Pengertian Sejarah
Istilah “sejarah” berasal dari bahasa Arab, yaitu syajaratun yang berarti poon. Menurut bahasa Arab, sejarah sama artinya dengan sebuah pohon yang terus berkembang dari tingkat yang sangat sederhana ke tingkat yang lebih maju atau kompleks. Itulah sebabnya sejarah diumpamakan sebagai sebuah pohon yang terus berkembang dari akar sampai ranting yang terkecil.
Dalam bahasa Inggris, kata “sejarah” (history) berarti masa lampau umat manusia, dari bahasa Yunani historia yang artinya orang pandai. Sementara dalam bahasa Belanda, kata “sejarah” (geschiedenis) berarti terjadi. Adapun dalam bahasa Jerman, kata “sejarah” (geschichte) berarti sesuatu yang telah terjadi. Kedua kata itu dapat memberikan arti yang sesungguhnya tentang sejarah, yaitu sesuatu yang telah terjadi pada waktu lampau dalam kehidupan umat manusia. Dengan demikian, sejarah tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia dan bahkan berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan manusia dari tingkat yang sederhana ke tingkat yang lebih maju atau modern.
Dari uraian tentang arti sejarah tersebut dapat disimpulkan bahwa sejarah adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari segala peristiwa atau kejadian yang telah terjadi pada masa lampau dalam kehidupan umat manusia.
Sejarah terdiri atas tiga unsur penting. Pertama, semua kejadian masa lalu. Kedua, metode atau cara kerja yang digunakan oleh sejarawan untuk merekonstruksi masa lalu. Ketiga, pernyataan para sejarawan dalam bentuk lisan dan tulisan.
a. Kejadian Masa Lalu
Unsur penting pertama dari sejarah, yaitu kejadian masa lalu, terkait dengan masalah waktu. Waktu (time) merupakan salah satu konsep dasar sejarah, selain ruang (space), kegiatan manusia (human activities), perubahan (change), dan kesinambungan (continuity). Waktu adalah sebuah konstruksi gagasan yang digunakan untuk memberi makna dalam kehidupan dunia yang sedang dijalani. Manusia selama hidupnya tidak bisa dilepaskan dari waktu karena perjalanan hidup manusia sama dengan perjalanan waktu itu sendiri.
Setiap masyarakat memiliki pandangan yang relatif berbeda tentang waktu yang mereka jalani. Dalam masyarakat Hindu misalnya, waktu dilihat dan dipahami sebagai sebuah siklus yang berulang tanpa akhir. Melalui pandangan ini, sejarah dan kejadian masa yang akan datang merupakan sesuatu yang tidak terlalu penting sepanjang drama kehidupan manusia berubah pada masa kini.
Di dalam masyarakat Barat, secara umum waktu dilihat sebagai sebuah garis lurus (linier), berjalan terus dari masa lalu ke masa kini dan ke masa yang akan dangat. Konsep garis lurus tentang waktu itu diikuti dengan terbentuknya konsep tentang urutan kejadian. Dengan demikian, sejarah manusia dapat dilihat sebagai sebuah proses perjalanan dalam sebuah garis waktu sejak zaman dulu, zaman kini, dan zaman yang akan datang.
Cara suatu masyarakat melihat waktu telah mempengaruhi mereka dalam memahami kesinambungan dan perubahan. Sebagian sejarawan Indonesia melihat bahwa peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada setengah abad yang lalu merupakan titik awal perkembangan masyarakat Indonesia yang merdeka dan berdaulat menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Dari dan sejak peristiwa itu, masyarakat Indonesia melihat adanya kesinambungan dan perubahan dari masyarakat yang terjajah menjadi masyarakat yang merdeka dan dari masyarakat yang terbelakang menjadi masyarakat yang maju.
Namun, selama keberlangsungan tersebut terdapat pula siklus atau pasang surut dalam perkembangan masyarakat Indonesia. Siklus tersebut dapat pula diartikan sebagai perubahan. Dalam politik misalnya, terjadi pergantian kekuasaan dari Pemerintahan RI yang terbentuk sejak Proklamasi menjadi terbentuknya kekuasaan Belanda kembali sampai terjadinya Pengakuan Kedaulatan, 27 Desember 1949. Setelah itu, terbentuklah pemerintahan Orde Lama sampai peristiwa pembunuhan terhadap para jenderal TNI pada 30 September 1965 yang diikuti lahirnya Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun. Orde Baru runtuh dan digantikan dengan orde penggantinya, sebut saja Orde Reformasi, hingga tampilnya pemerintahan Megawati Soekarnoputri. Sejak pemerintahan terakhir tersebut, masyarakat Indonesia mulai memproyeksi kembali masa depannya berdasarkan perkembangan yang mereka alami sebelumnya.
Dengan demikian, dalam konsep waktu yang lurus, masa lalu perkembangan sejarah manusia akan mempengaruhi perkembangan masyarakat masa kini dan masa yang akan datang. Adapun keadaan masyarakat pada masa kini akan mempengaruhi masa depan.
