Alimuddin Umar

Alimuddin Umar merupakan salah satu tokoh berpengaruh yang berjasa dalam pendirian Kabupaten Lampung Barat sebagai salah satu wilayah yang dulunya menjadi bagian dari Kabupaten Lampung Utara (lenteraswaralampung.com). Sosok rendah hati yang pernah menjabat sebagai Walikota Bandar Lampung periode 1963-1969 dan Ketua DPRD Lampung 1987-1992 ini lahir di Kenali, Belalau, Lampung Barat pada tanggal 23 Maret 1928 (id.wikipedia.org).

Selain sebagai ketua DPRD dan walikota Alimuddin juga pernah mengemban amanah sebagai anggota DPR RI periode 1990-1997 dan Komandan Polisi Militer (Danpom) Garuda Hitam Provinsi Lampung periode 1948-1948. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila dibalik sosoknya yang rendah hati dan sederhana tersimpan tersimpan jiwa pekerja keras dan memiliki disiplin tinggi layaknya seorang prajurit (saliwanovanadiputra.blogspot.co.id).

Sebagai mantan prajurit, pria yang menikah dengan Rosmasari dan dikaruniai delapan belas orang cucu serta enam belas orang cicit ini mampu menjembatani dikotomi antara birokrat sipil dan militer guna membangun Lampung. Alimuddin berhasil menjadi pemimpin yang bijaksana dalam menanamkan semangat kerja keras kepada masyarakat Lampung. Dia juga berhasil menjadi figur yang selalu dapat mengayomi serta memberi motivasi sehingga dijadikan sebagai panutan bagi masyarakat.

Setelah mengabdikan dirinya bagi kemajuan masyarakat Lampung, Alimuddin Umar berpulang ke Rahmatullah pada hari Rabu 3 Oktober 2012 dalam usia 84 tahun. Mengikuti amanahnya, almarhum yang sebenarnya layak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Provinsi Lampung lebih memilih menyatu dengan masyarakat kebayakan di Taman Pemakaman Umum Pahoman. Atas jasa-jasanya terhadap Bumi Ruwa Jurai khususnya Kabupaten Lampung Barat, namanya kemudian diabadikan sebagai nama Rumah Sakit Umum Daerah Liwa.

Foto: https://id.wikipedia.org/wiki/Alimuddin_Umar
Sumber:
"Alimuddin Umar Tokoh Lampung dari Sekala Brak", diakses dari http://saliwanovanadiputra.blogspot.co.id/2016/02/alimuddin-umar-tokoh-lampung-dari.html, tanggal 16 Oktober 2016.

"RSUD Liwa Sematkan Nama Tokoh Lampung", diakses dari http://lenteraswaralampung.com/berita-532-rsud-liwa-sematkan-nama-tokoh-lampung.html, tanggal 16 Oktober 2016.

"Alimuddin Umar", diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Alimuddin_Umar, tanggal 16 Oktober 2016.

Situs Curug Mas

Pembangunan Waduk Jatigede tidak hanya berdampak pada hilangnya sejumlah desa di lima wilayah kecamatan di Kabupaten Sumedang (lebih lengkapnya lihat di sini). Selain desa yang membuat penduduknya harus direlokasi, area terdampak Waduk Jatigede juga meliputi 25 buah situs peninggalan Kerajaan Sumedang Larang (www.cnnindonesia.com). Salah satunya adalah Situs Curug Mas yang berlokasi di Dusun Cadasngampar, Desa Sukakersa, Kecamatan Jatigede (fajarsusilowati.blogspot.co.id).

Situs Curug Mas terdiri atas tiga objek, yaitu: (1) makam keramat Embah Dalem Panungtung Haji Putih Sungklanglarang (penyabar agama Islam dari Kesultanan Mataram) yang telah berkeramik warna putih, pagar bertutup kain warna merah-putih, dan bangunan tempat peziarah berkumpul. Di sekitar jalan menuju makam Embah Dalem Panungtung ada tiga buah makam lagi yang nisannya terbuat dari tumpukan batu kali, yaitu makam Embah Cokrowiryo/Angling Dharma, Uyut Jagadinata, dan Uyut Gelung Sakti; (2) air terjun (curug) Mas yang diyakini sebagai tempat menyimpan bokor emas, bekakak ayam emas, serta tumpeng emas; dan (3) sumur keramat yang diberi nama Sumur Bandung. Menurut sumedangtandang.com, masyarakat setempat percaya bahwa di sekitar air terjun "dijaga" oleh makhluk halus (roh) bernama Haji Saleh dan Nyi Mas Ratu Agan Mas, sementara di Sumur Bandung oleh Centring Manik dan Langlang Buana.
Foto: Ali Gufron
Sumber:
"Puluhan Situs Sejarah Sumedang Siap Ditenggelamkan Jatigede", diakses dari http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150730124307-20-69072/puluhan-situs-sejarah-sumedang-siap-ditenggelamkan-jatigede/, tanggal 2 Oktober 2016.

