Museum Multatuli berada di Jalan Alun-alun Timur No.8, Rangkasbitung Barat, Lebak, Banten. Museum yang menempati bangunan bekas Kewedanaan Rangkasbitung (rumah kediaman Wedana Lebak yang dibangun tahun 1920-an) ini mengusung nama Multatuli sebagai ikonnya. Multatuli sendiri adalah nama pena seorang meneer Belanda Eduard Douwes Dekker. Dia pernah bermukim di daerah Rangkasbitung sebagai asisten residen Lebak dari Januari hingga Maret 1856.
Selama di Rangkasbitung dia menulis sebuah novel berjudul Max Havelaar karena terinspirasi kehidupan penduduk setempat yang berada di bawah tekanan kolonialisme Hindia Belanda. Setelah diterbitkan pada 1860 rupanya Max Havelaar membuka mata dunia tentang kolonialisme yang berujung pada lahirnya Politik Etis atau Politik Balas Budi pemerintah Hindia Belanda terhadap bangsa-bangsa jajahannya.
Kejeniusan Multatuli hingga novel Max Havelaar dapat membuka mata dunia inilah yang membuat pemerintah Kabupaten Lebak memutuskan untuk mengabadikannya sebagai museum. Adapun tujuannya, antara lain adalah: (1) momentum kebangkitan masyarakat Banten dari ketertinggalan terutama dalam bidang infrastruktur; (2) menumbuhkan dan meningkatkan semangat baca masyarakat; (3) mendorong arus wisatawan ke Rangkasbitung; (4) sebagai pusat informasi tentang Rangkasbitung, Lebak, serta Banten; dan (5) menjadi museum antikolonialisme pertama di Indonesia.
Bangunan Museum
Museum Multatuli menempati lahan seluas 1.842 meter persegi. Pada bagian depan, sejak September 2021 dibuat sebuah instalasi temporer bubu raksasa (alat penangkap ikan) terbuat dari anyaman bambu sebagai gerbang masuk. Di belakang bubu ada monumen berupa patung Multatuli dan dua karakter dari novel Max Havelaar yaitu Adinda dan Saidjah. Sementara di sisi kiri bubu ada pendopo besar seluas 222 meter persegi yang dapat dijadikan sebagai tempat berkumpul, menyelenggarakan seminar, bedah buku, pemutaran film, hingga workshop. Sedangkan bangunan utamanya yang berbentuk huruf “T” seluas 230 meter persegi berada di belakang pendopo. Selain bangunan utama ada pula bangunan penunjang seluas 77 meter persegi.
Bangunan museum mulai difungsikan setelah diresmikan pada 11 Februari 2018 oleh Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid dan Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya. Adapun kepemilikannya dipegang oleh Pemerintah Kabupaten Lebak yang diserahkan pengelolaannya kepada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Lebak.
Koleksi Museum
Sebagaimana museum pada umumnya, museum Multatuli juga menyimpan berbagai macam koleksi untuk dipamerkan. Koleksi Museum Multatuli dibagi menjadi empat tema khusus, yaitu: (1) sejarah awal penjajahan dan kolonialisme di Indonesia; (2) sosok tokoh Multatuli dan novelnya Max Havelaar; (3) sejarah Banten dan Lebak; dan (4) sejarah Rangkasbitung.
Keempat tema tersebut dijabarkan menjadi tujuh buah ruang pamer, yaitu: (1) ruang selamat datang. Berisi mozaik wajah Multatuli yang terbuat dari potongan akrilik, wajah Multatuli, serta kutipan kata-katanya “Tugas Manusia adalah Menjadi Manusia”; (2) ruang kolonialisme. Berisi kedatangan Belanda ke Nusantara terutama Banten, beberapa replika, dan video pendek kedatangan kolonialisme; (3) ruang tanam paksa. Berisi display interaktif yang menceritakan masa tanam paksa; (4) ruang Multatuli. Berisi video pendek tentang Multatuli dan edisi asli novel Max Havelaar berbahasa Perancis cetakan pertama tahun 1868 yang didatangkan dari negeri Belanda; (5) ruang Banten. Berisi informasi tentang pergerakan-pergerakan rakyat Banten ketika melawan penjajah; (6) ruang Lebak. Berisi sejarah Lebak berdasarkan timeline yang dilengkapi dengan video; dan (7) ruang Rangkasbitung yang merupakan ruang temporer sekaligus pintu keluar museum.
Adapun koleksi pamer di ketujuh ruangan tersebut antara lain: ubin bekas tempat tinggal Multatuli, litografi Multatuli, peta Rangkasbitung abad ke-20, patung-patung karya Dolorosa Sinaga, kumpulan foto sejarah Kabupaten Lebak, surat Eduard Douwes Dekker untuk Raja Willem III, surat Soekarno kepada Samuel Koperberg, keramik kuno berukuran 20x20 centimeter (ditemukan tahun 1970 oleh Letkol Ucup) yang pernah dijadikan sebagai dinding kamar mandi rumah Multatuli, video singkat tentang tokoh-tokoh sejarah di Rangkasbitung, rekaman suara WS Rendra ketika membacakan sajak “Demi Orang-orang Rangkasbitung”.
