LG KF750

Specifications
General
Network
GSM 850 / 900 /1800 / 1900
HSDPA 2100
Size
Dimensions
Weight
Display
102.8 x 50.8 x 11.8 mm
116g
TFT touchscreen, 256K colors, 240 x 320 pixels
Memory
Phonebook
Call records
Internal
Card slot
1000 contacts, Photo call
40 dialed, 40 received, 40 missed calls
100 MB internal memory
microSD, up to 4 GB
Data
GPRS
HSCSD
EDGE
3G
WLAN
Bluetooth
Infrared port
USB
Class 10 (4+1/3+2 slots), 32 - 48 kbps
Yes
Yes
HSDPA, 7.2 Mbps
Wi-Fi 802.11b/g
v2.0 with A2DP
None
V2.0 microUSB
Features
OS
CPU
Messaging
Ringtones
Browser
Radio
GPS
Games
Camera
Video
Colors
Java
-
-
SMS, MMS, Email
Polyphonic, MP3
WAP 2.0/xHTML, HTML
FM Radio
-
Yes
5 MP, video, flash, secondary VGA camera
-
Black, Ruby Violet, Titan Gold
JavaMIDP2.0
- Carbon fiber battery cover
- Java MIDP 2.0
- FM radio with RDS
- MP3/WMA/AAC/AAC+ player
- MPEG4/DivX(up to 640x480) player
- Document viewer (txt, pdf, doc, ppt, xls)
- Voice memo
- Built-in handsfree
- Motion-based games
Battery

Stand-by
Talk time
Standard battery Li-Ion 800 mAh
Up to 260 hours
Up to 4 h

Image:
http://www.directvisionmalta.org

LG KC910 Renoir

Specifications
General
Network
GSM 850 / 900 /1800 / 1900
HSDPA 2100
Size
Dimensions
Weight
Display
107.8 x 55.9 x 14 mm
114g
TFT, 256K colors
176 x 220 pixels, 2.0 Inches
Memory
Phonebook
Call records
Internal
Card slot
Yes, Shared Memory
40 Dialled, received, and missed call
100 MB internal memory
MicroSD up to 16GB
Data
GPRS
HSCSD
EDGE
3G
WLAN
Bluetooth
Infrared port
USB
Class 10 (4+1/3+2 slots), 32 - 48 kbps
None
Yes
HSDPA, 7.2 Mbps
Wi-Fi 802.11b/g
v2.0 with A2DP
None
V2.0 microUSB
Features
OS
CPU
Messaging
Ringtones
Browser
Radio
GPS
Games
Camera

Video
Colors
Java
-
-
SMS, EMS, MMS, Email
Polyphonic, MP3
WAP 2.0/xHTML, HTML
FM Radio
Yes, with A-GPS support
Yes
8 MP, 3264x2448 pixels, Schneider-Kreuznach optics,
auto/manual focus, xenon flash
Video VGA@30fps, QVGA@120fps
Black
JavaMIDP2.0
- MP3/MPEG4/AAC/DivX/Xvid player
- Organizer
- Document viewer (Word, Excel, PowerPoint, PDF)
- TV-out
- Voice memo
- T9
- Speaker Phone Dolby Mobile
Battery

Stand-by
Talk time
Standard battery Li-Ion 1000 mAh
Up to 264 hours
Up to 3 h

Image: http://roxyhp.com/specs/lg/kc910.html

Permainan Akbombo-bombo (Sulawesi Selatan)


Kajang adalah suatu kecamatan yang berada di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, Indonesia. Di daerah ini ada sebuah permainan yang oleh masyarakatnya disebut akbombo-bombo. Akbombo-bombo merupakan kata jadian (gabungan) dari dua kata, yaitu ak yang berarti “melakukan sesuatu” dan bombo yang mempunyai dua arti, yaitu: (1) makhluk halus sebangsa jin, yang menurut kepercayaan masyarakat Kajang, sering menampakkan diri dalam wujud binatang aneh (amping), makhluk tinggi besar (longgak), makhluk yang mengeluarkan api di atas kepalanya (dapok/bombo eillak), ataupun dalam bentuk suara-suara yang menakutkan; dan (2) orang yang dibungkus dengan kain mulai dari kepala hingga kaki, sehingga tidak dapat melihat keadaan di sekitarnya. Dengan demikian, akbombo-bombo dapat diartikan sebagai “melakukan sesuatu yang menyerupai bombo (makhluk halus atau orang yang seluruh tubuhnya dibalut dengan kain)”.

Konon, permainan akbombo-bombo berawal dari upaya orang dewasa untuk menakuti anak-anak, apabila mereka terus bermain hingga malam hari. Cara menakutinya adalah dengan menutup muka menggunakan sarung dan secara tiba-tiba muncul di hadapan anak-anak sambil berteriak, “Ya bombo. Ya bombo”. Tujuannya adalah agar mereka takut melihat orang yang menyerupai “bombo” dan segera pulang ke rumah masing-masing.

Namun, dalam perkembangannya, usaha yang tadinya dilakukan oleh orang dewasa untuk menakuti anak-anak, akhirnya malah berubah menjadi suatu permainan yang disebut akbombo-bombo. Dalam permainan ini, pemain yang berperan sebagai bombo harus ditutup mukanya dengan sarung, sebelum menebak nama salah seorang pemain hanya dengan rabaan sambil mengucapkan perkataan yang lucu agar pemain yang sedang diraba tertawa dan dapat diketahui atau disebut namanya.

Pemain
Pemain akbombo-bombo berjumlah 13--21 orang, dengan usia 7--14 tahun. Permainan ini dapat dimainkan secara bersama-sama oleh laki-laki dan perempuan. Dari sekian banyak pemain tersebut, hanya satu orang yang menjadi bombo, sedangkan pemain yang lainnya akan berdiri membentuk sebuah lingkaran mengelilingi bombo, yang nantinya akan ditebak namanya oleh bombo. Selain pemain, akbombo-bombo juga menggunakan seorang wasit (matowa) yang diambil dari para penonton untuk mengawasi jalannya permainan.

Tempat Permainan
Permainan akbombo-bombo dapat dilakukan di mana saja; bisa di halaman rumah, di halaman rumah adat, atau di lapangan, pada siang ataupun sore hari.

Peralatan Permainan
Peralatan yang digunakan dalam permainan ini hanyalah sebuah sarung untuk menutup kepala pemain yang menjadi bombo.

Aturan Permainan
Permainan yang disebut akbombo-bombo intinya adalah pemain yang menjadi bombo harus menebak (dengan mata ditutup sarung) nama salah seorang pemain hanya dengan meraba sambil berucap perkataan yang lucu. Apabila ia berhasil menebak, maka pemain yang ditebak tersebut harus menggantikannya menjadi bombo. Namun, apabila tebakan salah, maka pemain tersebut akan tetap menjadi bombo. Secara lebih rinci aturan-aturan tersebut adalah: (1) pemain yang menjadi bombo harus ditutup kepalanya menggunakan sarung; (2) Si bombo tidak diperkenankan memegang bagian wajahnya untuk mengintip pemain lain; (3) Si bombo hanya boleh meraba bagian kepala hingga dada pemain lain. Apabila Si bombo meraba hingga ke bagian alat vital pemain lain, maka ia akan diperingatkan oleh wasit. Namun, apabila perbuatan tersebut tetap dilakukannya hingga 3 kali, maka ia tidak boleh ikut bermain lagi; (4) