Golok Ciomas

Bila mendengar kata Banten tentu yang terlintas di benak sebagian kita adalah tanah para jawara. Dalam aktivitas kesehariannya, para jawara itu tentu tidak akan lepas dari atribut-atribut yang mereka sandang. Salah satunya adalah golok yang menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia diartikan sebagai benda sejenis parang atau pedang yang berukuran pendek (http://kbbi.web.id/). Adapun fungsinya, menurut satupedang.blogspot.co.id, ialah sebagai alat pertahanan diri sekaligus juga sebagai lambang kehormatan seorang jawara.

Di Banten terdapat beberapa daerah penghasil golok. Salah satunya adalah golok dari daerah Ciomas, sebuah kecamatan yang berjarak sekitar 20 kilometer dari Kota Serang. Golok buatan Ciomas sangat tenar di kalangan masyarakat Banten dan bahkan hingga ke mancanegara. Ketenarannya bukan hanya dari keindahan bentuk, ukuran serta ketajamannya, tetapi juga karena dipercaya memiliki daya magis kuat (dimensilain.com).

Ada bermacam daya magis yang dimiliki oleh golok buatan Ciomas, di antaranya adalah: dapat meredakan suasana hati (marah, jengkel, dan lain sebagainya) (Ridho, 2015); menambah kesaktian karena mengandung sima (wisatabanten.com); mampu menaklukkan musuh tanpa harus mencabutnya dari warangka serta meredakan perselisihan (dimensilain.com), dan lain sebagainya.

Kemagisan golok Ciomas tersebut berkaitan erat dengan proses pembuatannya. Menurut wisatabanten.com, walau dari segi bentuk relatif sama dengan sejumlah golok produksi daerah lain, golok yang mengacu pada empat desain (Mamancungan, Kembang Kacang, Salam Nunggal, dan Candung) ini memiliki keunikan tersendiri. Ia dibuat melalui suatu tata cara khusus yang sakral dan telah diwariskan secara turun-temurun di Ciomas.

Proses Pembuatan
Pembuatan golok Ciomas hanya dilakukan pada bulan Mulud dalam kalender Jawa atau bulan Rabi'ul Awwal dalam kalender Hijriah. Tujuannya adalah sebagai penghormatan warga masyarakat Ciomas, khususnya warga Pondok Kaharu kepada Nabi Muhammad yang lahir pada tanggal 12 bulan Rabi'ul Awwal (dimensilain.com). Pada bulan ini proses pembuatan golok diawali dengan pengambilan air sepuh dari sembilan mata air yang ada di sekitar wilayah Pondok Kaharu. Selain itu, diadakan juga ritual khusus berupa puasa dan pembacaan doa atau tawasulaan. Si pembuatnya (pandai besi) pun terlebih dahulu harus berziarah ke para tokoh spiritual dan pendekar Banten (Ridho, 2015).

Proses penempaan goloknya sendiri dimulai pada tanggal 12 bulan Mulud menggunakan alat tempa khusus berupa godam keramat yang diberi nama Si Denok. Konon, godam Si Denok merupakan hadiah dari Sultan Banten yang diberikan kepada Ki Cenguk, orang pertama yang membuat golok di daerah Ciomas pada masa kerajaan Islam di Banten (wisatabanten.com). Ada beberapa versi mengenai keberadaan dan pengguna godam ini. Versi pertama dari dimensilain.com, menyatakan bahwa godam Si Denok digunakan oleh Ki Sidik Santani yang berada di Kampung Cibopong, Desa Citaman (kampung pemekaran di Desa Pondok Kaharu). Versi kedua dari wisatabanten.com yang menyatakan bahwa dahulu godam Si Denok berjumlah tujuh buah, namun saat ini hanya tersisa satu buah di Kampung Seuat. Sedangkan versi lainnya lagi dari okpganespa.blogspot.co.id, menyatakan bahwa godam Si Denok dimiliki oleh Jamsari, salah seorang kuturunan Ki Cengkuk. Jamsari hanya meminjamkan godamnya bagi siapa saja yang membutuhkan karena dia hanyalah petani dan bukan pandai besi.

Lepas dari keberadaan serta siapa pemakainya, yang jelas oleh masyarakat Ciomas Si Denok digunakan untuk menempa bakalan golok (setengah jadi) yang bahanya berupa besi khusus yang diambil dari Desa Pondok Kahuru dan Bojong Honje yang ditambah dengan lima atau tujuh campuran yang sifatnya rahasia. Konon, besi kusus ini telah ada sejak zaman Kesultanan Banten yang cara pengambilannya harus melalui riyadhoh atau wiridan dan puasa terlebih dahulu (Ridho, 2015).

Bila penempaan telah selesai, proses selanjutnya adalah membuat gagang golok. Bentuk gagang ada yang disebut wawayangan atau menyerupai wayang, belimbing (menyerupai buah belimbing), mamanukan (menyerupai burung), dan jebug sepasi yang menyerupai buah pinang dibelah. Adapun bahan pembuatnya dari akar kayu jawar karena dipercaya memiliki kekuatan yang baik. Dan terakhir, adalah pembuatan sarangka atau sarung golok yang diberi nama sendiri-sendiri, seperti sompal, simut meuting, dan peper. Sarung golok dilengkapi dengan cincin berjumlah ganjil yang terbuat dari tanduk binatang.