Semua kejadian masa lalu seperti yang disinggung di atas dapat digolongkan ke dalam sejarah sebagai peristiwa. Peristiwa itu telah terjadi atau berlangsung pada masa lalu, masa yang telah dilewati oleh kita atau oleh masyarakat suatu bangsa. Kejadian yang menyangkut kehidupan manusia merupakan unsur penting dalam sejarah. Kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa tersebut menempati rentangan waktu, baik secara linier maupun secara siklus.
b. Metode yang Digunakan oleh Sejarawan
Unsur penting kedua sejarah adalah metode yang digunakan oleh sejarawan untuk merekonstruksi masa lalu. Artinya, cara atau prosedur dari kerja sejarawan untuk menyusun, menggambarkan, dan menuliskan kisah masa lalu berdasarkan jejak-jejak yang ditinggalkan oleh masa lalu. Pemahaman seorang sejarawan tentang masa lalu dipengaruhi oleh tersedianya sumber, bias pribadi, tujuan penulisan, masyarakat, waktu, dan tempat di mana dia hidup dan menyajikan tulisannya. Seorang sejarawan Belanda dengan seorang sejarawan Indonesia akan memiliki pandangan sangat berbeda tentang sejarah Indonesia. Misalnya, peristiwa berdirinya Boedi Oetomo, Sarekat Islam, Indische Partij, dan PNI pada awal abad ke-20, akan dilihat secara berbeda oleh sejarawan dari kedua negara. Sejarawan Indonesia melihat lahirnya organisasi itu sebagai awal tumbuhnya nasionalisme Indonesia, sedangkan sejarawan Belanda melihatnya sebagai bentuk keberhasilan Pemerintah Hindia Belanda dalam menjalankan politik etis bagi pribumi, yaitu memajukan pendidikan.
Sejarawan berusaha untuk menggunakan metode penelitian ilmiah yang juga dilakukan oleh ilmuwan sosial lainnya. Pengumpulan data yang objektif tentang kejadian merupakan salah satu langkah dalam penelitian sejarah. Walaupun demikian, para sejarawan menyadari akan adanya bias dalam penelitiannya. Masalahnya adalah bahwa peristiwa tersebut terjadi pada masa lalu, dan tidak semua sejarawan hidup bersama atau mengalami sendiri kejadian itu. Oleh karena itu, diperlukan kemampuan imajinatif sejarawan untuk merekonstruksi kejadian masa lalu yang sifatnya unik dan mendekati kejadian unik tersebut dengan pendekatan yang sifatnya pribadi. Hasil pekerjaan mereka kemudian disajikan semenarik mungkin. Hasil pekerjaan mereka tersebut digolongkan ke dalam sejarah sebagai kisah.
Sejarah sebagai kisah (history as narrative) adalah cerita berupa narasi yang telah disusun dari memori atau ingatan, dan kesan atau tafsiran sejarawan terhadap kejadian atau peristiwa yang terjadi atau berlangsung pada waktu yang lampau. Sejarah sebagai kisah dapat kita baca dalam buku teks sejarah, majalah atau surat kabar. Selain itu, sejarah dapat pula kita dengarkan dan lihat melalui narasi yang diceramahkan di siaran media elektronik, seperti radio dan televisi atau film. Sejarah sebagai kisah dapat pula kita ikuti ketika seorang guru sejarah menerangkan kejadian sejarah melalui ceramah dalam proses belajar mengajar sejarah di kelas.
Selain sejarah sebagai kisah, sejarah juga dapat dipandang sebagai ilmu atau history as a science. Sejarah sebagai ilmu merujuk pada aspek metode yang digunakan oleh sejarawan. Selain narasi dalam merekonstruksi masa lalu, sebagian sejarawan juga ada yang tertarik pada penggunaan data kuantitatif untuk menguji hipotesis dan membangun generalisasi dan teori. Sejarawan seperti itu disebut sebagai sejarawan ilmu sosial dan karyanya disebut sebagai sejarah yang ilmiah. Kajian yang sifatnya kualitatif, seperti jumlah suara dalam pemilu tahun 1955 di Indonesia, perkembangan demografi dari pembangunan lima tahun pada zaman Orde Baru, dan jumlah anggota partai politik dalam pemerintahan Demokrasi Liberal tahun 1950-an di Indonesia merupakan data-data kuantitatif yang dapat dianalisis dengan teknik kuantitatif pula.
c. Pernyataan Para Sejarawan dalam Bentuk Lisan dan Tulisan
Unsur ketiga sejarah adalah pernyataan para sejarawan dalam bentuk lisan dan tulisan. Salah seorang sejarawan Universitas Pendidikan Indonesia, Helius Sjamsuddin, mengatakan bahwa:
“Ketika sejawaran memasuki tahap menulis, ia mengerahkan seluruh daya pikirnya, bukan saja keterampilan teknis penggunaan kutipan-kutipan dan catatan-catatan, tetapi yang terutama penggunaan pikiran-pikiran kritis dan analisnya karena pada akhirnya ia harus menghasilkan sesuatu sintesis dari seluruh hasil penelitian atau penemuannya itu ke dalam suatu penulisan utuh yang disebut historiografi.”
Dengan demikian, hasil karya sejaraan, atau pernyataan seorang sejarawan dapat dikategorikan sebagai bagian atau unsur dari sejarah. Tanpa historiografi, rasanya sulit bagi kita sebagai pembaca sejarah yang tidak mengalami kejadian pada masa lalu untuk memahami apa yang terjadi pada masyarakat lampau. Dengan demikian, betapa berharga karya historiografi yang ditulis oleh para sejarawan itu.
