Di sebuah
biara Buddha di wilayah pedesaan Thailand yang tenang,
John Rambo mencoba membangun kembali hidupnya setelah serangkaian pertempuran yang meninggalkan luka fisik dan psikologis mendalam. Ia bekerja membantu para biksu, memotong kayu, menyusun batu bata, dan menghindari konflik apa pun. Di balik keheningan yang ingin ia raih, masih ada badai masa lalu yang tidak pernah benar-benar hilang. Hanya satu orang dari dunia lamanya yang masih memiliki akses ke dirinya:
Kolonel Sam Trautman, mentornya, figur ayahnya, dan mungkin satu-satunya sahabat yang benar-benar ia percaya.
Suatu hari, Trautman datang bersama seorang pejabat Amerika Serikat untuk meminta bantuan Rambo dalam sebuah misi rahasia.
Uni Soviet tengah melancarkan agresi brutal di
Afghanistan, dan Amerika hendak memperkuat kelompok perlawanan lokal,
Mujahidin, melalui operasi diam-diam. Trautman diminta memimpin misi tersebut. Ia ingin Rambo ikut sebagai tenaga ahli, karena tidak ada prajurit lain yang memiliki kemampuan bertempur dan bertahan hidup sepertinya. Namun Rambo menolak. Ia lelah menjadi alat perang. “I came here to find peace,” ujarnya. Trautman menerimanya, meski dengan kecewa, dan berangkat menjalankan misi bersama timnya.
Namun misi itu berubah menjadi bencana. Pasukan Soviet yang dipimpin
Kolonel Alexei Zaysen, seorang komandan dingin dan ambisius, menjebak rombongan Trautman. Seluruh tim dibunuh, dan Trautman ditangkap hidup-hidup untuk dijadikan alat tawar sekaligus contoh bagi perlawanan lokal. Ia dibawa ke sebuah benteng besar di jantung padang pasir Afghanistan, tempat Soviet menyiksa para tahanan dan merencanakan operasi militer mereka.
Ketika kabar penangkapan itu sampai pada Rambo melalui
Mousa Ghani, seorang penyelundup senjata yang mengenalnya, Rambo tampak terguncang. Ia tidak menunjukkan emosi secara terbuka, tetapi diamnya berbicara banyak. Pemerintah Amerika tidak berniat melakukan penyelamatan karena operasi itu tidak pernah resmi. “He’s on his own,” kata diplomat tersebut, menegaskan bahwa Trautman telah ditinggalkan oleh negaranya. Di titik itulah Rambo mengambil keputusan yang hanya didorong oleh satu hal: loyalitas tanpa syarat kepada sosok yang telah menyelamatkan hidupnya berkali-kali.
Dengan menggunakan jaringan penyelundup, Rambo memasuki Afghanistan secara ilegal. Ia melihat negeri yang hancur akibat invasi: desa-desa yang terbakar, anak-anak tanpa rumah, dan masyarakat yang telah terbiasa hidup dalam penderitaan. Mousa memperkenalkannya kepada para pejuang Mujahidin, termasuk
Masoud, seorang pemimpin lokal yang bijaksana tetapi berhati-hati. Awalnya Masoud menolak membantu Rambo secara langsung karena merasa misinya nekat dan tidak realistis. Namun sikap pantang menyerah Rambo, ditambah keterampilannya yang mengundang rasa hormat, membuat Masoud berjanji untuk membantunya semampu mereka.
Rambo ikut tinggal di kamp Mujahidin. Ia membaur dengan para keluarga yang tinggal di lembah terjal, bahkan sempat bermain bersama anak-anak, terutama seorang bocah yang mengaguminya. Adegan-adegan kecil ini memperlihatkan sisi manusiawi Rambo yang selama ini tertutup oleh citra prajurit kejam. Namun kedamaian sesaat itu segera berakhir ketika helikopter Soviet menyerang kamp tersebut secara mendadak, membakar tenda, menembak warga sipil, dan memporak-porandakan lembah. Rambo terlibat dalam pertempuran sengit untuk membantu warga melarikan diri, sekaligus menyadari betapa kuat dan brutalnya kekuatan yang harus ia hadapi.
Dengan informasi yang diberikan Masoud, Rambo melakukan misi penyusupan malam hari ke benteng Soviet. Bersama beberapa pejuang, ia masuk melalui jurang terjal dan memanfaatkan gelapnya malam. Di dalam benteng, ia melihat kondisi tragis para tahanan: disiksa, kelaparan, dipaksa bekerja. Namun rencana penyelamatan itu gagal ketika mereka terdeteksi. Banyak pejuang Mujahidin gugur, Rambo terluka, dan Trautman tetap ditahan. Rambo yang dipaksa mundur bertekad kembali, meski harus masuk sendirian.
Dalam salah satu bagian paling ikonik film ini, Rambo memasuki benteng melalui sistem gua bawah tanah yang digunakan tahanan untuk pelarian. Gua tersebut gelap, sempit, dan diisi jebakan Soviet. Namun kecakapan bertahan hidup Rambo melampaui logika manusia biasa; ia menghindari ranjau, melawan penjaga, dan menyelinap hingga ke ruang penyiksaan. Di sana ia akhirnya bertemu Trautman, yang meski disiksa habis-habisan tetap mempertahankan ketegarannya.
Setelah melepaskan Trautman, mereka berdua melarikan diri dari benteng, tetapi pengejaran besar terjadi. Mereka berusaha bertahan hidup di padang pasir yang keras, melawan pasukan Soviet bersenjata lengkap. Di salah satu momen paling terkenal, Rambo menggunakan mesiu untuk membakar dan menutup lukanya sendiri sebelum melanjutkan pertempuran, menunjukkan ketangguhan ekstrem yang menjadi legenda dirinya.
Ketika tampak mustahil untuk menang, para pejuang Mujahidin kembali membantu Rambo dan Trautman, meski mereka tahu bahwa konfrontasi ini sangat berisiko. Pertempuran besar pun meledak di padang pasir: kuda melawan tank, pejuang suku melawan teknologi militer modern. Zaysen memimpin helikopter tempurnya sendiri dalam pertempuran final, memburu Rambo hingga ke lembah terbuka.
Dalam klimaks yang penuh adrenalin, Rambo mengendarai
tank T-55 dan melaju lurus ke arah helikopter Zaysen dalam aksi tabrakan frontal yang spektakuler. Benturan itu menghancurkan helikopter dan membunuh Zaysen, sekaligus mengakhiri pengejaran tanpa akhir tersebut. Pasukan Soviet yang tersisa mundur, meninggalkan kemenangan simbolik bagi para pejuang Afghanistan.
Setelah pertempuran, Rambo dan Trautman berdiri mengamati medan perang yang hening, kini hanya dipenuhi debu dan bangkai kendaraan militer. Trautman memohon agar Rambo kembali bersamanya, kembali ke Amerika, atau setidaknya mencari kehidupan normal. Namun Rambo tahu bahwa dirinya bukan bagian dari dunia itu lagi. Ia berkata pelan, “I guess I’ll go where the wind takes me.” Film berakhir ketika mereka berjalan menyusuri padang pasir, dua prajurit tua yang telah bertahan dalam perang demi perang, sambil menatap masa depan yang tak pasti tetapi tetap penuh kemungkinan. Dalam kesunyian itu, tampak jelas bahwa meski perang tidak pernah benar-benar berakhir untuk Rambo, ia masih mencari arti dan tempat bagi dirinya—entah di dunia ini, atau dalam hati yang tak pernah berhenti terluka.