Radio Republik Indonesia dan Televisi Republik Indonesia adalah Lembaga Penyiaran Publik (LPP) milik pemerintah. Adapun tujuan pendiriannya sebagai layanan bagi kepentingan masyarakat yang bersifat independen, netral dan tidak komersial (ayubwahyudi.wordpress.com). Radio Republik Indonesia (RRI) secara resmi didirikan pada tanggal 11 September 1945 oleh para tokoh yang sebelumnya aktif mengoperasikan beberapa stasiun radio Jepang (id.wikipedia.org). Sementara Televisi Republik Indonesia (TVRI) mulai digagas sekitar tahun 1961 dan baru pada tanggal 24 Agustus 1962 mengudara untuk pertama kalinya menyiarkan secara langsung upacara pembukaan Asian Games IV dari Senayan (sekarang Gelora Bung Karno) (id.wikipedia.org).
Sebagai lembaga penyiaran publik pertama di Indonesia, hingga akhir dasawarsa 80-an TVRI dan RRI memiliki jangkauan hampir di seluruh wilayah Indonesia dengan jumlah pemirsa sekitar 82 persen dari seluruh penduduk. Oleh karena itu, sebelum adanya Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) dan Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB), kedua media ini sempat menjadi sarana informasi dan hiburan utama bagi masyarakat. Walhasil, para penyiarnya pun menjadi populer dan bahkan diidolakan oleh para pemirsanya.
Salah seorang penyiar berita TVRI dan RRI yang cukup diidolakan adalah Sazli Rais. Wajah serta suaranya yang berat namun mengalun lembut sering hadir dalam ruang-ruang keluarga Indonesia di era 1970-80an. Dia adalah salah seorang putra Lampung kelahiran Liwa yang mampu "menggelombang" di radio dan televisi nasional bersama dengan para pembaca berita kawakan lainnya, seperti: Tatiek Tamzil, Anita Rachman, Sambas, Idrus, Toeti Adhitama, Yasir Den Has, Edwin Saleh Indrapraja, Iskandar Suradilaga, dan Hassan Ashari.
Pria yang lahir di Desa Sebarus, Pekon Tengah, Liwa, Lampung Barat, tanggal 14 Desember 1944 ini bukanlah berasal dari keluarga sembarangan. Dia merupakan putra pertama (sembilan bersaudara) dari H. Rais Latief dan Hayuna Dani. Ayahnya adalah pelopor tradisi literasi di wilayah Lampung Barat yang berhasil menyusun terjemahan hadist sahih Muslim (lampost.co). Pada saat usianya baru enam tahun Sazli ikut hijrah ke Jakarta karena Sang Ayah menjadi pegawai negeri di Jawatan Penerangan Agama (Departemen Agama).
Ketika berdomisili di Jakarta, tentu saja Sazli dapat mengenyam pendidikan yang lebih baik ketimbang di Liwa. Setelah lulus dari Sekolah Menengah Atas misalnya, dia dapat melanjutkan pendidikan di Sekolah Kedinasan Akademi Penerangan. Kemudian, dia lanjut lagi ke Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Negara Republik Indonesia (LAN RI). Namun masa perkuliahannya sempat terhenti akibat banyaknya demo dari kalangan mahasiswa yang menuntut Orde Lama turun. Akibatnya, Sazli banyak menganggur di rumah karena tidak banyak memiliki kegiatan selain sekolah.
Agar tidak jenuh Sazli mencoba melamar menjadi pegawai di Radio Republik Indonesia yang kebetulan saat itu sedang membuka lowongan formasi penyiar. Walau usianya waktu itu masih 21 tahun, ternyata dia berhasil menjadi salah seorang dari 19 peserta yang diterima melalui tes setelah menyingkirkan lebih dari 480 orang calon lainnya. Salah satu hal yang menjadi penyebab keberhasilannya menjadi penyiar di RRI ini adalah dari rasa kagumnya terhadap dunia broadcasting. Pada zamannya dahulu, sarana informasi dan hiburan yang sifatnya nasional hanyalah melalui siaran radio, sehingga Sazli beranggapan bahwa melalui jalur broadcastinglah dia dapat "menggenggam dunia".
Kecintaannya pada ranah informasi memang membuatnya total menekuni bidang ini. Pernah selama empat tahun lebih waktunya banyak dihabiskan di studio daripada di rumah. Sazli muda begitu antusias dan sepenuh hati menggeluti profesi dalam memproduksi acara-acara siaran. Bertambah serius lagi ketika setiap pekan, dia selalu menerima dua karung goni surat/kartu pos sebagai respons/feedback dari pendengar atas acara musik pengantar istirahat siang dan kontak dengan pendengar yang diasuhnya.
Selama sebelas tahun bekerja di RRI, Sazli diperbantukan juga sebagai penyiar dan wartawan TVRI yang masih satu atap di bawah Departemen Penerangan. Tugasnya antara lain sebagai peliput acara-acara kenegaraan di Indonesia dan acara-acara olahraga di mancanegara (All England, Thomas Cup, ASEAN Games, Asian Games, dan Olimpiade). Selain itu dia juga diberi kesempatan mengikuti beragam kursus, di antaranya:Consumer Education Through Broadcasting Asia Pacific Institute for Broadcasting Development di Kuala Lumpur, Malaysia (1979) dan Senior Broadcasting Management Asia Pacific Institut for Broadcasting Development di Kuala Lumpur, Malaysia (1992) (Wardoyo, Heri, dkk.: 2008).
Tidak berapa lama berada di TVRI, suami dari Junaera Tahir dan ayah dari Dani Pirzada Sazli serta Risa Araya Sazli ini ditarik kembali ke RRI untuk menjadi Kepala RRI Gorontalo dari tahun 1990-1993. Kemudian kembali ke Jakarta menjadi kepala Bagian Tata Usaha Direktorat Radio Departemen Penerangan 1993-1997. Setelah itu kembali ditugaskan ke Banjarmasin menjadi kepala RRI Banjarmasin 1997-2002. Akhirnya 2002-2005 menjabat kepala RRI Semarang (Wardoyo, Heri, dkk.: 2008).
Selesai menjalankan masa baktinya sebagai pegawai negeri sipil, Sazli kembali ke Jakarta untuk menikmati masa tuanya. Tetapi walau berdomisili di Jakarta Sazli tidak pernah lupa akan kampung halaman. Dia masih sering pulang ke Liwa. Bahkan, sebagai rasa cintanya pada Liwa, ketika putra pertama menikah upacara perkawinannya pun dilangsungkan di Liwa menggunakan prosesi adat Lampung Saibatin. (gufron)
Foto: http://paratokohlampung.blogspot.co.id/2008/11/sazli-rais-1944-menggelombang-di-radio.html
Sumber:
"Radio Republik Indonesia" diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Radio_Republik_ Indonesia, tanggal 10 Agustus 2016.
"Lembaga Penyiaran Publik 'TVRI dan RRI': Kritik Definisi", diakses dari https://ayub wahyudi.wordpress.com/2014/08/04/lembaga-penyiaran-publik-tvri-dan-rri-kritik-defenisi/, tanggal 10 Agustus 2016.
"Televisi Republik Indonesia", diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Televisi_Republik _Indonesia, tanggal 11 Agustus 2016.
"Siswa Lambar Bisa Suburkan Tradisi Literasi", diakses dari http://lampost.co/berita/siswa -lambar-bisa-suburkan-tradisi-literasi, tanggal 27 Maret 2016.
Wardoyo, Heri, dkk. 2008. 100 Tokoh Terkemuka Lampung, 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Bandar Lampung: Lampung Post.Hlm. 190-192.