Warsa Si Juragan Kambing

(Cerita Rakyat DKI Jakarta)

Alkisah, ada tujuh orang gadis cantik jelita. Mereka adalah anak dari seorang hartawan. Ketika remaja, Sang ayah meninggal dunia. Tidak lama berselang ibu mereka juga meninggal dunia. Oleh karena masih tergolong muda, maka sebagian dari mereka belum memikirkan tentang masa depan. Setiap hari diisi dengan bersenang-senang bersama para pemuda dari kalangan bangsawan dan orang berada.

Hanya salah seorang dari adik-beradik ini yang tidak pernah turut bersenang-senang. Dia adalah Siti Zaenab. Di kala para saudarinya sedang berasyik ria dengan para pemuda, dia memilih memisahkan diri. Walhasil, Siti Zaenab pun seakan terabaikan. Padahal, sesungguhnya ada seorang kakak (bernama Siti Zubaidah) yang merasa kasihan padanya. Tetapi dia tidak berani terang-terangan menunjukkan perhatiannya pada Siti Zaenab karena takut akan murka Siti Zulaikha (sulung) yang bengis dan amat membenci adik bungsunya.

Adapun cara yang dilakukan oleh Siti Zubaidah agar tidak dicurigai oleh Siti Zulaikha adalah dengan memberi uang kepada seorang janda yang akrab disapa Bibi Kambing untuk membantu memasak dan mencuci pakaian Siti Zaenab. Walau upah yang diterima tidak seberapa tetapi Bibi Kambing bekerja dengan rajin dan tekun sehingga Siti Zaenab tidak terlantar karena tidak diperhatikan oleh para kakaknya.

Berkenaan dengan sebutan "Bibi Kambing" bagi dirinya, berawal dari anak satu-satunya bernama Warsa yang bekerja sebagai penggembala kambing. Oleh karena tiap hari Warsa selalu pergi menggembala kambing, maka masyarakat sekitar menyebutnya sebagai juragan kambing. Sementara sang ibu disebut dengan Bibi Kambing.

Awalnya Bibi Kambing setiap hari datang ke rumah Siti Zaenab membawa makanan dan pulangnya membawa pakaian kotor untuk dicuci di rumah. Lama-kelamaan karena melihat Siti Zaenab selalu seorang diri dan tidak ada yang mempedulikan, maka dia mengajak untuk tinggal di rumahnya. Pikir Bibi Kambing, tentu tidak akan ada yang "ngeh" bila Siti Zaenab tidak ada di rumah. Sebab, mereka sibuk mengurus diri sendiri agar terlihat cantik di hadapan para pemuda.

Tidak berapa lama tinggal di bilik sederhana milik Bibi Kambing, Siti Zaenab sudah merasa kerasan. Badannya terlihat berisi dengan wajah menampakkan keceriaan. Di rumah itu dia juga mulai akrab dengan Warsa Si Juragan Kambing. Bahkan, semakin hari meraka menjadi akrab sekali sehingga menimbulkan kekhawatiran pada Bibi Kambing. Sesuai dengan adat waktu itu, dia merasa pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang terlalu dekat kuranglah baik. Bila warga masyarakat melihat, maka sanksi sosialnya dapat berupa teguran atau bahkan sindiran yang tidak mengenakkan hati.

Sebelum terlanjur, Bibi Kambing memanggil dan menasihati Warsa. Sebagai solusi, dia menyarankan agar Warsa beralih pekerjaan menjadi seorang peniaga. Dengan begitu, dia dapat berniaga ke daerah lain yang selama ini belum pernah didatangi serta mencegah gunjingan tetangga karena kedekatannya dengan Siti Zaenab.

Menuruti kata Sang ibu, Juragan Kambing lalu menjual seekor anak kambing yang telah menjadi haknya. Sebagai penggembala kambing, upah yang didapat bukanlah sejumlah uang melainkan dalam bentuk sistem bagi-hasil. Apabila kambing yang digembalakan hamil, maka anak-anak kambing tersebut selanjutnya dibagi dua antara pemilik dan orang yang dipekerjakan untuk menggembalakannya. Kebetulan kambing yang digembalakan oleh Warsa baru saja melahirkan dua ekor, sehingga dia mendapatkan seekor anak kambing sebagai bagiannya.

