Batu Putu

Batu Putu merupakan salah satu kawasan hutan yang secara administratif berada di Kelurahan Batu Putu, Kecamatan Telukbetung Utara. Lokasinya tidak begitu jauh dari Taman Wisata Bumi Kedaton (TWBK) dan juga Taman Kupu-Kupu. Untuk dapat mencapainya relatif mudah karena kondisi jalannya relatif baik (telah beraspal). Dari Kota Tanjungkarang hanya berjarak sekitar 20 kilometer atau 20-30 menit perjalanan menggunakan kendaraan bermotor.

Batu Putu adalah sebuah hutan yang dijadikan sebagai kawasan wanawisata oleh pemerintah Provinsi Lampung. Di tempat ini pengunjung dapat menikmati keindahan alam berupa hamparan pepohonan yang menjulang tinggi, kicauan burung yang bertengger di atas ranting, serta gemericik air yang berasal dari air terjun. Sebagai catatan, di sekitar kawasan wisata alam Batu Putu juga dikenal sebagai penghasil buah-buahan, seperti durian, duku, pisang, manggis, dan lain sebagainya. Jadi, selain menikmati keindahan alam pengunjung juga dapat mencicipi berbagai macam buah yang dihasilkan petani di Batu Putu. (pepeng)

Foto: https://eloratour.wordpress.com/2013/12/01/air-terjun-sukadanaham/

Desa Cikeusi

Letak dan Keadaan alam
Desa Cikeusi berada sekitar 3 kilometer sebelah barat Kecamatan Darmaraja atau sekitar 24 kilometer dari Kota Sumedang. Secara geografis batas-batas desa ini adalah: sebelah utara berbatasan dengan Desa Karang Pakuan, sebelah timur berbatasan dengan Desa Tarunajaya, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Cienteung, dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Cinangsi.

Desa Cikeusi merupakan desa tua yang sudah terbentuk sejak sekitar 1801 dengan kepala desanya bernama Jaham (periode 1801-1831). Setelah masa kepemimpinan Jaham berakhir, hingga saat ini sudah ada 16 orang kepala desa yang pernah memimpin Cikeusi. Mereka adalah: Yakin (periode 1831-1857), Antapraja (periode 1858-1883), Muhani (periode 1889-1918), Intapraja (periode 1918-1937), Ardipraja (1939-1943), Arintapraja (periode1943-1947), Sumawijaya (periode 1947-1956), Parmasasmita (periode 1959-1961), D. Karta (periode 1961-1974), Tarsedi (periode 1975-1978), A. Kusnadi (periode 1980-1988), U. Kuswandi (periode 1989-1997), Momo (periode 1997-1999), dan Cece Surakhman (periode 1999-2007-sekarang).

Setelah dimekarkan pada tahun 1982 menjadi Desa Cikeusi dan Desa Pasirmukti (kini Desa Cinangsi, Kecamatan Cisitu), luas wilayah Desa Cikeusi hanya menjadi 369,487 ha, terdiri dari: tanah darat seluas 121,78 ha, persawahan seluas 96 ha, pengangonan 59,56 ha, tanah titisan 72 ha, dan balong (kolam) seluas 0,05 ha. Namun, apabila Waduk Jatigede mulai beroperasi, luas desa akan semakin berkurang karena sebagian lahannya menjadi waduk.

Kependudukan
Penduduk Desa Cikeusi berjumlah 2.330 orang atau 730 Kepala Keluarga yang terdiri atas 1.197 orang laki-laki dan 1.133 orang perempuan. Jika dilihat berdasarkan tempat tinggal, persebaran penduduk hampir merata di dua dusun yang ada.

Mata Pencaharian
Seperti dikatakan di atas, Desa Cikeusi terbagi dalam dua dusun (Andir dan Citembong Girang) serta 4 Rukun Warga dan 17 Rukun Tetangga. Setiap Rukun Warga mempunyai karakteristik sendiri-sendiri. Rukun Warga 01 warga masyarakatnya rata-rata berusia produktif dan bermata pencaharian sebagai Pegawai Negeri Sipil, petani, wirausaha, dan pensiunan PNS. Penduduk Rukun Warga 02 rata-rata bermata pencaharian sebagai petani padi, sawo, rambutan, aren dan perajin batu bata. Penduduk Rukun Warga 03 rata-rata berprofesi sebagai guru, PNS, dan petani, tengkulak buah, dan peternak. Sedangkan penduduk Rukun Warga 04 sebagian besar berprofesi sebagai petani dan peternak.

Pendidikan dan Kesehatan
Sarana pendidikan yang terdapat di Desa Cikeusi berupa 2 buah Sekolah Dasar (SDN Cikeusi I dan SDN Cikeusi II), satu buah pondok pesantren, sebuah SD-SLB dengan jumlah pengajar 8 orang, sebuah SMP-SLB serta sebuah PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). PAUD di desa ini menampung 40 siswa dengan jumlah pengajar sebanyak 3 orang. Sedangkan Sekolah Dasar menampung 192 siswa dengan jumlah tenaga pengajar sebanyak 12 orang. Sementara untuk sarana kesehatan hanya ada empat buah Posyandu dengan tenaga medis sebanyak 40 orang, terdiri atas: seorang bidan dan 39 orang kader Posyandu aktif. Selain itu ada juga seorang dukun beranak atau paraji yang siap membantu kaum perempuan melahirkan.

Organisasi Pemerintahan dan Kemasyarakatan
Secara administratif dan teritorial, pemerintahan Desa Cikeusi terdiri dari Pemerintah Desa dan BPD. Pemerintah Desa terdiri dari Kepala Desa (kuwu) dijabat Cece Surakhman dan perangkat desa (sekretaris desa/juru tulis/ulis (Uca S.), Kepala Urusan Kesejahteraan Rakyat (Tohidi), Kepala Urusan Pemerintahan (Uca Somantri), Kepala Urusan Keuangan (Ai Kurniasih), dan Kepala Ekbang (Dia Adipura). Sementara BPD atau Badan Permusyawaratan Desa adalah perwakilan penduduk yang dipilih berdasarkan musyawarah-mufakat terdiri dari Ketua Rukun Warga, pemangku adat, golongan profesi, pemuka agama, atau pemuka masyarakat lainnya. BPD adalah sebuah lembaga yang merupakan perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa sebagai unsur penyelenggara pemerintah desa.

Selain kedua oraganisasi pemerintahan tersebut, terdapat juga organisasi kemasyarakatan seperti Karang Taruna, Alhidayah, kelompok tani, Kelompok Wanita Tani, dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD), dan Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK). PKK bergerak dalam urusan kebutuhan hidup melalui 10 program, yaitu penghayatan dan pengamalan Pancasila, gotong royong, pangan, sandang, Perumahan dan tata laksana rumah tangga, pendidikan dan keterampilan, kesehatan, pengembangan kehidupan berkoperasi, kelestarian lingkungan hidup, dan perencanaan sehat.

Desa Sukaratu

Letak dan Keadaan Alam
Desa Sukaratu terletak hanya sekitar 1 kilometer dari Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang. Secara geografis batas-batas desa ini: sebelah utara berbatasan dengan Desa Cibogo dan Desa Tarunajaya; sebelah timur berbatasan dengan Desa Jatibungur dan Desa Leuwihideung; sebelah selatan berbatasan dengan Desa Darmaraja; dan sebelah barat juga berbatasan dengan Desa Darmaraja.

Desa Sukaratu sudah terbentuk sejak era kepemimpinan Pangeran Aria Atmadja pada tahun 1918, dengan wilayah meliputi Kampung Durung dan Kampung Cibungur yang saat ini merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Darmaraja. Nama desanya sendiri konon diambil dari kata suka atau seneung dan ratu atau raja yang dapat diartikan sebagai wilayah yang dicintai oleh para pemimpin.

Sekitar tahun 1947 terjadi perkembangan wilayah desa, meliputi: (1) Kampung Cibungur dan Kampung Dangdeur di bawah kendali Kepala Kampung (kokolot) Cibungur; (2) Kampung Jatiroke di bawah kendali Kokolot Jatiroke; (3) Kampung Cipendeuy di bawah kendali Kokolot Cipendeuy; dan Kampung Pasar dan Kampung Durung di bawah kendali Kokolot Pasar Durung.

Kemudian pada masa kepemimpinan Kuwu Minta, sekitar tahun 1953, terjadi perubahan lagi sejalan dengan adanya PP tentang pembentukan RT dan RK, menjadi: (1) Rukun Kampung 01 meliputi wilayah Kampung Cubungur dan Kampung Dangdeur sejumlah 6 Rukun Tetangga; (2) Rukun Kampung 02 meliputi wilayah Kampung Jatiroke sejumlah 6 Rukun Tetangga; (3) Rukun Kampung 03 meliputi wilayah Kampung Cipendeuy sejumlah 9 Rukun Tetangga; dan (4) Rukun Kampung 04 meliputi wilayah Kampung Pasar dan Kampung Durung sejumlah 8 Rukun tetangga.

Selanjutnya, berdasarkan Keputusan Bupati Sumedang Nomor: 140/19/Pemb Smd/1982 di era kepemimpinan Kuwu Tachya, wilayah dimekarkan menjadi dua desa, yaitu: Desa Sukaratu berkedudukan di Jalan Hasanah No. 2 Cipendeuy dengan Kepala Desa tetap dijabat oleh Tachya; dan Desa Jatibungur berkedudukan di Jalan Rd. Umar Wirahadikusuma KM 28 No. 375 Cibungur dengan Kepala Desa dijabat oleh Pjs. Kuwu Taan Suriadisastra.

Pasca pemekaran wilayah Desa Sukaratu menjadi: Dusun Pasar (Rukun Kampung 01, 6 Rukun Tetangga); Dusun Durung (Rukun Kampung 02, 6 Rukun Tetangga); Dusun Cipendeuy (Rukun Kampung 03, 12 Rukun Tetangga); dan Dusun Dangdeur (Rukun Kampung 04, 2 Rukun Tetangga). Rukun Kampung kemudian menjadi Rukun Warga sejak tahun 1986 berdasarkan peraturan Negara Republik Indonesia.

Keempat rukun warga tersebut kemudian dimekarkan lagi menjadi 7 rukun tetangga pada tahun 2007 karena ada perpindahan penduduk Dusun Dangdeur ke wilayah dusun lainnya akibat terkena proyek pembangunan Waduk Jatigede. Jadi, hanya sebagian kecil saja dari desa ini yang akan tergenang dan menjadi bagian waduk. Sedangkan wilayah lainnya tetap ada dengan luas keseluruhan mencapai 130,11 ha, terdiri dari: pemukiman penduduk (29,32 ha), persawahan 80,26 ha, ladang/tegalan 19,52 ha, perkantoran pemerintah 0,84 ha, lahan angon 55 ha, pemakaman, 0,16 ha, dan lain sebagainya.

Kependudukan
Penduduk Desa Sukaratu berjumlah 2.499 orang atau 896 Kepala Keluarga yang terdiri atas 1.261 orang laki-laki dan 1.238 orang perempuan. Jika dilihat berdasarkan tempat tinggal, persebaran penduduk hampir merata di ketiga dusun yang ada.

Mata Pencaharian
Jenis-jenis mata pencaharian yang digeluti oleh warga masyarakat Desa Sukaratu cukup beragam, tetapi sebagian besar bertumpu pada sektor pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan. Pada sektor pertanian, produksi tanaman padi di lahan seluas 80,260 ha dapat menghasilkan beras sejumlah 447 ton. Dari sektor perkebunan berupa 340 batang pohon mangga, 108 batang pohon petai, dan 158 batang pohon rambutan dapat menghasilkan sekitar 251 ton buah per tahun yang dijual secara borongan pada para bandar buah. Dari sektor peternakan berupa 164 ekor domba, 16 ekor sapi, 3 ekor kerbau, dan 6 ekor kuda masih diusahakan secara perorangan sehingga hasilnya belum dapat menjadi komoditas unggul di Desa Sukaratu. Sedangkan, dari sektor perikanan seluas 9.660 meter persegi yang sumber dananya berasal dari alokasi khusus (DAK) dan APBD Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Sumedang untuk pembesaran ikan gurame dan nila dapat menghasilkan lebih dari 3 ton untuk sekali panen.

Kesenian
Desa Sukaratu memiliki dua buah grup kesenian kuda renggong, yaitu: Sinar Rahayu (Heboh Grup) pimpinan Een Sutisna dan Mitra Wangi pimpinan Uum Sumiyati. Keduanya berada di Dusun Cipendeuy. Kuda renggong adalah suatu kesenian khas masyarakat Sunda (Jawa Barat) yang menampilkan 1-4 ekor kuda yang dapat menari mengikuti irama musik. Di atas kuda-kuda tersebut biasanya duduk seorang anak yang baru saja dikhitan atau seorang tokoh masyarakat. Kata renggong adalah metatesis dari ronggeng yang artinya gerakan tari berirama dengan ayunan (langkah kaki) yang diikuti oleh gerakan kepala dan leher. (gufron)

Museum Perjuangan Yogyakarta

Sejarah
Museum Perjuangan berada di Jalan Kolonel Sugiyono No. 24, Yogyakarta. Keberadaan museum ini di Kota Yogyakarta bermula dari gagasan Sri Sultan Hamengkubuwana IX untuk mendirikan sebuah monumen saat memperingati setengah abad Kebangkitan Nasional pada bulan Mei 1958. Adapun tujuannya adalah agar dapat mengenang perjuangan bangsa Indonesia dalam sebuah bangunan monumental yang memuat sejarah perjuangan anak negeri dalam memperjuangkan kemerdekaan1.