Berikut adalah demonstrasi pembuatan golok Ciomas yang ditampilkan dalam acara "Golok Day" pada event Bulan Wisata Kota Cilegon. Foto diambil akhir bulan April 2016.
Foto: Gufron
Sumber:
Ridho, Rasyid. 2015. "Misteri Keistimewaan Golok Ciomas (Bagian 1)", diakses dari http://daerah. sindonews.com/read/954898/29/misteri-keistimewaan-golok-ciomas-bagian-1-1422015688/30, tanggal 25 November 2016.

"Senjata Golok Ciomas, Pusaka Legendaris dari Banten", diakses dari http://dimensilain.com/senjata-golok-ciomas-pusaka-legendaris-dari-banten/, tanggal 25 November 2016.

"Sejarah dan Jenis Golok Jawara Banten", diakses dari http://satupedang.blogspot.co.id/2015/08/sejarah-dan-jenis-golok-jawara-banten.html, tanggal 25 November 2016.

"Golok", diakses dari http://kbbi.web.id/golok, tanggal 25 November 2016.

"Golok Ciomas: Produk Khas & Asli Banten", diakses dari https://wisatabanten.com/golok-ciomas-banten/, tanggal 26 November 2016.

"Golok Ciomas: Budaya Tradisi dan Warisan Religi Banten", diakses dari https://okpganespa.blogspot.co.id/2011/04/golok-ciomas-budaya-tradisi-dan-warisan.html, tanggal 26 November 2016.

Gunawan Supriadi

Apabila ada hama yang kini malah dijadikan sebagai maskot daerah, hanyalah luwak yang dapat melakukannya. Berkat hewan sejenis musang itu nama Kota Liwa mendunia. Bahkan, Pemerintah setempat saat ini setiap hari Jumat mewajibkan para pegawainya mengenakan batik berwarna merah khas Lampung Barat yang dihiasi taburan gambar luwak (Harjono: 2010).

Padahal, dahulu penduduk Lampung Barat (terutama para petani) menganggap luwak sebagai hama yang harus dimusnahkan. Hewan omnivora ini sering memakan buhan-buahan yang ditanam petani, seperti: kopi, pisang, pepaya, dan kakao. Dan, apabila wilayah perburuannya memasuki perkampungan penduduk luwak dapat memangsa ayam atau itik yang berada di kandang. Oleh karena itu, luwak sering diburu dan dimusnahkan menggunakan Timex (sejenis racun babi hutan).

Pencitraan luwak sebagai hama mulai bergeser ketika ada sejumlah wartawan televisi Hongkong datang ke Liwa untuk mencari kopi "olahan" luwak hutan. Dari mereka itulah, para penduduk mengetahui bahwa biji kopi yang telah diolah dalam organ pencernaan luwak ternyata memiliki nilai jual jauh lebih tinggi daripada biji kopi yang diusahakan oleh petani selama ini. Walhasil, perburuan luwak pun lebih intesif tetapi bukan untuk dibunuh melainkan ditangkarkan. Luwak menjadi binatang populer di Lampung Barat yang apabila diperdagangkan harganya dapat mencapai Rp.500.000,00 untuk jenis biasa (luwak/musang bulan) hingga Rp.1 juta per ekor untuk jenis yang mulai langka, yaitu luwak binturung atau sering disebut sebagai musang pandang (Harjono: 2010).

Sejak itu pula menggeliatlah industri kopi di Lampung Barat. Banyak daerah di kabupaten ini yang warganya mulai beralih pekerjaan menjadi pebisnis kopi luwak seperti di Way Mengaku, Liwa. Industri kopi luwak di Way Mengaku tidak didominasi oleh perusahaan nasional atau pemilik modal kuat, melainkan (dari hulu ke hilir) dilakukan oleh warga setempat dalam skala rumah tangga dengan sedikitnya ada empat merek dagang yang cukup terkenal, yaitu Kupi Musong Liwa, Raja Luwak, Ratu Luwak, dan Duta Luwak.

Salah satu merek dagang tersebut, yaitu Raja Luwak, dimiliki oleh pengusaha Gunawan Supriadi. Dahulu, Gunawan berprofesi sebagai "koordinator" (kalau tidak boleh disebut "preman") yang menguasai sejumlah lahan perparkiran di Liwa. Sosoknya lumayan ditakuti dan disegani karena sempat dua kali masuk sel akibat perselisihan soal parkir. Namun kini, orang lebih banyak mengenalnya sebagai pengusaha kopi luwak yang cukup mapan dan sukses (Harjono: 2011).

