Legenda Gunung Pinang

(Cerita Rakyat Daerah Banten)

Di Provinsi Banten, tepatnya di sekitar wilayah Kecamatan Kramat Watu, Kabupaten Serang, terdapat sebuah gunung yang diberi nama Gunung Pinang. Konon, gunung yang salah satu sisinya dilalui oleh jalur lintas Serang-Cilegon ini dahulu berasal dari perahu milik Dampu Awang yang karam. Bagaimana perahu dapat beralih wujud menjadi sebuah gunung? Berikut kisahnya.

Pada zaman dahulu kala di teluk Banten hiduplah seorang pemuda bernama Dampu Awang. Dia tinggal bersama ibunya di sebuah gubug reot di wilayah perkampungan nelayan. Oleh karena ingin memperbaiki nasib, Dampu Awang meminta izin pada ibundanya agar diperbolehkan pergi ke daerah Malaka untuk mencari pekerjaan layak. Awalnya Sang Ibu menolak karena Dampu Awang adalah satu-satunya anak yang dimilikinya. Karena Dampulah dia masih sanggup menjalani hidup walau tanpa ada suami lagi.

Namun setelah berkali-kali merengek, Sang Ibu akhirnya menyerah dan merestui Dampu Awang berlayar ke Malaka. "Dampu janji, apabila nanti telah menjadi kaya akan membangun rumah besar buat ibu. Kita akan hidup layaknya orang bangsawan, Bu," kata Dampu Awang

Ketika akan berangkat berlayar menumpang perahu milik seorang saudagar asal Samudera Pasai, Sang Ibu berpesan, "Dampu, ibu titip perkutut. Dulu dia adalah burung kesayangan ayahmu yang mahir mengirim pesan. Nanti apabila engkau sudah di sana, berkirimlah kabar melalui burung ini."

"Baik, Bu. Aku akan menulis surat setiap awal purnama," jawab Dampu singkat sambil mencium tangan Sang Ibu.

Sesampainya di Malaka Dampu Awang melamar pekerjaan pada seorang saudagar kaya raya bernama Teuku Abu Matsyah. Setelah diterima, pekerjaan sehari-harinya adalah membersihkan galangan dan mengangkut sekaligus merapihkan barang-barang jualan milik Sang Saudagar. Oleh karena sangat rajin, hanya dalam waktu beberapa tahun Dampu Awang sudah menjadi orang kepercayaan Teuku Abu Matsyah. Bahkan Siti Nurhasanah, puteri semata wayang Sang Saudagar pun sampai menaruh hati padanya.

Agar tidak beralih ke lain hati, suatu hari Sang Saudagar memanggil Dampu Awang untuk berbincang empat mata. Ketika sudah menghadap, Sang Saudagar berkata, "Dampu, aku sudah cukup lama mempekerjakanmu dan bahkan kini engkau telah menjadi tangan kananku. Aku rasa engkau telah bekerja dengan baik."

"Terima kasih, Tuan," jawab Dampu singkat.

"Nah, agar lebih baik lagi dan bukan sebagai atasan dan bawahan, bagaimana kalau engkau aku jodohkan dengan Siti Nurhasanah?" tanya Sang Saudagar.

Pertanyaan itu membuat jantung Dampu Awang berdegup kencang bagai tertimpa durian jatuh. Dia sebenarnya memang menaruh hati juga pada Siti Nurhasanah, tetapi hanya sebatas cinta yang tak terucap. Pikirnya, manalah mungkin seorang bawahan seperti dirinya dapat mempersunting gadis cantik jelita puteri seorang saudagar kaya raya.

"Bagaimana, Dampu?," tanya Sang Saudagar lagi.

"Maaf, Tuan. Bukannya saya menolak, tetapi apakah saya pantas bersanding dengan puteri tuan? Saya hanyalah orang biasa yang tidak memiliki apa-apa," jawab Dampu Awang.

"Aku bukan melihat dari mana kamu berasal. Tapi aku melihat semangat dan kemampuanmu dalam bekerja. Orang semacam itulah yang pantas untuk mendapatkan anakku sekaligus mewarisi usaha dagangku," kata Sang Saudagar.

Singkat cerita, Dampu Awang pun menikah dengan Siti Nurhasanah yang cantik jelita. Tidak berapa lama sesudahnya Teuku Abu Matsyah meninggal dunia dan secara otomatis seluruh hartanya diwariskan pada Siti Nurhasanah. Sebagai pewaris tunggal, Siti Nurhasanah menyerahkan pengelolaan harya Sang Ayah kepada Dampu Awang. Tetapi berita ini tidak sampai ke telinga Sang Ibu karena selama di perantauan Dampu Awang hanya berkirim kabar sejumlah empat kali. Isinya berupa pemberitahuan singkat tentang keberadaannya di negeri seberang.

Satu dasawarsa kemudian, tersiarlah kabar bahwa akan datang seorang saudagar besar dari Malaka yang akan berdagang di Banten. Berita ini cepat sekali tersebar hingga terdengar pula oleh Ibu Dampu Awang. Pikirnya, mungkin saja kali ini yang datang adalah Dampu Awang, karena dia sudah berjanji akan pulang bila telah menjadi orang kaya.

Beberapa hari kemudian, ketika perahu Sang Saudagar besar hendak bersandar terdengarlah suara sorak sorai di sekitar pelabuhan yang membuat Ibu Dampu Awang tergoda untuk menyaksikannya. Oleh karena sedang bekerja merajut jaring, tanpa berdandan dan merapihkan pakaian terlebih dahulu, Sang Ibu langsung keluar dari gubugnya dan berlari ke arah suara sorai sorai tersebut. "Mungkin itu Si Dampu," pikirnya sambil setengah berlari.

Sesampainya di pelabuhan, ada sebuah perahu sangat besar dan megah tengah bersandar. Sesaat kemudian munculah para awaknya yang gagah perkasa sambil memanggul barang-barang milik Sang Saudagar untuk dibawa ke darat. Barang-barang tersebut adalah dagangan Sang Saudagar untuk dijual pada Sultan Banten, diantaranya: pakaian, perhiasan, dan barang-barang mewah lainnya.

Setelah seluruh barang dagangan berada di darat, dari dalam perahu muncul sepasang suami-isteri dengan pakaian dan perhiasan serba mewah. Sang suami berwajah tampan mengenakan pakaian bersulam emas lengkap dengan sebuah peci yang sangat menawan. Pada bagian pinggang terselip sebilah golok sakti bersarung emas dan bagian pundaknya bertengger seekor burung perkutut bersayap kokoh. Di sebelah kanan sang suami berdiri isterinya yang juga berpakaian serba mewah. Sang Isteri berperawakan tinggi semampai, rambut hitam terurai, kulit kuning langsat, dan wajah yang cantik jelita.

Penampilan kedua orang ini tentu saja mengundang decak kagum bagi siapa saja yang melihatnya. Bahkan, ada beberapa kaum lelaki di antara penonton yang sangat terpana hingga tanpa sadar menitikkan air liur (ngacai bo! ^_^). Mereka jarang atau bahkan belum pernah melihat orang secantik dan seanggun itu sehingga membuat kerumunan pun menjadi semakin padat.

Namun, ketika keduanya akan menuruni tangga perahu tiba-tiba saja ada seseorang yang berteriak histeris di antara kerumunan. "Dampuuu! Dampuuu Awaaang! Ibu di sini, nak," katanya sambil melambai-lambaikan tangan.

