Kulawi merupakan salah satu suku bangsa di daerah Sulawesi Tengah yang termasuk dalam kelompok Palu-Toraja. Mereka hidup tersebar di sekitar Danau Lindu, dataran Kulawi, dataran Gimpu, dan di sekitar aliran Sungai Koro1. Orang Kulawi masih mempertahankan berbagai macam upacara tradisional yang sangat erat kaitannya dengan daur hidup (lingkaran hidup) individu, diantaranya Rakeho, Popanaung, Ratoe, dan Ratompo. Rakeho adalah upacara masa peralihan bagi seorang laki-laki dari masa kanak-kanak menuju dewasa dengan prosesi meratakan gigi bagian depan atas dan bawah serata dengan gusi. Melalui upacara ini seorang laki-laki akan dianggap sebagai orang dewasa yang pada gilirannya akan mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama, sebagaimana anggota masyarakat lainnya (lebih jelasnya lihat di sini).
Popanaung adalah upacara masa peralihan bagi seorang bayi dari masa dalam kandungan ke kehidupan nyata di dunia. Tujuannya adalah untuk memperkenalkan sang bayi kepada dunia luar (fana) sekaligus sebagai ungkapan rasa syukur orang tua atas karunia yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa (lebih jelasnya lihat di sini). Sementara Ratoe yang berarti menaiki ayunan hampir mirip dengan Popanaung tetapi hanya dilaksanakan untuk anak pertama saja. Tujuannya adalah untuk menjaga keselamatan bayi serta agar bentuk badan terutama kepala menjadi bulat dan tidak lonjong/benjol2 (lebih jelasnya lihat di sini).
Sedangkan Ratompo adalah sebuah upacara yang khusus diselenggarakan bagi seorang gadis yang telah menjalani prosesi mancumani dalam sebuah pesta adat antarkampung. Dalam artikel ini akan diuraikan upacara Ratompo yang meliputi: waktu upacara, peralatan yang digunakan dalam upacara, tata laksana atau jalannya upacara, dan nilai budaya yang terkandung di dalamnya.
Waktu, Tempat, Pemimpin, dan Pihak-pihak yang Terlibat dalam Upacara
Upacara ratompo hanya dilaksanakan oleh perempuan yang berasal dari kalangan bangsawan yang telah menjalani prosesi mancumani dalam sebuah pesta adat antarkampung. Adapun waktu upacaranya pada pagi hari agar seluruh tahapannya dapat dilakukan secara cermat. Sedangkan tempatnya harus jauh dari keramaian, seperti di bawah sebuah pohon rindang di tengah hutan atau di sebuah rumah yang sengaja dikosongkan.
Prosesi upacaranya sendiri dipimpin oleh topetompo atau dukun dari kalangan kebanyakan namun memiliki keahlian khusus dalam mencabut gigi3. Legitimasi seorang topetompo berada di bawah naungan lembaga adat dan raja-raja setempat. Dalam melaksanakan tugasnya topetompo hanya dibantu oleh seorang topepalielu yang bertugas sebagai pemegang pipi dan tubuh orang yang sedang diupacarakan. Selain kedua orang tersebut beserta orang yang akan diupacarakan, tidak ada yang boleh menyaksikan atau mengikuti prosesi ratompo. Jadi, apabila ada sanak kerabat yang ingin berperan serta, mereka hanya dapat melakukannya dengan cara mempersiapkan segala macam perlengkapan dan peralatan upacara saja.
Peralatan Upacara
Peralatan dan perlengkapan yang perlu dipersiapkan dalam upacara Ratompo adalah: (1) dua buah guma; (2) air hangat secukupnya; (3) sebuah tikar berikut bantalnya; (4) porama mavau atau sejenis rerumputan yang berbau busuk; (5) painpongoa atau tempat sirih guna menampung darah; (6) ayu (abu dapur) sebagai peresap darah dalam painpongoa; (7) tabo ngkala sebagai wadah penambungan darah bila terjadi perdarahan hebat; (8) halili (pakaian dari kulit kayu) serta sarung berbahan mbesa; dan (9) ketan putih dan telur.