Agar bangunan monumen cepat terealisasi, dibentuklah Panitia Monumen Setengah Abad Kebangkitan Nasional, terdiri dari: Sri Sultan Hamengkubuwana IX (ketua), Sri Paku Alam VIII (wakil ketua), Moh. Djamhari (wakil ketua II), Letkol Joesmin (wakil ketua III), Mayor R.M. Hardjokoesoemo (wakil ketua IV), Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo (wakil ketua), R. Soetardjo (sekretaris), dan anggota (R. Soemarsono, K.R.T. Kertoprodjo, R. Rio Darmoprodjo, R. Mangoenwastio, Prodjosudono, Lets. Soejoedi, Soesila Prawirosoesanto, Bismo Wignyoamidjojo, S. Mangoenpuspito, R.W. Pronosoeprojo, Winoto, Ds. SP. Poerbpwijogo, Ibnoe Moekmin, Daljoeni, Prodjokaskojo, Ny. Sahir Nitihardjo, K.R.T. Labaningrat, Prof. Ir. Soewandi, R.M. Srihandojokoesoemo, dan Soedharso Pringgobroto)2.

Panitia Monumen Setengah Abad Kebangkitan Nasional membentuk lagi sebuah panitia khusus yang akan membahas tentang apa dan bagaimana monumen itu kelak. Kepanitiaan khusus ini beranggotakan sembilan orang sehingga sering disebut juga sebagai Panitia Sembilan, terdiri atas: Soenaryo Mangoenpoepito (ketua), Soetardjo (sekretaris), dan anggora (Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo, Soenito Dojosoegito, Ny. Sahir Nitihardjo, Daljoeni, Fadlan AGN, Mangoenwarsito, Bismo Wignjoamidjojo, dan R.W. Probosoeprodjo)2.

Selain membentuk Panitia Sembilan, Panitia Monumen Setengah Abad Kebangkitan Nasional juga membentuk seksi Pembangunan Gedung Museum, seksi Pengumpulan Barang-barang dari Pihak Sipil, seksi Pengumpul Barang-barang dari Pihak Militer, seksi usaha sesudah museum jadi dan dibuka, seksi relief, seksi administrasi keuangan, serta seksi penerangan dan propaganda. Seksi-seksi tersebut mulai bekerja hingga pemasangan patok pertama pada tanggal 17 Agustus 1959 oleh Sri Paku Alam VIII sebagai tanda tempat akan dibangunnya museum di halaman nDalem Brontokusuman, pencangkulan pertama tanggal 5 Oktober 1959 oleh Sri Paku Alam VIII sebagai tanda dimulainya pembangunan museum, pemasangan batu terakhir tanggal 29 Juni 1961 oleh Sri Sultan Hamengkubuwana IX sebagai tanda berakhirnya pembangunan museum, dan upacara pembukaan museum tanggal 17 November 1961 oleh Sri Paku Alam VIII sebagai tanda dibukanya museum untuk umum.

Setelah dibuka untuk umum, pengelolaan museum dilakukan oleh Panitia Setengah Abad Kebangkitan Nasional Daerah Istimewa Yogyakarta. Namun, karena ditangani oleh sebuah panitia dan bukan organisasi khusus, kegiatan museum mengalami pasang surut dan bahkan sempat tutup dari tahun 1963 hingga 1969. Bangunan dan perawatan koleksi yang berada di dalamnya dilimpahkan kepada pihak Museum Angkatan Darat yang waktu itu juga berkedudukan di nDalem Brontokusuman (di bagian belakang Museum Perjuangan).

Pada tahun 1970, walau masih tertutup untuk umum, pengelolaan museum beralih ke Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta c.q Inspeksi Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Empat tahun kemudian, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta menyerahkan pengelolaan museum kepada Bidang Permuseuman Sejarah dan Kepurbakalaan Kanwil Depdikbud Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai bagian dari Museum Sonobudoyo.

Ketika menjadi bagian dari Museum Sonobudoyo yang saat itu menjadi UPT pada Direktorat Permuseuman Dirjen Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan inilah pada tanggal 30 Juni 1980 Museum Perjuangan dibuka lagi untuk umum. Dan, pada tanggal 5 September 1997 pihak Museum Sonobudoyo yang telah beralih menjadi UPT Daerah Istimewa Yogyakarta melimpahkan pengelolaan Museum Perjuangan kepada Museum Benteng Vredeburg sesuai dengan keputusan Direktur Pendidikan dan Kebudayaan No: 386/FLIV/E/97 tanggal 22 Agustus 1997 serta Berita Acara Penyerahan No: 14/F4.113/D2.19971.

Oleh pihak Museum Benteng Vredeburg, pada tahun 2007 Museum Perjuangan direnovasi (akibat gempa) dan tahun berikutnya ditambahkan koleksi-koleksi sejarah persandian Indonesia di lantai bawah bangunan yang pengelolaannya diserahkan pada Lembaga Sandi Negara. Koleksi-koleksi sejarah persandian tersebut selanjutnya dikenal sebagai Museum Sandi yang pada pertengahan bulan Juli 2013 dipindahkan ke bekas Gedung Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Istimewa Yogyakarta3.

Sedangkan dalam hal pengoperasiannya, Museum Perjuangan dijadikan sebagai Unit II Museum Benteng Vredeburg yang pengelolanya ditunjuk dari karyawan-karyawan Museum Benteng Vredeburg oleh Kepala Museum berdasarkan surat tugas. Adapun susunannya terdiri dari seorang Kordinator Unit yang bertugas menyusun dan melaksanakan program kerja administrasi maupun teknis museum. Dalam melaksanakan tugasnya, Kordinator Unit dibantu oleh petugas persuratan/perlengkapan, petugas penyajian, petugas konservasi, petugas bimbingan edukasi, dan petugas keamanan.

Bangunan Museum
Bangunan Museum Perjuangan yang berada dalam areal nDalem Brontokusuman ini berbentuk bulat silinder menyerupai perpaduan antara bentuk bangunan model Romawi kuno dengan model Timur yang dinamai sebagai ronde temple. Adapun idenya berasal dari Sri Sultan Hamengkubuwana IX yang diutarakan oleh ketua panitia teknik Prof. Ir. Soewandi saat memberikan penjelasan tentang rencana dan bangunan pada rapat pleno keempat tanggal 19 Juni 1959.

Pembangunan museum disokong oleh dana bantuan pemerintah pusat sebesar Rp.8.000.000,00 yang terbagi dalam tiga termin. Termin pertama sebesar Rp.3.500.000,00 pada tahun 1959, termin kedua sebesar Rp.2.500.000,00 pada tahun 1960, dan termin terakhir pada tahun 1961 sebesar Rp.2.000.000,002. Sedangkan pengerjaannya dilakukan oleh E.I.C (Indonesian Engineering Corporation) yang menjadi pemenang lelang dengan penawaran paling mendekati budget pemerintah.

Khusus untuk pengerjaan patung dan hiasan puncak gedung, melalui sidang pleno ke sembilan tanggal 7 April 1960 Panitia Monumen Setengah Abad Kebangkitan Nasional membuat dua macam sayembara, yaitu: sayembara hiasan puncak gedung museum dan sayembara kesatuan patung di muka gedung museum. Oleh karena tidak ada rancangan hiasan puncak museum yang memenuhi kriteria, panitia terpaksa memilih salah satu dari 44 rancang bangun museum yang telah dikirimkan peserta sayembara. Rancang bangun puncak museum yang memenangi sayembara tersebut diberi judul "Purana Swaraj". Pemenangnya yaitu F.A. Sutjipto diberi penghargaan serta hadiah sejumlah Rp.20.000,00. Sedangkan untuk pemanang sayembara kesatuan patung di muka gedung museum berjudul "Mara Hanung" diberi hadiah sebesar Rp.5.000,00.

Setelah seluruh persiapan matang, pendirian bangunan museum pun dimulai dengan dipimpin oleh Soerodjo dari NV I.E.C. Soerodjo membangun museum sesuai dengan yang diinginkan oleh panitia, yaitu berbentuk bulat dengan diameter 30 meter dan tinggi 17 meter. Pada bagian puncaknya berukuran dasar 3 meter, tinggi 7 meter dan berat sekitar 15 ton. Pengerjaan bagian puncak bangunan dibagi menjadi 3 bagian. Pertama, membuat cetakan menggunakan tanah liat sebanyak 11 ton. Kemudian cetakan itu dibalut gibs sejumlah 6 ton, dan terakhir memasang cetakan gibs di atas gedung museum untuk dicor dengan beton.

Selesai pembuatan puncak dilanjutkan dengan pengerjaan hiasan dan relief pada beberapa bagian museum. Adapun relief dan hiasan tersebut, diantaranya adalah: (1) makara berbentuk binatang laut pada bagian kiri dan kanan pintu masuk museum; (2) lima buah bambu runcing di bagian atap gedung yang berbentuk mirip ropi baja model Amerika; (3) bulatan dunia yang terletak di atas lima buah trap; (4) bintang bersudut delapan dengan peta kepulauan Indonesia di tengah-tengahnya yang dibuat di bagian atas pintu masuk museum; (5) pada bagian bawah bintang bersudut delapan dihias candrasengkala berbunyi ciptaan R.M. Kuswaji Kawindro Susanto berbunyi "Anggatra Pirantining Kusuma Negara"; (6) relief pada sekeliling gedung yang menceritakan riwayat perjuangan bangsa dari berdirinya Boedhi Utomo hingga terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan (7) ukiran lung-lungan berbentuk menyerupai lidah api pada 45 buah pilar.

Koleksi Museum Perjuangan
Sesuai dengan namanya, museum ini mengkoleksi benda-benda yang berhubungan dengan perjuangan bangsa Indonesia dalam meraih kemerdekaan. Benda-benda bersejarah tersebut dibagi dalam dua tata pameran. Tata pameran pertama disajikan secara outdoor dan tata pameran kedua disajikan indoor4.

Koleksi tata pameran outdoor meliputi: bangunan museum sendiri; patung kepala pahlawan nasional (Sultan Hasanuddin, Kapitan Pattimura, Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Teuku Umar, Raden Ajeng Kartini, Dr. Wahidin Soedirohoesodo, Ki Hadjar Dewantara, Mohammad Husni Thamrin, dan Jenderal Soedirman); dan relief peristiwa sejarah berupa lahirnya Boedhi Oetomo, Sarekat Islam, Indische Partij, Muhammadiyah, Taman Siswa, Partai Nasional Indonesia, lahirnya Gabungan Politik Indonesia (GAPI), perlawanan rakyat terhadap penjajah Belanda, pemufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia, Kongres Pemuda II, Kongres Wanita Indonesia, Perang Dunia II, Penindasan Jepang, penyerahan Jepang pada Sekutu, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, gema proklamasi dalam peristiwa Ikada (Ikatan Atletik Djakarta), konsolidari kekuatan Jepang oleh rakyat Indonesia, insiden bendera Tunjungan di Surabaya, pemberontakan Tentara Keamanan Rakyat, Kongres Pemuda I, Sidang I Bdan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat, Perpindahan Ibukota RI ke Yogyakarta, Perang Puputan di Bali, Berdirinya Universitas Gadjah Mada, peristiwa Bandung Lautan Api; Politik diplomasi tahun 1948; pengangkutan eks tahanan warganegara Belanda dan eks tentara Jepang; Agresi Militer Belanda I; Pekan Olahraga Nasional di Solo, Agresi Militer Belanda II; Serangan Umum 1 Maret 1949; penarikan tentara Belanda dari Yogyakarta; para pemimpin negara kembali ke Yogyakarta tanggal 6 Juli 1949; Konferensi Meja Bundar; pengakuan Kedaulatan RI oleh Belanda 27 Desember 1949; dan terbentuknya Republik Indonesia Serikat.

Sedangkan koleksi tata pameran indoor meliputi: replika meriam yang ditemukan di dalam komplek Museum Benteng Vredeburg; miniatur kalap armada laut Belanda; sepeda Armed yang pernah digunakan oleh para anggota BKR pada masa Perang Kemerdekaan; meja dan kursi tamu kapten Widodo; replika senjata serdadu VOC; buku ilmu kedokteran dari Stovia; benda-benda milik R.M. Soerjopranoto yang berujud udheng (penutup kepala), mesin ketik, dan peralatan makan (piring dan centong); miniatur kepanduan (miniatur Pandu Hizbul Wathan (HW), Pandu Rakyat, dan Pramuka); Tugu Kepanduan Bangsa Indonesia; pakaian perempuan Pandu Mataram; keranjang rumput yang dipakai oleh para pejuang di Bali; matang uang VOC, klise mata uang ORI, dan uang ORI; meja guru Militer Akademi Yogyakarta; perlengkapan milik Tjilik Riwut berupa tongkat, bumbung, perples, cangkir bambu, pinggang rotan, dan dokumen perjuangan; perlengkapan Soekarno ketika berada di Rengasdengklok berupa tempat tidur, meja, kursi, dan peralatan milik Djiaw Kie Slong; perlengkapan milik Soekimin (salah seorang Tentara Pelajar) berupa arsip surat-surat penting, buku catatan harian, topi-pakaian Tentara Pelajar, dan bendera Merah-Putih; perlengkapan SPN (Sekolah Polisi Negara) berupa meja, kentongan, dan lampu senthir; tas kayu; bambu runding; samurai; radio perjuangan dari PPT Bandung; pedang dan kenop milik Suto Darmo, anggota polisi Pamong Praja Desa Gerbosari, Kulonprogo; lumpang batu yang pernah digunakan untuk menyiapkan logistik bagi Tentara Ganie Pelajar saat berada di rumah Mulyo Sewoyo5; perlengkapan kedokteran yang pernah digunakan di Rumah Sakit Boro, Kulonprogo, pada masa Perang Kemerdekaan; plakat-plakat perjuangan; kentongan kesekretariatan MBKD (Markas Besar Komando Djawa); perlengkapan kepolisian yang dipakai Kepolisian Gunungkidul sebelum tahun 1958; tas kulit milih Mohammad Hatta; peralatan minum Jenderal Soedirman; perlengkapan Kolonel Zulkifli Lubis dan Letkol Suhano; replika patung Nyi Ageng Serang, Dewi Sartika, Dr. Soetomo, Tirto Koesoemo, K.H.A. Dahlan, R.M. Soerjopranoto, Adi Sutjipto, Ir. Soekarno, Oerip Soemohardjo, dan Moh. Hatta; serta lukisan-lukisan peristiwa sejarah seperti Pernyataan Negeri Ngayogyakarta, pengibaran Bendera Merah Putih di Gedung Agung, pertempuran Kotabaru, penawanan Tentara Pelajar di daerah Prambanan, Serangan Umum 1 Maret 1949, dan dapur umum di daerah gerilya di Kulonprogo; serta patung replika polisi Hindi Belanda (Dutch East Indies Politie) yang mulai dipamerkan pata 6 Januari 20156.