Sang isteri yang kebetulan melihat si peneriak lalu bertanya pada suaminya, "Ada orang tua berpakaian sangat lusuh menyebut namamu, Bang. Apakah dia itu ibumu?"

Kerumunan massa serta Sang Suami yang ternyata memang Dampu Awang segera mengarahkan pandangannya pada arah yang ditunjukkan oleh isterinya. Dan, betapa terkejutnya dia karena si peneriak adalah ibu tercintanya. Wajahnya tiba-tiba menjadi pucat pasi. Dia tidak menyangka dan sekaligus malu kalau Sang Ibu juga ada diantara kerumunan massa dengan pakaian yang sangat tidak layak, bagaikan seorang pengemis.

Oleh karena malu melihat Sang Ibu layaknya seorang pengemis tua, sementara dirinya bagaikan seorang raja, Dampu Awang langsung berteriak, "Tidak! Dia bukan Ibuku! Pengawal, usir perempuan itu dari hadapanku!"

Padahal, sebenarnya di dalam hati Dampu Awang sangat gembira sekali melihat Sang Ibu yang telah lama ditinggalkan. Rencananya, nanti malam ketika seluruh penduduk telah berada di rumah masing-masing, secara diam-diam dia akan pergi menemuinya. Akan didandani Sang Ibu tercinta dengan pakaian dan perhiasan mahal lalu dibawa ke Malaka. Namun apa boleh buat, Sang ibu malah ikut "nongol" dengan pakaian seadanya.

"Kalau memang ibumu, sambutlah beliau dengan baik, Suamiku," kata Siti Nurhasanah tulus dan lembut untuk meredakan suasana.

Perkataan lembut Siti Nurhasanah malah membuat Dampu Awang semakin bertambah malu. Oleh karena tidak ingin direndahkan dan dipermalukan, Dampu Awang berteriak lagi, "Tidak! Ayah dan Ibuku telah lama mati. Dia hanya wanita gila yang sedang meracau. Aku tidak pernah punya ibu seperti dia!"

"Pengawal, angkut lagi barang-barang yang telah kalian turunkan. Kita pulang dan batalkan perniagaan ini!" sambungnya agar tidak bertambah malu.

Perkataan Dampu Awang tadi terasa bagaikan petir di siang bolong. Seketika itu juga hatinya hancur seperti teriris-iris sembilu. Dengan tertunduk lesu sambil berlinang air mata Sang Ibu pun berucap, "Wahai Gusti yang Maha Agung, apabila bukan anakku, biarkanlah dia pergi. Tapi kalau dia memang anakku, berilah dia pelajaran yang setimpal."

Doa Sang Ibu ternyata didengar oleh Tuhan. Baru beberapa mil perahu berlayar meninggalkan pelabuhan, tiba-tiba langit tertutup gumpalan awan gelap disertai petir menyambar-nyambar. Sejurus kemudian terjadilah hujan deras bercampur angin puting beliung yang membentuk laut menjadi sebuah pusaran besar. Akibatnya, perahu Dampu Awang pun mulai terseret ke dalam pusaran hingga terlempar dan terbalik di daratan. Tidak lama berselang, perahu mulai membatu dan akhirnya menjadi sebuah gunung besar. Oleh masyarakat setempat, gunung besar itu kemudian diberi nama Pinang.

Diceritakan kembali oleh Gufron

Tari Kecodak

Asal Usul
Salah satu jenis tarian rakyat yang masih hidup di daerah Lombok Utara, Provinsi Nusa Tenggara Barat adalah tari kecodak atau biasa juga disebut tari oncer. Tari ini tumbuh dan berkembang pada masyarakat Desa Karang Pasangan, Kecamatan Tanjung, Kabupaten Lombok Utara. Tari kecodak menggambarkan tentang peperangan yang dilakukan oleh dua orang ksatria yang sama-sama kuat dan perkasa. Pertunjukan tari kecodak dibagi menjadi empat bagian, yaitu: tari bendera, tari gendang, tari copeh dan lawakan.

Tari kecodak hanya dilakukan oleh kaum laki-laki saja, baik sebagai penari maupun pemain waditra. Sedangkan, pertunjukannya biasanya diadakan di halaman rumah atau tempat tertentu yang agak luas pada saat ada upacara-upacara, seperti perkawinan, penyambutan tamu, panen raya dan memperingati hari-hari besar nasional.

Peralatan dan Busana
Peralatan musik yang digunakan untuk mengiringi tari kecodak diantaranya adalah: (1) sebuah petuk; (2) sebuah oncer; (3) empat buah teropong; (4) tujuh pasang ceng-ceng (enam pasang berukuran kecil dan satu pasang besar); dan (5) dua buah gendang besar yang terbuat dari kayu tap. Sedangkan, busana yang dikenakan oleh penari adalah: (1) ikat kepala; (2) baju berwarna hitam; (3) celana ¾; (4) leang yang terbuat dari songket; dan (5) garus mungkur. Selain waditra dan busana, ada pula peralatan lain yang digunakan sebagai pelengkap tarian, yaitu: bendera atau panji-panji dan kuda-kudaan yang terbuat dari kulit yang digunakan pada saat adegan lawakan.

Pertunjukan Tari Kecodak
Pertunjukan tari kecodak diawali dengan tari bendera atau tari panji-panji yang dibawakan oleh dua orang penari. Dalam tarian ini gerakan-gerakan yang dilakukan hanyalah berbaris berbanjar dan melangkah maju-mundur. Sambil melakukan gerakan-gerakan tersebut, kedua kaki diangkat, berputar mundur atau jalan di tempat.

Setelah itu, kedua penari tadi akan berjajar sambil menyandang gendang besar di perut untuk menarikan tari gendang. Pada tarian ini gerakan-gerakan yang dilakukan diantaranya adalah menari sambil menepak gendang, membuat formasi saling berhadapan, berputar dengan satu kaki diangkat, meloncat, dan saling mendesak seakan-akan sedang terjadi pergulatan atau saling baku hantam. Dalam “perkelahian” tersebut, secara bergantian mereka seakan-akan ada yang kalah dan ada yang menang. Pihak yang kalah akan berada dalam posisi jongkok, sementara pihak yang menang akan mengelilinginya sambil memukul gendang. Setelah melaksanakan gilirannya, mereka akan kembali pada posisi semula dan kemudian berjalan berjajar meninggalkan arena.

Selanjutnya, empat orang penari akan masuk untuk menarikan tari copeh yang menggambarkan sepak terjang para prajurit pengawal ketika sedang menyaksikan perkelahian yang digambarkan oleh para penari sebelumnya. Pada gerakan tari ini para penari akan membentuk dua barisan sambil memukul copeh atau ceng-ceng (sejenis simbal kecil). Setelah itu, mereka akan membentuk formasi segi empat, saling berhadapan dan perlahan-lahan membuat gerak melangkah maju. Sambil melakukan gerakan tersebut posisi tangan kiri dilipat sebatas pinggang, tangan kanan agak maju sedikit, kedua kaki merendah dan badan miring ke kiri. Kemudian, mereka akan membentuk formasi sejajar ke belakang membentuk garis lurus dan berjalan meninggalkan arena.