Sejarah yang disajikan secara naratif dengan menonjolkan unsur cerita, kisah, atau lakon dapat dikategorikan ke dalam sejarah sebagai seni. Peranan sejarawan untuk mendekati kejadian sebenarnya dipisahkan oleh jarak yang antara dirinya dan kejadian yang telah terjadi. Dengan demikian, selain kemampuan metode sejarah, diperlukan juga kemampuan imajinatif sejarawan untuk merekonstruksi masa lalu menjadi kisah yang dapat disajikan kepada generasi yang ada. Kemampuan imajinatif dalam menjembatani jarak itu menyebabkan hasil karya sejarah dikategorikan ke dalam sejarah sebagai seni. Kemampuan menggunakan bahasa dengan berbagai gaya penyajian, kemampuan berpikir kritis, analisis, dan sintesis menyebabkan karya sejarawan dapat dikategorikan ke dalam karya seni atau hubungan antara seni (art) dan ilmu (science).
2. Penyajian Karya Sejarawan
Karya sejarawan yang merupakan hasil penelitian sejarah disajikan dalam bentuk penulisan sejarah atau historiografi. Pada perkembangan terakhir, terdapat tiga pendekatan besar dalam penulisan sejarah. Pendekatan tersebut dapat dilihat dari aspek ideologis, yaitu pendekatan liberal, pendekatan konflik, dan pendekatan dekonstruktivistik.
a. Pendekatan Liberal
Pendekatan liberal yang digunakan oleh penulis buku teks sejarah berangkat dari pemikiran bahwa sejarah merupakan kisah perkembangan yang terus-menerus pada manusia secara individu dan kelompok; kisah perkembangan negara, dan penguasa negara seperti raja atau presiden di bidang politik, budaya, hukum, ekonomi dan teknologi. Dalam beberapa aspek, penulisan sejarah seperti itu termasuk ke dalam sejarah yang konvensional yang menarasikan kisah sukses serta kebesaran dalam sejarah yang konvensional yang menarasikan kisah sukses serta kebesaran individu dan negara. Pendekatan ini melihat bahwa proses sejarah merupakan keberlangsungan dari masa lalu ke masa kini dan masa yang akan datang.
Sajian penulisan sejarah ini bersifat naratif dan deskriptif serta mementingkan urutan kronologi atau urut-urutan kejadian. Sajian kronologis sebuah peristiwa sejarah, misalnya, dimulai dengan narasi mengenai latar belakang terjadinya suatu peristiwa, kemudian diikuti dengan proses atau jalannya peristiwa tersebut dan diakhiri dengan deskripsi tentang akibat-akibatnya menurut tanggal, bulan dan tahun. Sejarah bangsa dan negara yang lebih mementingkan kehidupan politik serta tokoh besar biasanya disajikan secara kronologis.
Hal yang disajikan secara kronologis adalah kronik atau sejumlah catatan tentang urutan kejadian atau waktu. Dalam kronik biasanya dicatat kejadian-kejadian yang dianggap penting bagi kehidupan keluarga atau kelompok tertentu. Apabila Anda sebagai siswa kelas 1 di sekolah menengah dan memiliki kebiasaan membuat catatan harian tentang kejadian-kejadian penting bagi Anda dan keluarga, hasil catatan Anda yang disajikan secara kronologis dapat disebut sebagai kronik.
Periodisasi atau pembabakan dalam sejarah dilakukan ketika banyaknya peristiwa yang sejenis dalam kurun waktu tertentu. Periodisasi dilakukan terutama dalam sejarah bangsa-bangsa dan negara. Tidak ada ketentuan yang pasti tentang jumlah tahun, windu atau abad dalam satu periode. Semuanya diserahkan kepada penafsiran individual sejarawan. Periodisasi dilakukan agar sajian sejarah yang naratif dapat mudah dipahami oleh pembaca. Misalnya dalam sejarah Indonesia, dikenal periodisasi sebagai berikut:
1) Zaman Hindu-Budha;
2) Zaman Kerajaan-kerajaan Islam;
3) Zaman Penjajahan Belanda;
4) Zaman Kemerdekaan.
Akan tetapi, pada keempat zaman di atas sejarawan juga dapat memasukkan periodisasi pada setiap zamannya. Misalnya, zaman Penjajahan Belanda dapat dibagi ke dalam beberapa zaman. Penentuan zaman bisa didasarkan kekhasan yang sifatnya umum sehingga dapat digolongkan ke dalam satu periode dan berbeda dengan periode lainnya.
b. Pendekatan Konflik
Pendekatan konflik berangkat dari Teori Marxis yang melihat bahwa masyarakat telah terstruktur dan terbagi ke dalam kelas-kelas yang berada dalam posisi konflik. Keberlangsungan dan perubahan dilihat oleh pendekatan ini sebagai sebuah proses perjuangan berbagai kelompok untuk menggulingkan kelompok lawannya dalam memperoleh kedudukan politik dan keuntungan materi. Dilihat dari cakupan subjek kajiannya, pendekatan ini bersifat inklusif karena memasukkan semua kelompok, terutama kelompok masyarakat bawah yang miskin dan tidak memiliki peran dalam sejarah yang konvensional. Sejarah sosial, sejarah petani, sejarah buruh, sejarah masalah-masalah sosial, dan sejarah perbanditan yang termasuk bagian dari sejarah struktural, dapat digolongkan ke dalam pendekatan ini.
