(Cerita Rakyat Daerah Kepulauan Riau)
Alkisah, ada seorang raja bernama Paduka Seri Maharaja. Raja yang memerintah Negeri Tumasik ini dikenal mempunyai perangai buruk. Dia memiliki sifat tamak, iri hati, kejam, dan sering berperilaku sewenang-wenang pada rakyatnya. Suatu ketika rakyat Negeri Tumasik mendapat serangan mendadak dari ratusan ribu ikan todak. Mereka tidak hanya menyerang warga di sepanjang pantai, tetapi juga yang tinggal agak jauh dari laut (pedalaman).
Agar tidak menimbulkan banyak korban jiwa, terutama dari kalangan perempuan dan anak-anak, Paduka Seri Maharaja memerintahkan penduduk laki-laki membuat pagar betis. Namun, strategi itu tidak efektif. Ikan-ikan todak mampu menembus barisan pagar betis sehingga menimbulkan banyak lebih korban. Rakyat tidak sanggup menahan keganasan mereka.
Di tengah kebingungan menghadapi kawanan ikan tersebut, tiba-tiba ada seorang anak kecil datang menghadap Paduka Seri Maharaja. Sang anak kecil berujar bahwa usaha Baginda Maharaja mengerahkan penduduk membuat pagar betis hanyalah sia-sia belaka. Moncong ikan todak yang bagaikan pedang akan dengan mudah menembus barisan pagar manusia.
Paduka Seri Maharaja tentu saja tidak terima pendapat anak kecil yang dianggap sok tahu dan masih ingusan. Bagaimana mungkin anak ingusan dapat memberikan solusi tepat bagi sebuah masalah besar yang melanda kerajaan. Oleh karena itu, dia langsung menghardik sang anak kecil yang tiba-tiba "nongol" dan tidak jelas asal usulnya.
"Hamba Kabil dari Bintan Penaungan, Baginda Raja," jawabnya tegas. "Hamba telah berpengalaman menghadapi ikan todak. Seluruh perilaku ikan tersebut sudah hamba hafal. Jadi, hamba sedikit tahu bagaimana cara mengatasinya," lanjutnya.
Walau jengkel atas kelancangan sang bocah, tetapi Paduka Seri Maharaja tidak mempunyai opsi lain. Dia terpaksa menuruti anjuran Kabil. Oleh karena itu, dia lalu memerintahkan segenap rakyatnya menebang pohon-pohon pisang di seluruh negeri untuk dijejerkan rapat menyerupai pagar. Tujuannya, agar moncong para ikan todak tersangkut atau tertancap pada batang pisang.
Keesokan harinya, ketika kawanan ikan todak menyerang lagi, satu per satu mulut mereka menancap pada batang pisang. Rakyat pun beramai-ramai menangkapnya. Sebagian mereka ada yang langsung mencincang tubuh ikan-ikan sebagai balas dendam atas terlukanya sanak kerabat mereka. Sedangkan sebagian lagi ada yang memotong-motongnya untuk selanjutnya dimasak dengan berbagai macam cara.
Euforia dapat mengalahkan kawanan ikan todak dirasakan oleh hampir seluruh penduduk kerajaan, terutama rakyat kecil. Mereka tidak hanya terbebas dari serangan ikan todak, melainkan juga tidak perlu pergi melaut. Daging kawanan ikan todak yang tertancap di batang-batang pisang dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka selama beberapa bulan.
Namun sebaliknya, para pembesar kerajaan tidak begitu senang sebab kemenangan tersebut berasal dari kalangan orang kebanyakan yang bernama Kabil. Mereka khawatir, dukungan rakyat pada Kabil akan sangat besar sehingga sewaktu-waktu dapat menggulingkan kekuasaan Paduka Seri Maharaja. Apabila hal itu terjadi, kedudukan mereka selaku pejabat dan pembesar istana juga terancam.
Melalui salah seorang perwakilannya, para pembesar mengungkapkan kekhawatiran mereka pada Paduka Seri Maharaja. Selain itu, mereka juga berusaha mempengaruhi agar Paduka Seri Maharaja panas hati dan menyingkirkan Kabil. Adapun caranya, perlu dibuat sedemikian rupa agar dia tidak dapat kembali lagi. Sebab, apabila kembali dikhawatirkan akan menggalang kekuatan untuk melengserkan Paduka Seri Maharaja.