Jalannya Upacara
Ketika seorang gadis telah selesai menjalani mancumani, keluarganya akan berembuk menentukan waktu meminta izin kepada raja atau pemimpin adat untuk menyelenggarakan upacara ratompo. Setelah mendapat izin, mereka kemudian mendatangi topetompo untuk meminta kesediaannya menjadi pemimpin upacara serta menentukan waktu pelaksanaannya. Apabila menyanggupi, pada hari yang telah ditentukan topetompo bersama dengan pembantunya (topepalielu) akan mendatangi rumah gadis yang hendak diupacarakan.
Selanjutnya, si gadis akan diberi halili (baju putih dari kulit kayu) dan sarung dari mbesa. Setelah halili dan mbesa dikenakan, si gadis akan diberi makan ketan putih dan telur. Kedua makanan tersebut merupakan simbol bahwa si gadis telah berihklas dan bertulus hati selama menjalani seluruh tahapan upacara. Selain itu, ketan putih dan telur juga melambangkan kebulatan hati dari pihak keluarga yang akan melepas anak gadisnya untuk menjalani ratompo.
Selesai makan, topetompo dan topepalielu serta si gadis akan diantarkan oleh kerabat si gadis menuju halaman rumah. Sesampainya di halaman rumah mereka akan berhenti, sementara ketiganya akan terus melanjutkan menuju ke suatu tempat upacara yang telah ditentukan sebelumnya, yaitu di bawah sebuah pohon rindang di tengah hutan atau di sebuah rumah yang sengaja dikosongkan.
Ketika telah berada di lokasi upacara topepalielu mulai menyiapkan segala peralatan dan perlengkapan upacara, seperti: dua buah guma (parang), bantal, tikar, kain nunu, air hangat, am (abu dapur), pompangoa (tempat sirih), dan taba ngkala. Bila seluruhnya telah siap topetompo langsung mengawali prosesi ratompo dengan menginstruksikan topepalielu untuk menutup mata si gadis menidurkannya di atas hamparan tikar yang telah diberi bantal sebagai tempat menyandarkan kepala. Kemudian, kaki dan tangannya diikat dalam keadaan terlentang menggunakan kain nunu agar tidak banyak bergerak ketika prosesi sedang berlangsung.
Sesudah si gadis yang diupacarakan ditidurkan dalam keadaan terlentang, maka topepalielu mulai mengambil tempat di bagian kepala si gadis, sementara topetompo duduk di dekatnya sambil memegang dua buah guma (parang) yang berfungsi sebagai "pahat" dan "martil". Guma yang berfungsi sebagai pahat berujung sangat pipih agar dapat menyusup ke sela-sela gigi, sementara guma yang satunya berbentuk biasa karena hanya bagian gagangnya saja yang nantinya akan digunakan sebagai "martil" untuk memukul guma "pahat".
Apabila topepalielu sudah memegang kedua belah pipi si gadis, maka topetompo akan berjongkok di samping si gadis. Kemudian, dia mulai membaca mantera (gane): "Ane motomoleko potumpako, ane motumpako patumoleko, Bona nemo madea ra mehuko tiroi daka kami ". Artinya, bila tidur tengadah dan tengkurap, bila tidur tengkurap dan tengadah, jangan sampai banyak darah, maka lihatlah kami. Selanjutnya, topetompo memasukkan guma "pahat" di sela-sela gigi yang akan ditanggalkan. Kemudian, dia mulai memukul guma "pahat" itu dengan guma "martil" sampai sejumlah gigi si gadis tanggal.
Setelah seluruh gigi yang tanggal dikeluarkan, si gadis diberi obat berupa air hangat dan porama mavau untuk berkumur. Air bekas kumuran tersebut lalu dibuang di painpongoa yang telah diberi abu dapur. Bila darah yang mulai berkurang, si gadis dibawa kembali ke rumahnya untuk diserahkan kepada orang tuanya. Dan, dengan berakhirnya tahap pencabutan gigi ini, berakhirlah seluruh rentetan upacara ratompo. Sebagai catatan, orang yang baru saja melalui upacara ratompo tidak boleh terlalu banyak bergerak dan memakan makanan yang bersifat asam agar proses kesembuhannya tidak berlangsung lama.
Nilai Budaya
Ada beberapa nilai yang terkandung dalam upacara ratompo. Nilai-nilai itu antara lain adalah: kebersamaan, ketelitian, gotong royong, keselamatan, dan religius. Nilai kebersamaan tercermin dari berkumpulnya sebagian sanak kerabat untuk berdoa bersama demi keselamatan bersama pula. Ini adalah wujud kebersamaan dalam hidup bersama di dalam lingkungannya (dalam arti luas). Oleh karena itu, upacara ini mengandung pula nilai kebersamaan.
Nilai ketelitian tercermin dari proses upacara itu sendiri. Sebagai suatu proses, upacara memerlukan persiapan, baik sebelum upacara, pada saat prosesi, maupun sesudahnya. Persiapan-persiapan itu, tidak hanya menyangkut peralatan upacara, tetapi juga tempat, waktu, pemimpin, dan peserta. Semuanya itu harus dipersiapkan dengan baik dan seksama, sehingga upacara dapat berjalan dengan lancar. Untuk itu, dibutuhkan ketelitian.
Nilai kegotong-royongan tercermin dari keterlibatan berbagai pihak dalam penyelenggaraan upacara. Mereka saling bantu demi terlaksananya upacara. Dalam hal ini ada yang membantu menyiapkan makanan dan minuman, menjadi pemimpin upacara, membantu pemimpin upacara, dan lain sebagainya.
Nilai keselamatan tercermin dalam adanya kepercayaan bahwa peralihan kehidupan seorang individu dari satu masa ke masa yang lain penuh dengan ancaman (bahaya) dan tantangan. Untuk mengatasi krisis dalam daur kehidupan seorang manusia itu, maka perlu diadakan suatu upacara. Ratompo merupakan salah satu upacara yang bertujuan untuk mencari keselamatan pada tahap peralihan dari masa kanak-kanak menuju dewasa.
Nilai religius tercermin dalam doa atau mantra yang dilakukan oleh topetompo, pada acara pencabutan gigi yang merupakan bagian akhir dari serentetan tahapan dalam upacara ratompo. Tujuannya adalah agar si gadis mendapatkan perlindungan dari Tuhan dan roh-roh para leluhur. (ali gufron)
Sumber:
1. "Suku Kulawi, Sulawesi", diakses dari http://protomalayans.blogspot.com/2012/10/suku-kulawi-sulawesi_12.html, tanggal 4 Januari 2015.
2. "Ratoe", diakses dari http://telukpalu.com/2007/11/ratoe/, tanggal 27 Januari 2015.
3. "Ratompo", diakses dari http://telukpalu.com/2007/11/ratompo/, tanggal 5 Februari 2015.
Popanaung adalah upacara masa peralihan bagi seorang bayi dari masa dalam kandungan ke kehidupan nyata di dunia. Tujuannya adalah untuk memperkenalkan sang bayi kepada dunia luar (fana) sekaligus sebagai ungkapan rasa syukur orang tua atas karunia yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa (lebih jelasnya lihat di sini). Sementara Ratoe yang berarti menaiki ayunan hampir mirip dengan Popanaung tetapi hanya dilaksanakan untuk anak pertama saja. Tujuannya adalah untuk menjaga keselamatan bayi serta agar bentuk badan terutama kepala menjadi bulat dan tidak lonjong/benjol2 (lebih jelasnya lihat di sini).
Sedangkan Ratompo adalah sebuah upacara yang khusus diselenggarakan bagi seorang gadis yang telah menjalani prosesi mancumani dalam sebuah pesta adat antarkampung. Dalam artikel ini akan diuraikan upacara Ratompo yang meliputi: waktu upacara, peralatan yang digunakan dalam upacara, tata laksana atau jalannya upacara, dan nilai budaya yang terkandung di dalamnya.
Waktu, Tempat, Pemimpin, dan Pihak-pihak yang Terlibat dalam Upacara
Upacara ratompo hanya dilaksanakan oleh perempuan yang berasal dari kalangan bangsawan yang telah menjalani prosesi mancumani dalam sebuah pesta adat antarkampung. Adapun waktu upacaranya pada pagi hari agar seluruh tahapannya dapat dilakukan secara cermat. Sedangkan tempatnya harus jauh dari keramaian, seperti di bawah sebuah pohon rindang di tengah hutan atau di sebuah rumah yang sengaja dikosongkan.
