Masjid Jami Kalipasir merupakan masjid tertua di Kota Tangerang yang menjadi saksi sejarah perkembangan Islam di Banten. Masjid yang telah berusia sekitar 446 tahun ini (berdiri tahun 1576) berada di Kelurahan Sukasari, Kecamatan Tangerang, Kota Tangerang.
Sedikitnya ada dua versi mengenai asal usul bangunan Masjid Jami Kalipasir. Versi pertama mengatakan bahwa seorang penyebar agama Islam bernama Ki Tengger Jati dari Kerajaan Galuh Kawali yang pertama mendirikan bangunan berupa gubuk menggunakan empat batang pohon kelapa sebagai soko gurunya sekitar tahun 1416. Baru lebih dari seratus tahun kemudian, sekitar tahun 1576, para ulama Demak menyinggahinya. Waktu itu dilakukan perluasan pada bangunan yang berada di tepi Sungai Cipamungkas (Cisadane).
Sedangkan versi lainnya mengatakan bahwa masjid dibangun oleh Ki Tengger Jati tahun 1412 saat dalam perjalanan menuju daerah Girang (Banten/Wahanten Girang). Adapun tujuannya adalah untuk mensyiarkan ajaran Islam ke daerah Banten melalui Sungai Cipamungkas. Oleh karena animo masyarakat sangatlah besar, tahun 1576 bangunan direnovasi agar dapat memuat jemaat lebih banyak lagi.
Saat ini Masjid Jami Kalipasir telah ditetapkan pemerintah sebagai sebuah bangunan cagar budaya. Di dalam masjid yang menghadap ke arah barat ini masih ada bangunan awal (asli), di antaranya: (1) empat buah pilar kokoh yang salah satunya merupakan pemberian dari Sunan Kalijaga, salah satu ulama Wali Songo. Konon, pemberian pilar ini adalah sebagai bentuk apresiasi Sunan Kalijaga terhadap kegiatan dakwah di Banten; (2) baluarti atau kubah pemberian Kesultanan Banten era Sultan Ageng Tirtayasa. Baluarti tersebut merupakan hadiah dari Sultan Abdul Ma’ali Ahmad, ayahanda Sultan Ageng Tirtayasa yang diberikan pada sekitar tahun 1680; (3) sebelas buah kolom membentuk lengkungan mirip ladam kuda yang berada di sisi selatan (lima buah) dan sisi timur (enam buah); (4) menara berbentuk mirip pagoda dengan ketinggian mencapai sepuluh meter; dan (5) tanah berwarna hitam yang disebut sebagai pasir karba. Pasir ini dibawa oleh ulama Timur Tengah dari daerah Irak sekitar tahun 1555. Pasri karba ditebar saat pembangunan masjid sedang berlangsung dengan tujuan sebagai pemersatu alim ulama dan masyarakat di wilayah Tangerang Banten.
Dan, sebagaimana masjid-masjid besar pada umumnya, di bagian belakang Masjid Jami Kalipasir ada komplek makam para ulama dan pembesar Tangerang serta Banten. Orang-orang yang dimakamkan di sana adalah: Nyi Ratu Muria (istri Sultan Ageng Tirtayasa); Raden Akhyar Pena (Bupati Tangerang tahun 1740); Tumenggung Arya Romadhon (pengurus masjid); Aria Tumenggung Sutadilaga (pengurus masjid tahun 1823); Hj Murtafiah (sepupu Imam Masjidil Haram Syekh Nawawi Al Bantani); dan para keturunan Kerajaan Pajajaran serta Sumedang Larang. (ali gufron)
Sedikitnya ada dua versi mengenai asal usul bangunan Masjid Jami Kalipasir. Versi pertama mengatakan bahwa seorang penyebar agama Islam bernama Ki Tengger Jati dari Kerajaan Galuh Kawali yang pertama mendirikan bangunan berupa gubuk menggunakan empat batang pohon kelapa sebagai soko gurunya sekitar tahun 1416. Baru lebih dari seratus tahun kemudian, sekitar tahun 1576, para ulama Demak menyinggahinya. Waktu itu dilakukan perluasan pada bangunan yang berada di tepi Sungai Cipamungkas (Cisadane).
Sedangkan versi lainnya mengatakan bahwa masjid dibangun oleh Ki Tengger Jati tahun 1412 saat dalam perjalanan menuju daerah Girang (Banten/Wahanten Girang). Adapun tujuannya adalah untuk mensyiarkan ajaran Islam ke daerah Banten melalui Sungai Cipamungkas. Oleh karena animo masyarakat sangatlah besar, tahun 1576 bangunan direnovasi agar dapat memuat jemaat lebih banyak lagi.
Saat ini Masjid Jami Kalipasir telah ditetapkan pemerintah sebagai sebuah bangunan cagar budaya. Di dalam masjid yang menghadap ke arah barat ini masih ada bangunan awal (asli), di antaranya: (1) empat buah pilar kokoh yang salah satunya merupakan pemberian dari Sunan Kalijaga, salah satu ulama Wali Songo. Konon, pemberian pilar ini adalah sebagai bentuk apresiasi Sunan Kalijaga terhadap kegiatan dakwah di Banten; (2) baluarti atau kubah pemberian Kesultanan Banten era Sultan Ageng Tirtayasa. Baluarti tersebut merupakan hadiah dari Sultan Abdul Ma’ali Ahmad, ayahanda Sultan Ageng Tirtayasa yang diberikan pada sekitar tahun 1680; (3) sebelas buah kolom membentuk lengkungan mirip ladam kuda yang berada di sisi selatan (lima buah) dan sisi timur (enam buah); (4) menara berbentuk mirip pagoda dengan ketinggian mencapai sepuluh meter; dan (5) tanah berwarna hitam yang disebut sebagai pasir karba. Pasir ini dibawa oleh ulama Timur Tengah dari daerah Irak sekitar tahun 1555. Pasri karba ditebar saat pembangunan masjid sedang berlangsung dengan tujuan sebagai pemersatu alim ulama dan masyarakat di wilayah Tangerang Banten.
Dan, sebagaimana masjid-masjid besar pada umumnya, di bagian belakang Masjid Jami Kalipasir ada komplek makam para ulama dan pembesar Tangerang serta Banten. Orang-orang yang dimakamkan di sana adalah: Nyi Ratu Muria (istri Sultan Ageng Tirtayasa); Raden Akhyar Pena (Bupati Tangerang tahun 1740); Tumenggung Arya Romadhon (pengurus masjid); Aria Tumenggung Sutadilaga (pengurus masjid tahun 1823); Hj Murtafiah (sepupu Imam Masjidil Haram Syekh Nawawi Al Bantani); dan para keturunan Kerajaan Pajajaran serta Sumedang Larang. (ali gufron)