c. Pendekatan Dekonstruktivistik
Pendekatan dekonstruktivistik sangat berbeda dengan dua pendekatan di atas. Pendekatan ini lebih menekankan pada wacana (discourse) daripada kejadian/peristiwa atau struktur sosial. Wacana berkaitan dengan praktik atau tindakan di mana manusia menggunakan sistem lambang, seperti bahasa dalam kegiatan interaksi sehari-hari, serta bagaimana sistem tersebut memungkinkan atau membatasi tindakan mereka. Sistem wacana terbentuk melalui berbagai cara untuk membentuk makna antara lain melalui bahasa yang digunakannya; berbagai simbol lain, seperti gambar dan suara; harapan, aturan, dan konvensi yang memungkinkan manusia berinteraksi dalam situasi tertentu; dan kategorisasi untuk merekonstruksi identitas diri sesuai dengan budaya yang ada. Wacana dapat terlihat dalam institusi formal, seperti wacana pemerintahan, hukum, ekonomi, dan sistem pendidikan. Sebaliknya, wacana juga dapat terbentuk secara informal yang menyebar melalui semua relasi sosial termasuk ke dalam institusi formal. Contoh klasik dari wacana informal dapat dilihat pada kelas sosial, ras, etnisitas, dan gender. Melalui wacana itulah pendekatan dekonstruktivistik mengembangkan kajiannya dalam penulisan teks sejarah.
Karena lebih mementingkan wacana, pendekatan dekonstruktivistik tidak mengutamakan aspek keberlangsungan atau proses perubahan seperti dua pendekatan sebelumnya, tetapi lebih pada ketidakberlangsungan (discontinuity). Pendekatan ini mengkaji realitas masyarakat sekarang dan kembali pada satu titik saat kita melihat sesuatu yang berbeda.
Pendekatan dekonstruktivistik dalam penulisan sejarah mengajak pembaca untuk melihat sesuatu secara terbalik dan mengkaji kejadian atau peristiwa serta wacana masyarakat melalui berbagai dimensi. Dengan menggunakan pendekatan ini, pembaca teks sejarah dapat melihat teks secara kritis bahwa sebagian orang tidak memiliki peran dalam sejarah dan terpinggirkan dari arus besar sejarah pada masa lalu. Sebagai contoh, penulisan sejarah nasional Indonesia yang masih bersifat Jawa-sentris, menonjolkan cerita para raja dan kepala negara, kebesaran negara, atau perang dan suksesi di keraton. Adapun peran kelompok masyarakat bawah, seperti petani dan kaum marjinal di perkotaan atau kelompok etnis tertentu di luar Jawa kurang mendapat peran dalam penulisan sejarah nasional.
3. Guna Sejarah
Kegunaan sejarah terbagi menjadi tiga, yaitu sebagai pelajaran, inspiratif, dan kreatif.
a. Guna Sejarah sebagai Pelajaran
Banyak manusia yang belajar dari pengalaman-pengalaman hidup yang pernah dilakukan. Pengalaman tersebut tidak hanya terbatas pada pengalaman yang dialaminya sendiri, tetapi juga pengalaman generasi sebelumnya.
Melalui belajar dari sejarah manusia dapat mengembangkan potensinya. Sebagai contoh, salah satu kesalahan bangsa Indonesia pada masa lampau ialah adanya berbagai kemajemukan yang mudah sekali dimanfaatkan dan diadu domba dengan politik devide et impera oleh bangsa Barat sehingga mengakibatkan bangsa Indonesia menjadi daerah jajahan bangsa Barat selama beratus-ratus tahun. Oleh karena itu, generasi sesudahnya setelah belajar dari pengalaman generasi sebelumnya, berusaha untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan. Kemajemukan bangsa Indonesia kemudian diikat dalam konsep wawasan nusantara. Hasilnya kini di wilayah Indonesia hanya ada satu kekuasaan, yaitu kekuasaan Pemerintah Republik Indonesia.
b. Guna Sejarah sebagai Inspiratif
Guna sejarah yang kedua ialah sebagai inspiratif. Pelbagai kisah sejarah dapat memberikan inspirasi pada pembaca atau pendengarnya. Sebagai contoh penyatuan Nusantara di bawah pemerintahan Kerajaan Majapahit memberi inspirasi bagi bangsa Indonesia saat ini untuk senantiasa bersatu pada menjaga wilayahnya dari ancaman disintegrasi bangsa dan rongrongan serta gangguan dari dalam dan luar negeri. Contoh lain, misalnya seorang anak yang bercita-cita menjadi anggota TNI setelah sebelumnya terinspirasi oleh sosok kepahlawanan Jenderal Sudirman.
c. Guna Sejarah sebagai Rekreatif
Kegunaan sejarah sebagai kisah dapat memberi suatu hiburan yang segar. Melalui gaya tulisan yang hidup dan komunikatif beberapa sejarawan terasa mampu menghipnotis pembaca. Pembaca terasa asyik membaca buku tulisannya. Konsekuensi dari rasa dan daya tarik tersebut ialah pembaca menjadi senang. Membaca menjadi media hiburan dan rekreatif.
Dalam membaca sejarah pembaca tidak hanya merasa senang layaknya membaca novel, tetapi juga dapat berwisata ke masa lampau. Di sini sejarawan dapat menjadi guide bagi orang yang ingin melihat situasi suatu daerah di masa lampau.
Melalui proses rekreasi terhadap pelbagai peristiwa sejarah pada masa lampau memungkinkan orang untuk becermin diri. Orang yang pesimis dapat diajak menjadi optimis dengan ditunjukkan akan masa depan umat manusia yang masih terbuka. Peristiwa masa lalu memang sudah berlalu, namun yang lampau itu masih berpengaruh terhadap masa kini, sehingga orang dapat mengambil suatu pelajaran dari hal tersebut. Di situlah pentingnya belajar dengan menggunakan suatu strategi, termasuk dalam belajar sejarah. Belajar tidak hanya bagaimana kita belajar, melainkan juga bagaimana belajar untuk belajar itu sendiri.