Fasilitas Museum
Selain ruang pamer indoor dan aoutdoor, Museum Perjuangan juga dilengkapi dengan fasilitas penunjang bagi pengunjung, seperti: areal parkir, taman bermain, hotspot area, toilet, mushola, perpustakaan, dan auditorium. Bagaimana, Anda berminat menyaksikan sejarah perjuangan Bangsa Indonesia? Apabila ingin berkunjung, museum ini dibuka secara umum dari hari Senin-Jumat (kecuali hari Sabtu, Minggu, dan hari besar nasional) dengan perincian: Senin-Kamis pukul 08.00-16.00 WIB dan Jumat pukul 08.00-16.30 WIB7. Adapun tiket masuknya dibagi dalam beberapa kategori, yaitu: pengunjung dewasa perorangan sebesar Rp. 2.000,00, dewasa rombongan sebesar Rp. 1.000,00, anak-anak perorangan sebesar Rp. 1.000,00, anak-anak rombongan sebesar Rp. 500,00, dan wisatawan mancanegara (dewasa maupun anak-anak) sebesar Rp. 10.000,008. (ali gufron)

Foto: http://pariwisata.jogjakota.go.id/index/extra.detail/1993/museum-perjuangan.html
Sumber:
1. "Sekilas tentang Museum Perjuangan (Museum Benteng Vredeburg Unit II)", diakses dari http://museumvredeburg.blogspot.co.id/2011/04/sekilas-tentang-museum-perjuangan.html, tanggal 8 November 2015.
2. "Museum Perjuangan Yogyakarta", diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Museum_Perjuangan_ Yogyakarta, tanggal 8November 2015.
3. "Museum Sandi", diakses dari https://gudeg.net/direktori/5215/museum-sandi.html, tang gal 2 November 2015.
4. "Tentang Museum", diakses dari http://perjuangan.museumjogja.org/id/page/8-Tentang-Museum, tanggal 10 November 2015.
5. "Koleksi", diakses dari http://perjuangan.museumjogja.org/id/collection, tanggal 9 Novem ber 2015.
6. "Penambahan Patung Polisi Jaman Hindia Belanda", diakses dari http://perjuangan. museumjogja.org/id/news/7-penambahan-patung-polisi-jaman-hindia-belanda, tanggal 9 November 2015.
7. "Tentang Museum", diakses dari http://perjuangan.museumjogja.org/id/page/8-Tentang-Museum, tanggal 27 November 2015.
8. "Museum Perjuangan Yogyakarta", diakses dari https://gudeg.net/direktori/1652/museum-perjuangan-yogyakarta.html, tanggal 10 November 2015.

Desa Jatibungur

Letak dan Keadaan Alam
Desa Jatibungur secara administratif berada dalam wilayah Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang. Desa yang kemungkinan wilayahnya akan tergenang penuh dalam proyek pembangunan Waduk Jatigede ini secara geografis terbagi ke dalam dua dusun yang dipisahkan oleh jalan raya yang menuju Kecamatan Wado, yaitu: Dusun Jatisari yang berada di bagian selatan dan Dusun Cibungur di bagian utara. Dusun Jatisari sebelah barat berbatasan dengan Desa Darmajaya; sebelah barat daya berbatasan dengan Desa Rangon; sebelah selatan berbatasan dengan Desa Neglasari. Sementara, Dusun Cibungur sebelah barat hingga utara berbatasan dengan Desa Sukaratu; sebelah timur berbatasan dengan Desa Leuwihideung; sebelah tenggara berbatasan dengan Desa Sukamenak; dan sebelah selatan berbatasan dengan Desa Neglasari.

Desa Jatibungur berdiri sejak tanggal 22 Januari 1983, akibat dari pemekaran Desa Sukaratu. Nama Jatibungur sendiri diambil dari dua nama dusun yang ada di dalamnya, yaitu Dusun Jatiroko (sekarang Jatisari) dan Dusun Cibungur. Perpaduan dua nama desa tersebut memunculkan nama Jati(roke)(ci)bungur (baca: Jatibungur). Adapun nama-nama kepala desa yang pernah menjabat adalah: Taan Suryadi Sastra, Tasik, D. Sukarna, Rais Kusmana BP., M. Suherman, Wahidin I.H., dan Sahya Sukarya Putra (Chapucino, 1012).

Secara keseluruhan, luas Desa Jatibungur 118 ha, dengan rincian: sawah irigasi ½ teknis (90 ha), pemukiman penduduk (21 ha), pekarangan (0,05 ha), perkebunan (2,5 ha), tanah bengkok (0,57 ha), sawah desa (0,491 ha), lapangan olahraga (0,05), perkantoran pemerintah (0,14 ha), pemakaman (2 ha), sekolah (0,01 ha), terminal (0,31 ha), dan balong (1 ha). Sebagian besar wilayah desa ini (hanya menyisakan sekitar 2,5 ha), telah diambil alih pemerintah sebagai bagian dari Waduk Jatigede. Namun, karena proses pembangunan waduk tersendat-sendat, membuat banyak diantara warganya yang tetap bertahan dan belum pindah hingga sekarang.

Kependudukan
Penduduk Desa Jatibungur berjumlah 1858 orang, atau 617 Kepala Keluarga. Jumlah tersebut, jika dilihat berdasarkan jenis kelamin, penduduk laki-laki berjumlah 924 orang laki-laki (50,3%), sedangkan penduduk perempuan berjumlah 934 orang (49,7%). Jika dilihat berdasarkan golongan usia, penduduk berusia 0-14 tahun ada 382 jiwa (20,56%), kemudian berusia 15-54 tahun ada 1.032 jiwa (55,54%), dan yang berusia 55 tahun ke atas 444 jiwa (23,90%). Ini menunjukkan bahwa penduduk Desa Jatibungur sebagian besar berusia produktif.

Mata Pencaharian
Jenis-jenis mata pencaharian yang digeluti oleh warga masyarakat Desa Jatibungur cukup beragam, tetapi sebagian besar bertumpu pada sektor pertanian (65,62%). Selebihnya, ada yang bekerja sebagai pegawai negeri di berbagai instansi pemerintah, seperti: kelurahan, kecamatan, pemerintah daerah, dan lain sebagainya _0.09%). Kemudian, ada juga yang menjadi pedagang kelontong, perajin, seniman, peternak (17,19%), karyawan swasta (13,77%), montir (0,44%), dan lain sebagainya. Untuk lebih jelasnya lihat tabel di bawah ini

Organisasi Pemerintahan dan Kemasyarakatan
Secara administratif dan teritorial, pemerintahan Desa Jatibungur terdiri dari Pemerintah Desa dan BPD. Pemerintah Desa terdiri dari Kepala Desa (kuwu) dan perangkat desa (sekretaris desa/juru tulis/ulis, Kepala Urusan Kesejahteraan Rakyat, Kepala Urusan Pemerintahan, Kepala Urusan Keuangan, dan Kepala Urusan Umum). Sementara BPD atau Badan Permusyawaratan Desa adalah perwakilan penduduk yang dipilih berdasarkan musyawaraf-mufakat yang terdiri dari Ketua Rukun Warga, pemangku adat, golongan profesi, pemuka agama, atau pemuka masyarakat lainnya. BPD adalah sebuah lembaga yang merupakan perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa sebagai unsur penyelenggara pemerintah desa.

Selain kedua oraganisasi pemerintahan tersebut, terdapat juga organisasi kemasyarakatan seperti Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK), Karang Taruna, dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD). LPMD merupakan perwujudan dari PP No.72 tahun 2005 pasal 89 yang mempunyai tugas: (a) menyusun rencana pembangunan secara partisipatif; (b) melaksanakan, mengendalikan, memanfaatkan, memelihara dan mengembangkan pembangunan secara partisipatif; (c) menggerakkan dan mengembangkan partisipasi, gotong royong dan swadaya masyarakat; dan (d) menumbuhkembangkan kondisi dinamis masyarakat dalam rangka pemberdayaan masyarakat. (Ali Gufron)

Sumber:
Charm Chapucino. 2012. “Asal Mula Desa Jatibungur (Sumedang)”. http://adf.ly/4174091/http:// charmcct.blogspot.com/2012/12/desa-jatibungur-berdiri-sejak-tanggal.html. Diakses 20 Agustus 2013.

Permainan Dentuman Lamban

Di daerah Abung Timur, Lampung Utara, terdapat sebuah permainan anak yang disebut dentuman lamban. Kapan dan dari mana permainan ini bermula sulit diketahui secara pasti. Namun, menurut informan permainan ini sudah dimainkan oleh anak-anak di sana sejak zaman penjajahan Belanda.

Permainan dentuman lamban dapat dimainkan oleh anak-anak dan orang dewasa laki-laki maupun perempuan. Namun, saat ini, secara umum dentuman lamban dimainkan oleh kaum perempuan terutama anak-anak yang berusia 6-12 tahun yang jumlah pemainnya bergantung dari jumlah papan permainan yang tersedia. Untuk satu papan permainan hanya dapat dimainkan oleh dua orang.

Papan permainan dentuman lamban terbuat dari kayu yang tebalnya kurang lebih 10 cm, lebar 20 cm, dan panjang 50 cm. Kayu tersebut diberi lubang-lubang (bundar) dengan kedalaman kurang lebih 5 cm. Jumlah lubang seluruhnya adalah 12 buah, dengan rincian 10 lubang dibuat dua jejer (masing-masing jejer 5 lubang), kemudian dua lubang yang agak besar di setiap ujungnya. Selain papan kayu, yang saat ini mulai tergantikan dengan plasik, permainan ini juga menggunakan cangkang-cangkang kerang yang jumlahnya antara 50-70 biji untuk mengisi lubang yang tersedia. Kerang-kerang tersebut nantinya akan dibagi dua untuk masing-masing pemain.

Adapun proses permainannya adalah sebagai berikut. Permainan dimulai dengan memasukan biji-biji ke dalam lubang-lubang yang ada di dalam papan permainan, kecuali dua buah lubang besar saja yang berada di ujung papan. Kedua lubang ini tidak boleh diisi. Jumlah biji pada setiap lubang adalah sama. Jika jumlah seluruh biji yang disepakati adalah 70 biji, maka setiap lubang akan diisi oleh 7 biji cangkang kerang. Kemudian salah satu pemain yang mendapat kesempatan pertama akan mengambil semua biji dari lubang paling ujung yang ada di daerahnya sendiri. Biji-biji tersebut kemudian akan diedarkan satu persatu dengan arah yang berlawanan jarum jam ke setiap lubang yang ada di papan perminan, kecuali satu lubang besar (miliknya sendiri), maka biji tersebut merupakan nilai bagi pemain yang bersangkutan. Namun, jika bini yang terakhir jatuh ke lubang yang masih ada bijinya, maka pemain mengambil biji-biji tersebut untuk diedarkan kembali. Dengan demikian seterusnya hingga suatu saat biji terakhir jatuh pada lubang yang kosong. Jika itu terjadi, maka pemain yang lain (lawan mainnya) akan menggantikannya. Permainan akan berlangsung terus hingga biji-biji yang berada di lubang-lubang kecil seluruhnya masih ke dua buah lubang besar di ujung papan permainan milik kedua pemain. Bagi pemain yang mendapatkan biji terbanyak akan menjadi pemenangnya. (ali gufron)

Sumber:
Hindun (54 Tahun)
Desa Peraduan Waras, Kecamatan Abung Timur, Kabupaten Lampung Utara

Cambay

Cambay adalah sebutan masyarakat Lampung Utara bagi sejenis tanaman merambat yang dapat mencapai panjang hingga 15 meter. Tanaman berakar tunggang ini memiliki batang berwarna cokelat kehijauan berbentuk bulat, dan beruas. Daunnya berbentuk jantung, berujung runcing dengan panjang antara 5-8 centimeter dan belas 2-5 centimeter. Bungannya berbentuk bulir dengan panjang antara 1,5-3 centimeter untuk bulir jantan dan 1,5-6 centimeter untuk bulir betina. Sementara buahnya berbentuk bulat dan berwarna hijau keabu-abuan.

Sebelum ada obat-obatan modern buatan pabrik yang lebih praktis dan dapat dibeli dengan harga relatif murah, ibu-ibu di daerah Lampung Utara memanfaatkan tanaman cambay untuk mengobati berbagai macam penyakit. Adapun caranya adalah dengan menumbuk, meremas, memanggang, dan merebus daun cambay untuk dioleskan pada bagian tubuah dan atau dijadikan sebagai minuman.