Anak kambing upah menggembala itu rencananya akan dijual sebagai modal usaha membeli berbagai macam kebutuhan rumah tangga. Oleh karena setiap hari kerjanya hanya berurusan dengan kambing, ketika di pasar dengan mudah kambing terjual. Dia dapat menjelaskan secara detail kekurangan dan kelebihan kambingnya sehingga pembeli berminat untuk membeli. Dan, karena menjual kambing dirasa lebih mudah, maka dia memutuskan menjadi makelar kambing.

Transaksi awal yang dilakukan Warsa sebagai makelar adalah ketika dia berhasil menjualkan kambing milik seorang haji pada seorang pemilik warung sate kambing yang kebetulan kehabisan stok daging. Upah menjadi makelar kambing ini sebagian digunakan untuk makan dan berkelana mencari orang yang akan menjual kambing, sementara sisanya disimpan sebagai modal usaha.

Seiring waktu, simpanan Warsa bertambah banyak sehingga dia dapat membeli sejumlah kambing untuk dipelihara agar lebih sehat sebelum dijual dengan harga yang lebih tinggi. Dalam waktu yang tidak berapa lama Warsa benar-benar menjelma menjadi juragan kambing. Julukan yang mungkin merupakan olok-olok sewaktu kecil ternyata menjadi motivasi untuk mewujudkannya.

Setelah menjadi juragan kambing yang kaya raya, Warsa memutuskan pulang kampung. Sesampai di kampung halaman, Warsa segera merenovasi rumah hingga terlihat mewah dan mentereng. Walhasil, banyak orang terkesima. Tidak terkecuali para saudari kandung Siti Zaenab. Mereka, kecuali Siti Zubaidah yang telah menikah, beramai-ramai "tebar pesona" pada Warsa. Adapun tujuannya adalah agar Warsa terpikat dan mau mengawini salah seorang di antaranya. Bila hal itu terjadi, otomatis harta yang diperoleh Warsa dapat dikuasai.

Namun, hati Warsa rupanya telah tertambat pada Siti Zaenab. Demikian pula dengan Siti Zaenab. Dia yang kini tinggal bersama keluarga Siti Zubaidah juga memendam rasa pada Warsa. Mereka akhirnya mengikat diri dalam sebuah pernikahan. Acara resepsinya diadakan secara besar-besaran dengan menanggap berbagai macam kesenian. Hal ini tentu saja membuat saudari-saudari Siti Zaenab menjadi iri, marah, dan kesal, karena merasa salah seorang dari merekalah yang lebih berhak bersanding dengan Warsa. Dan, untuk melampiaskannya, mereka bersekongkol hendak mencelakakan Siti Zaenab.

Rencana mencelakakan itu dilancarkan ketika Warsa pergi berniaga ke negeri seberang. Mereka datang ke rumah Siti Zaenab dan mengajaknya pergi berpesiar naik sampan menuju tempat wisata di daerah seberang. Alasannya sebagai hadiah bagi Siti Zaenab yang baru menikah. Mereka bertingkah seolah-olah sayang terhadap si adik bungsu. Padahal, dibaliknya tersimpan rencana keji terhadap Siti Zaenab.

Usai menetapkan hari berpesiar mereka undur diri. Siti Zaenab yang merasa aneh dengan tingkah laku para kakaknya yang berubah 180 derajat segera melaporkan pada Siti Zubaidah. Oleh Siti Zubaidah dia dinasihati berhati-hati selama ikut berpesiar agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Selain itu, dia juga memberi sebuah kantong berisi roti, cincin permata dan sebilah sekin sebagai bekal selama berpesiar.

Pada hari yang telah disepakati berangkatlah mereka menuju sampan yang telah ditambatkan di tepi sungai. Sepanjang perjalanan mereka saling bersenda gurau seakan menyambut gembira karena Sang adik bungsu telah berhasil menemukan tambatan hati. Ketika sampan merapat, satu persatu mereka turun ke darat. Terakhir, ketika Siti Zaenab hendak ikut ke darat tiba-tiba Siti Zulaikha melepas tambatan hingga sampan oleng dan terseret arus.