Istilah “sejarah” berasal dari bahasa Arab, yaitu syajaratun yang berarti poon. Menurut bahasa Arab, sejarah sama artinya dengan sebuah pohon yang terus berkembang dari tingkat yang sangat sederhana ke tingkat yang lebih maju atau kompleks. Itulah sebabnya sejarah diumpamakan sebagai sebuah pohon yang terus berkembang dari akar sampai ranting yang terkecil.
Dalam bahasa Inggris, kata “sejarah” (history) berarti masa lampau umat manusia, dari bahasa Yunani historia yang artinya orang pandai. Sementara dalam bahasa Belanda, kata “sejarah” (geschiedenis) berarti terjadi. Adapun dalam bahasa Jerman, kata “sejarah” (geschichte) berarti sesuatu yang telah terjadi. Kedua kata itu dapat memberikan arti yang sesungguhnya tentang sejarah, yaitu sesuatu yang telah terjadi pada waktu lampau dalam kehidupan umat manusia. Dengan demikian, sejarah tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia dan bahkan berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan manusia dari tingkat yang sederhana ke tingkat yang lebih maju atau modern.
Dari uraian tentang arti sejarah tersebut dapat disimpulkan bahwa sejarah adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari segala peristiwa atau kejadian yang telah terjadi pada masa lampau dalam kehidupan umat manusia.
Sejarah terdiri atas tiga unsur penting. Pertama, semua kejadian masa lalu. Kedua, metode atau cara kerja yang digunakan oleh sejarawan untuk merekonstruksi masa lalu. Ketiga, pernyataan para sejarawan dalam bentuk lisan dan tulisan.
a. Kejadian Masa Lalu
Unsur penting pertama dari sejarah, yaitu kejadian masa lalu, terkait dengan masalah waktu. Waktu (time) merupakan salah satu konsep dasar sejarah, selain ruang (space), kegiatan manusia (human activities), perubahan (change), dan kesinambungan (continuity). Waktu adalah sebuah konstruksi gagasan yang digunakan untuk memberi makna dalam kehidupan dunia yang sedang dijalani. Manusia selama hidupnya tidak bisa dilepaskan dari waktu karena perjalanan hidup manusia sama dengan perjalanan waktu itu sendiri.
Setiap masyarakat memiliki pandangan yang relatif berbeda tentang waktu yang mereka jalani. Dalam masyarakat Hindu misalnya, waktu dilihat dan dipahami sebagai sebuah siklus yang berulang tanpa akhir. Melalui pandangan ini, sejarah dan kejadian masa yang akan datang merupakan sesuatu yang tidak terlalu penting sepanjang drama kehidupan manusia berubah pada masa kini.
Di dalam masyarakat Barat, secara umum waktu dilihat sebagai sebuah garis lurus (linier), berjalan terus dari masa lalu ke masa kini dan ke masa yang akan dangat. Konsep garis lurus tentang waktu itu diikuti dengan terbentuknya konsep tentang urutan kejadian. Dengan demikian, sejarah manusia dapat dilihat sebagai sebuah proses perjalanan dalam sebuah garis waktu sejak zaman dulu, zaman kini, dan zaman yang akan datang.
Cara suatu masyarakat melihat waktu telah mempengaruhi mereka dalam memahami kesinambungan dan perubahan. Sebagian sejarawan Indonesia melihat bahwa peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada setengah abad yang lalu merupakan titik awal perkembangan masyarakat Indonesia yang merdeka dan berdaulat menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Dari dan sejak peristiwa itu, masyarakat Indonesia melihat adanya kesinambungan dan perubahan dari masyarakat yang terjajah menjadi masyarakat yang merdeka dan dari masyarakat yang terbelakang menjadi masyarakat yang maju.
Namun, selama keberlangsungan tersebut terdapat pula siklus atau pasang surut dalam perkembangan masyarakat Indonesia. Siklus tersebut dapat pula diartikan sebagai perubahan. Dalam politik misalnya, terjadi pergantian kekuasaan dari Pemerintahan RI yang terbentuk sejak Proklamasi menjadi terbentuknya kekuasaan Belanda kembali sampai terjadinya Pengakuan Kedaulatan, 27 Desember 1949. Setelah itu, terbentuklah pemerintahan Orde Lama sampai peristiwa pembunuhan terhadap para jenderal TNI pada 30 September 1965 yang diikuti lahirnya Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun. Orde Baru runtuh dan digantikan dengan orde penggantinya, sebut saja Orde Reformasi, hingga tampilnya pemerintahan Megawati Soekarnoputri. Sejak pemerintahan terakhir tersebut, masyarakat Indonesia mulai memproyeksi kembali masa depannya berdasarkan perkembangan yang mereka alami sebelumnya.
Dengan demikian, dalam konsep waktu yang lurus, masa lalu perkembangan sejarah manusia akan mempengaruhi perkembangan masyarakat masa kini dan masa yang akan datang. Adapun keadaan masyarakat pada masa kini akan mempengaruhi masa depan.