Tanaman cambay dapat digunakan untuk mengobati berbagai macam penyakit, diantaranya: (1) Kemian atau borok dengan cara menggiling satu atau dua lembar daun cambay lalu ditempelkan pada bagian borok; (2) jawak (jerawat) atau munculnya benjolan merah di wajah akibat peradangan yang akhirnya mengeluarkan nanah. Jawak diobati dengan menumbuk halus sejumlah 7-10 lembar daun cambay lalu seduh dalam dua gelas air panas. Air seduhannya gunakan untuk mencuci muka 2-3 kali sehari; (3) mimisan atau keluar darah dari lubang hidung. Mimisan diobati dengan mememarkan dan menggulung selembar daun cambay muda lalu disumbatkan pada hidung yang berdarah; (4) haiyek atau masuknya sesuatu ke dalam saluran pernapasan yang dapat berupa lendir, debu, maupun benda lainnya. Pengobatan haiyek dilakukan dengan merebus beberapa lembar daun cambay hingga mendidih dan setelah dingin diminum sebanyak dua gelas dalam satu hari; (5) Bagi ibu yang baru melahirkan dan memiliki ASI berlebih dapat mengkonsumsi cambay agar volume airnya berkurang. Adapun caranya dengan mencuci bersih beberapa helai daun cambay lelu mengolesi permukaannya dengan minyak kelapa. Kemudian hangatkan dekat perapian sampai layu dan tempelkan di seputar payudara; (6) bau badan, dengan merendam beberapa lembar daun cambay dalam satu gelas air panas. Setelah hangat campur dengan satu sendok teh gula lalu diminum; (7) bau ketiak karena adanya bakteri bercampur dengan keringat. Pengobatannya dengan mencampur daun cambay bersama kapur lalu remas-remas dan olehkan pada bagian ketiak; (8) menghilangkan bau mulut dengan mencuci bersih daun cambay lalu remas-remas dan kemudian celup dalam air hangat untuk berkumur; (8) luka bakar yang menimbulkan panas, nyeri, kulit berwarna kemerahan atau hitam hingga melepuh dapat diobati dengan menumbuk beberapa helai daun cambay lalu ditempelkan bada bagian yang terkena trauma panas; (9) sariawan atau luka pada mulut berbentuk bercak putih kekuningan dengan permukaan agak cekung akibat tergigit, benturan dengan sikat gigi, atau infeksi bakteri. Sariawan dapat diobati dengan dengan mencuci bersih daun cambay lalu mengunyahnya hingga lumat; (10) meredakan mata gatal dan merah dengan mencuci bersih 5-6 helai daun cambay muda lalu rebus dalam dua gelas air sampai mendidih. Selanjutnya, diamkan hingga dingin dan gunakan mencuci mata sejumlah tiga kali dalam satu hari pada pagi, sore, dan malam hari; (11) menghilangkan keputihan dengan cara merebus daun cambay sejumlah 10-15 helai dalam 2,5 liter air hingga mendidih. Apabila telah hangat, air rebusannya gunakan untuk mencuci vagina; dan (12) merapatkan daerah kewanitaan dengan cara merebus beberapa helai daun cambay dengan 2-4 gelas air hingga tinggal 1,5 gelas saja. Setelah agak hangat, saring rebusan cambay tersebut dan minum pada pagi hari sebelum sarapan. (ali gufron)

Sumber:
Hindun (54 Tahun)
Desa Peraduan Waras, Kecamatan Abung Timur, Kabupaten Lampung Utara

Permainan Pecey

Pecey adalah sebutan anak-anak di Desa Peraduan Waras, Lampung Utara, bagi benda yang dalam bahasa Indonesia berarti kelereng. Jadi, permainan pecey sama dengan bermain buah kelereng. Dalam permainan ini pecey yang dijadikan sebagai gacu akan dilontarkan ke dalam sebuah lingkaran yang di dalamnya terdapat pecey-pecey lain sebagai taruhannya. Permainan pecey dapat dikategorikan sebagai permainan anak-anak yang pada umumnya dilakukan oleh anak lelaki berusia 7-15 tahun dengan jumlah antara 2-6 orang.

Untuk dapat bermain pecey tidak membutuhkan tempat (lapangan) khusus. Ia dapat dimainkan di mana saja, asalkan di atas tanah. Jadi, dapat di tanah lapang atau di pekarangan rumah karena arena permainannya hanya sebuah lingkaran berdiameter 7-10 cm dengan jarak garis batas lemparan sekitar 6-10 meter. Aturan permainannya pun juga tergolong sederhana, yaitu pemain akan dinyatakan menang apabila gacunya dapat mengeluarkan pecey taruhan di dalam lingkaran lebih banyak daripada lawan mainnya.

Adapun proses permainannya sendiri dibagi menjadi tiga tahap. Pertama, tahap pengundian sebelum permainan dimulai dengan cara melontarkan pecey ke arah lingkaran. Pemain yang dapat memasukkan becey-nya ke dalam lingkaran akan memulai permainan. Namun, apabila tidak ada seorang yang dapat memasukkan becey-nya ke dalam lingkaran, maka pecey yang paling dekat dengan lingkaran akan memulai bermainan. Tahap kedua, pemain yang mendapat kesempatan memulai permainan akan mengumpulkan becey taruhan dari setiap pemain untuk ditaruh di dalam lingkaran. Tahap ketiga, pemain akan melontarkan peceynya untuk mengenai pecey-pecey yang berada dalam lingkaran. Apabila dapat mengeluarkan pecey taruhan dari dalam lingkaran, maka pecey tersebut menjadi milik si pelontar dan selanjutkan akan melontarkan kembali pecey gacoannya. Begitu seterusnya, hingga seluruh pecey dalam lingkaran habis. Namun, apabila tidak ada satu pecey pun yang dapat dikeluarkan dari lingkaran, pelontar harus digantikan oleh pemain lain. Dan, pemenangnya adalah pemain yang baling banyak mendapatkan pecey taruhan. (gufron)

Sumber:
Hindun (54 Tahun)
Desa Peraduan Waras, Kecamatan Abung Timur, Kabupaten Lampung Utara.

Museum Sandi

Sejarah
Museum Sandi berada di Jalan Faridan Muridan Noto Nomor 21, Kotabaru, Yogyakarta. Sesuai dengan namanya, museum yang konon merupakan satu-satunya di dunia ini menyimpan atau mengkoleksi benda-benda yang berhubungan dengan penerimaan dan atau pengiriman pesan-pesan rahasia berbentuk sandi sejak zaman perang kemerdekaan Indonesia hingga sekarang.

Pendirian museum ini berawal dari gagasan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X yang berkeinginan untuk menempatkan koleksi persandian di Museum Perjuangan Yogyakarta. Keinginan tersebut disampaikan pada bulan Maret tahun 2006 saat menerima kunjungan Widyakarya Mahasiswa Sekolah Tinggi Sandi Negara (STSN)1. Oleh Mayjen TNI Nachrowi Ramli yang saat itu menjabat sebagai Kepala Lembaga Sandi Negara, gagasan Sultan langsung ditindaklanjuti dengan membentuk Tim Persiapan Pembangunan Monumen Sandi dan Mengisi Koleksi Persandian di Museum Perjuangan yang kemudian dikenal dengan nama Tim Museum Sandi2.

Tim Museum Sandi dibentuk pada tanggal 24 Maret 2006 melalui Surat Keputusan Kepala Lembaga Sandi Negara RI No.KP.601/SP.373/2006, terdiri atas 2 orang penasihat, 1 orang koordinator, dan 5 orang anggota2. Adapun tugasnya secara garis besar adalah: (a) mengumpulkan data dan informasi untuk koleksi Museum Sandi melalui wawancara dengan para pelaku sejarah persandian, studi pustaka, studi banding ke berbagai museum dan penyelenggaraan Seminar Sejarah Persandian; (b) mengumpulkan dan memilih koleksi Museum Sandi; (c) membuat sarana dan prasarana pameran Museum Sandi; (d) membuat perjanjian kerjasama antara Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) dengan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar); (e) menyusun dan menata koleksi Museum Sandi di ruang pamer; dan (f) Meresmikan Museum Sandi.

Kemudian, susunan tim bertambah lagi menjadi 9 orang berdasarkan Surat Keputusan Kepala Lembaga Sandi Negara RI No.KP601/SP.554/2006. Namun, karena padatnya kegiatan, maka susunan tim ditambah lagi menjadi 13 orang (termasuk 1 orang penanggung jawab dan 1 orang koordinator) melalui Surat Keputusan Kepala Lembaga Sandi Negara RI No.KP.601/KEP.116.A/2007 dengan masa kerja hingga bulan Desember 2007. Dan terakhir, untuk menyesuaikan situasi dan kondisi di lapangan, dikeluarkanlah Surat Keputusan oleh Kepala Lembaga Sandi Negara RI No.KP.601/SP.740/2008 tentang penerusan pekerjaan anggota tim sampai dengan peresmian museum serta pembentukan tim khusus menangani pembuatan aplikasi Multimedia dan Game Museum Sandi (Amigamusa).

Setelah tim menyelesaikan tugasnya, pada tanggal 29 Juli 2008 Museum Sandi akhirnya diresmikan. Lokasinya berada di lantai dasar Museum Perjuangan (yang telah direnovasi akibat gempa 27 Mei 2006) di Jalan Kolonel Sugiyono No. 24, Kecamatan Brontokusuman. Peresmiannya dilakukan langsung oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Kepala Lembaga Sandi Negara. Sedangkan pengelolaan dan pengembangannya diserahkan kepada Bagian Humas dan Kerjasama (Humajas), Biro Perencanaan, Hukum, Kepegawaian dan Hubungan Masyarakat (Biro PHKH), Sekretariat Utama, Lembaga Sandi Negara.

Agar tidak menginduk lagi pada Museum Perjuangan, pada pertengahan bulan Juli 2013 pihak Lembaga Sandi Negara melakukan kerjasama dengan Pemerintah Daerah Yogyakarta dalam bentuk peminjaman Gedung Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah guna dimanfaatkan sebagai ruang pamer Museum Sandi. Peminjaman gedung di Jalan Faridan Muridan Noto No. 21 ini diperkuat oleh Surat Keputusan Gubernur DIY No.51/Kep/2013 tentang persetujuan pinjam pakai barang milik daerah kepada Lembaga Sandi Negara. Surat Keputusan Gubernur tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam sebuah perjanjian antara Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Lembaga Sandi Negara No.3/PERJ/SEKDA/IV/2013 dan PERJ.074/SU/HK.08.01/04/2013 tentang pinjam pakai barang Pemerintah Daerah1.

Koleksi Museum Sandi
Museum Sandi didirikan dengan tiga tujuan luhur, yaitu: (a) untuk menampilkan dan memelihara koleksi sandi yang bernilai sejarah guna menambah pengetahuan dan wawasan pengunjung tentang dunia persandian; (b) sebagai wanaha dan media pembelajaran bagi masyarakat, khususnya generasi muda mengenai peranan sandi dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan negara kesatuan Republik Indonesia, dan (c) sebagai sarana sosialisasi persandian kepada masyarakat luas1.

Sesuai dengan tujuannya, maka museum didominasi oleh benda-benda bersejarah yang berhubungan dengan dunia persandian. Benda-benda tersebut di bagi ke dalam beberapa alur yang ditentukan oleh pihak pengelola museum, yaitu: (a) sejarah persandian dalam lingkup sejarah Indonesia (termasuk pada masa merebut dan mempertahankan Kemerdekaan RI) dan sejarah persandian dunia; (b) sejarah perkembangan ilmu persandian yang dibagi menjadi dua yaitu Sistem Kriptografi Klasik (Caesar Cipher, Albert Disc, Cardan Grille, Vigenere) dan Sistem Kriptografi Modern (Algoritma DES, Pertukaran Kunci Diffie Hellman, RSA dan Rijndael (AES)); dan (c) alur evolusi peralatan sandi buatan Indonesia dan luar negeri yang pernah digunakan dalam kegiatan persandian3.

Adapun penempatan koleksinya (berdasarkan alur) dibagi ke dalam beberapa ruang, yaitu: ruang intriduksi, ruang Agresi Militer I, replika kamar sandi, ruang Agresi Militer II, ruang Nusantara, ruang tokoh (Halla of Fame), ruang sandi global, ruang edukasi, dan perpustakaan4. Di dalam setiap ruang diisi oleh benda-benda yang berkaitan dengan penamaan ruangannya, seperti: (a) audio visual berisi pengantar ilmu tentang sandi dari masa Mesir kuni hingga sekarang di ruang introduski; (b) barang asli asli atau replika mesin/peralatan sandi, meubeler, tag, sepeda, patung/manekin, etalase (barang keseharian pelaku sejarah sandi), slide system; (c) dokumen berupa buku kode dan lembaran kertas bersandi; (d) foto, peta, dan lukisan kegiatan sandi di dalam perundingan; (e) diorama di Pedukuhan Dukuh dan kegiatan kurir sandi; (e) foto orang-orang yang pernah berjasa dalam persandian Indonesia; dan (f) fasilitas multimedia berteknologi touchscreen.

Sebagai catatan, apabila berminat mengunjungi dan menyaksikan peralatan persandian yang pernah digunakan oleh bangsa Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaannya, Museum Sandi dibuka secara gratis untuk umum dari hari Senin-Minggu (kecuali hari besar nasional) dengan perincian: Senin-Kamis pukul 08.30-15.30 WIB, Jumat pukul 08.30-16.00 WIB, sedangkan Sabtu dan Minggu pukul 09.00-12.00 WIB. (ali gufron)

Foto: http://jogja.tribunnews.com/2015/05/28/menilik-bagian-perjalanan-sejarah-bangsa-di-museum-sandi-yogyakarta
Sumber:
1. "Museum Sandi", diakses dari https://gudeg.net/direktori/5215/museum-sandi.html, tanggal 2 November 2015.
2. "Sejarah", diakses dari http://museumsandi.blogspot.co.id/2013/04/sejarah.html, tanggal 2 November 2015.
3. "Museum Sandi", diakses dari http://www.lemsaneg.go.id/?page_id=131, tanggal 2 November 2015.
4. "Museum Sandi", diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Museum_Sandi, tanggal 3 November 2015.

Museum Jamu Nyonya Meneer

Sejarah
Bila mendengar nama Nyonya Meneer bayangan kita akan tertuju pada bahan-bahan tradisional yang diramu sedemikian rupa hingga menjadi obat yang disebut sebagai jamu. Hal ini tidaklah salah karena Nyonya Meneer memang merupakan salah satu produsen jamu di tanah air yang sudah ada sejak tahun 1919. Pendirinya adalah Nyonya Meneer sendiri alias Lauw Ping Nio yang lahir di Sidoarjo, Jawa Timur pada tahun 18951.