Pekikan minta tolong Siti Zaenab ditanggapi dengan tawa riang para kakaknya. Dan setelah sampan hilang dari pandangan mereka segera menaiki sampan milik nelayan setempat yang tertambat tanpa dijaga menuju rumah Siti Zaenab. Sesampai di sana, dipelopori Siti Zilaikha mereka menduduki rumah mewah itu. Bibi Kambing tidak dapat berbuat apa-apa dan memilih menyingkir ke rumah Siti Zubaidah.

Di lain tempat, Siti Zaenab terombang ambing hingga ke muara sungai (dekat pelabuhan) yang jauhnya puluhan kilometer dari rumah. Saat sampan hendak menuju laut lepas, beruntung ada seorang nelayan yang menariknya. Siti Zaenab diselamatkan dan diantar ke rumah Syahbandar. Di sana, dia "indekost" sembari menunggu perahu suami datang dari negeri seberang. Cincin permata pemberian Siti Zubaidah digunakan untuk membayar kamar serta makan sehari-hari.

Beberapa bulan kemudian datanglah Warsa dari negeri seberang. Ketika perahu mewah yang ditumpangi merapat di pelabuhan dia langsung disambut hangat oleh Siti Zaenab. Selanjutnya Siti Zaenab menceritakan bagaimana dia bisa menyambut kedatangan Warsa, mulai dari rencana berpesiar hingga "indkost" di rumah Syahbandar.

Mendengar penuturan isterinya, Warsa langsung naik pitam dan berniat membalas dendam. Tanpa menunggu lagi mereka langsung pulang naik bendi. Sesampai di batas kampung, Warsa menyuruh Siti Zaenab masuk ke dalam sebuah peti besar yang salah satu sisinya memiliki lubang sebesar kepalan tangan. Tiba di rumah Warsa disambut hangat oleh Siti Sulaikha. Dia seolah-olah bertindak sebagai pemilik rumah dan tidak sedikit pun bicara tentang Siti Zaenab atau Bibi Kambing. Hal pertama yang ditanyakan adalah apakah Warsa mendapatkan keuntungan besar dari hasil berniaga.

Warsa hanya menjawab bahwa seluruh keuntungan telah disimpan di dalam peti yang dibawanya. Siti Zulaikha dipersilakan mendekati peti besar berisi keuntungan yang telah didapat Warsa selama berbulan-bulan berniaga di negeri seberang. Bila tertarik, dia boleh mengambil barang sedikit melalui lubang yang ada di sisi peti.

Kesempatan itu tidak disia-siakan Siti Zulaikha. Dia lalu mendekat dan menjulurkan tangannya ke dalam peti. Ketika tangannya sudah berada di dalam, secepat kilat Siti Zaenab menikamnya pada bagian jantung dengan senjata skin pemberian Siti Zubaidah. Mayatnya kemudian disembunyikan oleh para pengawal Warsa ke dalam bendi. Begitu seterusnya, satu per satu kakak Siti Zaenab dipersilakan memasukkan tangan ke dalam peti lalu ditikam.

Setelah tewas, mayat mereka kemudian dikuburkan di halaman belakang rumah. Selanjutnya, Siti Zaenab dan Warsa si Jurgan Kambing dapat menempati kembali rumah mereka. Bersama dengan Bibi Kambing ketiganya hidup tenteram hingga akhir hayat.

Diceritakan kembali oleh ali gufron

Jaka Pertaka

(Cerita Rakyat DKI Jakarta)

Alkisah, ada seorang penebang pohon. Suatu hari ketika sedang mencari pohon tua di tengah hutan, secara tiba-tiba dia diserang oleh seekor burung garuda. Tetapi karena serangan garuda demikian cepat, dia tidak sempat menghindar. Kedua matanya tersambar cakar tajam garuda hingga buta seketika dan tidak dapat berbuat apa-apa. Dia hanya bisa duduk bertafakur meminta pertolongan para dewa di kahyangan.