Semua kejadian masa lalu seperti yang disinggung di atas dapat digolongkan ke dalam sejarah sebagai peristiwa. Peristiwa itu telah terjadi atau berlangsung pada masa lalu, masa yang telah dilewati oleh kita atau oleh masyarakat suatu bangsa. Kejadian yang menyangkut kehidupan manusia merupakan unsur penting dalam sejarah. Kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa tersebut menempati rentangan waktu, baik secara linier maupun secara siklus.
b. Metode yang Digunakan oleh Sejarawan
Unsur penting kedua sejarah adalah metode yang digunakan oleh sejarawan untuk merekonstruksi masa lalu. Artinya, cara atau prosedur dari kerja sejarawan untuk menyusun, menggambarkan, dan menuliskan kisah masa lalu berdasarkan jejak-jejak yang ditinggalkan oleh masa lalu. Pemahaman seorang sejarawan tentang masa lalu dipengaruhi oleh tersedianya sumber, bias pribadi, tujuan penulisan, masyarakat, waktu, dan tempat di mana dia hidup dan menyajikan tulisannya. Seorang sejarawan Belanda dengan seorang sejarawan Indonesia akan memiliki pandangan sangat berbeda tentang sejarah Indonesia. Misalnya, peristiwa berdirinya Boedi Oetomo, Sarekat Islam, Indische Partij, dan PNI pada awal abad ke-20, akan dilihat secara berbeda oleh sejarawan dari kedua negara. Sejarawan Indonesia melihat lahirnya organisasi itu sebagai awal tumbuhnya nasionalisme Indonesia, sedangkan sejarawan Belanda melihatnya sebagai bentuk keberhasilan Pemerintah Hindia Belanda dalam menjalankan politik etis bagi pribumi, yaitu memajukan pendidikan.
Sejarawan berusaha untuk menggunakan metode penelitian ilmiah yang juga dilakukan oleh ilmuwan sosial lainnya. Pengumpulan data yang objektif tentang kejadian merupakan salah satu langkah dalam penelitian sejarah. Walaupun demikian, para sejarawan menyadari akan adanya bias dalam penelitiannya. Masalahnya adalah bahwa peristiwa tersebut terjadi pada masa lalu, dan tidak semua sejarawan hidup bersama atau mengalami sendiri kejadian itu. Oleh karena itu, diperlukan kemampuan imajinatif sejarawan untuk merekonstruksi kejadian masa lalu yang sifatnya unik dan mendekati kejadian unik tersebut dengan pendekatan yang sifatnya pribadi. Hasil pekerjaan mereka kemudian disajikan semenarik mungkin. Hasil pekerjaan mereka tersebut digolongkan ke dalam sejarah sebagai kisah.
Sejarah sebagai kisah (history as narrative) adalah cerita berupa narasi yang telah disusun dari memori atau ingatan, dan kesan atau tafsiran sejarawan terhadap kejadian atau peristiwa yang terjadi atau berlangsung pada waktu yang lampau. Sejarah sebagai kisah dapat kita baca dalam buku teks sejarah, majalah atau surat kabar. Selain itu, sejarah dapat pula kita dengarkan dan lihat melalui narasi yang diceramahkan di siaran media elektronik, seperti radio dan televisi atau film. Sejarah sebagai kisah dapat pula kita ikuti ketika seorang guru sejarah menerangkan kejadian sejarah melalui ceramah dalam proses belajar mengajar sejarah di kelas.
Selain sejarah sebagai kisah, sejarah juga dapat dipandang sebagai ilmu atau history as a science. Sejarah sebagai ilmu merujuk pada aspek metode yang digunakan oleh sejarawan. Selain narasi dalam merekonstruksi masa lalu, sebagian sejarawan juga ada yang tertarik pada penggunaan data kuantitatif untuk menguji hipotesis dan membangun generalisasi dan teori. Sejarawan seperti itu disebut sebagai sejarawan ilmu sosial dan karyanya disebut sebagai sejarah yang ilmiah. Kajian yang sifatnya kualitatif, seperti jumlah suara dalam pemilu tahun 1955 di Indonesia, perkembangan demografi dari pembangunan lima tahun pada zaman Orde Baru, dan jumlah anggota partai politik dalam pemerintahan Demokrasi Liberal tahun 1950-an di Indonesia merupakan data-data kuantitatif yang dapat dianalisis dengan teknik kuantitatif pula.
c. Pernyataan Para Sejarawan dalam Bentuk Lisan dan Tulisan
Unsur ketiga sejarah adalah pernyataan para sejarawan dalam bentuk lisan dan tulisan. Salah seorang sejarawan Universitas Pendidikan Indonesia, Helius Sjamsuddin, mengatakan bahwa:
“Ketika sejawaran memasuki tahap menulis, ia mengerahkan seluruh daya pikirnya, bukan saja keterampilan teknis penggunaan kutipan-kutipan dan catatan-catatan, tetapi yang terutama penggunaan pikiran-pikiran kritis dan analisnya karena pada akhirnya ia harus menghasilkan sesuatu sintesis dari seluruh hasil penelitian atau penemuannya itu ke dalam suatu penulisan utuh yang disebut historiografi.”
Dengan demikian, hasil karya sejaraan, atau pernyataan seorang sejarawan dapat dikategorikan sebagai bagian atau unsur dari sejarah. Tanpa historiografi, rasanya sulit bagi kita sebagai pembaca sejarah yang tidak mengalami kejadian pada masa lalu untuk memahami apa yang terjadi pada masyarakat lampau. Dengan demikian, betapa berharga karya historiografi yang ditulis oleh para sejarawan itu.