Untuk mengakomodir kekhawatiran para pembesar, Paduka Seri Maharaja memerintahkan pada para pengawal menangkap Kabil. Setelah tertangkap, perintah selanjutnya adalah memasukkannya ke dalam kerangkeng besi dengan tubuh terbalut rantai besi. Dan apbila telah seluruh tubuh telah terikat rantai, maka perintah berikutnya adalah menenggelamkannya di perairan Pulau Segantang Lada. Dengan cara demikian, Paduka Seri Maharaja yakin Kabil tidak akan dapat menggoyangkan kekuasaannya di Kerajaan Tumasik.
Tidak berapa lama setelah perintah diberikan, para prajurit datang menghadap sambil membawa Kabil. Selanjutnya, Paduka Seri Maharaja bersama para prajurit yang membawa kabil dalam kerangkeng ke pelabuhan untuk berlayar menuju perairan Pulau Segantang Lada yang relatif tenang. Ketika sauh diturunkan di tengah laut dan Kabil hendak ditenggelamkan, dia sempat melakukan protes. Dia mempertanyakan mengapa raja menghukumnya, padahal telah memberi saran bijak yang dapat membuat kawanan ikan todak tidak menyerang lagi.
Pertanyaan keberatan itu tidak dipedulikan Paduka Seri Maharaja. Dia tetap memerintahkan beberapa prajurit untuk membuang kerangkeng berisi Kabil ke dalam laut. Kabil pun akhirnya tenggelam dan mati mengenaskan. Tidak lama kemudian, entah mengapa, air laut di lokasi tewasnya Kabil mendadak menjadi sebuah pusaran berbahaya. Penduduk setempat menamainya sebagai Batu Rantai. Para nakhoda yang melintasi perairan itu harus ekstra hati-hati apabila melintasinya.
Diceritakan kembali oleh ali gufron
Alkisah, ada seorang raja bernama Paduka Seri Maharaja. Raja yang memerintah Negeri Tumasik ini dikenal mempunyai perangai buruk. Dia memiliki sifat tamak, iri hati, kejam, dan sering berperilaku sewenang-wenang pada rakyatnya. Suatu ketika rakyat Negeri Tumasik mendapat serangan mendadak dari ratusan ribu ikan todak. Mereka tidak hanya menyerang warga di sepanjang pantai, tetapi juga yang tinggal agak jauh dari laut (pedalaman).
Agar tidak menimbulkan banyak korban jiwa, terutama dari kalangan perempuan dan anak-anak, Paduka Seri Maharaja memerintahkan penduduk laki-laki membuat pagar betis. Namun, strategi itu tidak efektif. Ikan-ikan todak mampu menembus barisan pagar betis sehingga menimbulkan banyak lebih korban. Rakyat tidak sanggup menahan keganasan mereka.
Di tengah kebingungan menghadapi kawanan ikan tersebut, tiba-tiba ada seorang anak kecil datang menghadap Paduka Seri Maharaja. Sang anak kecil berujar bahwa usaha Baginda Maharaja mengerahkan penduduk membuat pagar betis hanyalah sia-sia belaka. Moncong ikan todak yang bagaikan pedang akan dengan mudah menembus barisan pagar manusia.
Paduka Seri Maharaja tentu saja tidak terima pendapat anak kecil yang dianggap sok tahu dan masih ingusan. Bagaimana mungkin anak ingusan dapat memberikan solusi tepat bagi sebuah masalah besar yang melanda kerajaan. Oleh karena itu, dia langsung menghardik sang anak kecil yang tiba-tiba "nongol" dan tidak jelas asal usulnya.
"Hamba Kabil dari Bintan Penaungan, Baginda Raja," jawabnya tegas. "Hamba telah berpengalaman menghadapi ikan todak. Seluruh perilaku ikan tersebut sudah hamba hafal. Jadi, hamba sedikit tahu bagaimana cara mengatasinya," lanjutnya.
