Situs Batu Lingga Baros

Jamhari

Berbicara mengenai silat di daerah Cilegon tentu tidak lepas dari sosok Jamhari, seorang jawara Berru Sakti yang memiliki murid lebih dari 10.000 orang. Laki-laki kelahiran Cilegon tanggal 10 Januari 1952 ini sejak muda hidup dalam dunia pesantren. Setelah lulus Sekolah Rakyat (1960-1965) lalu Madrasah Tsanawiyah (1967) Jamhari nyantri ke berbagai pondok pesantren di Pandeglang, Garut, Ciamis, Tasikmalaya, Cirebon, Jombang (Tebu Ireng), hingga Ponorogo (Gontor).

Di berbagai pondok pesantren itulah Jamhari tidak hanya belajar agama melainkan juga ilmu silat. Ilmu bela diri ini bukanlah hal asing bagi Jamhari. Kampung halamannya (Cilegon/Banten) dikenal sebagai tanah jawara. Menurut sejarah, jauh sebelum Islam masuk Banten bela diri merupakan hal yang jaman diajarkan pada prajurit sebagai pertahanan dan perluasan wilayah kerajaan. Setelah Islam masuk ilmu bela diri tadi dikembangkan oleh para ulama dan disebut sebagai silat atau penca.

Setelah khatam, Jamhari pulang untuk mengamalkan ilmunya kepada masyarakat di kampung halaman. Tetapi untuk urusan bela diri (silat), Jamhari tidak serta merta mengadopsi ilmu dari para gurunya. Dia berusaha meramu ajaran mereka dengan ajaran guru barunya bernama Zuhri sehingga menciptakan jurus-jurus silat sendiri yang kemudian dinamakannya Berru Sakti atau kera sakti (sekaligus nama perguruan silatnya).

Disebut demikian karena gerakan-gerakan silat yang diciptakannya berasal dari tingkah laku berru ketika bertarung dengan lawan. Adapun sejarahnya berawal dari seorang peladang bernama Ibu Melati. Ketika sedang menuju area ladangnya yang berada di pinggir hutan dia melihat perkelahian antara seekor berru dengan macan yang ternyata dimenangkan oleh si berru. Takjub akan kesaktian si berru, sampai di rumah gerakan-gerakan berru saat mengalahkan macan tadi dipraktekkan hingga terciptalah jurus-jurus silat baru.

Ibu Melati lalu menurunkan ilmu barunya itu pada Ahmad. Namun, karena Ahmad meninggal dunia, selang beberapa tahun kemudian Ibu Melati menurunkannya lagi pada Salim dan Zuhri. Dan, dari Zuhrilah Jamhari dididik mempelajari silat berru sakti serta dianjurkan untuk mendirikan perguruan sekitar tahun 1980. Dalam perkembangan selanjutnya, Jamhari juga mengadopsi teknik-teknik seni bela diri lain agar jurus-jurus berru saktinya semakin berfungsi sebagai alat pertahanan diri.

Seiring waktu, Jamhari tidak hanya berkutat pada seni bela diri saja. Kreativitasnya yang sangat tinggi mampu merambah ke ranah lain, di antaranya adalah kesenian bendrong lesung. Bendrong lesung dimainkan oleh kaum perempuan sebagai sebuah pertunjukan di kala musim panen sebagai ungkapan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pertunjukan bendrong lesung dilakukan dengan cara menghentakkan alu (penumbuk padi) pada lesung secara bergantian hingga menimbulkan irama yang unik sambil menari dan bernyanyi lagu-lagu Sunda dan Banten.

Selain bendrong lesung, Jamhari juga memiliki keahlian khusus dalam membuat golok. Golok yang diciptakannya berbentuk huruf “c” dengan mata golok tajam ke dalam. Bentuk ini dimaknai bahwa si pemegang golok bertujuan membela wilayah di dalamnya (diri sendiri, keluarga, dan negara).

Golok yang dibuat Jamhari terdiri dari dua macam, yaitu golok berbahan besi biasa dan berbahan 7P (pahat, palu, pacul, patuk, per, paku, dan pipa). Golok biasa dibuat setiap hari, sedangkan golok 7P dibuat khusus di bulan Maulud selama 12 hari. Keduanya berbentuk sama (huruf c) dengan gagang terbuat dari kayu berukir kepala macan. Panjang golok sekitar 44 centimeter dan lebar 4 centimeter dengan sarangka (sarung) berukuran 34,5 centimeter dan lebar 11 centimeter.

Sebagai catatan, selain beragam kesibukan di atas Jamhari juga memiliki pekerjaan lain di luar berkesenian, yaitu: penjernih air, konsultan, dan pembina pengamanan Krakatau Steel; pembina di Krakatau Bandar Samudra; PT Krakatau Samudra, Krakatau Tirta Industri; penasihat di Pelabuhan Banten; dan koordinator pengawas SPBU Krenceng.

Kemudian, dalam aktivitas keagamaan Jamhari juga aktif mengadakan tauziah dan dzikir setiap malam Jumat di kediamannya. Di tempat ini juga dia mempraktikkan pengobatan tradisional melalui air raksa yang dipanaskan serta senam tarik urat bagi kesehatan jasmani. (Gufron)

Water Toren Rangkasbitung

Makam Keramat Ki Jaga Ripuh (Tumenggung Jaya Maruta)

Di Desa Cisalam, Kecamatan Baros, Kabupaten Serang, ada sebuah sumur pemandian yang dikeramatkan bernama Ciwasiat Cipalias. Konon, munculnya pemandian Cipalias terkait seorang sakti mandraguna yang makamnya tidak jauh dari pemandian. Dia bernama Syekh Abdul Muin atau Tumenggung Jaya Maruta atau Ki Jaka Ripuh.