Sejarah yang disajikan secara naratif dengan menonjolkan unsur cerita, kisah, atau lakon dapat dikategorikan ke dalam sejarah sebagai seni. Peranan sejarawan untuk mendekati kejadian sebenarnya dipisahkan oleh jarak yang antara dirinya dan kejadian yang telah terjadi. Dengan demikian, selain kemampuan metode sejarah, diperlukan juga kemampuan imajinatif sejarawan untuk merekonstruksi masa lalu menjadi kisah yang dapat disajikan kepada generasi yang ada. Kemampuan imajinatif dalam menjembatani jarak itu menyebabkan hasil karya sejarah dikategorikan ke dalam sejarah sebagai seni. Kemampuan menggunakan bahasa dengan berbagai gaya penyajian, kemampuan berpikir kritis, analisis, dan sintesis menyebabkan karya sejarawan dapat dikategorikan ke dalam karya seni atau hubungan antara seni (art) dan ilmu (science).
2. Penyajian Karya Sejarawan
Karya sejarawan yang merupakan hasil penelitian sejarah disajikan dalam bentuk penulisan sejarah atau historiografi. Pada perkembangan terakhir, terdapat tiga pendekatan besar dalam penulisan sejarah. Pendekatan tersebut dapat dilihat dari aspek ideologis, yaitu pendekatan liberal, pendekatan konflik, dan pendekatan dekonstruktivistik.
a. Pendekatan Liberal
Pendekatan liberal yang digunakan oleh penulis buku teks sejarah berangkat dari pemikiran bahwa sejarah merupakan kisah perkembangan yang terus-menerus pada manusia secara individu dan kelompok; kisah perkembangan negara, dan penguasa negara seperti raja atau presiden di bidang politik, budaya, hukum, ekonomi dan teknologi. Dalam beberapa aspek, penulisan sejarah seperti itu termasuk ke dalam sejarah yang konvensional yang menarasikan kisah sukses serta kebesaran dalam sejarah yang konvensional yang menarasikan kisah sukses serta kebesaran individu dan negara. Pendekatan ini melihat bahwa proses sejarah merupakan keberlangsungan dari masa lalu ke masa kini dan masa yang akan datang.
Sajian penulisan sejarah ini bersifat naratif dan deskriptif serta mementingkan urutan kronologi atau urut-urutan kejadian. Sajian kronologis sebuah peristiwa sejarah, misalnya, dimulai dengan narasi mengenai latar belakang terjadinya suatu peristiwa, kemudian diikuti dengan proses atau jalannya peristiwa tersebut dan diakhiri dengan deskripsi tentang akibat-akibatnya menurut tanggal, bulan dan tahun. Sejarah bangsa dan negara yang lebih mementingkan kehidupan politik serta tokoh besar biasanya disajikan secara kronologis.
Hal yang disajikan secara kronologis adalah kronik atau sejumlah catatan tentang urutan kejadian atau waktu. Dalam kronik biasanya dicatat kejadian-kejadian yang dianggap penting bagi kehidupan keluarga atau kelompok tertentu. Apabila Anda sebagai siswa kelas 1 di sekolah menengah dan memiliki kebiasaan membuat catatan harian tentang kejadian-kejadian penting bagi Anda dan keluarga, hasil catatan Anda yang disajikan secara kronologis dapat disebut sebagai kronik.
Periodisasi atau pembabakan dalam sejarah dilakukan ketika banyaknya peristiwa yang sejenis dalam kurun waktu tertentu. Periodisasi dilakukan terutama dalam sejarah bangsa-bangsa dan negara. Tidak ada ketentuan yang pasti tentang jumlah tahun, windu atau abad dalam satu periode. Semuanya diserahkan kepada penafsiran individual sejarawan. Periodisasi dilakukan agar sajian sejarah yang naratif dapat mudah dipahami oleh pembaca. Misalnya dalam sejarah Indonesia, dikenal periodisasi sebagai berikut:
1) Zaman Hindu-Budha;
2) Zaman Kerajaan-kerajaan Islam;
3) Zaman Penjajahan Belanda;
4) Zaman Kemerdekaan.
Akan tetapi, pada keempat zaman di atas sejarawan juga dapat memasukkan periodisasi pada setiap zamannya. Misalnya, zaman Penjajahan Belanda dapat dibagi ke dalam beberapa zaman. Penentuan zaman bisa didasarkan kekhasan yang sifatnya umum sehingga dapat digolongkan ke dalam satu periode dan berbeda dengan periode lainnya.
b. Pendekatan Konflik
Pendekatan konflik berangkat dari Teori Marxis yang melihat bahwa masyarakat telah terstruktur dan terbagi ke dalam kelas-kelas yang berada dalam posisi konflik. Keberlangsungan dan perubahan dilihat oleh pendekatan ini sebagai sebuah proses perjuangan berbagai kelompok untuk menggulingkan kelompok lawannya dalam memperoleh kedudukan politik dan keuntungan materi. Dilihat dari cakupan subjek kajiannya, pendekatan ini bersifat inklusif karena memasukkan semua kelompok, terutama kelompok masyarakat bawah yang miskin dan tidak memiliki peran dalam sejarah yang konvensional. Sejarah sosial, sejarah petani, sejarah buruh, sejarah masalah-masalah sosial, dan sejarah perbanditan yang termasuk bagian dari sejarah struktural, dapat digolongkan ke dalam pendekatan ini.
