatkan bahwa makhluk halus dalam budaya Nusantara tidak hanya berfungsi sebagai elemen mitologis, tetapi juga sebagai perangkat untuk memahami dinamika sosial, ekonomi, dan budaya. Dari akar sejarahnya sebagai roh anak kecil hingga perannya dalam masyarakat modern sebagai ikon hiburan, tuyul mencerminkan perjalanan panjang perubahan nilai dan struktur sosial Indonesia.
Melalui kombinasinya sebagai figur ekonomi, simbol moralitas, dan objek hiburan, tuyul menjadi gambaran tentang bagaimana masyarakat menafsirkan dunia yang terus berubah. Keberadaannya sebagai salah satu makhluk gaib paling terkenal di Indonesia menunjukkan bahwa folklor tetap memiliki tempat penting, bukan sebagai sisa masa lalu, tetapi sebagai ruang imajinasi kolektif yang terus berkembang.
Foto: https://jatim.suaramerdeka.com/sisi-lain/108814512395/rahasia-memelihara-tuyul-untuk-kekayaan-instan-berani-coba
Sumber:
Burgess, J., & Green, J. 2018. YouTube: Online Video and Participatory Culture. Polity Press.
Eiseman, F. B. 1990. Bali: Sekala and Niskala. Periplus.
Endraswara, S. 2018. Folklor Nusantara: Hakikat, Bentuk, dan Fungsi. Ombak.
Federici, S. 2004. Caliban and the Witch: Women, the Body and Primitive Accumulation. Autonomedia.
Heider, K. 1991. Indonesian Cinema: National Culture on Screen. University of Hawaii Press.
Heryanto, A. 2014. Identity and Pleasure: The Politics of Indonesian Screen Culture. NUS Press.
Kitley, P. 2000. Television, Nation, and Culture in Indonesia. Ohio University Press.
Koentjaraningrat. (1990). Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta.
Mulder, N. 2005. Mistisisme Jawa. LKiS.
Sweeney, A. 2006. Malay Magic and Ghost Narratives. Oxford University Press.
Wilkinson, R. J. 1959. A Malay–English Dictionary. Kelly & Walsh.
Wieringa, E. 1998. “Local Spirits and Magical Practices in Java.” Journal of Southeast Asian Studies.
Burgess, J., & Green, J. 2018. YouTube: Online Video and Participatory Culture. Polity Press.
Eiseman, F. B. 1990. Bali: Sekala and Niskala. Periplus.
Endraswara, S. 2018. Folklor Nusantara: Hakikat, Bentuk, dan Fungsi. Ombak.
Federici, S. 2004. Caliban and the Witch: Women, the Body and Primitive Accumulation. Autonomedia.
Heider, K. 1991. Indonesian Cinema: National Culture on Screen. University of Hawaii Press.
Heryanto, A. 2014. Identity and Pleasure: The Politics of Indonesian Screen Culture. NUS Press.
Kitley, P. 2000. Television, Nation, and Culture in Indonesia. Ohio University Press.
Koentjaraningrat. (1990). Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta.
Mulder, N. 2005. Mistisisme Jawa. LKiS.
Sweeney, A. 2006. Malay Magic and Ghost Narratives. Oxford University Press.
Wilkinson, R. J. 1959. A Malay–English Dictionary. Kelly & Walsh.
Wieringa, E. 1998. “Local Spirits and Magical Practices in Java.” Journal of Southeast Asian Studies.