Setelah tari copeh, disusul dengan penampilan para pelawak yang berperan sebagai seorang penuntun kuda, seorang majikan, dan seorang janda yang sedang berjualan (seluruhnya dimainkan oleh laki-laki). Para pelawak ini tidak hanya sekedar melawak, tetapi juga menampilkan gerakan-gerakan lincah dan jenaka yang akan menggoyang senyum dan tawa penonton. Penampilan para pelawak ini merupakan babak akhir dari serentetan tahapan yang ada dalam setiap pertunjukan tari kecodak.

Nilai Budaya
Kecodak sebagai tarian khas orang Lombok Utara, jika dicermati, tidak hanya mengandung nilai estetika (keindahan), sebagaimana yang tercermin dalam gerakan-gerakan tubuh para penarinya. Akan tetapi, juga nilai kerukunan yang tercermin dalam fungsi tari tersebut yang diantaranya adalah sebagai ajang berkumpul antarwarga dalam suatu kampung atau desa untuk merayakan suatu upacara adat dan saling bersilaturahim sehingga menciptakan suatu kerukunan di dalam kampung atau desa tersebut. (gufron)

Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1992. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara III. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
http://id.wikipedia.org/wiki/Nusa_Tenggara_Barat

Lutung Kasarung

(Cerita Rakyat Daerah Jawa Barat)

Pada zaman dahulu kala ada sebuah kerajaan bernama Pasir Batang yang dipimpin oleh Prabu Tapa Agung, seorang raja arif dan bijaksana. Sang Prabu memiliki tujuh orang puteri bernama Purbararang, Purbaendah, Purbakancana, Purbamanik, Purbaleuih, dan si bungsu Purbasari. Dari ketujuh orang puteri ini semuanya belum menikah. Hanya puteri sulunglah (Purbararang) yang telah bertunangan dengan Raden Indrajaya, putera salah seorang menteri kerajaan.

Sebagai anak sulung sudah sewajarnya apabila Prabu Tapa Agung yang telah lanjut usia mulai memberikan kepercayaan kepada Purbararang. Namun Sang Prabu belumlah ikhlas karena Purbararang dan calon suaminya masih berperilaku kurang layak menjadi pemimpin kerajaan. Purbararang misalnya, mempunyai sifat angkuh dan kejam. Sementara calon suaminya, Raden Indrajaya, kerjanya hanya bersolek sembari memikirkan pakaian serta perhiasan apa yang akan dikenakan setiap hari.

Kenyataan ini membuat Sang Prabu dan Permaisuri menjadi gundah gulana. Sering mereka berdiskusi hingga larut malam untuk mencari jalan keluarnya, tetapi selalu saja menemui jalan buntu. Dan, ketika mereka sudah tidak tahu lagi apa yang harus diperbuat, datanglah pertolongan dari Sunan Ambu yang bersemayam di kahyangan atau Buana Pada. Beliau datang melalui mimpi ketika Prabu Tala Agung sedang tidur. Dalam mimpi tersebut Sunan Ambu mewangsitkan agar Prabu Tala Agung pergi meninggalkan istana menjadi pertapa, sementara tahta kerajaan hendaklah diserahkan kepada Sang puteri bungsu Purbasari.

Tidak ingin menunggu lebih lama lagi, keesokan harinya Prabu Tala Agung memanggil ketujuh orang puterinya beserta para pembantu, menteri, patih, pembesar-pembesar kerajaan dan penasehat setianya, Uwak Batara Lengser. Setelah seluruhnya berkumpul Prabu Tala Agung bersabda bahwa atas petunjuk Sunan Ambu dia diperintahkan untuk lengser keprabon mandeg pandito (pinjam istilah Sang Prabu Orde Baru) alias turun dari tampuk kekuasaan dan menjadi seorang pertapa. Untuk selanjutnya, masih atas petunjuk Sunan Ambu, Prabu Tala Agung menitahkan puterinya Purbasari memerintah di Kerajaan Pasir Batang.

Sabda Prabu Tala Agung ini segera menyebar ke seluruh penjuru kerajaan dan disambut gembira oleh sebagian besar rakyat Pasir Batang, kecuali Purbararang dan Raden Indrajaya. Bagi rakyat keputusan Sang Prabu sangatlah tepat karena beliau sudah sepantasnya beristirahat dan meninggalkan urusan duniawi. Penggantinya pun dirasa juga tepat karena selain paling cantik diantara saudari-saudarinya, Purbasari memiliki sifat yang manis budinya. Sedangkan bagi Purbararang dan Raden Indrajaya, pengangkatan Purbasari menjadi ratu sangatlah mengecewakan sekaligus "menyalahi aturan". Pikir mereka, di kerajaan mana pun proses pergantian kekuasaan lazimnya diserahkan raja kepada anak sulungnya.

Oleh karena itu, agar selaras dengan "aturan" pergantian kekuasaan, ketika Raja dan Permaisuri mengundurkan diri dari kerajaan dan pergi ke suatu tempat pertapaan, Purbararang dan Raden Indrajaya segera melancarkan aksi mereka untuk menyingkirkan Purbasari. Adapun caranya adalah dengan menyiramkan boreh (suatu cairan berwarna hitam) ke sekujur tubuh Purbasari ketika dia sedang terlelap tidur. Akibatnya, Purbasari menjadi keling alias hitam legam sehingga tidak ada yang mengenalinya ketika diusir dari istana. Kalaupun ada yang mengenali, orang tersebut akan diam saja karena takut pada Purbararang.

Uwak Batara Lengser yang mengenai kalau gadis keling itu adalah Purbasari juga tidak dapat berbuat apa-apa ketika diperintah Purbararang membuangnya ke tengah hutan. Setibanya di tengah hutan dia lalu membuatkan sebuah gubuk yang sangat kuat bagi Purbasari. Dan, sebelum ditinggalkan seorang diri Uwak Batara Lengeser menasihati agar Purbasari jangan terlarut dalam kesedihan. Ia menyarankan agar Purbasari menggunakan waktunya untuk bertapa sambil memohon perlindungan pada para penghuni kahyangan.

Hampir bersamaan dengan pengusiran Purbasari yang membuat hatinya terluka, Sunan Ambu di Buana Pada juga sedang gundah gulana. Sudah berhari-hari Sang putera yang bernama Guruminda tidak menemui dirinya. Untuk mengetahui dimana keberadaan Guruminda Sunan Ambu meminta para penghuni kahyangan mencarinya. Tidak berapa lama kemudian datanglah seorang Pujangga kahyangan menemui Sunan Ambu. Sang Pujangga memberitahukan bahwa Guruminda sedang berada di taman kahyangan dengan wajah tampak bermuram durja.

Penasaran dengan keterangan Sang Pujangga, Sunan Ambu memerintahkan pelayannya menjemput Guruminda. Ketika Guruminda sudah menghadap Sunan Ambu segera bertanya mengapa dirinya jarang sekali pulang dan tampak bermuram durja. Guruminda tidak menjawab dan hanya tertunduk seakan malu memandang wajah Sunan Ambu.

"Ada apa anakku? Apakah engkau ingin diperkenalkan dengan salah satu bidadari di kahyangan ini?" tanya Sunan Ambu seolah mengerti kalau anaknya telah beranjak dewasa dan ingin mendapatkan pasangan.

"Aku tidak ingin diperkenalkan dengan bidadari manapun karena tidak ada yang secantik ibunda," jawab Guruminda perlahan sambil tersipu malu.