Rintisan usaha kopi luwak Gunawan bermula dari hobinya memelihara hewan-hewan liar, termasuk luwak yang diberi nama Inul dan Adam (mengambil nama pasangan penyanyi dangdut beken dan suaminya) (Harjono: 2011). Suatu hari ada seorang kawannya yang meminta izin mengurus luwaknya. Oleh Sang kawan Inul dan Adam tidak diberi makan daging ayam, melainkan kopi lalu kotorannya dikumpulkan. Penasaran melihat hal itu, Gunawan menelusurinya melalui media elektronik (internet) dan akhirnya mengetahui bahwa biji kopi yang telah diolah secara alami di dalam pencernaan luwak harganya sangat mahal (www.tribunnews.com).

Melihat adanya peluang usaha baru yang lebih menjanjikan, Gunawan segera memerintahkan para tukang parkir anak buahnya yang berjumlah 16 orang untuk mencari binatang luwak sebanyaknya. Setelah terkumpul luwan-luwak itu kemudian dipelihara di halaman belakang rumahnya. Namun, ketika ingin menjual biji kopi hasil "olahan" luwak-luwaknya Gunawan sempat terganjal persoalan pemasaran, terutama masalah hak paten yang mencapai belasan juta rupiah dan isu fatwa haram meski akhirnya ditarik kembali (Harjono: 2010).

Untuk mengatasinya dia terpaksa menawarkan kopi luwak yang diberi merek dagang "Raja Luwak" secara gerilya dari kafe ke kafe dan dari hotel ke hotel di sekitar Liwa. Dan, agar lebih menarik minat pembeli, Gunawan kadang membawa luwak jinak yang masih anak supaya pembeli percaya bahwa kopi yang dijualnya benar-benar hasil olahan binatang luwak (www.pengusaha.us).

Lambat laun usaha Gunawan mulai berkembang dengan jumlah luwak dapat mencapai 60 ekor bila sedang musim Kopi dengan omzet antara 20 kilogram hingga 2 kuintal per bulan dalam bentuk brenjelan. Sedangkan pada hari-hari biasa jumlah luwak yang dipelihara hanya sekitar 26 ekor. Sisanya ada yang diserahkan pada para pengusaha binaannya dan ada pula yang dilepasliarkan kembali. Gunawan bertransformasi dari seorang preman menjadi jutawan "Raja Luwak". Usaha kopi luwaknya kini telah mampu menembus pasar kopi kelas atas di Indonesia dan mancanegara, antara lain Jepang, Korea, Hongkong, dan Kanada (banyakbaca.com). Hal ini karena kopi luwak, khususnya dari Liwa, memiliki reputasi teramat baik, dan bahkan disebut-sebut sebagai salah satu kopi termahal dan terlangka di dunia.

Sukses menjadi pengusaha kopi Luwak tidak membuat Gunawan "lupa daratan" dan ingin memonopoli peredaran kopi luwak di Liwa. Hal ini dia buktikan dengan cara membantu para pengusaha kopi luwak lain yang tinggal di sekitarnya agar tidak terjebak dengan keterbatasan modal dan kendala lainnya sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan mereka. Keterbatasan modal merupakan masalah utama yang dihadapi pengusaha kopi luwak sehingga banyak yang gulung tikar. Mereka kurang mampu memutar modal usaha karena permintaan pasar belum rutin sementara biaya operasional (pemeliharaan luwak) relatif tinggi (sekitar Rp 1,6 juta per bulan per ekor). Kendala lainnya adalah maraknya peredaraan kopi luwak palsu di berbagai kota di Indonesia sehingga pengusaha kopi luwak asli kalah bersaing karena produknya lebih mahal.

Untuk mengatasi segala persoalan pengusaha kopi luwak tersebut Gunawan mencoba mengkoordinir para pengusaha kopi luwak di sekitar rumahnya, Gang Pekonan, Way Mengaku. Sebagian besar di antara mereka adalah para pemula yang tidak memiliki pasar ataupun merek dagang sendiri. Adapun caranya adalah dengan menampung sebagian kopi mereka lalu menjualnya dengan mereka dagang "Raja Luwak". Setiap pengusaha binaan Gunawan diwajibnya menyetor sejumlah 5 kilogram kopi dalam bentuk brenjelan (masih berupa kotoran). Selain itu, mereka juga diharuskan membayar iuran yang nantinya akan difungsikan sebagai bantuan permodalan khususnya untuk membeli kandang dan luwak bagi pengusaha kopi luwak yang masih belum mapan. Bagi Gunawan, keberadaan budidaya kopi luwak tidak hanya dapat memberikan nilai tambah yang mensejahterakan dirinya dan orang lain di sekitarnya tetapi juga menyelamatkan binatang luwak itu sendiri yang populasinya dahulu sempat terancam karena dianggap sebagai hama. (Gufron)

Foto: https://indonesiaproud.wordpress.com/2011/01/19/gunawan-supriadi-raja-kopi-luwak-dari-liwa/
Sumber:
Harjono, Yulvianus. 2010. "Dulu Dianggap Hama, Kini Jadi Maskot", diakses dari http://handsbusiness. blogspot.co.id/2010/12/dulu-dianggap-hama-kini-jadi-maskot.html, tanggal 10 Juni 2016.

----------------. 2011. "Raja Kopi Luwak", diakses dari http://sains.kompas.com/read/2011/01/ 19/10333359/.Raja.Kopi.Luwak, tanggal 10 Juni 2016.