Prosesi upacaranya sendiri dipimpin oleh topetompo atau dukun dari kalangan kebanyakan namun memiliki keahlian khusus dalam mencabut gigi3. Legitimasi seorang topetompo berada di bawah naungan lembaga adat dan raja-raja setempat. Dalam melaksanakan tugasnya topetompo hanya dibantu oleh seorang topepalielu yang bertugas sebagai pemegang pipi dan tubuh orang yang sedang diupacarakan. Selain kedua orang tersebut beserta orang yang akan diupacarakan, tidak ada yang boleh menyaksikan atau mengikuti prosesi ratompo. Jadi, apabila ada sanak kerabat yang ingin berperan serta, mereka hanya dapat melakukannya dengan cara mempersiapkan segala macam perlengkapan dan peralatan upacara saja.
Peralatan Upacara
Peralatan dan perlengkapan yang perlu dipersiapkan dalam upacara Ratompo adalah: (1) dua buah guma; (2) air hangat secukupnya; (3) sebuah tikar berikut bantalnya; (4) porama mavau atau sejenis rerumputan yang berbau busuk; (5) painpongoa atau tempat sirih guna menampung darah; (6) ayu (abu dapur) sebagai peresap darah dalam painpongoa; (7) tabo ngkala sebagai wadah penambungan darah bila terjadi perdarahan hebat; (8) halili (pakaian dari kulit kayu) serta sarung berbahan mbesa; dan (9) ketan putih dan telur.
Jalannya Upacara
Ketika seorang gadis telah selesai menjalani mancumani, keluarganya akan berembuk menentukan waktu meminta izin kepada raja atau pemimpin adat untuk menyelenggarakan upacara ratompo. Setelah mendapat izin, mereka kemudian mendatangi topetompo untuk meminta kesediaannya menjadi pemimpin upacara serta menentukan waktu pelaksanaannya. Apabila menyanggupi, pada hari yang telah ditentukan topetompo bersama dengan pembantunya (topepalielu) akan mendatangi rumah gadis yang hendak diupacarakan.
Selanjutnya, si gadis akan diberi halili (baju putih dari kulit kayu) dan sarung dari mbesa. Setelah halili dan mbesa dikenakan, si gadis akan diberi makan ketan putih dan telur. Kedua makanan tersebut merupakan simbol bahwa si gadis telah berihklas dan bertulus hati selama menjalani seluruh tahapan upacara. Selain itu, ketan putih dan telur juga melambangkan kebulatan hati dari pihak keluarga yang akan melepas anak gadisnya untuk menjalani ratompo.
Selesai makan, topetompo dan topepalielu serta si gadis akan diantarkan oleh kerabat si gadis menuju halaman rumah. Sesampainya di halaman rumah mereka akan berhenti, sementara ketiganya akan terus melanjutkan menuju ke suatu tempat upacara yang telah ditentukan sebelumnya, yaitu di bawah sebuah pohon rindang di tengah hutan atau di sebuah rumah yang sengaja dikosongkan.
Ketika telah berada di lokasi upacara topepalielu mulai menyiapkan segala peralatan dan perlengkapan upacara, seperti: dua buah guma (parang), bantal, tikar, kain nunu, air hangat, am (abu dapur), pompangoa (tempat sirih), dan taba ngkala. Bila seluruhnya telah siap topetompo langsung mengawali prosesi ratompo dengan menginstruksikan topepalielu untuk menutup mata si gadis menidurkannya di atas hamparan tikar yang telah diberi bantal sebagai tempat menyandarkan kepala. Kemudian, kaki dan tangannya diikat dalam keadaan terlentang menggunakan kain nunu agar tidak banyak bergerak ketika prosesi sedang berlangsung.
Sesudah si gadis yang diupacarakan ditidurkan dalam keadaan terlentang, maka topepalielu mulai mengambil tempat di bagian kepala si gadis, sementara topetompo duduk di dekatnya sambil memegang dua buah guma (parang) yang berfungsi sebagai "pahat" dan "martil". Guma yang berfungsi sebagai pahat berujung sangat pipih agar dapat menyusup ke sela-sela gigi, sementara guma yang satunya berbentuk biasa karena hanya bagian gagangnya saja yang nantinya akan digunakan sebagai "martil" untuk memukul guma "pahat".
