Keramat Solear

(Cerita Rakyat Daerah Tangerang, Banten)

Keramat Solear berada dalam kawasan hutan lindung seluar 4,5 hektar di Kampung Solear, Desa Cikasungka, Kecamatan Cisoka, Kabupaten Tengerang. Di lokasi ini terdapat beberapa makam yang dikeramatkan, terutama makam Syekh Mas Masa’ad bin Hawa yang berada di bawah sebuah pohon tua dikelilingi tembok dan pendopo.

Syekh Mas Masa’ad adalah penglima Kesultanan Banten yang diutus menyebarkan ajaran Islam di wilayah yang saat ini bernama Solear. Walau berstatus sebagai ulama dia datang dalam kawalan ratusan tentara Kesultanan Banten. Mereka berencana bergotong-royong akan mendirikan sebuah pesantren guna dijadikan pusat pendidikan dan penyebaran Islam.

Namun, rencana itu tidak berjalan lancar. Ada jawara setempat yang tidak berkenan masuknya paham baru di wilayahnya. Dia bernama Pangeran Jaya Perkasa alias Mas Laeng, seorang patih dari Kerajaan Pajajaran. Sang Pangeran lantas menantang Syakeh Mas Masa’ad mengadu kesaktian.

Dibantu oleh Ki Seteng Sang Pangeran bertanding melawan Syekh Mas Masa’ad. Namun, karena ketiganya sangat sakti mandraguna, maka tidak ada seorang pun yang kalah. Mereka akhirnya memutuskan untuk berdamai yang dikemudian hari menjadi asal usul nama “Tigaraksa” atau tiga orang yang memelihara perdamaian dan Syekh Mas Masa’ad dapat membangun pesantren dengan aman tanpa gangguan.

Beliau kemudian menjadi pensiar agama di Tigaraksa hingga akhir hayat dan dimakamkan di bawah pohon kedoya besar dalam lingkungan pesantren. Lambat laun makam itu mulai dikeramatkan dan diziarahi banyak orang, khususnya saat memasuki tahun baru Islam. Para peziarah datang dari berbagai daerah, mulai dari Cirebon, Kuningan, Jombang, Kudus, hingga Lampung.

Sebagai catatan, di area makam banyak terdapat monyet ekor panjang yang dipercaya sebagai murid Syeik Mas masa’ad. Mereka terbagi dalam tiga kawanan yang dipimpin oleh seekor kera gaib raksasa. Para monyet tadi dianggap dapat menirukan tabiat-tabiat buruk dari para peziarah. Misalnya, ada yang berhubungan intim sebelum berziarah, maka pelaku akan melihat ada monyet yang sedang kawin. Begitu pula bila peziarah memberi makan dari hasil tidak halal maka para monyet tidak akan memakannya.

Diceritakan kembali oleh gufron

Macan, Kerbau, dan Petani

(Cerita Rakyat Daerah Tangerang, Banten)

Alkisah, ada dua ekor binatang sedang berdialog di pinggir hutan yang berbatasan langsung dengan lahan pertanian tanah kering milik warga. Mereka adalah kerbau dan macan yang sedang memperbincangkan perihal manusia.

“Eh Kebo, badan lu gede tapi kok takut ama manusia?” tanya Macan.

“Iya lah. Manusia tu banyak akalnya,” jawab Kerbau singkat.

“Emang lu berani ma manusia?” Kerbau balik bertanya.

“Berani. Emangnya lu penakut. Dicucuk hidung aja kagak ngelawan malah nurut,” jawab Macan ketus.

“Kan tadi gua udah bilang, manusia tu banyak akalnya. Kagak mungkin gua bisa ngelawan. Jadi ya…nurut aja biar aman. Dah gitu gua dikasih makan kenyang lagi,” jawab Kerbau panjang lebar.

“Eh, Macan. Kalo elu beneran berani berantem gih ama manusia,” tantang Kerbau.

“Ayo kita cari manusia. Bakal gua ajak berantem kalo ketemu,” jawab Macam panas.