Walau jengkel atas kelancangan sang bocah, tetapi Paduka Seri Maharaja tidak mempunyai opsi lain. Dia terpaksa menuruti anjuran Kabil. Oleh karena itu, dia lalu memerintahkan segenap rakyatnya menebang pohon-pohon pisang di seluruh negeri untuk dijejerkan rapat menyerupai pagar. Tujuannya, agar moncong para ikan todak tersangkut atau tertancap pada batang pisang.
Keesokan harinya, ketika kawanan ikan todak menyerang lagi, satu per satu mulut mereka menancap pada batang pisang. Rakyat pun beramai-ramai menangkapnya. Sebagian mereka ada yang langsung mencincang tubuh ikan-ikan sebagai balas dendam atas terlukanya sanak kerabat mereka. Sedangkan sebagian lagi ada yang memotong-motongnya untuk selanjutnya dimasak dengan berbagai macam cara.
Euforia dapat mengalahkan kawanan ikan todak dirasakan oleh hampir seluruh penduduk kerajaan, terutama rakyat kecil. Mereka tidak hanya terbebas dari serangan ikan todak, melainkan juga tidak perlu pergi melaut. Daging kawanan ikan todak yang tertancap di batang-batang pisang dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka selama beberapa bulan.
Namun sebaliknya, para pembesar kerajaan tidak begitu senang sebab kemenangan tersebut berasal dari kalangan orang kebanyakan yang bernama Kabil. Mereka khawatir, dukungan rakyat pada Kabil akan sangat besar sehingga sewaktu-waktu dapat menggulingkan kekuasaan Paduka Seri Maharaja. Apabila hal itu terjadi, kedudukan mereka selaku pejabat dan pembesar istana juga terancam.
Melalui salah seorang perwakilannya, para pembesar mengungkapkan kekhawatiran mereka pada Paduka Seri Maharaja. Selain itu, mereka juga berusaha mempengaruhi agar Paduka Seri Maharaja panas hati dan menyingkirkan Kabil. Adapun caranya, perlu dibuat sedemikian rupa agar dia tidak dapat kembali lagi. Sebab, apabila kembali dikhawatirkan akan menggalang kekuatan untuk melengserkan Paduka Seri Maharaja.
Untuk mengakomodir kekhawatiran para pembesar, Paduka Seri Maharaja memerintahkan pada para pengawal menangkap Kabil. Setelah tertangkap, perintah selanjutnya adalah memasukkannya ke dalam kerangkeng besi dengan tubuh terbalut rantai besi. Dan apbila telah seluruh tubuh telah terikat rantai, maka perintah berikutnya adalah menenggelamkannya di perairan Pulau Segantang Lada. Dengan cara demikian, Paduka Seri Maharaja yakin Kabil tidak akan dapat menggoyangkan kekuasaannya di Kerajaan Tumasik.
Tidak berapa lama setelah perintah diberikan, para prajurit datang menghadap sambil membawa Kabil. Selanjutnya, Paduka Seri Maharaja bersama para prajurit yang membawa kabil dalam kerangkeng ke pelabuhan untuk berlayar menuju perairan Pulau Segantang Lada yang relatif tenang. Ketika sauh diturunkan di tengah laut dan Kabil hendak ditenggelamkan, dia sempat melakukan protes. Dia mempertanyakan mengapa raja menghukumnya, padahal telah memberi saran bijak yang dapat membuat kawanan ikan todak tidak menyerang lagi.
Pertanyaan keberatan itu tidak dipedulikan Paduka Seri Maharaja. Dia tetap memerintahkan beberapa prajurit untuk membuang kerangkeng berisi Kabil ke dalam laut. Kabil pun akhirnya tenggelam dan mati mengenaskan. Tidak lama kemudian, entah mengapa, air laut di lokasi tewasnya Kabil mendadak menjadi sebuah pusaran berbahaya. Penduduk setempat menamainya sebagai Batu Rantai. Para nakhoda yang melintasi perairan itu harus ekstra hati-hati apabila melintasinya.
Diceritakan kembali oleh ali gufron