Awal pendirian perusahaan jamu ini bermula ketika suami Nyonya Meneer sakit keras. Oleh karena waktu itu kehidupan sedang memasuki masa sulit akibat pendudukan Belanda, Nyonya Meneer mencoba meramu sendiri bahan-bahan tradisional dari rempah maupun tumbuhan guna mengobati Sang suami. Tanpa dinyana, ramuan tradisional warisan orang tua Nyonya Meneer yang biasa disebut sebagai jamu tersebut dapat menyembuhkannya2. Dan, sejak saat itu dia tidak hanya membuat jamu bagi suaminya saja, tetapi juga bagi orang-orang di sekitarnya (keluarga, tetangga, dan kerabat) yang terserang demam, sakit kepala, masuk angin, dan berbagai penyakit ringan lainnya.

Oleh karena orang yang ingin merasakan khasiat jamunya semakin hari bertambah banyak, maka atas dorongan keluarga Nyonya Meneer kemudian mengemas jamu buatannya untuk dipasarkan secara luas. Jamu kemasan itu selanjutnya dicantumkan nama serta cap foto Nyonya Meneer sendiri sebagai merek dagangnya. Adapun pemasarannya melalui toko perdananya di Jalan Pedamaran 92, Semarang. Kemudian, pada tahun 1940 cabang baru pun dibuka di Jalan Juanda, Pasar Baru, Jakarta. Dan, seiring dengan waktu bisnis keluarga dengan merek dagang Jamu Cap Nyonya Meneer mulai berkembang dan sekaligus menjadi cikal bakal industri jamu di Indonesia.

Sebagai apresiasi bagi jasa Nyonya Meneer, atas gagasan Ibu Tien Soeharto yang saat itu masih menjadi ibu negara, maka pada 18 Januari 1984 dibangunlah Museum Jamu Nyonya Meneer di Jalan Kaligawe Km 4, Semarang, Jawa Tengah. Tujuan lainnya adalah sebagai wahana rekreasi sekaligus edukasi bagi generasi muda agar dapat lebih mengenal serta mempelajari warisan budaya bangsa yang telah diturunkan dari generasi ke generasi.

Koleksi dan Kondisi Museum Jamu Nyonya Meneer
Berada di musem ini serasa menapak-tilasi perjalanan karier Nyonya Meneer sebagai produsen jamu tradisional. Dengan bentuk bangunan museum berupa joglo dua tingkat seluas sekitar 150 meter persegi pengunjung akan diajak menyaksikan "sejarah" bagaimana proses pembuatan jamu yang dilakukan oleh Nyonya Meneer sendiri hingga akhirnya menjadi sebuah perusahaan jamu terbesar di Indonesia.

Pada lantai dasar museum difungsikan sebagai ruang serbaguna dan penerima tamu dalam bentuk rombongan. Di tempat inilah rombongan yang datang akan diberi penjelasan singkat mengenai kisah berdirinya perusahaan jamu cap Nyonya Meneer3. Sementara lantai di atasnya difungsikan sebagai tempat pameran koleksi seputar proses produksi jamu dari mulai zaman Nyonya Meneer hingga ke generasi penerusnya saat ini, berupa: buku yang digunakan untuk mencatat racikan jamu; baju yang pernah dikenakan oleh Nyonya Meneer; foto-foto Nyonya Meneer; patung tiruan tiga orang perempuan berpakaian tradisional tengah menumbuk bahan-bahan pembuat jamu; perabot rumah tangga (meja, kursi, lemari, botekan/laci untuk menyimpan resep, dacin/alat timbang tradisional, dan tempat jamu dari kuningan); dan peralatan tradisional pembuat jamu (lumpang, alu, pepesan, serta cuwo).

Selain gedung penyimpanan koleksi, Museum Nyonya Meneer juga dilengkapi dengan berbagai fasilitas penunjang sebagaimana layaknya tempat wisata lainnya di Indonesia, seperti: restoran, spa, gazebo, areal parkir, toilet, mushola, dan sebuah taman seluas dua hektar berisi sekitar 600 jenis tanaman sebagai bahan racikan jamu. Di taman ini, selain dapat menikmati udara segar sambil meminum air jahe gratis, kadang juga dapat menyaksikan demonstrasi yang telah disiapkan pihak museum mengenai hal-hal yang terkait dengan bahab-bahan pembuatan jamu.

Bagaimana? Anda berminat mengunjungi dan menikmati seluruh koleksi Museum Jamu Nyonya Meneer? Sebagai catatan, museum ini dibuka untuk umum tanpa tiket alias gratis dari hari Senin-Jumat pukul 09.00-16.00 WIB. Tetapi apabila ingin berada di areal taman, barulah dikenakan biaya sebesar Rp. 7.500,00 dan tambahan Rp. 15.000,00 bila ingin menyaksikan demontrasi dari pengelola taman museum. (ali gufron)

Foto: http://www.jalansanasini.com/mengunjungi-7-obyek-wisata-semarang.html
Sumber:
1. "Nyonya Meneer", diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Nyonya_Meneer, tanggal 1 November 2015.

2. "Profile", diakses dari http://njonjameneer.com/index.php/profile, tanggal 1 November 2015.

3. "Wisata Semarang Museum Jamu Nyonya Meneer", diakses dari http://wisatadisemarang. com/wisata-semarang-museum-jamu-nyonya-meneer/, tanggal 2 November 2015.

Desa Leuwihideung

Letak dan Keadaan Alam
Desa Leuwihideung secara administratif berada dalam wilayah Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, yang seluruh wilayahnya diperkirakan bakal tergenang dan menjadi bagian dari Waduk Jatigede. Secara geografis sebelah utara desa ini berbatasan dengan Desa Cibogo, selatan dengan Desa Sukamenak, timur dengan Desa Padajaya Kecamatan Wado, dan sebelah baratnya dengan Desa Jatibungur. Wilayahnya berada pada dataran rendah berkentinggian antara 120-261 meter di atas permukaan air laut dengan kemiringan antara 25°-45°.

Jarak Desa Leuwihideung dengan pusat pemerintahan Provinsi Jawa Barat (Gedung Sate) kurang lebih 54 kilometer. Sedangkan, dengan pusat pemerintahan Kabupaten Sumedang kurang lebih 29 kilometer dan dengan pusat pemerintahan Kecamatan Darmaraja kurang lebih 3 kilometer ke arah selatan. Meskipun letak desa berada tidak begitu jauh dengan pusat pemerintahan Kabupaten Sumedang, tetapi untuk mencapainya relatif sulit karena sarana jalan yang harus dilalui tidak layak (rusak). Tidak adanya perbaikan jalan di desa ini adalah akibat rencana pembangunan Waduk Jatigede. Gubernur Jawa Barat waktu itu pernah mengeluarkan Surat Keputusan No.181.1/Pem/UM/1981 tentang pelarangan membangun sarana fisik di areal rencana genangan. Akibatnya, infrastruktur di daerah-daerah rencana genangan tidak pernah diperbaiki sampai sekarang (Sutisna, 2011).

Secara keseluruhan, Luas Desa Leuwihideung mencapai 350 ha, dengan rincian: pemukiman penduduk (30,30 ha), sawah irigasi teknis dan setengah teknis (128 ha), (tegalan (80 ha), kas desa (39,175 ha), tanah bengkok (1,665 ha), perkantoran pemerintah (8,0 ha), pemakaman (2 ha), sarana peribadatan (mesjid dan mushola) (0,042 ha), sarana pendidikan (Sekolah Dasar) (0,365 ha), sarana kesehatan (posyandu) (0,03 ha), dan sarana olahraga (0,07 ha) (KKNM Unpad Leuwihideung, 2013).

Kependudukan
Penduduk Desa Leuwihideung berjumlah 1.582 orang, atau 528 KK. Jika dilihat berdasarkan jenis kelaminnya, jumlah perempuannya mencapai 784 orang, sedangkan penduduk berjenis kelamin laki-laki berjumlah 798 orang. Jika dilihat berdasarkan angkataan kerja, penduduk yang berusia antara 18-56 tahun sebanyak 1.263 orang. Dari jumlah tersebut yang masih sekolah dan tidak bekerja ada 27 orang (2,14%), menjadi ibu rumah tangga sebanyak 217 orang (17,18%), bekerja penuh sebanyak 21 orang (1,66%), tidak mempunyai pekerjaan tetap sejumlah 1.0215 orang (80,35%), dan tidak dapat bekerja karena menderita cacat sejumlah 2 orang (0,16%).

Pola Pemukiman
Pemukiman penduduk Desa Leuwihideung umumnya berjajar dan menghadap ke jalan. Arah rumah yang berada bukan di pinggir jalan pun arahnya mengikuti yang ada di pinggir jalan. Jumlah rumah yang ada di desa tersebut ada 501 buah. Dari ke-501 buah rumah tersebut, 409 buah diantaranya berbentuk rumah permanen (berdinding tembok, beratap genteng, dan berlantai semen atau keramik). Sisanya, ada yang hanya sebagian berdinding tembok, kayu/papan, dan bambu (92 rumah). Jarak antarrumah bergantung daerah pemukimannya, pada daerah yang berdekatan dengan kantor desa umumnya jarak antarrumah berdekatan. Namun, semakin ke arah persawahan dan perladang jarak itu semakin renggang atau jauh.

Mata Pencaharian
Jenis-jenis mata pencaharian yang digeluti oleh warga masyarakat Desa Leuwihideung cukup beragam, tetapi sebagian besar tidak mempunyai matapencaharian tetap (67,54%). Urutan kedua adalah bertani, terdiri dari buruh tani (12,23%) dan petani pemilik sawah/ladang (16,51%). Urutan ketiga adalah tukang ojeg (1,45%), disusul oleh Pegawai Negeri Sipil (0,78%), tukang kayu (0,61%), Polri (0,33%), pedagang (0,28%), pembantu rumah tengga (0,11%), dan penjahit (0,11%).

Pendidikan dan Kesehatan
Sarana pendidikan yang terdapat di Desa Leuwihideung hanya berupa 2 buah Sekolah Dasar (SDN Leuwihideung dan SDN Cihideung) serta sebuah PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). PAUD di desa ini menampung 35 siswa dengan jumlah pengajar sebanyak 3 orang. Sedangkan Sekolah Dasar menampung 162 siswa dengan jumlah tenaga pengajar sebanyak 12 orang. Gambaran tersebut menujukkan bahwa sarana pendidikan yang dimiliki oleh Desa Leuwihideung hanya sampai Sekolah Dasar.

Sementara untuk sarana kesehatan hanya ada tiga buah Posyandu dan dua buah dasawisma dengan tenaga medis sebanyak 42 orang, terdiri atas: seorang bidan, 15 orang kader posyandu aktif, dan 26 orang pengurus Dasawisma aktif. Selain itu, ada juga seorang dukun beranak atau paraji yang siap membantu kaum perempuan melahirkan.

Agama dan Kepercayaan
Agama yang dianut oleh warga masyarakat Desa Leuwihideung adalah Islam. Aktivitas keagamaan yang rutin mereka lakukan adalah pengajian dan qasidahan. Untuk pengajian, kaum perempuan Leuwihideung telah memiliki jadwal rutin, yaitu: pada hari Selasa di Dusun Nangkod, Rabu di Dusun Nangewer, Kamis di Dusun Lemata, Jumat di Dusun Leuwiloa, Sabtu di Dusun Citapen, dan Minggu di Dusun Cihideung. Sedangkan qasidahan yang juga diikuti oleh kaum perempuan sifatnya tidak rutin, hanya saat ada event tertentu saja seperti memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW.

Namun demikian, kehidupan beragama warga masyarakat desa ini masih ada yang dipengaruhi oleh kepercayaan-kepercayaan berbau animisme, dinamisme, dan kekuatan magis lainnya yang tercermin dari berbagai kepercayaan terhadap makhluk-makhluk halus, upacara yang berkenaan dengan roh nenek moyang (para leluhur atau karuhun), upacara di lingkaran hidup individu, dan perilaku tertentu untuk memperoleh sesuatu yang diinginkan.

Kepercayaan terhadap roh nenek moyang tercermin dalam perilaku jaroh dan nyekar atau ziarah ke makam yang dianggap keramat. Tujuannya adalah untuk mendoakan roh yang ada di makam tersebut. Menurut Lubis (2010), Makam keramat berupa situs-situs yang ada di Leuwihideung sebagian merupakan peninggalan masa prasejarah (terlihat dari tradisi megalit yang ada), masa Kerajaan Tembong Agung/Sumedanglarang, dan sebagian lagi makam leluhur pendiri desa. Situs-situs tersebut diantaranya adalah: (1) Situs Nangewer, berupa makam kuna (keramat) Embah Mohammad Abrul Saka di Dusun Nangewer; (2) Situs Leuwiloa, berupa makam keramat Embah Wacana di Dusun Leuwiloa; (3) Situs Tembongagung, berupa patilasan Kerajaan Tembongagung yang sudah sulit dikenali dan hanya ditemukan sebaran keramik Cina dari masa Dinasti Ming, berlokasi di Dusun Muhara; (4) Situs Muhara, berupa makam keramat Eyang Marapati dan Eyang Martapati; (5) Situs Marongpong, berupa makam keramat Embah Sutadiangga dan Embah Jayadiningrat, pendiri Dusun Cihideung; (6) Situs Nangkod, berupa makam keramat Embah Janggot Jaya Prakosa di Dusun Nangkod; (7) Situs Sawah Jambe di Dusun Sawah Jambe berupa tiga buah batu berdiri; (8) Situs Lameta di Dusun Lameta berupa makam keramat Embah Dira dan Embah Toa, pendatang dari Betawi yang membedah aliran Cihaliwung dan Cisadane. Ketua tokoh ini juga diceritakan sebagai laladong (tempat berobat) Prabu Siliwangi; dan (9) Situs Betok, berupa komplek makam di Dusun Betok.