Doa Sang penebang ternyata dapat menggetarkan kahyangan dan didengar oleh Dewa Umar Maya. Dia lalu memerintahkan anaknya yang bernama Jaka Slaka untuk bertapa agar mendapatkan obat guna kesembuhan Sang Penebang. Tanpa membantah, Jaka Slaka pergi memunaikan perintah Umar Maya. Dia menuju ke suatu tempat khusus yang biasa digunakan oleh para dewa bila ingin bermeditasi atau bertapa.

Tidak berapa lama setelah Jaka Slaka bertapa, Sang isteri yang tengah hamil tua melahirkan bayi laki-laki. Oleh karena Jaka Slaka tidak bersamanya, maka Umar Maya yang memberi nama Sang cucu, Jaka Pertaka. Agar Jaka Pertaka tidak rewel, Umar Maya memberi mainan berupa boneka gajah putih berkepala empat.

Mainan tersebut rupanya tidak hanya membuat Jaka Pertaka senang dan tidak rewel. Ada orang lain yang juga ingin memilikinya. Dia adalah seorang puteri dari sebuah kerajaan. Awal mula ketertarikan Sang Puteri ketika dia bermimpi melihat seekor gajah putih berkepala empat. Dari mimpi itu dia menjadi resah dan meminta pada ayahanda Raja agar mencarikan gajah sesuai dengan mimpinya.

Alangkah terkejut Sang raja mendengar permintaan puterinya. Selama hidup dia sendiri belum pernah melihat ada gajah berwarna putih, apalagi memiliki empat kepala. Hewan itu hanya ada di kahyangan. Dan, tidak sembarang penghuni kahyangan dapat memiliki. Namun, karena rasa sayang dan tidak ingin mengecewakan Sang puteri, maka dia menyanggupi. Dititahnya patih kepercayaan yang sakti mandra guna mencari dan membawa gajah permintaan Sang Puteri ke kerajaan.

Tidak lama kemudian berangkatlah Sang Patih meninggalkan kerajaan. Sama seperti Sang raja, dia sendiri sebenarnya juga belum pernah melihat gajah putih berkepala empat. Oleh karena itu, dia selalu bertanya pada siapa saja di tempat-tempat yang di singgahi. Tetapi, hingga berhari-hari tidak ada yang tahu atau pernah melihat gajah putih berkepala empat.

Dalam keputusasaan, Sang Patih tiba di sebuah taman nan asri, indah, dan sejuk. Ketika hendak beristirahat, dia mendengar ada suara kanak-kanak yang tertawa riang gembira. Ketika didekati, dia melihat ada seorang di antara mereka yang menggenggam mainan berupa boneka berbentuk gajah putih berkepala empat. Pikirnya, apabila anak itu memiliki boneka gajah putih, kemungkinan besar dia pernah melihat wujud aslinya. Atau, paling tidak orang tua si anak dapat menunjukkanya.

Dia kemudian mendatangi si anak. Dengan nada ramah, ditanyanya dari mana boneka itu berasal dan apakah dia pernah melihat wujud asli binatangnya. Tetapi, mungkin karena dia anak dewa yang selalu dimanja, di luar dugaan pertanyaan Sang Patih dijawab dengan sangat ketus. Marahlah Sang patih kehabisan kesabaran. Dalam sekejap mata ditariknya tangan Jaka Pertaka dan dibawa pergi jauh dari taman.

Malam harinya, Ibunda Jaka Pertaka resah karena Sang anak belum juga kembali. Sambil menangis tersedu-sedu dia mendatangi Umar Maya dan menceritakan perihal ketidak pulangan Jakar Pertaka ke rumah. Padahal, biasanya menjelang senja dia telah pulang untuk membersihkan diri dan menikmati hidangan makan malam.

Menindaklanjuti "laporan" Ibunda Jaka Pertaka, Umar Maya segera bergegas mencari anak itu, baik di kahyangan maupun bumi. Namun setelah berhari-hari mencari, Jaka Pertaka tak kunjung ditemukan. Pikir Umar Maya, mungkin karena di dewa maka tidak ada yang berani mendekat. Oleh karena itu, dia memutuskan menyamar sebagai manusia dalam wujud seorang kakek dengan nama Kaki Jugil.