"Mantan Preman Jadi Raja Kopi Luwak", diakses dari http://www.tribunnews.com/regional /2011/01/19/mantan-preman-jadi-raja-kopi-luwak?page=4, tanggal 12 Juni 2016.

"Dahsyat, Mantan Preman Sukses Jadi Milyuner Berkat Usaha Kopi Luwak", diakses dari http://www.banyakbaca.com/dahsyat-mantan-preman-sukses-jadi-milyuner-berkat-usaha-kopi-luwak, tanggal 12 Juni 2016.

"Gunawan Mantan Preman Sekarang Jadi Raja Kopi", diakses dari http://www.pengusaha.us/ 2015/01/gunawan-mantan-preman-sekarang-jadi.html, tanggal 13 Juni 2016.

Lincolin Arsyad

Lincolin Arsyad adalah intelektual asal Lampung Barat yang mampu menembus jajaran ekonom elite pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada. Posisi yang prestisius bagi laki-laki kelahiran Liwa, 21 Juli 1958 ini diraih berkat kerja keras, ketekunan, serta peran orang tua yang mengutamakan pendidikan sebagai bekal hidup. Semenjak kecil (sekolah dasar), Arsyad telah dituntut untuk selalu belajar dan terus belajar agar dapat menjadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa.

Bagi ayah Arsyad, M. Arsjad Siradji, ilmu pengetahuan merupakan bekal yang sangat penting dalam mengarungi kehidupan. Bekal ini jauh lebih penting dan berharga ketimbang limpahan warisan harta benda yang apabila tidak dijaga akan habis begitu saja. Dengan berbekal ilmu pengetahuan yang dimiliki, Arsyad Siradji yang pernah menjadi anggota DPRD Lampung dari Parmusi itu yakin bahwa seseorang dapat mengarungi segala rintangan dan tantangan dalam kehidupan.

Motivasi yang diberikan oleh Sang Ayah ternyata berdampak positif bagi pemikiran Lincolin. Setelah menamatkan pendidikan menengah pertamanya di SMPN 2 Tanjungkarang, Lincolin hijrah ke Yogyakarta untuk melanjutkan ke SMA Muhammadiyah 1. Lulus dari Muhammadiyah 1, dia lalu meneruskan lagi ke Universitas Gadjah Mada di Bulaksumur. Di universitas itu Lincolin memilih menimba ilmu di Fakultas Ekonomi Jurusan Ilmu Ekonomi dan Pembangunan karena dia sangat mengidolakan tiga ekonom senior Indonesia, yaitu: Prof. Sumitro Djojohadikusumo, Prof. Widjojo Nitisastro, dan Prof. Mubyarto (Wardoyo, dkk: 2008).

Tahun 1982 Lincolin lulus sarjana muda dan mendapat gelar Bsc. Oleh karena dia tetap melanjutkan ke jenjang Strata 1 dan dapat menunjukkan prestasi dalam studinya, maka pada tahun 1984 lulus serta mendapat gelar Drs pada tahun berikutnya. Setelah mendapat gelar, Lincolin pun melamar bekerja pada fakultas tempatnya menimba ilmu dan diterima sebagai dosen Fakultas Ekonomi UGM pada tahun 1985. Semenjak itu, karir suami dari Ine Maria Arsyad dan ayah dari Vania Gita Pratiwi Arsyad, Avecinna Caesary Arsyad, dan Gibran Erlangga Arsyad ini secara perlahan mulai menanjak.

Agar lebih menunjang karir, Lincolin lebih memperdalam ilmu ekonominya dengan melanjutkan pendidikan ke University of Pennsylvania di Philadelphia, Amerika Serikat, dari bulan Januari 1988 hingga lulus tahun 1990 dan mendapat gelar M.Sc dalam bidang Energy Management. Pulang dari Amerika Serikat, secara bertahap Lincolin mendapat sejumlah posisi penting baik di lingkungan kampus UGM maupun lembaga pemerintah lainnya. Posisi tersebut diantaranya adalah: (1) staf pengajar program Magister Manajemen (1990-sekarang); (2) Konsultan Bappeda Daerah Istimewa Yogyakarta (1991-1992); (3) Kepala Divisi Struktur dan Kebijakan Industri, Pusat Antar-Universitas (PAU) UGM (1990-1992); (4) Konsultan Balitbang Depdagri (1994-1995); (5) Wakil Direktur Lembaga Penelitian dan Pengembangan Ekonomi FE UGM (1995-2000); dan (6) Deputi Direktur Bidang Akademik Magister Ekonomika Pembangunan UGM (2004-2005) (Wardoyo, dkk: 2008).

Di sela-sela kesibukannya sebagai Deputi Direktur Bidang Akademik Magister Ekonomika UGM, Lincolin melanjutkan lagi studinya hingga jenjang Strata 3. Adapun lembaga pendidikan yang dipilihnya adalah School of Business Economics, Flinders University, Adelaide, Australia. Lincolin lulus tahun 2005 dan mendapat gelar Ph.D dengan disertasinya yang berjudul Assessing the Performance and Sustainability of Microfinance institution: The Case of Village Credit Institution of Bali.