Apabila topepalielu sudah memegang kedua belah pipi si gadis, maka topetompo akan berjongkok di samping si gadis. Kemudian, dia mulai membaca mantera (gane): "Ane motomoleko potumpako, ane motumpako patumoleko, Bona nemo madea ra mehuko tiroi daka kami ". Artinya, bila tidur tengadah dan tengkurap, bila tidur tengkurap dan tengadah, jangan sampai banyak darah, maka lihatlah kami. Selanjutnya, topetompo memasukkan guma "pahat" di sela-sela gigi yang akan ditanggalkan. Kemudian, dia mulai memukul guma "pahat" itu dengan guma "martil" sampai sejumlah gigi si gadis tanggal.
Setelah seluruh gigi yang tanggal dikeluarkan, si gadis diberi obat berupa air hangat dan porama mavau untuk berkumur. Air bekas kumuran tersebut lalu dibuang di painpongoa yang telah diberi abu dapur. Bila darah yang mulai berkurang, si gadis dibawa kembali ke rumahnya untuk diserahkan kepada orang tuanya. Dan, dengan berakhirnya tahap pencabutan gigi ini, berakhirlah seluruh rentetan upacara ratompo. Sebagai catatan, orang yang baru saja melalui upacara ratompo tidak boleh terlalu banyak bergerak dan memakan makanan yang bersifat asam agar proses kesembuhannya tidak berlangsung lama.
Nilai Budaya
Ada beberapa nilai yang terkandung dalam upacara ratompo. Nilai-nilai itu antara lain adalah: kebersamaan, ketelitian, gotong royong, keselamatan, dan religius. Nilai kebersamaan tercermin dari berkumpulnya sebagian sanak kerabat untuk berdoa bersama demi keselamatan bersama pula. Ini adalah wujud kebersamaan dalam hidup bersama di dalam lingkungannya (dalam arti luas). Oleh karena itu, upacara ini mengandung pula nilai kebersamaan.
Nilai ketelitian tercermin dari proses upacara itu sendiri. Sebagai suatu proses, upacara memerlukan persiapan, baik sebelum upacara, pada saat prosesi, maupun sesudahnya. Persiapan-persiapan itu, tidak hanya menyangkut peralatan upacara, tetapi juga tempat, waktu, pemimpin, dan peserta. Semuanya itu harus dipersiapkan dengan baik dan seksama, sehingga upacara dapat berjalan dengan lancar. Untuk itu, dibutuhkan ketelitian.
Nilai kegotong-royongan tercermin dari keterlibatan berbagai pihak dalam penyelenggaraan upacara. Mereka saling bantu demi terlaksananya upacara. Dalam hal ini ada yang membantu menyiapkan makanan dan minuman, menjadi pemimpin upacara, membantu pemimpin upacara, dan lain sebagainya.
Nilai keselamatan tercermin dalam adanya kepercayaan bahwa peralihan kehidupan seorang individu dari satu masa ke masa yang lain penuh dengan ancaman (bahaya) dan tantangan. Untuk mengatasi krisis dalam daur kehidupan seorang manusia itu, maka perlu diadakan suatu upacara. Ratompo merupakan salah satu upacara yang bertujuan untuk mencari keselamatan pada tahap peralihan dari masa kanak-kanak menuju dewasa.
Nilai religius tercermin dalam doa atau mantra yang dilakukan oleh topetompo, pada acara pencabutan gigi yang merupakan bagian akhir dari serentetan tahapan dalam upacara ratompo. Tujuannya adalah agar si gadis mendapatkan perlindungan dari Tuhan dan roh-roh para leluhur. (ali gufron)
Sumber:
1. "Suku Kulawi, Sulawesi", diakses dari http://protomalayans.blogspot.com/2012/10/suku-kulawi-sulawesi_12.html, tanggal 4 Januari 2015.
2. "Ratoe", diakses dari http://telukpalu.com/2007/11/ratoe/, tanggal 27 Januari 2015.
3. "Ratompo", diakses dari http://telukpalu.com/2007/11/ratompo/, tanggal 5 Februari 2015.