Agak terkejut mendengar perkataan Gurumundi yang menyatakan bahwa tidak ada bidadari yang secantik dirinya, Sunan Ambu lalu berkata, "Di sini tidak ada yang serupa denganku, Guruminda. Apabila engkau ingin mencari, pergilah ke Buana Panca Tengah (dunia). Tetapi engkau harus beralih wujud menjadi seekor lutung. Bagaimana, engkau mau?"

Setelah hening beberapa saat, Guruminda pun menyetujui. Tidak lama berselang, secara berangsur-angsur sekujur tubuhnya ditumbuhi bulu lebat dan akhirnya beralih ujud menjadi seekor kera atau lutung. Oleh karena itu, Sunan Ambu memberinya nama baru yaitu "Lutung Kasarung". Sang Lutung kemudian melompat dari kahyangan menuju Buana Panca Tengah dan turun tidak jauh dari gubukPurbasari. Di hutan itu dia ikut bergabung bersama kawan-kawan barunya sesama lutung.

Beralih dari kahyangan dan hutan, di Kerajaan Pasir Batang Purbararang hendak mengadakan suatu upacara yang memerlukan hewan sebagai kurban. Untuk mendapatkannya dia menitah Aki Panyumpit mencari hewan liar di hutan dengan catatan (ancaman) apabila tidak berhasil, maka Si Aki Panyumpit sendirilah yang akan menjadi gantinya.

Sesampainya di hutan ternyata tidak ada seekor hewan pun terlihat, kecuali hewan-hewan kecil yang termasuk dalam golongan serangga dan pengerat. Sementara hewan-hewan yang sesuai untuk dijadikan kurban telah lari bersembunyi di tengah hutan karena diberitahu oleh Sang Lutung Kasarung bahwa akan ada perburuan hewan. Hal ini membuat Aki Panyumpit menjadi putus asa. Dia hanya duduk di bawah sebuah pohon rindang sambil menangis meratapi nasibnya.

Melihat Aki Panyumpit menangis Lutung Kasarung turun dari pohon dan mendekatinya. "Mengapa engkau menangis, Ki?" tanya Sang Lutung setelah berada di dekatnya.

Kaget mendengar ada yang berbicara secara spontan Si Aki langsung mengambil sumpit dan membidik Sang Lutung. "Mengapa lutung dapat berbicara? Apakah engkau hantu penunggu pohon ini?" tanya Aki Panyumpit tidak percaya dengan pengelihatannya sendiri.

"Tenang Ki, aku bukan hantu. Aku hanya ingin tahu mengapa engkau bersedih sampai menangis tersedu-sedu?" tanya Sang Lutung.

"Aku harus membawa pulang hewan sebagai kurban untuk upacara di istana. Apabila tidak berhasil, aku sendirilah yang akan jadi gantinya. Engkau lihat sendiri kan, sampai tengah hari begini aku belum juga mendapatkan buruan," jawab Aki Panyumpit sedih.

"Oh, begitu. Sekarang Aki bawa saja aku ke istana," kata Sang Lutung singkat.

"Engkau tidak takut bakal disembelih dan dijadikan kurban, wahai Lutung?" tanya Aki Panyumpit ragu.

"Memang Aki mau pulang dengan tangan hampa?" Sang Lutung balik bertanya.

Aki Panyumpit tidak menjawab pertanyaan itu karena bingung. Apabila dibawa, Sang Lutung ajaib pasti akan menjadi kurban persembahan. Sebaliknya, apabila tidak dibawa niscaya dia sendirilah yang akan dikurbankan karena tidak ada seekor pun hewan yang berhasil ditangkapnya.

"Ayo Ki kita berangkat," kata Sang Lutung tanpa menunggu jawaban Aki Panyumpit.

Sesampainya di alun-alun kerajaan Sang Lutung bersama Aki Panyumpit segera disambut oleh beberapa orang prajurit. Di antara mereka ada yang mengikat tangan dan kaki Sang Lutung serta ada pula yang pergi ke perigi istana untuk mengasah pisau guna menyembelihnya. Selesai diikat Sang Lutung diseret ke tengah alun-alun yang telah dipenuhi oleh peserta upacara, di antaranya: Purbararang, Raden Indrajaya, adik-beradik Purbararang, para pembesar kerajaan, dan para bangsawan kerajaan lainnya.

Setelah segala peralatan dan perlengkapan upacara siap, pemimpin upacara yang merupakan seorang resi memulai dengan memanjatkan doa sembari membakar kemenyan. Usai berdoa acara dilanjutkan dengan penyembelihan hewan kurban yang dilakukan oleh seorang prajurit kerajaan. Namun, ketika akan disembelih Sang Lutung tiba-tiba berontak hingga memutuskan seluruh tambang ijuk yang mengikat dirinya.

Selanjutnya, Sang Lutung melompat ke tengah susunan perlengkapan upacara dan memporak-porandakannya. Para perempuan bangsawan yang berada di dekat perlengkapan upacara sontak menjerit, lari ketakutan dan bahkan ada yang pingsan melihat seekor lutung sebesar manusia mengamuk bak kesetanan. Para prajurit yang berusaha menghadang pun kewalahan, sebab Sang Lutung bergerak sangat lincah meloncat kesana kemari di tengah kerumunan hadirin.

Ketika para prajurit sudah tidak sanggup lagi barulah Uwak Batara Lengser yang arif dan bijaksana turun mendekati Sang Lutung yang tengah duduk di atas benteng istana. "Wahai Lutung, janganlah engkau nakal dan menakuti orang," katanya setelah berada di depan Sang Lutung.

Setelah berkata demikian, mungkin karena sima Uwak Batara Lengser begitu kuat, secara perlahan Sang Lutung turun dari atas benteng dan duduk di dekat kakinya. Kejadian ini dilihat oleh Purbararang sehingga terbersitlah sebuah niat jahat. Dia lalu memanggil Uwak Batara Lengser dan menitahnya membawa Sang Lutung ke hutan untuk ditempatkan bersama Purbasari. Pikirnya, Sang Lutung pasti akan menerkam tewas Purbasari sehingga dia dapat menduduki tahta Kerajaan Pasir Batang dengan tenang.

Perkiraan Purbararang ternyata meleset. Walau awalnya kaget melihat tubuh Purbasari yang hitam legam, Sang Lutung tetap mau menemani dan tidak menerkamnya. Bahkan, dia mengajak kawan-kawannya sesama hewan (rusa, burung, bajing, dan lain sebagainya) untuk mencari segala macam buah serta berkumpul di dekat gubuk agar Purbasari tidak merasa kesepian. Selain itu, kerena telah diberi tahu Uwak Batara Lengser hal ihwal mengenai Purbasari, dia juga memohon doa untuk kesembuhannya kepada Sunan Ambu.

Doa tersebut dijawab oleh Sunan Ambu dengan mengirimkan beberapa orang Pujangga dan Pohaci sakti. Begitu mereka sampai di gubuk Purbasari para Pujangga segera membuat jamban salaka, yaitu sebuah tempat mandi berpancuran emas dengan lantai serta dinding terbuat dari batu pualam. Air pancuran berasal dari sebuah mata air yang sangat jernih di tengah hutan yang ditampung terlebih dahulu dalam sebuah telaga kecil untuk diberi bebungaan. Selagi para Pujangga membuat jamban salaka, para Pohaci menyiapkan pakaian bagi Purbasari yang bahannya terbuat dari gumpalan awan berwarna pelangi.

