Pada pertengahan abad ke-19, di sebuah desa kecil bernama Phra Khanong, hidup seorang pemuda lugu bernama Mak, anak petani sederhana yang sejak kecil terbiasa bekerja keras demi ibunya yang sedang sakit-sakitan. Mak bukanlah sosok pemberani; justru ia terkenal kikuk, mudah gugup, dan sering menjadi bahan ejekan para pemuda desa. Namun, di balik sifat polosnya, Mak menyimpan hati yang lembut dan rasa tanggung jawab yang besar terhadap orang-orang yang ia sayangi. Desa tempat tinggal mereka hidup dalam suasana penuh ketidakpastian: wabah penyakit datang silih berganti, perang di perbatasan semakin dekat, dan cerita-cerita tentang hantu lokal seringkali lebih dipercaya dibanding kabar pejabat kerajaan. Dalam suasana itulah kisah Mak bermula, jauh sebelum ia mengenal cinta yang kelak menghancurkan sekaligus membentuk dirinya.
Sejak muda, Mak sudah dikenal memiliki kesetiaan yang tak tergoyahkan kepada teman-temannya: Ter, Puak, Shin, dan Aey. Kelima pemuda ini tumbuh bersama, saling melindungi dari segala bentuk cemoohan dan bahaya, meski sering kali justru mereka sendiri yang menjerumuskan diri ke dalam masalah karena kejahilan dan keberanian yang salah tempat. Kelompok ini dijuluki oleh warga sebagai “Sekawan Bebal” karena kecenderungan mereka membuat keputusan impulsif. Meski begitu, di balik kelakuan mereka yang konyol, ada rasa kekeluargaan yang dalam. Mak memandang mereka sebagai saudara, terutama setelah ayahnya meninggal akibat demam tropis. Kehilangan tersebut meninggalkan bekas kuat di hati Mak, membuatnya sangat takut akan perpisahan. Ia lebih mudah kehilangan semangat dibanding amarah, lebih cepat merindukan dibanding melupakan. Dan rasa takut akan ditinggalkan itulah yang kelak membentuk tragedinya.
Suatu hari, Mak diperintahkan oleh seorang utusan kerajaan untuk bergabung dalam barisan milisi yang akan dikirim ke wilayah perbatasan. Perintah itu datang tiba-tiba dan tak dapat ditawar. Warga desa menyebut keputusan itu sebagai “kutukan takdir”, karena hampir semua pemuda yang pernah berangkat jarang kembali dalam keadaan utuh, bahkan sebagian hilang tanpa kabar. Mak terkejut dan hampir tak mampu berkata apa pun ketika mendengarnya. Sementara teman-temannya panik, sebagian lain mencoba mencari cara agar Mak bisa dibebaskan. Namun, panggilan kerajaan adalah perintah yang harus ditaati. Dengan berat hati, Mak memutuskan berangkat, meninggalkan ibunya yang sakit dan teman-temannya yang tak tega melepasnya. Saat hari keberangkatan tiba, Mak tak menyangka bahwa keputusan yang lebih berat menunggunya: ia bertemu dengan Nak, seorang perempuan desa berwajah lembut yang tengah menjemur pakaian di tepi sungai. Pertemuan singkat itu meninggalkan kesan mendalam di hati Mak, tetapi ia tak berani mengatakannya kepada siapa pun, bahkan kepada Nak sendiri.
Di medan perang, Mak mengalami berbagai peristiwa yang mengubah hidupnya. Perang bukan hanya ujian keberanian, tetapi juga ujian kemanusiaan. Ia sering kali melihat teman seperjuangannya gugur satu per satu, korban kejamnya peluru musket, sabetan pedang, dan kekacauan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Setiap malam, Mak dihantui suara jeritan dan tangisan. Namun, dari segala penderitaan itu, muncul persahabatan baru. Mak bertemu prajurit lain yang membantu memupuk rasa percaya dirinya, memaksanya tumbuh menjadi lebih berani, meski ketakutannya tak sepenuhnya hilang. Cedera parah menimpanya menjelang akhir pertempuran besar, tetapi ia berhasil bertahan hidup. Pada masa pemulihan, satu-satunya hal yang membuat Mak bangkit adalah keinginan untuk pulang kembali ke desanya, kembali ke ibunya, dan kembali kepada Nak, perempuan yang bahkan belum sempat ia sapa dengan benar.