Sesuai dengan judulnya, disertasi Lincolin terpusat pada masalah pembangunan daerah dan pengembangan lembaga keuangan mikro dengan fokus kajian pada upaya pengentasan kemiskinan dan advokasi pada rakyat kecil. Dia terobsesi memberantas kemiskinan melalui optimalisasi lembaga-lembaga keuangan mikro. Dari pengamatannya sejak tahun 1993, Lincolin meyakini masyarakat miskin dapat meningkatkan derajat kehidupannya menjadi lebih baik apabila diberi kesempatan yang memadai. Salah satu caranya adalah dengan membentuk lembaga keuangan mikro. Apabila keduany saling mengisi, warga miskin dapat melepaskan diri dari belenggu kemiskinan, sedangkan lembaga keuangan mikro pun dapat memetik keuntungan dan menjadi lembaga yang kuat.

Di daerah Bali lembaga keuangan mikro yang dapat berkembang baik adalah Lembaga Perkreditas Desa (LPD). Ide pendirian lembaga ini muncul dari, untuk, dan dikelola oleh masyarakat sendiri yang tidak lepas dari aspek budaya dan adat istiadat Bali. Hampir seluruh masyarakat Bali masih memegang teguh adat istiadat. Dengan adanya adat istiadat yang kuat, peran pemerintah pun tidak perlu banyak ikut campur dalam operasional LPD, tetapi cukup melindungi melalui peraturan daeran dan memfasilitasinya saja.

Selain mengkhususkan diri pada keuangan mikro, Lincolin juga sangat intens menganalisis kebijakan pemerintah terkait daya saing investasi. Lincolin berpendapat bahwa turunnya daya saing Indonesia dalam menarik investor asing karena regulasi pemerintah yang kurang mendukung iklim investasi, serta tidak adanya kepastian hukum terhadap berbagai penyimpangan berupa maraknya pungutan liar. Bahkan kebijakan politik pemerintah juga memiliki andil dalam penurunan daya saing investasi karena dampak dari pergantian sejumlah menteri atau pejabat negara yang mengakibatkan kepercayaan investor asing turun. Sedangkan dari aspek eksterdal, dapat dilihat bagaimana kini Vietnam sudah menjadi investor dan memiliki tenaga kerja produktif yang murah, sementara Indonesia kurang menjanjikan.

Minat pada lembaga keuangan mikro dalam ekonomi pembangunan, ekonomi kelembagaan, serta ekonomi bisnis ini membawa Lincolin masuk dalam berbagai organisasi ekonomi bertaraf nasional dan internasional, menempati berbagai posisi prestisius, menghasilkan puluhan karya ilmiah, serta meraih sejumlah penghargaan. Adapun organisasi tingkat nasional dan internasional yang diikutinya adalah: anggota Majelis Dikti dan Litbang PP Muhammadiyah (1991-1994 dan 2005-2010); Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI); dan International Association of Energy Economist (IAEE) (acadstaff.ugm.ac.id).

Sedangkan posisi prestisius setelah menjabat sebagai Deputi Direktur Bidang Akademik Magister Ekonomika Pembangunan UGM adalah: Direktur Program Magister Ekonomika Pembangunan UGM (Januari 2006-Aril 2007); Wakil Dekan Bidang Akademik FEB UGM (April-Oktober 2007); Dekan Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM; dan Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) cabang Yogyakarta periode 2010-2013. Lincolin dipilih sebagai ketua ISEI Yogyakarta secara aklamasi berdasarkan hasil Rapat Anggota Cabang ISEI di ruang sidang MM UGM (mm.feb.ugm.ac.id).

Untuk lebih jelasnya, berikut adalah curriculum vitae dari Lincolin Arsyad yang dikutip dari acadstaff.ugm.ac.id:
Education Background
1. Doctor, School of Business Economics, Flinders University, Adelaide, Australia, January 2001-January 2005, Thesis : Assessing the Performance and Sustainability of Microfinance Institution: The Case of Village Credit Institution of Bali
2. Master, Energy Management and Policy, The Graduate School of Social Sciences, University of Pennsylvania, Philadelphia, United States, January 1988 - January 1990, Thesis : -
3. Undergraduate, Bachelor Degree in Economics, Department of Economics, Universitas Gadjah Mada, Indonesia, August 1981 - August 1985, Thesis : -

Research Cluster/Group
1. Development Economics

Award
1. Modal Lecturer, Faculty of Economics, Gadjah Mada University, 1998
2. Third place winner in P4 Seminar, non, 1996
3. Modal Student, Faculty of Economics, Gadjah Mada University, 1984

Work Experience
1. Board of Director , January 2009 - January 2009, Magister Of Economics Development, Faculty of Economics and Business, Universitas Gadjah Mada.
2. Director of Graduate Program, January 2006 - Present, Graduate Program in Development Economics.
3. Vice Director for Academic Affair, January 2004 - January 2005, Graduate Program in Development Economics, Faculty of Economics, Gadjah Mada University, Yogyakarta.
4. Vice Director, January 1995 - January 2000, The Center for Research and Economic Development, Faculty of Economics, Gadjah Mada University, Yogyakarta
5. Consultant, January 1991 - January 1992, Board of Regional Development Planning
6. Lecturer, January 1990 - Present, Master of Management Program, Development Economics Page Program, and Postgraduate School of Economics.
7. Head of The Division of Structure and Industrial P, January 1990 - January 1992, Inter University Center (IUC), Gadjah Mada University, Yogyakarta, Indonesia.
8. Lecturer, March 1985 - Present, Faculty Economics and Business, Gadjah Mada University.