Konon, Tumenggung Jaya Maruta yang berasal dari Sumedang ini masih bernasab dengan Prabu Siliwangi. Ayah Tumenggung Jawa Maruta yang bernama Ki Jaga Perkasa merupakan salah satu keturunan dari Prabu Kiansantang, anak Prabu Siliwangi.

Tumenggung Jaya Maruta memulai perjalanan spiritualnya ke daerah Garut. Kemudian, dia hijrah ke arah barat Pulau Jawa menuju Banten, tepatnya di daerah Baros, Kabupaten Serang. Bersama dua orang prajuritnya, Tumenggung Jaya Maruta melihat kondisi warga masyarakat Baros dan sekitar sedang mengalami paceklik karena musim kemarau berkepanjangan.

Agar paceklik air tidak berkepanjangan, Tumenggung Jaya Maruta berusaha meminta pertolongan Tuhan Yang Maha Kuasa dengan cara melakukan sholat. Namun, karena tidak menemukan sumber air untuk berwudhu dia kemudian bermunajad kepada Tuhan meminta air dengan sedikit barokah. Adapun caranya adalah dengan menancapkan tongkat saktinya ke tanah.

Ajaibnya, bekas lubang tancapan tongkat itu tiba-tiba mengeluarkan air yang semakin membesar dan ahkirnya menjadi sebuah sumur dan sendang. Air dari sumur itu selanjutnya dijadikan sebagai sumber guna mengatasi paceklik yang melanda wilayah Baros. Dan, Tumenggung Jaya Maruta pun kemudian diberi gelar yaitu Ki Jaga Ripuh karena dianggap mampu mengatasi keripuhan warga masyarakat Baros dalam memenuhi kebutuhan akan air. Sebagai catatan, ada juga yang mengatakan bahwa gelar itu dialamatkan kepada Tumenggung Jaya Maruta karena dianggap dapat mengatasi atau menyelesaikan orang-orang yang sedang ripuh atau mengalami masalah dalam kehidupan pribadinya.

Di dekat mata air itu pulalah Ki Jaga Ripuh yang sering bersemedi mendapatkan jodohnya. Konon, karena air yang keluar begitu jernih dan tanpa henti, maka dimanfaatkan oleh banyak makhluk, baik yang kasat mata maupun yang tidak. Salah satu jenis mahkluk tidak kasat mata yang kerap hadir adalah sejumlah bidadari dari kahyangan.

Suatu hari ketika sedang berada di sekitar sumur Ki Jaga Ripuh melihat ada tujuh bidadari turun dari kahyangan untuk membersihkan diri. Sebelum turun ke air mereka melepas selandang terbang dan menumpuknya di salah satu sudut sendang. Ki Jaga Ripuh yang melihat kemolekan para bidadari itu diam-diam mengambil satu daru tujuh selendang mereka.

Walhasil, saat hendak kembali lagi ke kahyangan salah satu dari mereka (bernama Mayang Sari) tidak dapat terbang karena tidak berhasil menemukan selendangnya. Setelah mencari di seluruh areal sumur dan tidak berhasil menemukan, dia putus asa lalu duduk termenung meratapi nasib.

Di tengah keputusasaan itu tiba-tiba muncul Ki Jaga Ripuh dari arah semak belukar. Dia menawarkan Mayang Sari untuk tinggal di rumahnya karena tidak mungkin kembali lagi ke kahyangan tanpa menggunakan selendang terbang. Singkat cerita, tidak lama setelahnya mereka pun akhirnya menikah dan tinggal di dekat sumur.

Setelah meninggal, keduanya dimakamkam berdekatan. Bersama dua orang pengawal bernama Hasan dan Husein serta juru kunci pertama, mereka menempati makam berbentuk rumah yang letaknya beberapa puluh meter dari lokasi sumur. Seiring waktu, makam ini kemudian diziarahi karena Ki Jaga Ripuh dianggap sebagai orang sakti yang dapat menyelesaikan segala permasalahan hidup.

Banyaknya peziarah yang datang membuat pengelola (mungkin berdasarkan wangsit) kemudian menerapkan aturan atau tata cara berziarah. Aturan atau tata cara itu ada beberapa macam, bergantung dari niat peziarah sendiri. Apabila niatnya tidak terlalu berat seperti minta dilancarkan rezeki atau hanya sekadar berziarah, maka sebelum memasuki makom Ki Jaga Ripuh diharuskan mandi di sumur keramat. Kemudian, saat akan mandi harus membaca basmallah serta kalimat syahadat. Dan, seusai mandi disyaratkan membawa air keramat untuk didoakan di makam.

Namun, apabila peziarah memiliki niat khusus yang cukup berat, maka disarankan melakukan riyadoh atau menginap selama satu minggu hingga 41 hari (bisa setiap hari atau tujuh kali setiap malam jumat). Adapun tata caranya sama seperti peziarah biasa hanya saja dilakukan selama beberapa hari berturut-turut.

Foto: htps://www.tiktok.com/@nurahadalfatih/video/7270739259315834117

Alun-alun Ujungberung

Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama

Archive