Sejurus kemudian Macan dan Kerbau pun berjalan keluar hutan menuju areal peladangan. Di sana mereka bertemu dengan seorang laki-laki muda bertubuh kekar yang sedang menyiangi tanaman ladang.

Tanpa basa-basi lagi Macan mendatangi Sang Petani dan langsung menggertaknya, “He Manusia, lu berani ama gua?”

Walau kaget ada yang tiba-tiba menggertaknya, Si Petani tak gentar menjawab singkat, “Berani.”

“Kalo gitu ayo kita berantem,” jawab Macan sambil memposisikan tubuh hendak menyerang.

“Bentar tunggu dulu,” jawab Si Petani. “Elu punya cakar gua kagak. Gua ambil perkakas dulu biar seimbang,” lanjutnya.

“Gih ambil sono,” jawab Macan tidak sabar.

“Kalo gua pulang nanti lu kabur lagi?” tanya Si Petani bersiasat.

“Ya kagak. Kalo kabur tandanya gua takut ama lu,” jawab Macam kesal.

“Ya udah. Biar kagak kabur, gimana kalo lu gua iket dulu di pohon gede tu?” tanya Si Petani bersiasat.

“Boleh,” jawab Macan sambil mendekatkan lehernya pada Si Petani untuk diikatkan pada sebatang pohon besar.

Singkat cerita, usai diikat sangat kuat Si Petani mengambil perkakas berupa sebatang kayu besar lalu memukulkannya berkali-kali hingga Macan tak berdaya. Macan akhirnya sadar bahwa perkataan kerbau benar adanya. Walau berukuran relatif kecil dan tampak tak berdaya manusia ternyata dibekali akal guna mengatasi keterbatasan fisiknya.

 Diceritakan kembali oleh ali gufron 

Ki Rebo

(Cerita Rakyat Daerah Tangerang, Banten)

Alkisah, pada zaman penjajahan Belanda di sebuah dusun di Distrik Paroong atau Pemulang ada seorang tokoh masyarakat yang sangat disegani. Konon dia adalah salah seorang pembesar dari Kerajaan Banten yang datang ke Pemulang dengan suatu misi khusus. Masyarakat setempat memanggilnya sebagai Ki Rebo.

Bagi masyarakat Pemulang Ki Rebo dianggap sebagai jawara tangguh yang sakti mandraguna. Banyak perampok alias begal atau centeng-centeng bayaran tuan tanah yang takluk bila berhadapan dengannya. Para perampok yang ditaklukkan oleh Ki Rebo umumnya beroperasi di sepanjang jalan dari Batavia menuju Gunung Salak.

Berkat kesaktian inilah namanya menjadi sangat tenar sehingga Regent Paroong mengangkatnya menjadi Bek Kampung Pemulang. Adapun tugasnya adalah sebagai penarik pajak masyarakat yang nantinya akan diserahkan kepada pemerintah.

Dalam menjalankan tugas, Ki Rebo tidak berlaku sama seperti bek-bek kampung lain di sekitar Batavia yang sering menggunakan pendekatan represif kepada masyarakat. Ki Rebo lebih memilih jalan persuasif dan berlaku arif bijaksana. Dia hanya menarik pajak berupa uang pada tanah-tanah partikelir dan masyarakat kaya yang memiliki lahan sangat luas. Sementara rakyat kecil hanya diwajibkan menyetor sebagian dari hasil bumi yang mereka hasilkan.

Begitu seterusnya hingga Ki Rebo menjadi gusar sendiri tatkala melihat pajak hasil bumi yang ditimbun di lumbung depan rumahnya semakin menipis setiap hari. Dia curiga ada seseorang atau sekawanan orang yang secara diam-diam menjarah hasil bumi tersebut. Mereka kemungkinan datang malam hari ketika dirinya sedang tertidur lelap.