Research Supervision
1. Sekartaji, Angelica Dyah, Analisis perbedaan kinerja industri kerajinan yang clustered dan unclustered , Undegraduate, January 2005 - January 2005.
2. Ariyanti, Zita Kusuma, Pengaruh Modal Sosial terhadap Produktivitas Tenaga Kerja: studi kasus PT Pagilaran, Batang, Jateng , Undegraduate, January 2008 - January 2008.
3. Yuwono, Hariyudo Fajar, Analisis contagion effect krisis ekonomi Asia Tenggara tahun 1997/1998 menggunakan pendekatan model markov-switchinh variabel tahun 1992.1 - 1997.7 , Undegraduate, January 2008 - January 2008.

Course Subject
1. Institutional Economics, 3 credits, Undergraduate
2. Development Economics, 3 credits, Undergraduate

Research Grant
1. Bank of Indonesia, An Analysis of Saving Behavior in Central Java and Yogyakarta Province, January 1994 - Present.
2. the Department of Cooperative and Development of Small and Medium-scale Firms of the Republic of Ind, An Evaluation of Development and Improvement of Micro credit Program, January 1993 - January 1999.
3. DPP-SPP, Gadjah Mada University, The Impact of Micro credits on the Development of the Rural Small-scale Industries, January 1993 - Present.
4. Bank of Indonesia, An Analysis of Investment Opportunities in Yogyakarta, January 1993 - Present.
5. Inter University Center (IUC), Gadjah Mada University, An Analysis of Prospects of Small-scale Industries in Indonesia, January 1992 - Present.
6. Board of National Development Planning., The Role of Micro credits in Increasing Income of Rural Community, January 1992 - Present.
7. Board of National Development Planning, An Analysis of Poverty and Income Distribution in Indonesia, January 1991 - Present.
8. Board of Regional Development Planning of Yogyakarta Province, An Analysis of Income Distribution in Yogyakarta Province, January 1990 - Present.
9. Inter University Center (IUC), Gadjah Mada University, The Impact of Government Policy on Industrial Development in Indonesia, January 1988 - Present.
10. Inter University Center (IUC), Gadjah Mada University, The Role of Energy in Industrialization in Indonesia, January 1987 - Present.
11. Central Bureau of Statistics (BPS), A Statistical Analysis of Electricity Generation in Indonesia, January 1986 - Present.

Industrial Project
1. Bank Of Indonesia with PSEKP UGM, Baseline Economic Survey in Special District of Yogyakarta, January 2005 - Present.
2. Assessing the Performance and Sustainability of Microfinance Institution: The Case of Village Credit Institution of Bali, January 2005 - Present.
3. PPE FE UGM and BAPPEDA Yogya Province, Informal Sector Strategy for Enhancing Economic Growth of Yogyakarta Province, January 2005 - Present.
4. Center for Economic and Public Policy Studies Gadjah Mada University and PT Bank BTN , Survey for Educational Saving Development, January 2005 - Present.
5. Bappeda Sikka District, Crafting Strategic Planning for Sikka District of East Nusa Tenggara Province, January 2005 - Present.
6. Bank Of Indonesia with PSEKP UGM, Export Oriented Commodity (SIABE) Research in Special District of Yogyakarta, January 2003 - Present

Community Service
1. Farmers of Kecamatan Lendah, The Impact of Socio-economic Fators on Farmers Income: A Case Study in Kecamatan Lendah, Kulon Progo District, Yogyakarta Province., January 1985 -

Articles
1. Lincolin Arsyad, The Prospects of Small-scale Industries Development., Manajemen Usahawan Muda, January 1st 1993, pp.
2. Lincolin Arsyad, Trans-National Corporation and Economic Globalization., Business News, January 1st 1991, pp. non .
3. Lincolin Arsyad, Structure and Performance of Manufacturing Industries of ASEAN Countries, Manajemen Usahawan Muda, January 1st 1991, pp. Non.
4. Lincolin Arsyad, Agribusiness in Indonesia: Facts, Problems, and Prospects., Business News, January 1st 1986, pp. non

Book
1. Lincolin Arsyad, Introduction to Regional Economic Development and Planning, 2nd edition, Yogyakarta: BPFE UGM, 2002.
2. Lincolin Arsyad, Development Economics, 4th edition, Yogyakarta: UU BHP, 1999.
3. Lincolin Arsyad, Microeconomics, 2nd edition, Yogyakarta: BPFE UGM, 1994.
4. Lincolin Arsyad, Managerial Economics: An Applied Microeconomics for Business Management, 3rd edition, Yogyakarta: PT BPFE, 1993.
5. Lincolin Arsyad, Research Methodology for Economics and Business, Yogyakarta: AMP YKPN, 1993.
6. Lincolin Arsyad, Business Forecasting, Yogyakarta: PT BPFE, 1955.

