Film Siksa Kubur adalah adaptasi panjang dari film pendek milik Joko Anwar tahun 2012, “Grave Torture”. Kisah bermula dari keluarga sederhana: seorang ayah, ibu, dan dua anak — kakak beradik bernama Sita dan Adil — yang hidup tentram. Suatu hari, tragedi besar terjadi: bom bunuh diri mengguncang lingkungan mereka, dan orang tua Sita serta Adil menjadi korban. Peristiwa itu tidak hanya menghancurkan keluarga mereka tetapi juga merobek rasa aman dan keyakinan Sita seumur hidup.
Kematian orang tua akibat aksi ekstremis membuat Sita kehilangan kepercayaan pada agama, iman, dan segala ajaran spiritual. Trauma mendalam itu membuatnya meragukan konsep akhirat — khususnya, konsep “siksa kubur” (hukuman di alam kubur bagi jiwa manusia setelah mati). Perasaan pahit dan napas kebencian terhadap agama tumbuh di dalam dirinya.
Seiring berjalannya waktu, Sita tumbuh dewasa dengan trauma itu — ia tumbuh bukan sebagai korban pasif, tapi sebagai seseorang yang punya misi: membuktikan bahwa “siksa kubur” hanyalah mitos. Keyakinan ini bahkan membentuk tujuan hidupnya. Ia merasa bahwa jika bisa membuktikan bahwa orang paling berdosa sekalipun bisa mati tanpa merasakan siksaan dalam kubur, maka semua keyakinan pada hukuman akhirat selama ini salah.
Pencarian, Eksperimen, dan Misi Sita
Setelah dewasa — diperankan oleh aktris Faradina Mufti — Sita memulai pencarian obsesif. Ia mencari sosok manusia yang menurutnya “paling berdosa”, yang tidak pernah melakukan satu pun kebaikan dalam hidup — agar ketika orang itu meninggal, ia bisa memantau apakah “siksa kubur” benar-benar terjadi.
Sita bahkan rela mengambil langkah ekstrem: ide untuk masuk ke dalam kuburan bersama orang itu agar menjadi saksi langsung — sebuah konsep yang ekstrem, kontroversial, dan berbahaya.
Namun, pencarian ini bukanlah sesuatu yang mudah dan lurus. Dunia nyata dan orang-orang di sekitarnya bahkan terkadang menunjukkan bahwa “manusia paling jahat” sekalipun mungkin punya kebaikan kecil — seringkali tidak terlihat, tapi ada. Hal ini membuat Sita frustrasi, kebingungan, dan mempertanyakan tujuan hidupnya sendiri. Pada titik ini, film sudah mulai menggali konflik batin: antara logika, trauma, keraguan, serta pengingkaran terhadap spiritualitas.
Titik Balik: Supranatural, Ketakutan, dan Kekacauan Psikologis
Ketika Sita akhirnya menemukan seseorang yang dianggap memenuhi kriteria “manusia berdosa tanpa kebaikan” itu — sebuah pertemuan yang menandai titik balik — film berubah arah. Kisah yang semula tampak sebagai skeptisisme terhadap takhayul dan agama, mulai memasuki ranah horor psikologis dan spiritual.
Sita mulai mengalami hal-hal aneh: bisikan tak kasat mata, mimpi buruk yang berulang, bayangan gelap yang muncul secara misterius, dan pengalaman traumatis yang sulit dijelaskan dengan akal sehat. Rasa takut bukan lagi karena manusia lain — tetapi karena kekuatan yang mungkin di luar nalar. Atmosfer film menjadi kelam: penerapan visual dan efek horor dibuat tidak bergantung banyak pada CGI, melainkan efek praktis dan sinematografi yang menghantui, sehingga membuat penonton merasakan kecemasan nyata.
Hingga akhirnya, Sita mulai mempertanyakan semua hal: apakah penolakannya terhadap agama semata perlindungan dari trauma? Atau justru jalan yang membawanya menuju kehancuran? Konsep iman, dosa, dan kehidupan setelah mati yang pernah ia abaikan, kini mengejarnya dalam wujud paling menakutkan — tidak hanya sebagai dogma, tapi sebagai sesuatu yang terasa nyata, gelap, dan menghantui.
Klimaks, Konsekuensi dan Konflik Memuncak
Seiring cerita bergerak ke klimaks, film menggiring penonton ke dalam dilema moral dan eksistensial. Apa arti iman, keadilan, dan penebusan? Apakah manusia bisa benar-benar menghapus trauma dan dosa dengan penolakan? Ataukah mengakui realitas spiritual — dengan risiko ketakutan yang besar — adalah satu-satunya cara untuk berdamai dengan masa lalu?
Dalam klimaksnya, Sita dipaksa menghadapi konsekuensi dari pilihannya sendiri: pencarian manusia berdosa, eksperimen menghancurkan keyakinan, dan usaha membuktikan bahwa “siksa kubur” hanyalah takhayul — semua itu membawa luka, teror, dan keputusasaan. Ketegangan tak hanya dari luar (fenomena supranatural, tekanan psikologis), tapi juga dari dalam dirinya sendiri: rasa bersalah, rasa rindu, rasa takut, dan penyesalan.
Film menutup kisah ini tidak sekadar dengan horor visual, tetapi juga horor spiritual dan emosional — mengajak penonton merenungkan: apakah kekerasan dan tragedi bisa membentuk seseorang? Apakah penolakan total terhadap kepercayaan bisa menyembuhkan luka? Atau justru membuka pintu ke penderitaan yang lebih besar?
Tema & Pesan yang Diusung
Trauma dan Kehilangan: Film menunjukkan dampak mendalam dari tragedi (bom bunuh diri) dan bagaimana hal itu membentuk pandangan hidup seseorang.
Keraguan terhadap Iman & Keyakinan: Melalui karakter Sita, film mengeksplorasi pertanyaan: bisakah iman hilang gara-gara penderitaan? Apakah keyakinan hanyalah soal rasa aman, atau sesuatu yang lebih esensial?
Eksperimen Moral & Etika: Ide untuk “membuktikan kebenaran agama” lewat eksperimen terhadap manusia dianggap paling dosa menimbulkan dilema etis: apakah manusia bisa jadi objek percobaan moral?
Konsekuensi dari Keputusan: Film memperlihatkan bahwa pilihan ekstrem — bahkan yang berdasarkan logika dan kemarahan — bisa berujung pada penyesalan, kehancuran, dan teror batin.
Kengerian tanpa Hantu: Alih-alih sekadar mengandalkan monster atau sosok supranatural klise, film memakai horor psikologis dan spiritual — ketakutan terhadap hal-hal gaib, dosa, dan kehidupan setelah mati — yang terasa lebih “nyata” dan menghantui.
