Musim Seni Art Fair Serang 2024

Abah Rancung

Satu lagi seniman ubrug yang masih eksis hingga sekarang adalah Abah Rancung yang tinggal di Kampung Paojan, Desa Mekar Jaya, Kecamatan Panimbang, Pandeglang. Bernama asli Suparta, sedari kecil Abah Rancung telah berkecimpung dalam seni ubrug. Walau bukan berasal dari kalangan seniman, ayah seorang naib dan ibu berprofesi sebagai paraji (dukun bayi), Suparta kecil sudah mulai menunjukkan bibit-bibit seninya. Bersama teman-temannya Suparta mempraktekkan ubrug menggunakan tiga buah kenong terbuat dari batok kelapa dan pacul sebagai goongnya. Dalam iringan peralatan musik apa adanya itu mereka nandeung atau nyanyi sambil memakai lamak beureum sebagai layar penutup muka.

Begitu rutinitas Suparta hingga tumbuh menjadi seorang seniman ubrug profesional yang menghibur orang dari satu panggung ke panggung lainnya. Adapun teknik ngabodornya mengadopsi tingkah laku kanak-kanak yang dipraktekkan dalam pola tingkah polos dan spontan sehingga banyak dinanti penggemarnya. Pola adopsi tingkah laku kanak-kanak tadi rupanya dapat membuat Suparta berganti peran setiap kali tampil di panggung sehingga orang yang menonton tidak akan pernah bosan.

Sedangkan untuk urusan popularitas, sebagaimana pemain ubrug lain di daerah Banten Suparta pun menciptakan nama panggungnya sendiri. Dia memilih Rancung sebagai nama panggung untuk membedakannya dengan pemain ubrug lain. Nama Rancung diambil dari bentuk rambutnya yang ngajujung atau jabrig ke atas dan daun telinganya yang mencuat ke atas berbeda dengan orang kebanyakan.

Berkat menggunakan nama Rancung karier Suparta semakin melejit. Pada sekitar tahun 1960an dia mulai merintis seni ubrugnya sendiri di Desa Mekar Jaya, Kecamatan Panimbang. Beranggotakan dua orang saudara kandungnya (Mulud dan Kobet/Mat Sani), Rancung membentuk grup ubrug bernama Tilu Saderek. Waktu itu mereka masih ngamen menggunakan peralatan sederhana berupa kendang batok kelapa, pacul, dan celempung. Namun grup Tilu Saderek hanya seumur jagung karena adanya perselisihan di antara ketiganya. Masing-masing kemudian membentuk kelompok ubrugnya sendiri.

Pada sekitar tahun 1970an membentuk grup baru yang dinamainya sebagai Pusaka Jaya. Terdiri atas delapan orang nayaga dan dua orang penari mereka mulai berlatih di area belakang rumah Rancung yang luasnya sekitar delapan kali delapan meter menggunakan peralatan lebih lengkap berupa seperangkat gamelan.

Grup Pusaka Jaya sempat tenar pada dekade 70-90an. Mereka tidak hanya tampil di seputar Pandeglang, lebak, Serang, Bekasi, dan Bandung saja tetapi juga ke daerah lain di luar Pulau Jawa, seperti: Lampung, Jambi, dan Kalimantan Tengah. Mereka biasanya mementaskan naskah cerita zaman dahulu tetapi menggunakan kata-kata khas ubrug yang penuh dengan banyolan.

Rancung biasanya tampil mengocok perut penonton dengan ciri khas berupa golok buntung yang bisa bergerak-gerak sendiri di pinggangnya dan pakaian menyerupai jawara. Dia tidak perlu menggunakan bedak tebal agar terlihat lucu, sebab sebagian wajahnya telah dipenuhi oleh kulit yang memutih seperti albino.

Ada kisah menarik mengenai kondisi kulit tubuhnya yang sebagian menjadi putih layaknya kulit bangsa kaukasia. Menurut Rancung, bermula sekitar tahun 1982 ketika dia diberangkatkan mengikuti penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) di Kantor Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) Jakarta pada masa bupati Pandeglang dijabat oleh Haji Suryaman.

Mewakili seniman Pandeglang Rancung berkumpul di BP7 bersama dengan para seniman lain dari seluruh Indonesia. Di sana, entah dalam merangka apa, dia didaulat mempertunjukkan seni debus Banten dengan memasukkan kedua tangannya ke dalam air keras serta ditembak dengan peluru tajam sejumlah tiga kali dalam jarak dua meter, satu setengah meter, dan setengah meter.

Menurut Rancung penampilan debusnya kemungkinan mengundang ketidak senangan dari salah seorang perwakilan seniman yang mengikuti penataran. Akibatnya, beberapa waktu sepulang penataran timbul bercak putih bulat pada punggung tangan kanannya. Lambat laun, bercak itu terus membesar hingga sekarang hampir menutupi seluruh tubuhnya.

Walau awalnya menganggap kondisi tubuh sebagai sebuah penyakit personalistik akibat guna-guna, namun Rancung dapat mengubahnya menjadi sebuah keuntungan. Penampilannya menjadi semakin menarik di atas panggung. Bahkan, hanya nongol tanpa mengeluarkan kata-kata dia akan mendapat sambutan meriah dari penonton.

Untuk urusan pemadu insan pun dia juga masih berjaya. Tercatat, hingga ini dibuat Rancung telah kawin-cerai sebanyak sembilan belas kali. Dari sejumlah perkawinan itu dia dikaruniai enam orang anak (tiga laki-laki dan tiga perempuan) yang sebagian (dua orang) mengikuti jejaknya sebagai pemain ubrug pada grup Pusaka Jaya.

Sebagai catatan, lepas dari tabiatnya yang suka kawin-cerai, Rancung adalah seniman sejati yang memikirkan masa depan kesenian ubrug di Pandeglang. Walau saat ini grup Pusaka Jaya sudah jarang tampil karena kalah dengan kesenian lain yang lebih modern, Rancung tetap melakukan regenerasi bagi para pemainnya. Dia mengajak anak keturunannya serta para tetangga yang berminat untuk menjadi pemain ubrug.

Ada sebuah harapan Rancung bagi pemerintah agar kesenian ubrug yang dibinanya tetap lestari. Dia meminta agar pemerintah memberi perhatian, terutama pada properti pentas seni ubrug. Selama ini dia belum pernah mendapatkan bantuan guna memperbarui atau mengganti properti manggungnya. Oleh karena itu, apabila ada properti ubrug yang rusak (kecuali goong) dia akan membuat atau memperbaikinya sendiri. (ali gufron)
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Pijat Susu

Archive