Selected Publication
1. Lincolin Arsyad, Mudrajad Kuncoro, Wihana Kirana Jaya, and Untung W., Good Institution Good Investment , FSDE 2007, HIMIESPA FEB UGM, Yogyakarta, Indonesia, February 24th 2007.
2. Lincolin Arsyad, Assessing the Affecting Factors of Repayment Rate of Microfinance Institutions: A Case Study of Village Credit Institutions of Gianyar, Bali, International Journal of Business, vol. non, pp. non, 2006.
3. Lincolin Arsyad, How Do Microfinance Institutions Cope with Risk and Uncertainty? A Literature Survey., Journal of Indonesian Economics and Business (JEBI), vol. non, pp. non, 2006.
4. Lincolin Arsyad, An Assessment of Performance and Sustainability of Microfinance Institutions: The Importance of Institutional Environment., International Journal of Business, vol. non, pp. non, 2005.
5. Lincolin Arsyad, Institutions Do Really Matter: Lesson from Village Credit Institutions of Bali, Journal of Indonesian Economics and Business (JEBI), vol. non, pp. non, 2005.
6. Lincolin Arsyad, Do Institutions Really Matter? Lesson from Village Credit Institutions of Bali., International Seminar on Micro banking, non, Bali, Indonesia, January 1st 2004.
7. Lincolin Arsyad, Village Credit Institutions of Bali: An Institutional Analysis, 6th IRSA International Conference, IRSA, Yogyakarta, Indonesia, January 1st 2004.
8. Lincolin Arsyad, The Role of Microfinance Institutions in Economic Development: Evidence from Developing Countries, Journal of Indonesian Economics and Business (JEBI), vol. non, pp. non, 2000.
9. Lincolin Arsyad, An Analysis of Total Factor Productivity of manufacturing Industry in Indonesia, 1980 – 1992., Economics and Development Journal, vol. non, pp. non, 1998.
10. Lincolin Arsyad, The Pattern of Manufacturing Development in Indonesia in the period 1976-1993., Journal of Indonesian Economics and Business (JEBI), vol. non, pp. non, 1997.
11. Lincolin Arsyad, An Analysis of Eco-efficiency of Wood Manufacturing Industry: A Comparison between PT Inhutani and Perum Perhutani, Business Journal of Widya Wiwaha School of Business, Yogyakarta, vol. non, pp. non, 1997.
12. Lincolin Arsyad, The Causal Relationship between Energy Consumption and GDP: The Case of Indonesia, Universitas Gadjah Mada Business Review, vol. non, pp. non, 1994.
13. Lincolin Arsyad, The Prospects of Small-scale Industries Development., Manajemen Usahawan Indonesia, vol. non, 1993.
14. Lincolin Arsyad, Understanding Poverty Problem in Indonesia: An Introduction., Journal of Indonesian Economics and Business (JEBI), vol. non, 1992 15. Lincolin Arsyad, Rural Credit System and Microcredit in Indonesia, Journal of MBA IPWI, vol. 1/4, pp. non, 1992.

Sumber:
"Prof. Lincolin Arsyad, Ph.D Ketua ISEI Yogyakarta", diakses dari http://mm.feb.ugm.ac.id/index.php/news-index/2254, tanggal 2 Agustus 2016.

"Lincolin Arsyad", diakses dari http://acadstaff.ugm.ac.id/MTk1ODA3MjExOTg2MDMxMDAy, tanggal 23 Juli 2016.

Heri Wardoyo, dkk. 2008. 100 Tokoh Terkemuka Lampung, 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Bandar Lampung: Lampung Post. Hlm. 331-334.

KH. Muhammad Thohir

KH. Muhammad Thohir merupakan salah seorang ulama besar yang amat disegani di wilayah Lampung Barat karena memiliki ilmu agama yang tinggi. Beliau pernah memperdalam ilmu agama selama kurang lebih 30 tahun di jazirah Arab, yaitu di Mekkah, Madinah, Mesir, Palestina, dan Baghdad dan pernah berguru pada Syekh Abdul Qodir Jaelani yang banyak mengajarkan ilmu tarekat (facebook.com).

Lahir dengan nama Adjma, anak H. Ahmad Khotib, seorang keturunan Banten yang hijrah ke Krui, Pesisir Barat. Sewaktu kecil Adma sudah menunjukkan ketaatannya terhadap ajaran Islam dengan rajin mengaji dan belajar ilmu fiqih di kampungnya, Pekon Penengahan, Laai, Krui (sekarang tergabung dalam Kabupaten Pesisir Barat).