Usai membuat jamban salaka dan pakaian, mereka menyarankan agar Sang Lutung membawa Purbasari mandi di pancuran dan mengenakan pakaian baru. Sang Lutung kemudian mendatangi Purbasari dan memintanya mandi di pancuran. Awalnya Purbasari kaget karena Sang Lutung ternyata dapat berbicara dan tidak jauh dari gubuknya ada sebuah pancuran emas. Namun, setelah dijelaskan bahwa dia beserta para Pujangga dan Pohaci adalah makhluk Buana Pada, maka Purbasari pun akhirnya menurut.

Ternyata air pancuran jamban salaka tidak hanya sangat jernih, melainkan juga memiliki khasiat luar biasa. Air itu dapat melunturkan boreh pada tubuh Purbasari sehingga kulitnya yang mulus dan kuning langsat terlihat kembali. Kemolekan tubuh serta parasnya bahkan lebih terlihat lagi ketika selesai mandi dan mengenakan pakaian baru buatan para Pohaci. Sang Lutung yang melihatnya keluar dari jamban salaka bahkan sampai tidak percaya kalau dia adalah Purbasari. Dalam pandangannya Purbasari laksana pinang dibelah dua dengan Sunan Ambu, hanya jauh lebih muda.

Selesai mendandani Purbasari, sebelum kembali ke kahyangan, para Pujangga dan Pohaci juga membuat sebuah istana kecil dilengkapi dengan taman di depannya. Hal ini tentu saja membuat sebagian masyarakat Pasir Batang yang biasa masuk ke hutan untuk mencari buah-buahan dan kayu bakar menjadi heran sekaligus takjub karena di dalam hutan tiba-tiba ada istana kecil yang lengkap dengan sebuah taman indah. Cerita pun akhirnya menyebar dari mulut ke mulut dan sampai pula ke telinga Purbararang.

Purbararang yang yakin kalau istana kecil itu adalah milik Purbasari menduga bahwa ada beberapa bangsawan Pasir Batang membantunya secara sembunyi-sembunyi. Pikirnya, apabila para bangsawan masih bersimpati pada Purbasari, suatu saat mereka akan membawanya ke istana untuk merebut kembali tahta kerajaan. Oleh karena itu, dia harus secepat mungkin menyingkirkan Purbasari dari muka bumi. Caranya adalah dengan menantang membuat huma seluas lima ratus depa dalam waktu satu hari. Sebagai konsekuensinya, apabila kalah maka dia akan dihukum pancung. Purbararang tidak memberitahukan ganjaran apabila Purbasari menang karena yakin dengan diadakannya pertandingan secara terbuka para bangsawan tidak ada yang berani membantunya.

Keesokan harinya, Purbararang menitah lagi Uwak Batara Lengser ke tempat Purbasari agar menyampaikan tantangannya. Begitu Sang Uwak pergi, dia menitah salah seorang panglimanya untuk mengerahkan seratus orang prajurit membuka huma di dekat tempat tinggal Purbasari. Huma tersebut harus selesai dalam waktu sehari-semalam. Apabila tidak berhasil atau kalah cepat dari Purbasari, mereka akan mendapatkan hukuman pancung. Para prajurit yang mendapat tugas itu segera bergegas menuju hutan. Mereka bekerja sangat keras karena takut mendapatkan hukuman pancung.

Pada saat para prajurit mulai membuka ladang, Uwak Batara Lengser barulah sampai di tempat Purbasari untuk menyampaikan tantangan Purbararang. Purbasari sangat terkejut mendengarnya dan hanya bisa menangis pasrah karena tidak mungkin membuka huma seluas itu dalam waktu hanya sehari-semalam. Baginya, ini hanyalah siasat Purbararang agar dirinya lenyap dari muka bumi.

"Janganlah bersedih hati, Tuan Puteri. Serahkanlah semuanya padaku," kata Sang Lutung menghibur.

Setelah berkata demikian, Sang Lutung mengundurkan diri dan pergi ke telaga kecil buatan para Pujangga. Di tempat itu dia berdoa memohon bantuan Sunan Ambu di Buana Pada. Tidak lama berselang datanglah sejumlah empat puluh orang Pujangga utusan Sunan Ambu untuk membantu membuat huma. Letak huma hanya beberapa belas meter dari hutan yang sedang dibuka oleh para prajurit Kerajaan Pasir Batang.

Keesokan harinya berangkatlah rombongan dari istana Pasir Batang menuju hutan tempat perlombaan. Rombongan perempuan yang dipimpin Purbararang pergi menggunakan tandu berhias sutra dan permata. Sementara rombongan laki-laki yang dipimpin oleh Raden Indrajaya menunggang kuda. Di antara mereka ada seorang algojo bertubuh kekar dengan sebilah kapak besar yang memang disiapkan khusus oleh Purbararang untuk memancung Purbasari.

Menjelang tengah hari sampailah mereka di arena perlombaan. Di sana ada dua buah huma yang letaknya agak berdampingan. Huma pertama masih belum selesai dibuat oleh para prajurit Purbararang, sedangkan huma lainnya sudah terbentuk sempurna dengan Uwak Batara Lengser dan Lutung Kasarung berdiri di tengahnya.

Tidak mau kehilangan muka karena berhasil dikalahkan, Purbararang langsung berteriak menantang Purbasari bertanding kecantikan. Tetapi begitu Purbasari keluar dari istana kecilnya yang berada di sisi huma, kalahlah lagi Purbararang. Bahkan, para prajurit banyak yang tidak berkedip atau ternganga menyaksikan kecantikan dan kemolekan tubuh Purbasari.

Merasa kalah lagi, Purbararang lalu menantang Purbasari beradu panjang rambut. Dia yakin kali ini bakal menang sebab di seantero Pasir Batang tidak ada yang melebih panjang rambutnya yang bila diurai dapat mencapai betis. Tetapi ketika Purbasari melepas sanggul tampaklah bahwa panjang rambutnya terurai panjang hingga ke tumit. Begitu juga ketika Purbararang mengajaknya bertanding ukuran pinggang, Purbasari dapat mengalahkannya.

Terakhir, Purbararang menantang adu tampan calon suami. Dia menyuruh Raden Indrajaya maju untuk dibandingkan dengan calon suami Purbasari. "Bagaimana Purbasari, siapa calon suamimu? Apakah lutung besar yang berdiri di sampingmu itu?" tanya Purbararang mengejek sambil tertawa.

Selama beberapa saat Purbasari hanya terdiam. Kemudian dia menjawab, "Aku dapat sembuh dari boreh yang kau siramkan berkat Sang Lutung. Aku dapat memiliki sebuah istana kecil serta huma luas juga atas bantuan Sang Lutung. Jadi, sudah sepantasnyalah kalau dia yang bakal menjadi calon suamiku."

"Sekarang sudah jelas akulah pemenangnya. Mana munkin seekor lutung dapat mengalahkan ketampanan Indrajaya. Algojo, pancunglah dia!" serunya dengan lantang.