c. Pendekatan Dekonstruktivistik
Pendekatan dekonstruktivistik sangat berbeda dengan dua pendekatan di atas. Pendekatan ini lebih menekankan pada wacana (discourse) daripada kejadian/peristiwa atau struktur sosial. Wacana berkaitan dengan praktik atau tindakan di mana manusia menggunakan sistem lambang, seperti bahasa dalam kegiatan interaksi sehari-hari, serta bagaimana sistem tersebut memungkinkan atau membatasi tindakan mereka. Sistem wacana terbentuk melalui berbagai cara untuk membentuk makna antara lain melalui bahasa yang digunakannya; berbagai simbol lain, seperti gambar dan suara; harapan, aturan, dan konvensi yang memungkinkan manusia berinteraksi dalam situasi tertentu; dan kategorisasi untuk merekonstruksi identitas diri sesuai dengan budaya yang ada. Wacana dapat terlihat dalam institusi formal, seperti wacana pemerintahan, hukum, ekonomi, dan sistem pendidikan. Sebaliknya, wacana juga dapat terbentuk secara informal yang menyebar melalui semua relasi sosial termasuk ke dalam institusi formal. Contoh klasik dari wacana informal dapat dilihat pada kelas sosial, ras, etnisitas, dan gender. Melalui wacana itulah pendekatan dekonstruktivistik mengembangkan kajiannya dalam penulisan teks sejarah.
Karena lebih mementingkan wacana, pendekatan dekonstruktivistik tidak mengutamakan aspek keberlangsungan atau proses perubahan seperti dua pendekatan sebelumnya, tetapi lebih pada ketidakberlangsungan (discontinuity). Pendekatan ini mengkaji realitas masyarakat sekarang dan kembali pada satu titik saat kita melihat sesuatu yang berbeda.
Pendekatan dekonstruktivistik dalam penulisan sejarah mengajak pembaca untuk melihat sesuatu secara terbalik dan mengkaji kejadian atau peristiwa serta wacana masyarakat melalui berbagai dimensi. Dengan menggunakan pendekatan ini, pembaca teks sejarah dapat melihat teks secara kritis bahwa sebagian orang tidak memiliki peran dalam sejarah dan terpinggirkan dari arus besar sejarah pada masa lalu. Sebagai contoh, penulisan sejarah nasional Indonesia yang masih bersifat Jawa-sentris, menonjolkan cerita para raja dan kepala negara, kebesaran negara, atau perang dan suksesi di keraton. Adapun peran kelompok masyarakat bawah, seperti petani dan kaum marjinal di perkotaan atau kelompok etnis tertentu di luar Jawa kurang mendapat peran dalam penulisan sejarah nasional.
3. Guna Sejarah
Kegunaan sejarah terbagi menjadi tiga, yaitu sebagai pelajaran, inspiratif, dan kreatif.
a. Guna Sejarah sebagai Pelajaran
Banyak manusia yang belajar dari pengalaman-pengalaman hidup yang pernah dilakukan. Pengalaman tersebut tidak hanya terbatas pada pengalaman yang dialaminya sendiri, tetapi juga pengalaman generasi sebelumnya.
Melalui belajar dari sejarah manusia dapat mengembangkan potensinya. Sebagai contoh, salah satu kesalahan bangsa Indonesia pada masa lampau ialah adanya berbagai kemajemukan yang mudah sekali dimanfaatkan dan diadu domba dengan politik devide et impera oleh bangsa Barat sehingga mengakibatkan bangsa Indonesia menjadi daerah jajahan bangsa Barat selama beratus-ratus tahun. Oleh karena itu, generasi sesudahnya setelah belajar dari pengalaman generasi sebelumnya, berusaha untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan. Kemajemukan bangsa Indonesia kemudian diikat dalam konsep wawasan nusantara. Hasilnya kini di wilayah Indonesia hanya ada satu kekuasaan, yaitu kekuasaan Pemerintah Republik Indonesia.
b. Guna Sejarah sebagai Inspiratif
Guna sejarah yang kedua ialah sebagai inspiratif. Pelbagai kisah sejarah dapat memberikan inspirasi pada pembaca atau pendengarnya. Sebagai contoh penyatuan Nusantara di bawah pemerintahan Kerajaan Majapahit memberi inspirasi bagi bangsa Indonesia saat ini untuk senantiasa bersatu pada menjaga wilayahnya dari ancaman disintegrasi bangsa dan rongrongan serta gangguan dari dalam dan luar negeri. Contoh lain, misalnya seorang anak yang bercita-cita menjadi anggota TNI setelah sebelumnya terinspirasi oleh sosok kepahlawanan Jenderal Sudirman.
c. Guna Sejarah sebagai Rekreatif
Kegunaan sejarah sebagai kisah dapat memberi suatu hiburan yang segar. Melalui gaya tulisan yang hidup dan komunikatif beberapa sejarawan terasa mampu menghipnotis pembaca. Pembaca terasa asyik membaca buku tulisannya. Konsekuensi dari rasa dan daya tarik tersebut ialah pembaca menjadi senang. Membaca menjadi media hiburan dan rekreatif.
Dalam membaca sejarah pembaca tidak hanya merasa senang layaknya membaca novel, tetapi juga dapat berwisata ke masa lampau. Di sini sejarawan dapat menjadi guide bagi orang yang ingin melihat situasi suatu daerah di masa lampau.
Melalui proses rekreasi terhadap pelbagai peristiwa sejarah pada masa lampau memungkinkan orang untuk becermin diri. Orang yang pesimis dapat diajak menjadi optimis dengan ditunjukkan akan masa depan umat manusia yang masih terbuka. Peristiwa masa lalu memang sudah berlalu, namun yang lampau itu masih berpengaruh terhadap masa kini, sehingga orang dapat mengambil suatu pelajaran dari hal tersebut. Di situlah pentingnya belajar dengan menggunakan suatu strategi, termasuk dalam belajar sejarah. Belajar tidak hanya bagaimana kita belajar, melainkan juga bagaimana belajar untuk belajar itu sendiri.