"Situs Curug Mas", diakses dari http://sumedangtandang.com/direktori/detail/situs-curug-mas.htm, tanggal 3 Oktober 2016.

"Curug Mas Sumedang", diakses dari http://fajarsusilowati.blogspot.co.id/2009/03/curug-mas-sumedang.html, tanggal 3 Oktober 2016.

Ngaberak

Ngaberak adalah istilah orang Sunda bagi kegiatan memberikan pupuk pada tanaman pertanian tanah basah (sawah). Kegiatan ini dilaksanakan pada saat nyacar dan setelah ngarambet kahiji serta ngarambet mindo. Ngaberak pada saat nyacar menggunakan pupuk organik dari kotoran hewan seperti kambing dan kerbau serta pupuk organik buatan pabrik. Adapun caranya adalah dengan membenamkannya ke dalam tanah bersamaan dengan jerami bekas panen yang sedang dicacar agar menjadi busuk.

Sementara untuk pemupukan pada saat ngarambet menggunakan pupuk kimia (anorganik) berupa Urea dan ZA atau NPK. Kedua jenis pupuk ini dapat dibeli dari Dinas Pertanian maupun toko-toko penyedia peralatan dan perlengkapan pertanian. Harga pupuk bergantung pada banyak tidaknya stok persediaan dan kondisi sosial politik di Indonesia. Caranya adalah dengan menebarkan pupuk secara merata agar tanah semakin gembur, sehingga anak tanaman bertambah banyak. Adapun jumlah takaran pemberian pupuknya bergantung pada luas lahan yang sedang digarap. Misalnya, satu hektar sawah memerlukan 1,5 kuintal orea dan 3 kuintal NPK untuk dua kali pemupukan. Pemupukan pertama yang dilaksanakan setelah ngarambet pertama ditebarkan sebanyak satu kuintal orea dan dua kuintal NPK. Sedangkan sisanya sebanyak 50 kilogram orea dan 1 kuintal NPK baru ditebarkan lagi ketika selesai ngarambet kedua. Alat pembawa pupuk buatan tidak ada kekhususan, cukup dengan dingkul atau wadah lainnya dan jika telah sampai di sawah maka pupuk buatan ini dipindahkan ke dalam wadah yang lebih kecil untuk kemudian ditebarkan. Untuk pupuk kandang dibawa pada carangka dengan cara dipikul.

Nukman Helwi Moeleok

Selain Abdoel Moeloek dan Farid Afansa Moeloek, ada seorang lagi keluarga Moeloek yang cukup dikenal oleh masyarakat Lampung Barat, yaitu Nukman Moeloek. Nukman lahir di Liwa pada tanggal 29 Desember 1945 dari pasangan Abdoel Moelok dan Poeti Alam Naisjah. Sang Ayah merupakan dokter asal Padang Panjang, Sumatera Barat, yang pernah mengabdikan diri menjadi dokter bagi rakyat kecil di sekitar tempat tinggalnya di Liwa, sementara isterinya Poeti Alam Naisjah bekerja sebagai guru. Saat menetap di Liwa inilah Nukman lahir. Tidak lama setelahnya (ketika bangsa Indonesia merdeka) Abdoel Moeloek beserta keluarga pindah ke Tanjung Karang untuk menjabat sebagai Kepala Rumah Sakit Tanjung Karang yang sebelumnya dikelola oleh Jepang.

Seperti kata ungkapan "buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya", Nukman pun mengikuti jejak Sang Ayah menjadi dokter. Dia lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada tahun 1970. Kemudian, lanjut lagi menempuh gelar masternya dengan kekhususan pada bidang Biologi Reproduksi dan Imunologi (Andrologi) di universitas yang sama. Dan terakhir, dia mendapatkan gelar doktornya juga di universitas yang sama pada tahun 1990 (kabarindonesia.com).

Tidak hanya sukses dalam menempuh pendidikan, Nukman juga sukses dalam karier. Suami dari Devita Astra dan ayah dari Adam Moeloek serta Imam Moeloek ini berhasil meraih gelar Guru Besar dari FKUI dalam bidang Andrologi dan Biologi Kedokteran tahun 1998 serta menjadi Ketua Departemen Biologi Kedokteran FKUI periode 2000-2004 (id.wikipedia.org). Selain aktif mengajar, Nukman juga percah tercatat sebagai WHO Investigator Project dan WHO Steering Committe of Task Force Contraception di Indonesia serta Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Andrologi Indonesia. Dia juga aktif dalam beberapa organisasi profesi kedokteran, antara lain: Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Perhimpunan Biologi Indonesia (PBI), Perkumpulan Andrologi Indonesia (PANDI), dan International Society of Andrology.