Namun, ketika Sang Algojo hendak menghampiri Purbasari tiba-tiba suatu keanehan terjadi. Kata-kata Purbasari tadi rupanya didengar pula oleh Sunan Ambu sehingga diubahlah ujud Sang Lutung kembali menjadi Guruminda, Sang Putera Kahyangan nan gagah, tampan dan berwibawa. Kejadian ini membuat semua yang hadir terperangah seakan tidak percaya. Tanpa dinyana Raden Indrajaya langsung berlari menghampiri dan berlutut menyembah Guruminda. Begitu juga dengan Purbararang yang langsung bersimpuh memohon ampun sambil menangis tersedu-sedu.

Singkat cerita, pada hari itu juga Purbasari dan Guruminda kembali ke Kerajaan Pasir Batang. Sesampainya di kerajaan Purbasari diangkat sebagai ratu dan tidak lama kemudian menikah dengan Guruminda. Sementara Purbararang dan Raden Indrajaya mendapat hukuman berupa pencopotan status kebangsawanan serta harus bekerja menjadi tukang sapu di istana.

Diceritakan kembali oleh Ali Gufron

Gunung Pesagi

Gunung Pesagi merupakan gunung tertinggi di Provisi Lampung yang secara administratif berada di Kecamatan Balik Bukit, Kabupaten Lampung Barat. Gunung yang mempunyai ketinggian sekitar 2.262 meter di atas permukaan laut ini banyak dikunjungi karena memiliki keindahan yang luar biasa. Apabila telah berada di puncaknya, pengunjung dapat menikmati keindahan wilayah Lampung Barat, Pemukiman masyarakat Ogan Komering Ulu, Danau Ranau, Laut Krui, dan Laut Belimbing.

Selain pemandangannya indah, Gunung Pesagi juga menyimpan suatu potensi yang dapat dijadikan sebagai sarana wisata ziarah. Pasalnya, di puncak Gunung Pesagi terdapat tujuh buah sumur keramat yang salah satu diantaranya kadang mengeluarkan aroma wangi. Namun, tidak sembarang orang dapat mengambil air dari sumur itu. Menurut masyarakat setempat, hanya orang-orang yang berhati bersih saja yang bisa mendapatkannya. Sementara orang-orang yang tidak memiliki niat baik, tidak akan mendapatkan air dari sumur itu.

Untuk mencapai puncak Gunung Pesagi yang terletak di wilayah Pekon (desa) Hujung, Kecamatan Belalau, dapat ditempuh melalui dua rute yang keduanya hanya dapat dilakukan dengan berjalan kaki. Rute pertama dari Pekon Bahway dan berakhir di Pekon Hujung, sedangkan rute kedua dimulai dan berakhir di Pekon Hujung. Dalam keadan normal, kedua rute ini dapat ditempuh selama sekitar 12 jam pergi-pulang.

Sementara bagi pengunjung yang ingin menggunakan jalur pendakian, menurut http://alfinsungeraje.blogspot.com/ terdapat 3 jalur yang diklasifikasikan berdasarkan tingkat kesulitan medan, yaitu: jalur Patah Hati (Desa Bahway-Dusun Way Pematu), jalur pendakian standar (Desa Bahway-Dusun Ramuan), dan jalur Desa Hujung Simpang Luas.

Jalur Patah Hati dibagi menjadi 5 pos. Dari pos 1 menuju pos 2 dengan waktu tempuh sekitar 1,5 jam menyusuri jalan berbatu yang cukup panjang, relatif landai, dan licin melewati pemukiman penduduk Desa Bahway, areal persawahan hingga berjumpa dengan perkebunan kopi. Selanjutnya, dari pos 2 menuju pos 3 juga dengan waktu tempuh sekitar 1,5 jam melewati dua buah sungai beraliran cukup deras, perkebunan kopi, hutan dan tanjakan panjang serta licin.

Setelah melewati pos 3 jalan akan mulai terjal dan menanjak dengan vegetasi hutan yang semakin rapat serta lembab. Di jalur ini tumbuh berbagai macam tanaman, seperti pakis, rotan, kantong semar, anggrek macan yang batangnya memiliki bercah hitam putih menyerupai bulu macan, dan lain sebagainya. Adapun lama perjalanannya sekitar 1 jam hingga mencapai pos 4.

Dari pos 4 menuju pos 5 termasuk dalam kategori berbahaya karena harus melewati pegunungan yang beberapa diantaranya memiliki jurang, membelah jalur air terjun/curup mati dan melewati sungai kecil yang licin. Waktu tempuhnya sendiri sekitar 1 jam.

Terakhir, dari pos 5 menuju puncak Pesagi yang dianggap sebagai jalur paling ekstrim sehingga hanya orang “patah hati” saja yang mau melaluinya. Pasalnya, jalur ini harus melewati tanjakan terjal guna menghindari air terjun Badas Gumpalan lalu dilanjutkan dengan tanjakan lagi dengan sudut kemiringan mencapai 40-50 derajat sehingga terkadang orang harus merayap mencari akar pepohonan untuk mendakinya, serta sebuah fast break berupa tanjakan ekstrim dengan jalur dihiasi oleh bertebaran dan malang-melintangnya batang pohon tumbang akibat suksesi alami Gunung Pesagi.

Jalur pendakian kedua menuju puncak Pesagi dinamakan Jalur Pendakian Standar. Adapun rutenya berawal di Desa Bahway menuju ke Pintu Rimba melewati perumahan penduduk dan perkebunan kopi dengan waktu tempuh sekitar 1,5 jam. Selanjutnya, dari Pintu Rimba menuju Gisting dengan jalan sedikit menanjak yang di kanan-kirinya masih terdapat hutan lebat waktu tempuhnya sekitar 2,5 jam. Sesampainya di Gisting dapat beristirahat sejenak menikmati aliran sebuah mata air yang tidak pernah kering meskipun saat musim kemarau. Mata air ini berasal dari aliran sungai yang melewati celah-celah batu dan tertampung dalam sebuah cekukan batu.

Apabila rasa lelah telah hilang dapat meneruskan perjalanan menuju pos Penyambungan. Perjalanan menuju Penyambungan dapat ditempuh sekitar satu jam melewati batu pipih dan susunan batu bertingkat yang direkatkan secara alami oleh lapisan tanah membentuk sebuah tebing. Tebing susunan batu tersebut oleh masyarakat setempat disebut penyambungan yang konon bentuknya menyerupai jembatan Sirotol Mustaqim dan hanya ada di Gunung Pesagi saja. Dan terakhir, setelah melewati pos Penyambungan, pendakian dilanjutkan melewati sebuah hutan lumut yang lembab karena telah berada di kawasan puncak Pesagi.

Sedangkan jalur pendakian terakhir adalah jalur Desa Hujung Simpang Luas. Jalur ini relatif landai dan lebih mudah untuk mencapai puncak Gunung Pesagi. Adapun waktu tempuhnya juga lebih singkat ketimbang jalur patah hati atau jalur pendakian standar, yaitu sekitar 5 jam perjalanan. (ali Gufron)

Foto:
http://travel.detik.com/read/2012/03/29/145202/1880091/1025/pendakian-penuh-tantangan-di-gunung-pesagi-lampung

Batu Betangkup

(Cerita Rakyat Daerah Riau)

Konon, pada zaman dahulu kala di daerah Indragili Hilir, Provinsi Riau, hidup seorang janda bernama Mak Minah. Dia mempunyai tiga orang anak, dua orang laki-laki dan satu perempuan. Anak pertama diberi nama Utuh, anak kedua diberi nama Ucin, dan yang bungsu berjenis kelamin perempuan diberi nama Diang. Kehidupan keluarga ini sangatlah sederhana, apalagi setelah suami Mak Minah Meninggal Dunia. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, Mak Minah harus bekerja sebagai pencari kayu bakar. Setiap hari, setelah selesai memasak dan mencuci, dia segera berangkat ke hutan mencari dan mengumpulkan ranting-ranting pohon kering untuk dijual ke pasar sebagai kayu bakar.