Tetapi, lagi-lagi dia tidak dapat menemukan keberadaan Jaka Pertaka kendati telah dicari selama berhari-hari bahkan sampai bertahun-tahun. Suatu saat, dia melihat ada seorang remaja yang diikat dan diseret oleh laki-laki tua. Merasa kasihan terhadap remaja itu, Kaki Jugil bertanya pada si penyeret mengapa dia diperlakukan demikian.

Biasanya, bila ada orang yang bertanya si penyeret yang tidak lain adalah Sang patih akan menjawab sekenanya. Tetapi melihat sosok Kaki Jugil yang terlihat berkharisma (karena dia dewa), maka Sang Patih menceritakan awal mula kejadian hingga dia harus mengikat dan menyeret si remaja ke mana pun mereka pergi.

Berdasar cerita Sang Patih tersebut tahulah Kaki Jugil bahwa si remaja adalah cucunya sendiri, Jaka Pertaka. Ada rasa sedih, duka, dan bersalah bercampur aduk dalam diri Kaki Jugil. Dia tidak menyangka kalau mainan yang diberikan agar tidak rewel malah menjadi malapetaka bagi Jaka Pertaka. Tentu saja Jaka Pertaka tidak akan tahu di mana keberadaan gajah putih berkepala empat yang dicari oleh Sang patih.

Oleh karena itu, Kaki Jugil berusaha membujuk Sang patih agar melepaskan Jaka Pertaka. Sebagai ganti dia akan menunjukkan dimana keberadaan gajah putih berkepala empat yang selama ini dia cari. Tanpa basa-basi tawaran itu ditolak oleh Sang patih sehingga terjadilah perkelahian dengan Kaki Jugil. Namun karena yang dilawan adalah dewa, dalam sekejap mata Sang patih dapat dikalahkan hingga lari tunggang-langgang meninggalkan Jaka Pertaka.

Selepas Sang patih melarikan diri Kaki Jugil lalu mengajak Jaka Pertaka berkelana. Kaki Jugil tidak memeritahu siapa dirinya, melainkan hanya berujar bahwa dia diutus untuk mendampingi Jaka Pertaka mengembara di dunia. Bila telah tiba waktunya, tentu Jaka Pertaka dapat kembali ke kahyangan dan berkumpul kembali bersama kedua orang tua serta sanak kerabat lainnya.

Selanjutnya, berkelanalah mereka ke ujung dunia. Jaka Pertaka yang terlihat sangat lelah karena selalu diseret ke mana pun Sang patih pergi, oleh Kaki Jugil diubah wujud sebagaimana layaknya dewa. Dia lalu dimasukkan dalam tusuk kondai ajrang yang selalu disematkan di kepala Kaki Jugil. Hanya sesekali saja Jaka Pertaka keluar dari kondai ajrang. Selebihnya, dia memilih untuk berdiam diri karena telah lelah diseret Sang patih selama bertahun-tahun.

Suatu hari, ketika sampai di sebuah desa, mereka mendapati ada empat orang bersitegang memperebutkan patung seorang perempuan. Perebutan patung itu bermula ketika salah seorang dari mereka menemukan sebatang kayu langka yang berkualitas tinggi. Sayang bila dijadikan perabot rumah tangga biasa, salah seorang saudaranya mengusulkan agar kayu dibentuk menjadi sebuah patung. Untuk itu, mereka kemudian menyerahkan pada saudara lain yang memiliki kepandaian dalam memahat kayu. Selesai dibuat, patung lalu diserahkan pada saudara lain lagi yang pandai melukis untuk diberi warna. Hasilnya, jadilah sebuah patung perempuan sangat cantik dan seolah hidup.

Mereka pun menjadi takjub dan masing-masing ingin memiliki sehingga terjadi keributan. Namun ketika akan saling baku hantam, datang Kaki Jugil melerai sambil bertanya mengapa mereka berbuat demikian. Salah seorang di antara mereka kemudian menceritakan secara kronologis sebab musabab mengapa mereka bertengkar. Selesai bercerita, yang lain menimpali dengan meminta Kaki Jugil yang dianggap bijaksana untuk memilih siapa yang paling berhak memiliki patung.