Bagaimana, Anda berminat menyaksikan tinggalan Multatuli di Banten? Apabila ingin berkunjung, museum ini dibuka secara umum dari hari Selasa-Minggu (kecuali hari Senin dan hari besar nasional) dengan perincian: Selasa-Jumat pukul 08.00-16.00 WIB dan Sabtu-Minggu pukul 09.00-16.00 WIB. Untuk menjelajahinya tidak dikenai tiket masuk. Pengunjung hanya perlu mengisi buku tamu dan selama masa pandemi diwajibkan memakai masker serta menunjukkan akun aplikasi PeduliLindungi. (ali gufron)
Selama di Rangkasbitung dia menulis sebuah novel berjudul Max Havelaar karena terinspirasi kehidupan penduduk setempat yang berada di bawah tekanan kolonialisme Hindia Belanda. Setelah diterbitkan pada 1860 rupanya Max Havelaar membuka mata dunia tentang kolonialisme yang berujung pada lahirnya Politik Etis atau Politik Balas Budi pemerintah Hindia Belanda terhadap bangsa-bangsa jajahannya.
Kejeniusan Multatuli hingga novel Max Havelaar dapat membuka mata dunia inilah yang membuat pemerintah Kabupaten Lebak memutuskan untuk mengabadikannya sebagai museum. Adapun tujuannya, antara lain adalah: (1) momentum kebangkitan masyarakat Banten dari ketertinggalan terutama dalam bidang infrastruktur; (2) menumbuhkan dan meningkatkan semangat baca masyarakat; (3) mendorong arus wisatawan ke Rangkasbitung; (4) sebagai pusat informasi tentang Rangkasbitung, Lebak, serta Banten; dan (5) menjadi museum antikolonialisme pertama di Indonesia.
Bangunan Museum
Museum Multatuli menempati lahan seluas 1.842 meter persegi. Pada bagian depan, sejak September 2021 dibuat sebuah instalasi temporer bubu raksasa (alat penangkap ikan) terbuat dari anyaman bambu sebagai gerbang masuk. Di belakang bubu ada monumen berupa patung Multatuli dan dua karakter dari novel Max Havelaar yaitu Adinda dan Saidjah. Sementara di sisi kiri bubu ada pendopo besar seluas 222 meter persegi yang dapat dijadikan sebagai tempat berkumpul, menyelenggarakan seminar, bedah buku, pemutaran film, hingga workshop. Sedangkan bangunan utamanya yang berbentuk huruf “T” seluas 230 meter persegi berada di belakang pendopo. Selain bangunan utama ada pula bangunan penunjang seluas 77 meter persegi.
Bangunan museum mulai difungsikan setelah diresmikan pada 11 Februari 2018 oleh Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid dan Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya. Adapun kepemilikannya dipegang oleh Pemerintah Kabupaten Lebak yang diserahkan pengelolaannya kepada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Lebak.
Koleksi Museum
Sebagaimana museum pada umumnya, museum Multatuli juga menyimpan berbagai macam koleksi untuk dipamerkan. Koleksi Museum Multatuli dibagi menjadi empat tema khusus, yaitu: (1) sejarah awal penjajahan dan kolonialisme di Indonesia; (2) sosok tokoh Multatuli dan novelnya Max Havelaar; (3) sejarah Banten dan Lebak; dan (4) sejarah Rangkasbitung.
Keempat tema tersebut dijabarkan menjadi tujuh buah ruang pamer, yaitu: (1) ruang selamat datang. Berisi mozaik wajah Multatuli yang terbuat dari potongan akrilik, wajah Multatuli, serta kutipan kata-katanya “Tugas Manusia adalah Menjadi Manusia”; (2) ruang kolonialisme. Berisi kedatangan Belanda ke Nusantara terutama Banten, beberapa replika, dan video pendek kedatangan kolonialisme; (3) ruang tanam paksa. Berisi display interaktif yang menceritakan masa tanam paksa; (4) ruang Multatuli. Berisi video pendek tentang Multatuli dan edisi asli novel Max Havelaar berbahasa Perancis cetakan pertama tahun 1868 yang didatangkan dari negeri Belanda; (5) ruang Banten. Berisi informasi tentang pergerakan-pergerakan rakyat Banten ketika melawan penjajah; (6) ruang Lebak. Berisi sejarah Lebak berdasarkan timeline yang dilengkapi dengan video; dan (7) ruang Rangkasbitung yang merupakan ruang temporer sekaligus pintu keluar museum.
Adapun koleksi pamer di ketujuh ruangan tersebut antara lain: ubin bekas tempat tinggal Multatuli, litografi Multatuli, peta Rangkasbitung abad ke-20, patung-patung karya Dolorosa Sinaga, kumpulan foto sejarah Kabupaten Lebak, surat Eduard Douwes Dekker untuk Raja Willem III, surat Soekarno kepada Samuel Koperberg, keramik kuno berukuran 20x20 centimeter (ditemukan tahun 1970 oleh Letkol Ucup) yang pernah dijadikan sebagai dinding kamar mandi rumah Multatuli, video singkat tentang tokoh-tokoh sejarah di Rangkasbitung, rekaman suara WS Rendra ketika membacakan sajak “Demi Orang-orang Rangkasbitung”.
Bagaimana, Anda berminat menyaksikan tinggalan Multatuli di Banten? Apabila ingin berkunjung, museum ini dibuka secara umum dari hari Selasa-Minggu (kecuali hari Senin dan hari besar nasional) dengan perincian: Selasa-Jumat pukul 08.00-16.00 WIB dan Sabtu-Minggu pukul 09.00-16.00 WIB. Untuk menjelajahinya tidak dikenai tiket masuk. Pengunjung hanya perlu mengisi buku tamu dan selama masa pandemi diwajibkan memakai masker serta menunjukkan akun aplikasi PeduliLindungi. (ali gufron)