Organisasi Pemerintahan dan Kemasyarakatan
Secara administratif dan teritorial, Desa Leuwihideung terbagi ke dalam 3 dusun (Lemata, Cihideung, dan Leuwiloa) serta 5 kampung, yaitu: Nangewer, Nangkod, Citapen, Betok, Muhara, dan Sawah Jambe. Tampuk pimpinan tertinggi desa dipegang oleh seorang kepala desa (Kades) yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai “kuwu”. Dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh seorang sekretaris desa yang lebih dikenal sebagai “juru tulis” dan sering disingkat menjadi “ulis”. Ia bertugas mengkoordinir pemerintahan, kesejahteraan rakyat, perekonomian dan pembangunan, keuangan, serta kemasyarakatan (umum). Untuk melaksanakan tugas itu ia dibantu oleh seorang: Kaur (kepala Urusan) Kesejahteraan Rakyat, Perekonomian dan Pembangunan, kemasyarakatan, dan trantib. Dengan demikian, perangkat Desa Cihideung, termasuk dengan kepala desanya, berjumlah 10 orang.

Selain perangkat desa, Leuwihideung juga memunyai organisasi kemasyarakatan lainnya yaitu: Badan Perwakilan Desa (BPD) beranggotakan 7 orang, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD) beranggotakan 7 orang, Karang Taruna beranggotakan 15 orang, Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK) beranggotakan 15 orang, 4 unit kelompok usaha tani dengan jumlah pengurus sebanyak 45 orang, dan 4 unit organisasi perempuan dengan jumlah pengurus sebanyak 68 orang. (ali gufron)

Sumber:
Nanang Sutisna. 2011. “Menanti Rampung Megaproyek Jatigede” http://www.kabar-priangan .com/news/detail/2080. Diakses 18 Agustus 2013.

KKNM Unpad Desa Leuwihideung 2013. http://kknm.unpad.ac.id/leuwihideung/. Diakses 19 Agustus 2013.

Nina Herlina Lubis. 2010. “Mengenal Situs Jatigede”. http://wadosumedang.wordpress.com /2010/02/13/situs-jadi-gede/. diakses 23 Agustus 2013.

Museum Ullen Sentalu

Sejarah Museum
Museum Ullen Sentalu berada di Jalan Boyong Km 25, Kaliurang Barat, Sleman, Yogyakarta. Museum ini merupakan representasi dari kehidupan para bangsawan dinasti Mataram, khususnya hasil-hasil budaya mereka yang bersifat intangible mencakup keseluruhan ekspresi, pengetahuan, praktek, dan keterampilan. Sebagaimana diketahui, Mataram (Islam) merupakan sebuah kerajaan di Pulau Jawa yang didirikan oleh dinasti keturunan Ki Ageng Sela dan Ki Ageng Pemanahan pada sekitar abad ke-17. Awalnya kerajaan ini hanya berupa sebuah kadipaten di bawah Kesultanan Pajang yang berpusat di Bumi Mentaok. Pada tahun 1558 Sultan Pajang menghadiahkan wilayah Bumi Mentaok kepada Ki Ageng Pemanahan atas jasanya mengalahkan Arya Penangsang1.

Mataram pernah mencapai masa kejayaannya pada saat berhasil menyatuhan tanah Jawa dan sekitarnya (Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Madura). Bahkan, saat diperintah oleh Mas Rangsang yang bergelar Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo, berkoalisi dengan Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon, pernah berusaha memerangi VOC di Batavia yang berusaha memperluas kekuasaannya1. Namun, karena terjadi kekacuan politik yang menyebabkan perpecahan internal, akhirnya VOC dapat menyusup dan bahkan memecah-belah keraton melalui sebuah perjanjian di daerah Giyanti (sebelah timur Karanganyar) pada tanggal 13 Februari 1755. Sesuai dengan lokasinya, perjanjian itu kemudian dinamakan sebagai Perjanjian Giyanti.

Melalui perjanjian Giyanti pihak Mataran yang diwakili oleh Sunan Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi terpaksa menandatangani kesepakatan dengan VOC. Adapun isi perjanjiannya berupa pembagian wilayah Mataran menjadi dua bagian: sebelah timur Kali Opak dikuasai oleh Sunan Pakubuwana III yang berkedudukan di Surakarta, sedangkan wilayah sebelah barat diserahkan kepada Pangeran Mangkubumi yang diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwana I dan berkedudukan di Yogyakarta. Perjanjian ini merupakan penanda berakhirnya Kesultanan Mataram, baik secara de facto maupun de jure menjadi dua buah kerajaan baru, yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat2.

Seiring dengan waktu kedua kerajaan baru tersebut terjadi perpecahan lagi. Pada tanggal 17 Maret 1757 Kasunanan Surakarta terpaksa membagi wilayah kekuasaannya kepada Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa) melalui Perjanjian Salatiga. Raden Mas Said diberi wilayah kekuasaan berstatus kadipaten yang kemudian diberi nama Praja/Kadipaten Mangkunegaran. Berdasarkan perjanjian ini Raden Mas Said yang diberi gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangku Nagara Senopati Ing Ayudha berhak atas 49% wilayah Kasunanan Surakarta atau yang saat ini mencakup bagian utara Kota Surakarta (Kecamatan Banjarsari, Surakarta), seluruh wilayah Kabupaten Karanganyar, seluruh wilayah Kabupaten Wonogiri, dan sebagian dari wilayah Kecamatan Ngawen dan Semin di Kabupaten Gunung Kidul3.

Sementara perpecahan di Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat bermula ketika Pangeran Notokusumo (putera dari Sultan Hamengkubuwono I dengan Selir Srenggorowati) dinobatkan sebagai Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam I oleh Gubernur-Jenderal Sir Thomas Raffles pada tanggal 17 Maret 18134. Konsekuensinya, Notokusumo dapat mengepalai sebuah principality bernama Kadipaten Paku Alaman, terlepas dari Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Statusnya mirip Praja Mangkunegaran yang dilengkapi pula dengan sebuah legiun sebagai pengawal pejabat kadipaten.

Keempat kesatuan teritorial pecahan Kerajaan Mataram tersebut merupakan pendukung kebudayaan Jawa yang sebenarnya telah diwariskan oleh para nenek moyang jauh sebelum Mataram berdiri. Museum Ullen Sentalu didirikan sebagai bentuk perhatian terhadap warisan budaya para bangsawan keturunan dinasti Mataram tadi agar tidak hilang atau memudar tergerus oleh zaman dalam era globalisasi sekarang ini. Nama Ullen Sentalu sendiri merupakan akronim dari "ULating bLENcong SEjatiNe TAtaraning Lumaku" yang berarti "Nyala lampu blencong merupakan petunjuk manusia dalam melangkah dan meniti kehidupan"5. Blencong adalah lampu minyak yang dipergunakan dalam pertunjukan wayang kulit yang diibaratkan sebagai cahaya pengarah dan penerang perjalanan hidup manusia dalam meniti kehidupan6.

Awal mula pendirian museum diprakarsai oleh keluarga Haryono pada sekitar 1994 dan baru diresmikan pada tanggal 1 Maret 1997 oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta waktu itu, KGPAA Paku Alam VIII. Adapun lokasinya berada di lereng Gunung Merapi di sebuah tempat bernama nDalem Kaswargan atau Rumah Surga seluas sekitar 11.990 m2.

Untuk dapat mencapai lokasi museum relatif mudah karena hanya berjarak sekitar 25 kilometer arah utara dari pusat Kota Yogyakarta. Adapun rutenya - apabila menggunakan kendaraan umum Bus Transjogja rute 2B atau 3B - begitu turun dari Shelter Ring Road Utara-Kentungan, maka harus dilanjut dengan angkutan kora rute Yogyakarta-Pakem hingga ke Pasar Pakem dan berganti angkutan kota lagi rute Pakem-Kaliurang hingga ke Taman Kanak-kanak Kaliurang atau pertigaan dekat Vogels Hostel. Dari pertigaan disambung lagi dengan berjalan kaki ke arah barat sejauh kurang lebih 300 meter7. Sementara bila menggunakan kendaraan pribadi dapat melalui Jalan Kaliurang sejauh 18 kilometer dan dapat pula dari Jalan Palagan Tentara Pelajar sejauh 19,5 kilometer8.

Komplek nDalem Kaswargan
Seperti dikatakan di atas, Museum Ullen Sentalu berada dalam areal Ndalem Kaswargan milik Keluarga Haryono. Di dalam areal nDalem Kaswargan seluas 1,2 hektar, selain terdapat museum, ada pula butik dan toko suvenir Muse yang menjual berbagai macam batik khas Jogja dan Solo serta barang kerajinan lainnya, restoran Beukenhof yang menyajikan beragam makanan dan minuman dalam ruangan bernuansa Eropa, pagelaran Sekar Djagad, dan rumah peristirahatan keluarga Haryono.

Sementara untuk bangunan museumnya sendiri mengambil bentuk rancang-bangun istana di Eropa abad pertengahan bergaya gothic berupa kastil yang disusun sedemikian rupa dengan tumpukan bebatuan gunung berwarna gelap dan dihiasi tumbuhan merambat6. Di dalam museum terdapat beberapa ruangan yang disesuaikan dengan tema pamerannya. Pada ruangan pertama berupa ruang tamu yang di dalamnya terdapat banner latar belakang pendirian museum serta sebuah arca Dewi Sri sebagai simbol kesuburan. Beranjak dari ruang tamu, menyusuri gang sempit berlabirin menuju ke ruang Seni Tari dan Gamelan yang berisi lukisan tari beserta seperangkat gamelan hibah dari seorang Pangeran di Kesultanan Yogyakarta8.

Keluar dari ruang Seni Tari dan Gamelan ada sebuah lorong panjang menuju ke ruang Guwo Selo Giri (Goa Batu Gunung) yang berada sekitar tiga meter di bawah permukaan tanah. Di dalam ruangan yang didominasi oleh material Gunung Merapi dan dibuat menyerupai goa masa silam atau bunker dengan struktur seluruhnya mirip bangunan candi ini terdapat lobby dan hall utama. Bagian lobby diisi oleh beragam lukisan berbagai ukuran dengan tema tari dan musik trdisional Jawa serta seperangkat alat musik gamelan yang merupakan simbol kebesaran kebudayaan Jawa. Sementara pada bagian hall utama terpampang deretan foto dokumenter serta lukisan para raja, ratu, dan puteri bangsawan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Surakarta Hadiningrat, Pura Mangkunegara, dan Pura Paku Alaman.

Tidak berapa jauh dari Guwo Sela Giri ada sebuah tangga berstruktur punden berundak menuju Kampung Kambang yang letaknya berada di atas sebuah kolam. Di Kampung Kambang terdapat beberapa ruangan pamer koleksi museum, yaitu: (a) Ruang Syair untuk Tineke, berisi syair-syair yang diambil dari buku kecil GRAJ Koes Sapariyam (akrab disapa Tineke), puteri Sunan Pakubuwana XI. Syair-syair itu ditulis dari tahun 1939-1947 oleh para kerabat dan teman-teman Tineke untuk menggambarkan suasana Sang Puteri yang sedang jatuh hati pada seorang pangeran dari kerajaan lain6; (b) Royal Room Ratoe Mas, adalah ruang pamer khusus dipersembahkan bagi Ratu Mas, Permaisuri Sunan Pakubuwono X. Di dalamnya terdapat lukisan Ratu Mas bersama dengan Sunan dan puterinya serta pernak-pernik yang biasa dikenakannya, seperti topi, kain batik, dodot pengantin, dodot putri dan lain sebagainya; (c) Ruang Batik Vorstendlanden, menampilkan sejumlah koleksi batik dari era Sultan Hamengkubwono VII-Sultan Hamengkubuwono VIII serta Sunan Pakubuwono X hingga Sunan Pakubuwono XII; (d) Ruang Batik Pesisiran, menampilkan sejumlah koleksi batik kaya warna serta sejumlah kebaya bordiran tangan yang umum dikenakan oleh kaum perempuan peranakan pada zaman Sultan Hamengkubuwono VII; dan (e) Ruang Putri Dambaan yang khusus memamerkan dokumentasi foto-foto GRAy Siti Nurul Kusumawardhani, puteri tunggal Mangkunegara VII.

Di bagian luar dari Kampung Kambang ada sebuah koridor bernama Retja Landa. Di koridor yang juga berfungsi sebagai museum luar ruangan ini dipamerkan berbagai macam arca dewa dan dewi dari abad ke-8 masehi atau pada masa agama Hindu dan Budha masih berkembang di Kerajaan Mataram kuna. Dan terakhir, adalah Sasana Sekar Bawana yang memamerkan beberapa lukisan raja Mataram serta patung dengan tata rias pengantin gaya Yogyakarta dan Surakarta.

Bagaimana? Anda berminat mengunjungi dan menikmati seluruh koleksi Museum Ullen Sentalu? Sebagai catatan, museum ini dibuka untuk umum dari hari Selasa-Minggu pukul 09.00-15.30 WIB. Adapun biaya masuknya sebesar US$ 5.00 untuk wisatawan mancanegara, Rp. 25.000,00 bagi pelajar atau mahasiswa mancanegara dan wisatawan nusantara, serta Rp. 15.000,00 bagi pelajar dan mahasiswa lokal. Kunjungan ke museum dapat dilakukan secara mandiri (free tour) atau dapat pula menggunakan jasa pemandu (guided tour) yang fasih berbahasa Perancis, Inggris, dan Jepang. (ali gufron)

Foto: http://www.goodnewsfromindonesia.org/2015/07/10/siapa-sangka-inilah-museum-terbaik-di-indonesia/
Sumber:
1. "Kesultanan Mataran", diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Mataram, tanggal 16 Oktober 2015.
2. "Perjanjian Giyanti", diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Perjanjian_Giyanti, tanggal 16 Oktober 2015.
3. "Praja Mangkunegaran", diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Praja_Mangkunegaran, tanggal 17 Oktober 2015.
4. "Kadipaten Paku Alaman", diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Kadipaten_Paku _Alaman, tanggal 17 Oktober 2015.
5. "Museum Ullen Sentalu, Kaliurang", diakses dari http://liburanjogja.co.id/blog/museum-ull en-sentalu/, tanggal 17 Oktober 2015.
6. "Harga Tiket Masuk Museum Ullen Sentalu", diakses dari http://jogjaholidays.com/ article/110645/harga-tiket-masuk-museum-ullen-sentalu.html, tanggal 18 Oktober 2018.
7. Museum Ullen Sentalu Yogyakarta", diakses dari http://www.indonesia.travel/id/ destination/550/museum-ullen-sentalu-yogyakarta, tanggal 18 Oktober 2015.
8. "Terpikat Daya Magis Museum Ullen Sentalu", diakses dari http://travel.detik.com/ read/2012/03/02/162100/1856630/1025/terpikat-daya-magis-museum-ullen-sentalu, tanggal 19 Oktober 2015.