Dedikasinya dalam dunia kedokteran khususnya bidang andrologi membuat Nukman mendapat sejumlah penghargaan, diantaranya: empat kali menerima Penghargaan Karya Ilmiah Terbaik dari Majelah Kedokteran Indonesia; penghargaan dari Dunia Akademik Eropa sebagai pendamping penulis; penghargaan dari Asosiasi Medis Dunia (2005); dan beberapa kali mendapatkan hibah internasional dari WHO, USAID, DAAD, dan lain sebagainya.

Nukman Helwi Moeloek meninggal dunia pada 9 Oktober 2012 pada usia 66 tahun. Sebelum dimakankan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta Pusat, jenazah almarhum terlebih dahulu disemayamkan di Lobi Bawah FKUI. Jenazah kemudian dilepas oleh Wakil Dekan FKUI, Prof. Dr. Partiwi P. Sudarmono, SpMK(K) yang dihadiri oleh segenap staf pengajar, karyawan, sahabat, kolega, serta mahasiswa FKUI.

Foto: http://biomedicine.ui.ac.id/?page=news.detail&id=73&lang=id
Sumber:
"Prof. Dr. Dr. Nukman Helwi Moeleok Tutup Usia", diakses dari http://kabarindonesia.com/ berita.php?pil=3&jd=Prof.+Dr.+dr.+Nukman+Helwi+Moeloek+Tutup+Usia&dn=20121013094844, tanggal 14 Agustus 2016.

"Nukman Moeloek" diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Nukman_Moeloek, tanggal 14 Agustus 2016.

Sazli Rais

Radio Republik Indonesia dan Televisi Republik Indonesia adalah Lembaga Penyiaran Publik (LPP) milik pemerintah. Adapun tujuan pendiriannya sebagai layanan bagi kepentingan masyarakat yang bersifat independen, netral dan tidak komersial (ayubwahyudi.wordpress.com). Radio Republik Indonesia (RRI) secara resmi didirikan pada tanggal 11 September 1945 oleh para tokoh yang sebelumnya aktif mengoperasikan beberapa stasiun radio Jepang (id.wikipedia.org). Sementara Televisi Republik Indonesia (TVRI) mulai digagas sekitar tahun 1961 dan baru pada tanggal 24 Agustus 1962 mengudara untuk pertama kalinya menyiarkan secara langsung upacara pembukaan Asian Games IV dari Senayan (sekarang Gelora Bung Karno) (id.wikipedia.org).

Sebagai lembaga penyiaran publik pertama di Indonesia, hingga akhir dasawarsa 80-an TVRI dan RRI memiliki jangkauan hampir di seluruh wilayah Indonesia dengan jumlah pemirsa sekitar 82 persen dari seluruh penduduk. Oleh karena itu, sebelum adanya Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) dan Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB), kedua media ini sempat menjadi sarana informasi dan hiburan utama bagi masyarakat. Walhasil, para penyiarnya pun menjadi populer dan bahkan diidolakan oleh para pemirsanya.

Salah seorang penyiar berita TVRI dan RRI yang cukup diidolakan adalah Sazli Rais. Wajah serta suaranya yang berat namun mengalun lembut sering hadir dalam ruang-ruang keluarga Indonesia di era 1970-80an. Dia adalah salah seorang putra Lampung kelahiran Liwa yang mampu "menggelombang" di radio dan televisi nasional bersama dengan para pembaca berita kawakan lainnya, seperti: Tatiek Tamzil, Anita Rachman, Sambas, Idrus, Toeti Adhitama, Yasir Den Has, Edwin Saleh Indrapraja, Iskandar Suradilaga, dan Hassan Ashari.

Pria yang lahir di Desa Sebarus, Pekon Tengah, Liwa, Lampung Barat, tanggal 14 Desember 1944 ini bukanlah berasal dari keluarga sembarangan. Dia merupakan putra pertama (sembilan bersaudara) dari H. Rais Latief dan Hayuna Dani. Ayahnya adalah pelopor tradisi literasi di wilayah Lampung Barat yang berhasil menyusun terjemahan hadist sahih Muslim (lampost.co). Pada saat usianya baru enam tahun Sazli ikut hijrah ke Jakarta karena Sang Ayah menjadi pegawai negeri di Jawatan Penerangan Agama (Departemen Agama).