Pekerjaan ini hanya dilakukan Mak Minah sendirian. Ketiga anaknya, Utuh, Ucin, dan Daing tidak bersedia membantu. Mereka lebih senang bermalas-malasan di rumah atau bermain bersama teman-teman sebayanya. Utuh, Ucin, dan Daing tidak merasa iba melihat ibu mereka bekerja keras membanting tulang untuk menghidupi keluarga. Bahkan, yang membuat Mak Minah lebih bersedih lagi, mereka sering membantah perintah dan nasihat-nasihatnya.

Misalnya, suatu hari Mak Minah memanggil mereka untuk masuk ke rumah karena di luar mulai gelap. “Anak-anakku, pulanglah! Hari telah senja.”

Namun karena masih asyik bermain, mereka tidak menghiraukan panggilan tersebut. Mak Minah pun memanggil lagi, “Utuh, Ucin, Diang, hari sudah mulai gelap. Emak hari ini agak kurang sehat, sebaiknya kalian memasak sendiri untuk makan malam”

Panggilan kedua Mak Minah ternyata juga masih tidak diindahkan oleh anak-anaknya, sehingga dia terpaksa beranjak dari pembaringan menuju dapur untuk memasak. Setelah masakan siap, dia kembali memanggil anak-anaknya, “Utuh, Ucin, Diang, makan malam kalian sudah emak siapkan.”

Ketika mendengar ibunya berkata demikian, barulah mereka berhenti bermain dan beranjak menuju dapur. Tanpa berkata apa-apa lagi ketiganya langsung menyantap segala makanan yang dihidangkan tanpa menyisakan sedikit pun untuk Mak Minah. Bahkan, setelah melahap habis seluruh makanan, tidak lantas membantu membersihkan piring-piring bekasnya, melainkan kembali bermain seperti biasa sampai larut malam.

Hal ini membuat sakit Mak Minah makin bertambah parah. Seluruh tubuhnya terasa pegal-pegal dan lemas karena harus bekerja mencari kayu bakar di hutan lalu menjajakannya di pasar, sementara di rumah tidak ada yang membantunya membereskan pekerjaan rumah, termasuk memasak dan mencuci piring.

Agar sakitnya bisa lebih ringan, Mak Minah memanggil anak-anaknya untuk meminta tolong dipijat. Tapi, Utuh, Ucin, dan Diang tetap saja bermain dan pura-pura tidak mendengar seruan Sang Ibu. Mak Minah pun tidak dapat berbuat apa-apa kecuali hanya meratapi nasibnya sambil meneteskan air mata, “Ya Tuhan, sadarkanlah ketiga anak hamba agar mereka mau berbakti terhadap orang tua.”

Keesokan paginya, setelah menanak nasi dan memasak lauk untuk makan anak-anaknya, secara diam-diam Mak Minah pergi menuju ke sebuah batu yang konon dapat berbicara seperti manusia. Batu itu berada tepi sungai yang jaraknya tidak begitu jauh dari rumahnya. Oleh masyarakat setempat batu berbicara itu dinamakan Batu Batangkup karena dapat membuka dan menutup seperti seekor kerang.

Setelah tiba di hadapan Batu Batangkup, Mak Minah lalu berlutut dan dan berkata, “Wahai Batu Batangkup, apabila engkau berkenan telahlah diriku ini. Aku sudah tidak sanggup lagi hidup bersama anak-anakku.”

“Apakah engkau sudah berpikir masak-masak, Mak Minah?” tanya Batu Batangkup.

“Anak-anakku sudah tidak mau menuruti perintahku lagi. Mereka asyik dengan dunianya sendiri tanpa mempedulikan aku. Jadi, biarlah mereka hidup tanpa diriku lagi,” jawab Mak Minah sambil berlinang air mata.

“Baiklah kalau itu maumu,” kata Batu Betangkup sambil membuka “mulutnya” dan mulai menelan tubuh Mak Minah hingga tinggal sebagian rambutnya saja yang masih berada di luar.

Menjelang maghrib Utuh, Ucin, dan Diang pulang ke rumah selepas puas bermain. Mereka tidak menyadari kalau ibu mereka sudah tidak ada lagi. Utuh, Ucin, dan Diang langsung menuju dapur untuk menyantap makanan yang telah disediakan Mak Minah. Selesai makan, mereka pun bermain kembali seperti biasanya.

Hal yang sama juga terjadi pada keesokan harinya. Mereka tetap asyik bermain hingga perut terasa lapar lalu pulang ke rumah untuk makan. Ketika persediaan makanan di dapur sudah habis, barulah mereka sadar kalau Mak Minah sudah tidak ada. Ketiga anak itu mulai kebingungan dan berusaha mencari ibunya di seluruh penjuru rumah hingga ke pekarangan depan dan belakang. Namun, Mak Minah belum ditemukan juga hingga akhirnya mereka tertidur karena kelelahan.

Hari berikutnya, Utuh bersama kedua adiknya berusaha mencari Mak Minah lagi karena perut mereka sudah sangat lapar. Kali ini pencarian dilakukan di luar rumah menyusuri tepian sungai hingga sampai di tempat Batu Batangkup berada.

Alangkah terkejutnya mereka ketika melihat sebagian rambut Mak Minah berada di luar “mulut” Batu Batangkup. Ketiganya bergegas mendekati Batu Batangkup kemudian berkata, “Wahai Batu Batangkup, kami mohon sudilah engkau mengeluarkan Emak dari dalam perutmu.”

Mulanya, Sang Batu Batangkup hanya diam saja. Tetapi karena mereka terus merengek, akhirnya Batu Batangkup berkata, “Kalian hanya peduli pada Mak Minah ketika perut sedang lapar saja. Setelah kenyang, kalian akan segera melupakan dan bahkan tidak pernah mau membantu serta menuruti segala nasihatnya.”

Sambil bercucuran air mata, Diang menjawab, “Kami berjanji untuk membantu serta mematuhi segala nasihat Emak.”

“Iya, Batu Batangkup. Kami berjanji akan patuh pada Emak,” sambung kedua kakaknya.

“Baiklah kalau begitu. Aku akan mengeluarkan Emakmu dari dalam perutku. Tetapi bila mengingkari janji, Emak kalian akan kutelan kembali,” ancam Batu Batangkup.

Setelah berkata demikian, Batu Batangkup perlahan mulai membuka “mulutnya” dan keluarlah Mak Minah dalam kondisi seperti sediakala. Utuh, Ucin, dan Diang pun langsung berlari menghampiri dan memeluk tubuh ibu mereka.

“Maafkan kami Emak. Kami berjanji tidak akan menyia-nyiakan Emak lagi,” kata mereka hampir serempak.

“Sudahlah, Anak-anakku! Emak sudah memaafkan kalian,” kata Mak Minah sambil terharu.