Setelah perang usai, Mak pulang ke Phra Khanong dengan kondisi tubuh yang masih belum pulih. Ia disambut kehangatan yang telah lama ia rindukan: teman-temannya memeluknya sambil menangis, ibu-ibu desa memasakkan makanan kesukaan masa kecilnya, dan suasana desa terasa jauh lebih damai dibanding ketika ia pergi. Tetapi yang paling menyentuh adalah pertemuannya dengan Nak. Berbeda dengan bayangannya yang malu-malu, Nak langsung menyambut Mak dengan senyum lembut, seolah menunggu kedatangannya selama ini. Hubungan keduanya berkembang cepat, hangat, dan tulus. Dalam waktu singkat, mereka menikah, tinggal di sebuah rumah kecil dekat sungai, dan menantikan kelahiran anak pertama mereka. Masa-masa inilah yang disebut Mak sebagai “bahagia yang sebenarnya”, meski ia tak menyadari bahwa kebahagiaan itu berdiri di atas fondasi rapuh: rahasia besar yang tak satu pun orang desa berani mengatakannya.
Beberapa minggu setelah Mak kembali, desas-desus mulai muncul. Orang-orang desa kerap melihat penampakan aneh di sekitar rumah Mak berupa bayangan perempuan mengambang, suara tangis yang terdengar meski rumah tampak gelap, atau sosok Nak yang terlihat di dua tempat berbeda dalam waktu yang bersamaan. Ketika seorang dukun lewat desa dan menatap rumah Mak dengan ngeri, barulah rumor itu meledak: Nak telah meninggal saat melahirkan, begitu pula bayinya. Tetapi cinta Mak yang buta dan keyakinannya yang dalam terhadap Nak membuatnya menolak semua cerita itu. Baginya, Nak yang ada di rumahnya adalah nyata (hangat, penuh kasih, dan begitu manusiawi). Bahkan ketika teman-temannya mulai menemukan tanda-tanda mengerikan, Mak tetap menolak percaya. “Nak adalah hidupku,” katanya kepada Ter dan Puak. “Aku tidak peduli apa pun yang kalian dengar.”
Ketika kebenaran akhirnya terungkap, semuanya terjadi terlalu cepat. Desa dilanda ketakutan, para tetua mencoba melakukan ritual pengusiran, dan teman-teman Mak berusaha menyadarkannya bahwa istrinya bukan lagi manusia. Namun cinta Mak begitu kuat hingga ia rela menghadapi kebenaran paling pahit. Ia memohon pada Nak untuk mengizinkannya pergi, berjanji bahwa cintanya tak akan padam sekalipun mereka tak lagi berada di dunia yang sama. Adegan itu menjadi titik emosional terbesar dalam film: perpisahan antara cinta dan kematian, antara realitas dan rasa kehilangan yang tak bisa disembuhkan.
Kang Mak sebagai film prekuel berakhir tepat sebelum awal cerita Pee Mak dimulai dengan Mak dan keempat sahabatnya duduk di perahu kecil, berangkat dari desa penuh trauma dan rahasia. Mak menatap kembali ke arah rumah yang dipenuhi kenangan, sementara Nak terlihat berdiri di kejauhan, wajahnya sendu namun penuh cinta. Sinema menutup adegan ini dengan nada tragis sekaligus humoris, menggambarkan bagaimana perjalanan Mak yang penuh luka justru melahirkan kisah cinta-horor-komedi yang kelak dikenal seluruh negeri.
Foto: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/c/ce/Poster_Kang_Mak.jpg