Untuk mengobati rasa penasarannya, Ki Rebo memutuskan melakukan pengintaian di malam hari. Dan benar saja, tepat tengah malam dia mendengar ada langkah-langkah kaki menuju lumbung. Ternyata ada dua orang sedang mengendap-endap mencari lubang di sisi lumbung. Mereka mengenakan topeng dari kain sarung sehingga yang terlihat hanya bagian matanya saja. Tindak pencurian ini hanya disaksikan dan dibiarkan saja oleh Ki Rebo.

Esok harinya Ki Rebo baru beraksi dengan membawa air dalam ember kemudian memantrainya. Selanjutnya air yang telah dimantrai dipercikkan di hampir setiap dinding lumbung. Tujuannya adalah agar hasil bumi di dalam lumbung terlindung dari mara bahaya dan hal-hal yang tidak diinginkan.

Ketika malam tiba, kedua orang pencuri kembali melakukan aksinya. Secara mengendap-endap mereka menuju lubung mencari padi yang masih tersisa. Kondisi ini dibiarkan saja oleh Ki Rebo. Dia malah beranjak ke peraduan hingga menjelang subuh seakan tidak peduli kalau padi di lumbung akan semakin menipis.

Ajaibnya, saat karung yang dibawa telah penuh terisi padi mereka tidak dapat keluar dari lumbung. Dalam pandangan kedua pencuri itu pada bagian luar lumbung telah dikepung air yang luas menyerupai sebuah danau. Tidak ada jalan keluar selain berenang menuju tepian yang entah di mana letaknya.

Tetapi karena keadaan air yang semakin naik mereka akhirnya memutuskan juga untuk berenang. Hasil curian berupa dua karung padi ditinggalkan begitu saja. Mereka melompat dari pintu lumbung menuju daratan yang dalam pandangan sudah tidak terlihat lagi.

Namun, setelah sekian lama berenang belum juga sampai ke tepian. Tenaga pun sudah terkuras dan hanya menyisakan sedikit untuk dapat tetap terapung di air. Dan ketika keduanya merasa sudah hampir tenggelam tiba-tiba tepukan tangan Ki Rebo menyadarkannya.

Keduanya seakan linglung dan tidak tahu harus berbuat apa. Air yang sangat luas dan seakan tidak bertepi tiba-tiba hilang dari pandangan. Mereka hanya berada tidak jauh dari pintu lumbung yang tadi malam seakan mulai tergenang dan akan tenggelam.

Sadar bahwa hal itu hanyalah ilusi buatan oleh Ki Rebo, mereka kemudian bersujud dan memohon ampun dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya lagi. Keduanya tidak berani berdiri sebelum Ki Rebo menepuk pundak dan memerintahkan masuk ke dalam rumah untuk disuguhi kopi dan singkong rebus sarapan pagi.

Sambil menikmati gurihnya singkong dan menyeruput kopi manis Ki Rebo membuka pembicaraan dengan menanyakan maksud keduanya mencuri padi di lumbung. Padahal mereka juga tahu kalau lumbung merupakan bagian dari persediaan warga apabila suatu saat dilanda paceklik.

Salah seorang di antaranya menjawab bahwa penarikan pajak oleh Belanda di wilayah kampung mereka terlampau tinggi. Selain itu, kerja paksa bagi yang tidak dapat membayar pajak mengakibatkan banyak orang terserang penyakit. Akibatnya banyak di antara mereka mati baik karena kelaparan maupun penyakit. Oleh karena itu, mereka terpaksa mencuri agar dapat menyambung hidup.

Pengakuan pencuri tadi membuat hati Ki Rebo menjadi iba. Dia lalu mempersilahkan keduanya menuju dapur dan diperkenankan mengambil hasil bumi yang mereka butuhkan berupa tujuh ikat padi yang berada di bagian atas tungku dapur. Ki Rebo berpesan bahwa tujuh ikat padi tersebut dibagikan kepada warga yang kelaparan, sedangkan sisanya boleh mereka bawa pulang ke rumah.

Usai menerima padi pemberian Ki Rebo mereka kemudian pamit kembali ke rumah. Dan, sejak saat itu mereka bertobat tidak pernah mencuri lagi.
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Pijat Susu

Archive