Oleh karena itu, tidak mengherankan ketika berusia 16 tahun Adjma berangkat ke Mekkah untuk melanjutkan pelajaran agamanya sekaligus juga ingin menunaikan ibadah haji. Tidak berapa lama bermukim di Mekkah, Adjma yang mengganti namanya menjadi Muhammad Thohir berangkat ke Kairo, Mesir, untuk memperdalam ilmu agama di Al Azhar. Masih kurang puas menimba ilmu di Al Azhar, beliau pergi ke Baghdad untuk berguru pada Syekh Abdul Qodir Jaelani. Dalam perjalanan menuju Baghgdad, beliau sempat mengunjungi Masjid Al Aqso di Palestina.

Usai berguru pada Syekh Abdul Qodir Jaelani, KH. M. Thohir pulang ke Liwa. Tidak lama berselang deliau lalu menikah dengan seorang gadis bernama Jamilah. Namun perkawinan mereka tidak bertahan lama karena Jamilah meninggal dunia. Kemudian, beliau menikah lagi dengan Fatimah dan dikaruniai tiga orang anak.

Selain mencari pasangan hidup di Liwa, KH. M. Thohir juga berusaha menyebarluaskan ilmu yang diperolehnya di jazirah Arab dengan mengajar agama di Pekon (Kampung) Balak Way Tegaga. Oleh pemerintah pendudukan Belanda, beliau diangkat menjadi guru agama Islam di Kawedanaan Krui. Tugasnya antara lain adalah mengajarkan agama Islam dari satu kampung ke kampung lainnya secara bergiliran.

Dalam mengajar KH. M. Thohir dikenal sebagai orang yang memiliki pendirian keras dan tegas terhadap hukum Islam. Namun, dibalik ketegasannya itu beliau termasuk orang yang lemah lembut dalam berbicara dan suka memaafkan orang lain. Selain itu, beliau juga pandai mengobati berbagai macam penyakit, sehingga banyak orang yang ingin berobat kepadanya. Bahkan, demi mencapai kesembuhan banyak diantara mereka yang rela menetap di rumah beliau selama berhari-hari atau berminggu-minggu. Semuanya dilakukan KH. M. Thohir tanpa pamrih sedikit pun.

Sebagai tokoh agama yang cukup berpengaruh di Lampung Barat, pada tahun 1936 KH. M. Thohir juga turut berpartisipasi dalam Muktamar Nahdlatut Ulama di Menes, Serang, Banten. Dalam muktamar tersebut beliau sempat mengutarakan tiga buah usulan, yaitu: pembentukan lembaga pendidikan Nahdlatul Ulama, muslimat Nahdlatul Ulama, dan bank berbasis Islam. Usulan terakhir konon merupakan cikal bakal berdirinya bank berbasis syariah yang umum dikenal sekarang ini (nu-lampung.or.id).

Sepulang muktamar KH. M. Thohir membentuk forum silaturahmi alim ulama yang merupakan salah satu jaringan Nahdlatul Ulama di Lampung. Jaringan ini kelak menjadi organisasi NU di Provinsi Lampung yang waktu itu masih bergabung dengan Provinsi Sumatera Selatan. Namun tidak lama setelahnya, mungkin karena usia yang sudah uzur, kondisi fisik beliau mulai menurun dan sakit-sakitan. Dan, beliau pun akhirnya wafat dalam usia 90 tahun pada tanggal 18 Januari 1950 bertepatan dengan tanggal 12 rabiul awal tahun 1370.

Foto: http://nu-lampung.or.id/blog/195.html
Sumber:
"KH. Muhammad Thohir, Tokoh Agama yang Tegas dan Berilmu Tinggi", diakses dari http://nu-lampung.or.id/blog/195.html, tanggal 15 Agustus 2016.

"KH. Muhammad Thohir", diakses dari https://www.facebook.com/permalink.php?story _fbid=532273943637624&id=439683669563319, tanggal 15 Agustus 2016.

Ngaseuk

Berladang merupakan salah satu bentuk pertanian (dalam arti luas). Dalam kebudayaan Sunda proses bercocok tanam di ladang para prinsipnya ada empat tahap, yaitu: pengolahan tanah, penanaman, pemeliharaan, dan penuaian (pemungutan hasil). Pada tahap pengolahan tanah terdiri atas ngaresik, nguyab, ngeprek, ngagaritan, ngalobang, dan ngaseuk.

Ngaseuk adalah membuat lubang sebagai tempat untuk memasukkan benih. Alat yang dipergunakan adalah sebatang kayu berbentuk menyerupai alu (alat penumbuh padi) yang salah satu ujungnya runcing, sehingga ketika ditusukkan ke tanah akan menghasilkan lubang.

Anjung

Anjung atau sapew umbul adalah sebutan orang Lampung bagi sebuah bangunan berupa rumah darurat di daerah peladangan atau umbulan (talang). Bentuk anjung segi empat memanjang, bertiang 1,80 meter, berlantai pelupuh bambu, berdinding pelupuh anyaman bambu atau kulit kayu, beratap alang-alang atau rumbia, dan memakai loteng darurat. Selain itu anjung juga bertangga, berserambi, mempunyai kamar, dapur dan bergarang. Anjung berfungsi sebagai tempat kediaman sementara dan kadang-kadang secara tetap, untuk tempat menunggu ladang dan atau kebun dari mulai masa tanam hingga panen.
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Keraton Surosowan

Archive