Hari-hari berikutnya terjadilah perubahan drastis pada keluarga Mak Minah. Ucin, Utuh, dan Diang mulai rajin membantu Mak Minah. Utuh dan Ucin membantu mencari kayu bakar di hutan, sementara Diang sibuk menyelesaikan pekerjaan rumah termasuk menyiapkan makanan untuk ibu dan kedua kakaknya.

Namun sayang, kebahaangiaan Mak Minah hanya berlangsung sesaat. Berangsur-angsur keadaan berubah menjadi seperti sediakala. Perilaku ketiga anak Mak Minah kembali malas dan bahkan semakin berani membantah perintahnya. Mak Minah pun menjadi sedih lagi dan berniat untuk kembali ditelah oleh Batu Batangkup.

Singkat cerita, hampir mirip seperti kejadian sebelumnya, Mak Minah menanak nasi dan memasak lauk pauk cukup banyak untuk persediaan selama beberapa hari. Selesai memasak hingga larut malam, perlahan-lahan dia menghampiri anak-anaknya yang sudah tertidur lelap di pembaringan. Dengan perasaan sedih Mak Minah menyelimuti dan menciumi mereka sebagai tanda perpisahan sebelum berangkat menuju ke tempat Batu Batangkup berada.

Sesampainya di hadapan Batu Batangkup, Mak Minah langsung berlutut dan memohon, “Wahai Batu Batangkup, telanlah aku kembali. Anak-anakku telah mengingkari janji. Mereka tidak patuh lagi kepadaku.”

Tanpa berkata apa-apa lagi Batu Batangkup langsung membuka mulutnya dan menelan tubuh Mak Minah. Batu Batangkup juga kesal kepada anak-anak Mak Minah karena mereka telah mengingkari janji untuk selalu patuh terhadap Ibundanya.

Beberapa hari kemudian, setelah persediaan makanan di rumah tidak ada lagi, barulah Utuh, Ucin, dan Diang sadar kalau telah mengingkari janjinya kepada Ibu dan Batu Batangkup. Tanpa membuang waktu, mereka langsung berlari menuju Batu Batangkup berada. Di hadapan Batu Batangkup mereka kembali mengungkapkan kata-kata penyesalan dan meminta agar Sang Ibu dikeluarkan.

Namun Batu Batangkup sudah tidak mau menghiraukan permohonan mereka. Dia sangat kesal pada perilaku Utuh, Ucin, dan Diang yang hanya peduli dan ingat kepada Mak Minah ketika perut sedang lapar. Tanpa berkata-kata Batu Batangkup mulai membuka “mulutnya” sehingga ketiga anak Mak Minah menjadi senang karena dikira akan mengeluarkan Ibu mereka. Tetapi setelah “mulutnya” terbuka lebar, tiba-tiba saja dia langsung menelan ketiga anak itu lalu secara perlahan masuk ke dalam tanah dan hingga kini tidak pernah muncul kembali.

Diceritakan kembali oleh ali gufron

Wisata Alam Kubu Perahu

Wisata alam Kubu Perahu terletak diantara Kota Liwa dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, tepatnya di Desa Kubu Perahu, Kecamatan Balik Bukit, sekitar 7 kilometer dari Kota Liwa. Letaknya yang cukup strategis tersebut membuat tempat ini banyak dikunjungi wisatawan, baik lokal maupun mancanegara. Mereka umumnya datang untuk berpetualang, melakukan penelitian, atau hanya sekadar berlibur dan mengisi waktu luang disela-sela rutinitas keseharian.

Kondisi Kubu Perahu
Kubu Perahu menyajikan sebuah wisata alam yang relatif masih alami karena termasuk dalam area Taman Nasional Bukit Barisan Selatan yang dilindungi kelestariannya oleh Pemerintah. Di tempat ini terdapat 3 buah air terjun, yaitu air terjun Sepapah Kiri setinggi 20 meter, air terjun Sepapah Kanan setinggi 60 meter, dan air terjun Way Asah yang memiliki ketinggian sekitar 70 meter.

Untuk sampai ke lokasi ketiga air terjun tersebut pengunjung akan dikenai tiket masuk yang besarnya bergantung pada “status kewarganegaraannya”. Misalnya, bagi pengunjung asal Indonesia (lokal) akan dikenakan tarif sebesar Rp.1.500, sedangkan bagi wisatawan mancanegara sebesar Rp.15.000. Perbedaan tarif antara wisatawan lokal dengan asing itu mungkin dengan pertimbangan karena tingkat pendapatan perkapita orang asing dianggap lebih tinggi ketimbang pendapat penduduk Indonesia pada umumnya.

Setelah membayar di pintu masuk Kubu Perahu, pengunjung tidak lantas sampai ke lokasi air terjun, melainkan harus berjalan kaki lagi selama sekitar 4 jam menyusuri jalan setapak di daerah perbukitan yang dikelilingi oleh hutan. Di sepanjang perjalanan pengunjung akan ditemani oleh seorang instruktur (guide) berpengalaman yang dapat menjelaskan segala macam seluk-beluk yang berkaitan dengan Kubu Perahu, khususnya tentang flora dan fauna.

Sebagai catatan, di area wisata Kubu Perahu terdapat berbagai macam satwa liar yang beberapa diantaranya dilindungi, seperti: menjangan, beruk, kera ekor panjang, gajah sumatera, burung rangkong, sesep madu, elang, dan lain sebagainya. Selain itu, wilayah ini juga termasuk dalam ekosistem hutan hujan pegunungan sehingga banyak dijumpai jenis-jenis pohon langka berukuran raksasa yang telah berumur ratusan tahun dan sekitar 60 jenis anggrek liar.

Fasilitas Wisata Alam Kubu Perahu
Fasilitas penunjang obyek wisata Kubu Perahu tergolong lengkap. Misalnya, bagi pengunjung yang ingin menyusuri hutan, dapat menggunakan jungle track yang telah dibuat oleh pengelola. Sementara, bagi pengunjung yang ingin menginap, tersedia juga fasilitas menginap berupa pondok kerja, Pusat Bumi Perkemahan (Buper), dan shelter (tempat istirahat) yang dilengkapi dengan MCK. (ali gufron)

Foto: http://nusapedia.com/Demak/ID/place/371/wisata-alam-kubu-perahu-tempat-seru-berpetualang-alam

Juadah Durian

Di daerah pesisir Lampung Barat, khususnya Kecamatan Pesisir Tengah, sekitar 321 kilometer dari Bandarlampung terdapat suatu penganan khas yang dinamakan Juadah Durian. Cara mambuatnya tergolong mudah, yaitu dengan memilih buah durian yang dianggap baik, lalu dikupas dan dipisahkan antara daging dan bijinya. Selanjutnya, daging buah durian dimasak atau disangrai hingga mengering lalu ditambah gula aren, kayu manis, dan sedikit air. Proses pemasakannya sendiri diperlukan waktu sekitar satu jam dengan kondisi api yang harus stabil agar gula aren tidak menjadi gosong dan pahit rasanya.

Juadah durian merupakan makanan langka karena hanya dibuat pada saat musim durin dan hanya disajikan ketika ada pesta-pesta adat, perayaan hari-hari besar atau ketika bulan Ramadhan. Khusus saat bulan Ramadhan, juadah durian biasanya disajikan sebagai menu wajib berbuka puasa. (gupron)
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Keraton Surosowan

Archive