Desa Cibogo

Letak dan Keadaan Alam
Cibogo merupakan salah satu dari 4 desa yang ada di Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Desa ini diperkirakan seluruh wilayahnya akan tergenang dan menjadi bagian dari Waduk Jatigede. Secara geografis Desa Cibogo sebelah barat berbatasan dengan Desa Tarunajaya; sebelah timur berbatasan dengan Desa Sukakersa; sebelah selatan berbatasan dengan Desa Leuwihideung; dan sebelah utara berbatasan dengan Desa Cipaku. Wilayahnya berada pada dataran yang berketinggian antara 120-261 meter di atas permukaan air laut, dengan kemiringan antara 20°-45°.

Secara keseluruhan, luas Desa Cibogo mencapai 335,57 ha yang digunakan untuk: perumahan, sarana peribadatan (masjid, mushola), sarana pendidikan (PAUD, Sekolah Dasar, Madrasah Tsanawiyah), kantor pemerintahan, persawahan, perkebunan, peternakan dan lain sebagainya. Pada tahun 2006 sebagian besar wilayah desa ini (hanya menyisakan sekitar 8,2 ha), telah diambil alih oleh pemerintah sebagai bagian dari Waduk Jatigede. Namun, karena proses pembangunan waduk tersendat-sendat, membuat banyak diantara warganya yang tetap bertahan dan belum pindah.

Sebagaimana daerah Jawa Barat pada umumnya, Desa Cibogo beriklim tropis yang ditandai oleh adanya dua musim, kemarau dan penghujan. Musim kemarau biasanya dimulai pada bulan April sampai September. Sedangkan, musim penghujan biasanya dimulai pada bulan Oktober sampai dengan Maret. Curah hujannya rata-rata 2.242 milimeter per tahun dengan suhu udara berkisar antara 22,5° Celcius sampai dengan 30° Celcius.

Kependudukan
Penduduk Desa Cibogo berjumlah 1.722 jiwa, dengan jumlah Kepala Keluarga (KK) 605. Jika dilihat berdasarkan jenis kelaminnya, jumlah perempuannya mencapai 915 jiwa (53,14%) dan penduduk berjenis kelamin laki-laki 807 jiwa (46.86%).

Mata Pencaharian
Jenis-jenis mata pencaharian yang digeluti oleh warga masyarakat Desa Cibogo cukup beragam tetapi sebagian besar bertumpu pada sektor pertanian, sebagaimana lazimnya sebuah desa. Selebihnya, ada yang bekerja sebagai pegawai negeri di berbagai instansi pemerintah seperti: kelurahan, kecamatan, pemerintah daerah, dan lain sebagainya. Kemudian, ada juga yang menjadi pedagang kelontong, buruh, home industry, peternak, montir, tukang kayu, tukang ojeg, dan lain sebagainya.

Sektor pertanian yang digeluti oleh warga masyarakat Cibogo sebagian besar berupa pertanian tanah basah (sawah) seluas sekitar 128,13 ha dengan hasil produksi sekitar 6-7 ton/ha. Sisanya, berupa pertanian tanah kering (ladang) berupa palawija, buah-buahan, dan sayuran. Salah satu tanaman ladang yang ditanam oleh kelompok tani Desa Cibogo (cabai), dalam seminggu dapat dipanen dua kali. Setiap panen yang seminggu dua kali itu, rata-rata menghasilkan sekitar 60 kilogram. Sedangkan, harga perkilonya berkisar Rp10.000.

Selain bertani, ada pula penduduk yang bergerak dalam sektor home industry (pembuatan opak dan tas). Usaha opak sudah berjalan cukup lama, namun pemasarannya baru sampai wilayah Darmaraja saja, dengan harga Rp3.000 per-plastik (berisi 20 keping opak). Sedangkan, usaha pembuatan tas sudah berhasil menembus pasar ITC Manggadua di Jakarta. Akan tetapi, karena keterbatasan modal untuk membeli bahan baku dari Jakarta serta kurangnya jumlah tenaga kerja, tas yang berhasil diproduksi pun hanya terbatas.

Pendidikan dan Kesehatan
Sarana pendidikan yang terdapat di Desa Cibogo meliputi: Taman Kanak-kanak (TK)/PAUD sejumlah 2 buah, Sekolah Dasar (SD) sejumlah 3 buah (SD Tanjungwangi, SD Cibogo 2, SD Sukahaji), dan Madrasah Tsanawiyah (MTS) sejumlah 2 Buah. Taman Kanak-kanak/PAUD yang ada di desa ini menampung 21 siswa dengan jumlah guru sebanyak 4 orang. Kemudian, Sekolah Dasar menampung 138 siswa dengan jumlah guru sebanyak 16 orang. Sedangkan, Madrasah (MTS) memiliki guru sejumlah 3 orang dan siswa sebanyak 95 orang.

Gambaran di atas menujukkan bahwa sarana pendidikan yang dimiliki oleh Desa Cibogo hanya sampai Sekolah Dasar dn Madrasah. Ini artinya, jika seseorang ingin melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, mesti keluar dari desanya. Meskipun demikian, sesungguhnya tidak perlu keluar dari Kecamatan Darmaraja, karena tidak jauh dari desa tersebut terdapat beberapa buah Sekolah Menengah Atas atau SMA.

Sementara, untuk sarana kesehatan hanya ada tiga buah Posyandu dan sebuah Poslindes dengan tenaga medis 17 orang, terdiri atas: seorang bidan, seorang kades kesehatan, dan 15 orang kader Posyandu. Mengingat bahwa tidak semua warga memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada di desa, terutama yang berkenaan dengan kelahiran, maka di sana ada dua orang dukun bayi yang telah dibekali pengetahuan medis. Dukun tersebut oleh masyarakat setempat disebut sebagai paraji.

Agama dan Kepercayaan
Agama yang dianut oleh warga masyarakat Desa Cibogo hanyalah Islam. Ada korelasi positif antara jumlah pemeluk agama ini dengan jumlah sarana peribadatannya. Hal itu tercermin dari banyaknya sarana peribadatan yang berkaitan dengan agama Islam, yaitu 6 buah mesjid dan 6 buah mushola. Namun demikian, kehidupan beragama warga masyarakat desa ini masih ada yang dipengaruhi oleh kepercayaan-kepercayaan berbau animisme, dinamisme, dan kekuatan magis lainnya yang tercermin dari berbagai kepercayaan terhadap makhluk-makhluk halus dan upacara yang berkenaan dengan roh nenek moyang (para leluhur atau karuhun).

Kepercayaan terhadap roh nenek moyang tercermin dalam perilaku jaroh dan nyekar atau ziarah ke makam yang dianggap keramat. Tujuannya adalah untuk mendoakan roh yang ada di makam tersebut. Perilaku nyekar ke makam yang dianggap keramat Desa Cibogo terletak di Dusun Ciwangi berupa makam keramat Embah H. Dalem Santapura Wikarta, Demang Patih Mangkupraja (Patih Sumedang semasa Pangeran Kornel), Mbah Buyut Mandor Sura Tanu, dan Buyut Bongkok Juanda.

Organisasi Pemerintahan dan Kemasyarakatan
Secara administratif dan teritorial, Desa Cibogo terbagi ke dalam 4 dusun dan 11 kampung terdiri atas 7 Rukun Warga dan 25 Rukun tetangga. Dusun-dusun di Desa Cibogo adalah Dusun Ciwangi, Cibogo 1, Cibogo 2, dan Tanjungwangi. Sedangkan struktur organisasi pemerintahannya dipegang oleh seorang kepala desa (Kades) yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai “kuwu”. Dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh seorang sekretaris desa yang lebih dikenal sebagai “juru tulis” dan sering disingkat menjadi “ulis”. Ia bertugas mengkoordinir pemerintahan, kesejahteraan rakyat, perekonomian dan pembangunan, keuangan, serta kemasyarakatan (umum). Untuk melaksanakan tugas itu ia dibantu oleh seorang: Kaur (kepala Urusan) Kesejahteraan Rakyat, Perekonomian dan Pembangunan, kemasyarakatan, dan trantib. Dengan demikian, perangkat Desa Cibogo, termasuk dengan kepala desanya, berjumlah 12 orang.

Selain perangkat desa, ada juga yang disebut sebagai Badan Perwakilan Desa (BPD). Lembaga ini berfungsi sebagai badan legislatif dalam organisasi pemerintahan desa. Anggotanya diambil dari para tokoh masyarakat desa yang bersangkutan. Jumlahnya ada 13 orang, dengan rincian: 1 orang ketua (Ade Komarudin), 1 orang wakil ketua (Kosasih), 1 orang sekretaris (M. Dede A. S.Kom), dan 5 orang anggota (Yeyet C. S.IP, Mulyadi, Lili Canta, Dede Jubaedi, dan Wahyu). Tugasnya adalah mengadakan musyawarah tingkat desa untuk mengevaluasi dan atau menetapkan suatu keputusan pemerintah desa, serta membantu kepala desa dalam merencanakan dan menggerakkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan di wilayahnya.

Desa Cibogo juga memiliki Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD) sebagai wadah yang dibentuk atas prakarsa masyarakat yang difasilitasi pemerintah sebagai mitra desa dalam menampung dan mewujudkan aspirasi serta kebutuhan masyarakat di bidang pembangunan. Adapun susunan pengurusnya adalah: Sudarman (Ketua), H. Otto Tahya (Wakil Ketua Bidang Pembangunan Lingkungan Hidup dan Kesejahteraan Sosial), Samirin S. (Wakil Ketua Bidang Pemuda, Olahraga, dan Seni Budaya), Darwiah S.M. (Wakil Ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Ekonomi Kerakyatan), Rahmat Hidayat, S.Ag (Wakil Ketua Bidang Agama, Pendidikan, dan Keterampilan), dan Siti Maesaroh (Wakil Ketua Bidang Organisasi Kemitraan, Kesehatan, dan Kependudukan).

Organisasi kemasyarakatan lainnya adalah organisasi kepemudaan yang bernama “Karang Taruna” dan organisasi para ibu rumah tangga bernama “Pendidikan Kesejahteraan Keluarga” (PKK) yang secara rutin mengadakan pengajian serta pemeriksaan terhadap kesehatan ibu hamil dan balita di Posyandu. Posyandu dilaksanakan satu bulan sekali dengan biaya sebesar Rp2.000,00 bagi bayi yang akan ditimbang atau diobati. (gufron)

Desa Ciranggem

Letak dan Keadaan Alam
Desa Ciranggem secara administratif berada dalam wilayah Kecamatan Jatigede, Kabupaten Sumedang. Secara geografis, desa ini sebelah utara berbatasan dengan Desa Jemah; selatan berbatasan dengan Desa Mekarasih, timur berbatasan dengan Desa Cisampih, dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Sukakersa. Topografinya berada pada dataran rendah, berkentinggian antara 200-300 meter di atas permukaan air laut, dengan kemiringan antara 25°-40°.

Jarak Desa Ciranggem dengan pusat pemerintahan Provinsi Jawa Barat (Gedung Sate) kurang lebih 68 kilometer. Sedangkan, dengan pusat pemerintahan Kabupaten Sumedang kurang lebih 48 kilometer. Kemudian, dengan pusat pemerintahan Kecamatan Jatigede kurang lebih 12 kilometer ke arah selatan.

Secara keseluruhan, Luas Desa Ciranggem mencapai 1.200 ha, dengan rincian: pemukiman penduduk (106 ha), pekarangan (20 ha), perkantoran pemerintah (3 ha), pekuburan 2 ha, sawah irigasi ½ teknis (125 ha), sawah tadah hujan (175 ha), tegalan (150 ha), tanah kas desa (179 ha), perkebunan (40 ha), fasilitas olahraga (1 ha), hutan lindung (100 ha), hutan produksi (80 ha), dan lain-lain (220 ha) (Profil Desa Ciranggem 2013).

Kependudukan
Penduduk Desa Ciranggem berjumlah 2.822 jiwa dengan jumlah Kepala Keluarga (KK) 943. Jika dilihat berdasarkan jenis kelaminnya, jumlah perempuannya mencapai 1.453 jiwa (51,49%) dan penduduk berjenis kelamin laki-laki 1.369 jiwa (48,51%) (Profil Desa Ciranggem 2013).

Pola Pemukiman
Pemukiman penduduk Desa Ciranggem umumnya berjajar dan menghadap ke jalan. Arah rumah yang berada bukan di pinggir jalan pun mengikuti yang ada di pinggir jalan. Jumlah rumah yang ada di desa tersebut 941 unit. Dari ke-941 unit rumah tersebut, 621 unit diantaranya berbentuk rumah permanen (berdinding tembok, beratap genteng, dan berlantai semen atau keramik). Sisanya, ada yang hanya sebagian berdinding tembok, kayu/papan, dan bambu (321 rumah). Jarak antarrumah bergantung daerah pemukimannya. Di daerah yang dekat dengan kantor desa umumnya jarak antarrumah berdekatan. Namun, semakin ke arah persawahan dan perladangan jarak itu semakin renggang atau jauh.