Kaki Jugil tidak mau menentukan siapa yang berhak memilikinya. Dia berkata bahwa yang berhak adalah si patung sendiri. Oleh karena itu, dia mengeluarkan tusuk kondai ajrang yang tersemat di kepala lalu mamasangnya pada patung. Sejurus kemudian hiduplah si patung yang langsung menari dengan lemah gemulai.

Ketika si patung berhenti menari, Kaki Jugil bertanya tentang siapa yang berhak memiliki. Si patung tidak memilih keempatnya karena mereka masih bersaudara. Singkat cerita, agar tidak berlarut-larut Kaki Jugil mengambil jalan tengah. Dia mengusulkan pada empat bersaudara itu ikut berkelana bersamanya dalam bentuk sebuah group. Keempat bersaudara menjadi panjak atau pemain waditra, si patung yang telah menjadi manusia berperan sebagai penari, dan Kaki Jugil bertindak sebagai dalangnya. Setelah dicapai kesepakatan, mereka pun berkelana dan ngamen di mana-mana.

Lalu bagaimana nasib sang penebang pohon yang buta matanya akibat cakaran burung garuda? Apakah dia telah diobati oleh Jaka Slaka dan sembuh seperti sedia kala? Entahlah......gelap...

Diceritakan kembali oleh ali gufron

Si Monyet Malas

(Cerita Rakyat DKI Jakarta)

Alkisah, ada seekor monyet yang sangat malas. Kerjanya hanya makan, tidur, dan bermain di pepohonan. Suatu hari, ketika sedang bersantai di sebuah pohon rindang pandangannya diusik oleh aktivitas seekor tupai. Si tupai berjalan pulang-pergi mengangkut buah kenari ke dalam sarang yang berada tidak jauh dari Si monyet bersantai.

Aktivitas Si tupai tadi tentu saja membuat monyet terganggu. Perlahan dia bangkit mencari tempat baru yang lebih tenang. Baru beberapa kali berayun dilihatnya sebuah mempelam ranum tergeletak di tanah. Tanpa membuang waktu dia turun dari pohon untuk menyantap mempelam itu. Usai menyantap mempelam dia beranjak menuju ke pohon jambu yang sedang berbuah. Sambil menikmati buah jambu matanya tetap mengawasi aktivitas tupai.

Oleh karena Si tupai tidak berhenti hilir-mudik memasukkan buah-buah kenari ke dalam sarang, lama-lama risih juga Si monyet. Ditegurnya Si tupai agar tidak berjalan kesana-kemari. Hal itu dianggap mengganggu ketenangan hutan dan dapat membuat burung-burung berhenti berkicau.

Mendapat teguran Si Monyet, tupai menjelaskan bahwa dia sedang mengumpulkan makanan ke dalam sarang. Menurut monyet usaha Si tupai tadi hanyalah sia-sia belaka. Hutan sudah berlebihan makanan berupa buah-buahan. Bahkan, para penghuninya tidak perlu bersusah-payah memetik karena buah akan matang dan jatuh dengan sendirinya.

Penjelasan tadi hanya ditanggapi tupai dengan senyuman sambil kembali ke sarangnya. Dia memang tidak akan mencari buah kenari lagi karena hari telah menjelang senja. Sebagian kecil dari tumpukan buah kenari di dalam sarang cukup untuk mengganjal perutnya sepanjang malam. Esok hari dia akan kembali mencari buah kenari. Pikirnya, besok Si monyet pasti bertengger di pohon lain yang sedang berbuah.

Begitu seterusnya. Setiap hari tupai mengumpulkan buah kenari, sementara monyet berpindah dari satu pohon ke pohon lain yang sedang berbuah. Pada pertengahan musim kemarau tupai tidak perlu pergi jauh dari sarangnya karena persediaan buah kenarinya cukup hingga musim penghujan tiba. Lain halnya Si monyet yang kian hari semakin jauh dari Si tupai. Sebab, pepohonan mulai meranggas dan sebagian malah terlihat kering kekurangan air.