Ketika berdomisili di Jakarta, tentu saja Sazli dapat mengenyam pendidikan yang lebih baik ketimbang di Liwa. Setelah lulus dari Sekolah Menengah Atas misalnya, dia dapat melanjutkan pendidikan di Sekolah Kedinasan Akademi Penerangan. Kemudian, dia lanjut lagi ke Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Negara Republik Indonesia (LAN RI). Namun masa perkuliahannya sempat terhenti akibat banyaknya demo dari kalangan mahasiswa yang menuntut Orde Lama turun. Akibatnya, Sazli banyak menganggur di rumah karena tidak banyak memiliki kegiatan selain sekolah.

Agar tidak jenuh Sazli mencoba melamar menjadi pegawai di Radio Republik Indonesia yang kebetulan saat itu sedang membuka lowongan formasi penyiar. Walau usianya waktu itu masih 21 tahun, ternyata dia berhasil menjadi salah seorang dari 19 peserta yang diterima melalui tes setelah menyingkirkan lebih dari 480 orang calon lainnya. Salah satu hal yang menjadi penyebab keberhasilannya menjadi penyiar di RRI ini adalah dari rasa kagumnya terhadap dunia broadcasting. Pada zamannya dahulu, sarana informasi dan hiburan yang sifatnya nasional hanyalah melalui siaran radio, sehingga Sazli beranggapan bahwa melalui jalur broadcastinglah dia dapat "menggenggam dunia".

Kecintaannya pada ranah informasi memang membuatnya total menekuni bidang ini. Pernah selama empat tahun lebih waktunya banyak dihabiskan di studio daripada di rumah. Sazli muda begitu antusias dan sepenuh hati menggeluti profesi dalam memproduksi acara-acara siaran. Bertambah serius lagi ketika setiap pekan, dia selalu menerima dua karung goni surat/kartu pos sebagai respons/feedback dari pendengar atas acara musik pengantar istirahat siang dan kontak dengan pendengar yang diasuhnya.

Selama sebelas tahun bekerja di RRI, Sazli diperbantukan juga sebagai penyiar dan wartawan TVRI yang masih satu atap di bawah Departemen Penerangan. Tugasnya antara lain sebagai peliput acara-acara kenegaraan di Indonesia dan acara-acara olahraga di mancanegara (All England, Thomas Cup, ASEAN Games, Asian Games, dan Olimpiade). Selain itu dia juga diberi kesempatan mengikuti beragam kursus, di antaranya:Consumer Education Through Broadcasting Asia Pacific Institute for Broadcasting Development di Kuala Lumpur, Malaysia (1979) dan Senior Broadcasting Management Asia Pacific Institut for Broadcasting Development di Kuala Lumpur, Malaysia (1992) (Wardoyo, Heri, dkk.: 2008).

Tidak berapa lama berada di TVRI, suami dari Junaera Tahir dan ayah dari Dani Pirzada Sazli serta Risa Araya Sazli ini ditarik kembali ke RRI untuk menjadi Kepala RRI Gorontalo dari tahun 1990-1993. Kemudian kembali ke Jakarta menjadi kepala Bagian Tata Usaha Direktorat Radio Departemen Penerangan 1993-1997. Setelah itu kembali ditugaskan ke Banjarmasin menjadi kepala RRI Banjarmasin 1997-2002. Akhirnya 2002-2005 menjabat kepala RRI Semarang (Wardoyo, Heri, dkk.: 2008).

Selesai menjalankan masa baktinya sebagai pegawai negeri sipil, Sazli kembali ke Jakarta untuk menikmati masa tuanya. Tetapi walau berdomisili di Jakarta Sazli tidak pernah lupa akan kampung halaman. Dia masih sering pulang ke Liwa. Bahkan, sebagai rasa cintanya pada Liwa, ketika putra pertama menikah upacara perkawinannya pun dilangsungkan di Liwa menggunakan prosesi adat Lampung Saibatin. (gufron)

Foto: http://paratokohlampung.blogspot.co.id/2008/11/sazli-rais-1944-menggelombang-di-radio.html
Sumber:
"Radio Republik Indonesia" diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Radio_Republik_ Indonesia, tanggal 10 Agustus 2016.

"Lembaga Penyiaran Publik 'TVRI dan RRI': Kritik Definisi", diakses dari https://ayub wahyudi.wordpress.com/2014/08/04/lembaga-penyiaran-publik-tvri-dan-rri-kritik-defenisi/, tanggal 10 Agustus 2016.

"Televisi Republik Indonesia", diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Televisi_Republik _Indonesia, tanggal 11 Agustus 2016.

"Siswa Lambar Bisa Suburkan Tradisi Literasi", diakses dari http://lampost.co/berita/siswa -lambar-bisa-suburkan-tradisi-literasi, tanggal 27 Maret 2016.

Wardoyo, Heri, dkk. 2008. 100 Tokoh Terkemuka Lampung, 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Bandar Lampung: Lampung Post.Hlm. 190-192.
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Keraton Surosowan

Archive