Mata Pencaharian
Jenis-jenis mata pencaharian yang digeluti oleh warga masyarakat Desa Ciranggem cukup beragam, tetapi sebagian besar bertumpu pada sektor pertanian, sebagaimana lazimnya sebuah desa. Selebihnya, ada yang bekerja sebagai pegawai negeri di berbagai instansi pemerintah, seperti: kelurahan, kecamatan, pemerintah daerah, dan lain sebagainya. Kemudian, ada juga yang menjadi pedagang keliling, montir, dukun kampung, dan lain sebagainya.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Profil Desa Ciranggem tahun 2013 menunjukkan bahwa sebagian besar warga masyarakatnya bermata pencaharian sebagai petani, baik petani pemilik sawah/ladang (668 orang) maupun buruh (245 orang). Urutan ketiga adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) serta pensiunan PNS/TNI/Polri sejumlah 30 orang. Selanjutnya, adalah tukang kayu (40 orang), tukang batu (10 orang), pedagang keliling sejumlah 9 orang, penjahit sejumlah 6 orang, pembuat kue sejumlah 4 orang, montir dan dukun kampung terlatih masing-masing sejumlah 3 orang, seorang tukang rias, dan seorang anggota TNI aktif.

Pendidikan dan Kesehatan
Sarana pendidikan yang terdapat di Desa Ciranggem hanya berupa satu buah Taman Kanak-kanak, 3 buah Sekolah Dasar, 1 buah Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, dan satu buah Madrasah (MDA). Taman kanak-kanak di desa ini menampung 13 siswa dengan jumlah pengajar sebanyak 2 orang, Sekolah Dasar menampung 261 siswa dengan jumlah tenaga pengajar sebanyak 24 orang, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama menampung 243 siswa dengan jumlah tenaga pengajar sebanyak 19 orang, dan MDA menampung 23 siswa dengan tenaga pengajar berjumlah 3 orang.

Gambaran di atas menujukkan bahwa sarana pendidikan yang dimiliki oleh Desa Ciranggem hanya sampai Sekolah Menengah Tingkat Pertama (SLTP). Adapun tingkat pendidikan yang dicapai oleh warga masyarakat Ciranggem sebagian besar SD/sederajat (1.031 orang). Sebagian lainnya yang jumlahnya cukup besar adalah tamatan SLTP/sederajat (229 orang) dan tamatan SLTA/sederajat (236 orang). Sedangkan, yang menamatkan Akademi/Perguruan Tinggi hanya 58 orang.

Sementara untuk sarana kesehatan hanya ada satu unit Puskesmas Pembantu, 28 unit Dasawisma, dan tiga unit Posyandu dengan tenaga medis sebanyak 2 orang (seorang bidan dan seorang perawat), 15 orang kader Posyandu aktif, 65 orang kader Dasawisma aktif, dan 15 orang kader kesehatan lainnya. Selain itu, ada juga tiga orang dukun bersalin terlatih atau paraji yang siap membantu kaum perempuan dalam proses melahirkan.

Agama dan Kepercayaan
Seluruh penduduk Desa Ciranggem menganut agama Islam. Ada korelasi positif antara jumlah pemeluk agama ini dengan jumlah sarana peribadatannya. Hal itu tercermin dari banyaknya sarana peribadatan yang berkaitan dengan agama Islam, yaitu 3 buah mesjid dan 12 buah mushola.

Organisasi Pemerintahan dan Kemasyarakatan
Pemerintahan Desa Ciranggem terdiri dari Pemerintah Desa dan BPD. Pemerintah Desa yang mencakup tiga dusun serta 6 Rukun Warga dan 28 Rukun Tetangga ini dipimpin oleh seorang Kepala Desa (kuwu) dan perangkat desa (sekretaris desa/juru tulis/ulis, Kepala Urusan Kesejahteraan Rakyat, Kepala Urusan Pemerintahan, Kepala Urusan Keuangan, dan Kepala Urusan Umum). Sementara, BPD atau Badan Permusyawaratan Desa adalah perwakilan penduduk yang dipilih berdasarkan musyawaraf-mufakat yang terdiri dari Ketua Rukun Warga, pemangku adat, golongan profesi, pemuka agama, atau pemuka masyarakat lainnya. BPD adalah sebuah lembaga yang merupakan perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa sebagai unsur penyelenggara pemerintah desa. Adapun susunan pengurusnya adalah: Karta (Ketua), Wisman (Wakil Ketua), Yaya (Sekretaria), dan anggota (Akur, Kardin S., Wasma, Carta, Casman, Lili Rahmat).

Selain kedua oraganisasi pemerintahan tersebut, terdapat juga organisasi kemasyarakatan seperti: Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK) sebanyak 15 orang kader, Karang Taruna berpengurus 9 orang, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD) berpengurus 9 orang, 3 unit kelompok tani berpengurus 9 orang, 3 unit lembaga adat berpengurus 9 orang, 6 unit organisasi keagamaan berpengurus 18 orang, 28 kelompok gotong royong beranggotakan 84 orang, satu kelompok BUMDES, dan sebuah Lembaga Kemasyarakatan Desa (LKD). (Ali Gufron)

Pantai Krakal

Wisata alam, khususnya wisata pantai di Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, banyak sekali jumlahnya. Selain pantai-pantai yang sudah tenar, seperti Baron, Kukup, Sundak, Gesing, Ngobaran, Sepanjang, Wediombo, Drini, Ngandong dan Ngrenehan, terdapat sebuah pantai lain dengan panorama yang tak kalah indahnya. Pantai itu adalah Pantai Krakal yang terletak di Desa Ngestiharjo, Kecamatan Tanjungsari. Untuk mencapai pantai ini dari Kota Yogyakarta maupun Wonosari relatif mudah karena jalannya telah beraspal dan disertai dengan rambu-rambu petunjuk, sehingga tidak menyulitkan bagi para wisatawan yang hendak berkunjung.

Sesuai dengan namanya, di sepanjang pantai ini dipenuhi oleh krakal atau bebatuan karang baik berukuran kecil, sedang, maupun besar. Bebatuan karang tersebut dahulu konon berada di dasar laut dan menjadi "rumah" bagi hewan laut. Namun karena ada proses fenomena alam yang sangat panjang, terjadilah pengangkatan kerak bumi yang membuatnya timbul ke permukaan dan menjadi daratan berbatu karang. Pada bagian dari daratan baru itu yang berbatasan langsung dengan laut diberi nama sebagai Pantai Krakal.

Lepas dari masalah penamaan, yang jelas Pantai Krakal dapat dijadikan sebagai obyek wisata alternatif yang tidak kalah indahnya dibanding dengan pantai-pantai lain yang ada di wilayah Kabupaten Gunung Kidul. Di pantai yang berpasir putih ini pengunjung dapat menyaksikan bebatuan karang indah sambil menikmati hembusan angin laut yang menyegarkan. Di antara bebatuan itu (yang bagian bawahnya berada di laut) terdapat berbagai macam ikan, diantaranya umbal, damselfish kuning beraksen biru pada bagian punggungnya dan ikan kepe-kepe atau butterflyfish bergaris biru muda dan tua. Khusus untuk umbal yang hidup menempel di bebatuan karang, banyak dicari oleh para nelayan setempat sebagai bahan olahan untuk dibuat rempeyek.

Bagi yang tidak puas hanya berada di bibir pantai, Krakal juga menawarkan ombak yang cocok untuk berselancar, khususnya pada bulan Maret hingga September. Kualitasnya berating lima tipe reef break dengan arah gelombang dari kiri dan kanan. Namun, untuk dapat menikmati gulungan ombak di atas papan selancar haruslah berhati-hati karena dasar lautnya didominasi oleh karang dan juga terdapat hewan-hewan laut berbahaya seperti landak laut serta ubur-ubur.

Dan, sebagaimana tempat-tempat wisata lainnya di Indonesia. Pantai Krakal dilengkapi pula dengan fasilitas khas tempat rekreasi, seperti kamar mandi untuk bilas, rumah ibadah, panggung hiburan, rumah makan, gardu pandang, penginapan, hotel, hingga areal parkir kendaraan bermotor yang cukup luas. (gufron)

Foto:
http://www.ragamtempatwisata.com/2014/06/keindahan-alam-pantai-krakal-di-gunung-kidul-yogyakarta.html

Desa Jemah

Letak dan Keadaan Alam
Jemah merupakan salah satu desa yang ada di Kecamatan Jatigede, Kabupaten Sumedang yang sebagian wilayahnya terkena proyek pembangunan Waduk Jatigede. Secara Geografis Desa Jemah sebelah utara berbatasan dengan Desa Cipicung; sebelah selatan berbatasan dengan Desa Ciranggem; sebelah barat berbatasan dengan Desa Cisitu; dan sebelah timur berbatasan dengan Desa Cisampih. Desa yang luasnya 1.386 ha ini berada di antara 120-350 meter dari permukaan air laut.

Kependudukan
Penduduk Desa Jemah berjumlah 1.445 jiwa dengan jumlah Kepala Keluarga (KK) 497 jiwa. Jika dilihat berdasarkan jenis kelaminnya, jumlah penduduk perempuan lebih banyak dari pada jumlah penduduk laki-laki. Jumlah penduduk perempuan mencapai 727 jiwa (50,31%). Sementara, jumlah penduduk yang berjenis kelamin laki-laki 718 jiwa (49,69%) (Monografi Desa Jemah Bulan Desember 2008).

Agama dan Kepercayaan
Agama yang dianut oleh warga masyarakat Desa Jemah adalah Islam. Namun demikian, masih mempercayai adanya tempat-tempat atau makam-makam yang dianggap keramat. Tempat-tempat yang dianggap keramat itu antara lain: Situs Tanjakan Embah. Di situs ini ada makam-makam yang dianggap keramat, yaitu makam Embah Jagadiwangsa dan makam Embah Sadaya Pralaya. Tempat lainnya yang dianggap keramat adalah Situs Sukagalih. Di situs ini terdapat lima makam bercungkup. Selain itu, ada makam pendiri desa (Eyang Akun bersama isterinya), Aki Gading, dan dua makam lagi yang tidak diketahui namanya.

Organisasi Pemerintahan
Desa Jemah terbagi dalam 4 dusun, 4 Rukun Warga, dan 12 Rukun Tetangga. Ke-4 dusun itu adalah: Dusun Jemah, Lontong, Burujul, dan Bakom. Sedangkan, struktur organisasi pemerintahannya dipimpin oleh seorang kepala desa (Kades) yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai “kuwu”. Dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh seorang sekretaris desa yang lebih dikenal sebagai “juru tulis” dan sering disingkat menjadi “ulis” dan PTL. Mereka bertugas mengkoordinir pemerintahan, kesejahteraan rakyat, perekonomian dan pembangunan. Untuk melaksanakan tugas itu mereka dibantu oleh seorang: Kaur (kepala Urusan) Kesejahteraan Rakyat, Perekonomian dan Pembangunan, dan pemerintahan. Dengan demikian, perangkat Desa Jemah, termasuk dengan kepala desanya, berjumlah 11 orang. (gufron)

Air Terjun Sipiso-piso

Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara, memiliki banyak sekali potensi yang dapat dijadikan sebagai obyek wisata alam. Salah satunya adalah Air Terjun Sipiso-piso yang terletak tidak jauh dari Desa Tongging, Kecamatan Merek, sekitar 24 Kilometer dari Kota Kabanjahe, Ibukota Kabupetan Karo. Penamaan air terjun ini berkaitan dengan jatuhnya air melalui tebing yang dari kejauhan tampak seperti bilah-bilah pisau tajam. Nama Sipiso-piso diambil dari kata "piso" yang dalam bahasa Indonesia berarti pisau.

Untuk dapat mencapai obyek wisata ini dapat menggunakan kendaraan umum maupun pribadi dari Kota Medan menuju Kabanjahe dengan waktu tempuh sekitar 2 jam. Apabila menggunakan angkutan umum, sesampai di Kabanjahe perjalanan dilanjutkan ke arah utara menggunakan angkutan pedesaan melintasi Merek hingga sampai pertigaan jalan utama. Selanjutnya, dari pertigaan dapat memakai jasa becak motor hingga sampai ke Desa Tongging. Dan, apabila hendak melihat air terjun, dapat menuju gardu pandang di desa tersebut atau berjalan kaki menuruni bukit untuk melihat kolam tumpahan airnya.

Kondisi Air Terjun
Air terjun Sipiso-piso berada pada ketinggian sekitar 800 meter di atas permukaan air laut. Air terjun yang tingginya kurang lebih 120 meter ini terbentuk dari aliran sungai bawah tanah di plato Karo yang mengalir melalui gua sebuah di sisi kawah Danau Toba. Sementara untuk kondisi air terjunnya sendiri dari kejauhan tergolong indah dan menawan. Bila dilihat dari gardu pandang akan tampak menjulang tinggi tebing berwarna kehijauan di antara lintasan air terjun dan juga panorama indah Danau Toba yang menjadi muaranya. Sayangnya, walau relatif luas fasilitas yang ada di gardu pandang belumlah memadai karena hanya ada toilet dan beberapa buah warung saja.

Sedangkan bila berada dekat dengan kolam curahan air terjun, selain dapat mendengarkan gemuruh air terjun, berenang atau hanya sekadar bermain air, juga akan menikmati pemandangan berupa rimbunan pepohonan (didominasi oleh pohon pinus) yang membuat udara terasa sejuk. Di kaki air terjun juga ada beberapa bangunan yang mungkin dahulu difungsikan sebagai kantin dan tempat beristirahat. Namun, untuk dapat mendekati kolam curahannya haruslah mengeluarkan tenaga ekstra dengan menuruni jalan setapak berbentuk anak tangga yang cukup terjal dan berliku.

Jika masih belum puas dengan air terjun, dapat pula mengunjungi desa terdekat yaitu Desa Tongging. Di desa yang mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani dan nelayan ini dapat menyaksikan bagaimana mereka menanam padi dan bawang atau berlayar mencari ikan di sekitar kawasan Danau Toba. Di desa ini pula dapat melakukan berbagai macam aktivitas, seperti bersepeda santai, berenang di danau, paragliding di puncak Gunung Sipiso-piso, trekking di hutan, atau mengunjungi air terjun kecil bernama Sidompak. Dan, bila berkeinginan untuk bermalam, di Jalan Silalahi, Tongging, terdapat beberapa buah penginapan, yaitu Wisma Sibayak, Roman Sinasi Bungalows, dan Wisma Parultop. (pepeng)

Foto: https://www.flickr.com/photos/90223232@N04/8197920903
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Keraton Surosowan

Archive