Dia harus mencari pepohonan yang masih tersisa yang biasanya berada di dekat aliran sungai. Setiap hari dia berjalan di bawah terik mata hari untuk mencari pepohonan yang masih berbuah. Sering kali ketika menemukan pohon yang masih berbuah, tidak lama kemudian binatang lain juga mendekat. Oleh karena pohon itu di luar daerah kekuasaannya, terpaksa dia harus mengalah dan pergi. Akibatnya, badan menjadi kurus kering kekurangan makan. Si monyet menyesal tidak mengikuti jejak tupai sehingga tetap asyik menikmati kenari walau kemarau melanda. Namun, penyesalan tinggallah penyesalan. Untuk memperbaikinya, terpaksa dia harus menunggu hingga musim penghujan tiba.

Diceritakan kembali oleh ali gufron

Si Ucup dan Kelongwewe

(Cerita Rakyat DKI Jakarta)

Alkisah, ada seorang nenek yang memperingatkan cucunya agar tidak keluar rumah karena hati telah malam. Namun, Sang cucu menolak dengan alasan sedang terang bulan. Banyak anak-anak yang keluar rumah dan bermain di halaman rumah. Adapun permainannya bergantung pada gender yang bersangkutan. Bila anak perempuan, mereka bermain congklak, lompat karet, dan lain sebagainya. Sedangkan anak laki-laki umumnya bermain petak umpet.

"Kalo lu pergi nanti diculik Kelongwewe," ujar Sang Nyak tua (nenek) menakuti.

"Apaan tuh?" tanya Sang cucu.

"Setan", jawab Nyak tua singkat.

"Bentuknye?", Sang cucu penasaran.

"Serem! Rambutnye gimbal panjang, matanye belo kayak mau keluar, lidahnye juge panjang kayak ular. Rumahnya di pohon gede. Kalau habis magrib dia keluar nyariin anak-anak buat diculik", jelas Nyak tua.

"Wiiiiih, syerem banget!" seru Sang cucu sambil merapat pada Nyak tua.

Agar sang cucu lebih merapat Nyak tua mulai bercerita bahwa dahulu di kampung sebelah pernah ada anak kecil yang diculik kelongwewe karena selepas magrib masih asyik bermain dan belum mau pulang. Dia bernama Ucup. Si Ucup diculik dan dibawa ke rumah kelongwewe, sehingga orang tuanya kebingungan. Mereka mendatangi seluruh lokasi yang biasa disambangi Si Ucup untuk bermain serta ke rumah teman-temannya, namun tidak ada seorang pun yang mengetahui keberadaannya.

Hampir putus asa, mereka memutuskan datang ke Nyak Iden. Dia adalah "orang pintar" yang berprofesi sebagai dukun beranak. Menurut keterangan Nyak Iden, Si Ucup diculik dan disembunyikan Kelongwewe. Sambil membakar kemenyan dan berkomat-kamit membaca mantera dia mencari petunjuk keberadaan Ucup. Dan, setelah mendapatkan bisikan gaib dia lalu memerintahkan orang tua Ucup pergi ke sebuah pohon besar yang berada di batas kampung. Di sanalah Kelongwewe itu menyembunyikan Si Ucup.

Ucapan Nyak Iden ternyata benar. Sesampai di pohon besar keduanya bersama sebagian penduduk kampung melihat Si Ucup tengah duduk termangu dengan tatapan kosong. Ketika ditanya dia hanya membisu dan tidak membalas sedikit pun. Oleh karena itu, Nyak Iden dipanggil untuk mengobati. Dan, baru pada hari ketiga dia dapat berbicara kembali.

Menurut penuturan Si Ucup, sewaktu akan pulang terpisah dengan teman-teman yang lari berhampuran tanpa mempedulikan satu dengan lainnya. Di tengah perjalanan dia berjumpa dengan perempuan tua yang membujuk agar turut ke rumah. Sebenarnya dia ingin menolak, tetapi entah mengapa, tidak dapat berbuat apa-apa dan hanya menurut saja ketika tangannya digenggam oleh perempuan itu. Mereka kemudian menuju pohon besar tempat dia duduk termangu sebelum ditemukan oleh orang tuanya.

Cerita Nyak tua tadi, entah benar atau hanya rekaan belaka, rupanya mampu mempengaruhi Sang cucu. Dia mengurungkan niat untuk bermain bersama teman-temannya di bawah sinar bulan purnama. Di dalam pikirannya sudah terbayang perempuan tua yang mengintai dari balik pepohonan dan siap untuk menculik siapa saja yang tengah lengah atau kosong pikirannya.

Diceritakan kembali oleh ali gufron

Koleangkak

(Cerita Rakyat DKI Jakarta)

Alkisah, ada seorang janda miskin. Dia hanya memiliki seorang anak gadis yang telah bertunangan dengan anak seorang petani. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari Sang janda bekerja sebagai penumbuk padi. Oleh karena berupah tidak seberapa, dia dan anak gadisnya acapkali kekurangan makan hingga suatu saat sang janda jatuh sakit. Dalam sakitnya, dia sempat meminta buah pisang untuk mengisi perut. Namun, hingga ajal menjemput keinginan itu tidak terwujud. Tidak ada uang untuk membelinya.

Melihat Sang ibu meninggal, Sang gadis bingung hendak meminta pertolongan pada siapa. Dia berlari kesana-kemari mendatangi para tetangga, namun entah kenapa, tidak seorang pun mau menolong. Sementara bila meminta pertolongan pada calon suami serta mertua, dia tidak sanggup harus menempuh sekitar satu hari perjalanan.

Agar jasad Sang ibu tidak diganggu binatang, untuk sementara dibungkus menggunakan sehelai tikar kemudian disimpan di lesung yang biasa digunakan menumbuk padi. Malam harinya terdengarlah suara dari dalam lesung. Sang gadis yang berada tidak jauh dari lesung tidak berani mendekat. Sambil menangis terisak dia memegangi kedua lutut yang gemetar ketakutan.

Ketika matahari terbit barulah dia berani mendekati lesung. Tetapi alangkah terkejutnya Sang gadis karena jasad Sang ibu sudah tidak berada dalam lesung. Sambil menangis sesenggukan dicarinya jasad itu di seluruh penjuru rumah. Tiba di samping rumah terdengarlah suara koleangkak (sejenis burung) yang bertengger di salah satu cabang pohon kapuk. Konon, burung ini kegemarannya adalah mencari kutu untuk dijadikan cemilan ^_^.

Si koleangkak berkicau parau mirip seperti suara manusia. Dalam kicauannya dia memberitahu Sang gadis agar berhenti menangis karena Sang ibu telah pulang mengikuti bayang-bayang. Selain itu dia juga memerintahkan agar Sang gadis pergi ke rumah calon mertuanya.

Di lain tempat, Sang petani calon mertua juga didatangi burung koleangkak yang bertengger di genting rumah. Si koleangkak berkicau bahwa calon menantu akan datang seorang diri. Calon besan telah menitipkan. Terimalah sepenuh hati.

Esok harinya datanglah Sang gadis. Dia disambut hangat oleh keluarga calon suami. Ada perasaan kasihan sekaligus senang karena Sang gadis akan menjadi bagian keluarga. Tidak lama kemudian mereka menikah. Pasangan ini hidup aman, bahagia, dan sejahtera. Sang isteri (sudah tidak gadis lagi) tidak lagi kelaparan seperti ketika masih bersama ibunya. Oleh karena itu dia sangat mengasihi dan tulus ikhlas mengabdi pada suami.

Walhasil, kehidupan mereka pun terlihat harmonis hingga suatu hari ada sebuah kejadian yang mengubah segalanya. Kala itu Sang suami memintanya mencari kutu-kutu yang bersarang di kepala. Sang isteri merasa hal itu sebagai suatu hal biasa sehingga dia menurut tanpa membantah.

Tetapi ketika kutu-kutu mulai diambil, secara perlahan tumbuhlah bulu di sekujur tubuh Sang isteri. Kian lama bulu-bulu itu bertambah lebat dan tubuh Sang isteri akhirnya berubah menjadi burung koleangkak. Tanpa berkata apa-apa dia lalu terbang menuju bayang-bayang. Dan, sejak saat itu Sang suami tertekan batin, merasa bersalah telah memerintah Sang Isteri mencari kutu. Dia menjadi lupa ingatan. Setiap hari kerjanya hanya berkeliling mengejar bayang-bayang burung koleangkak.

Diceritakan kembali oleh ali gufron
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Keraton Surosowan

Archive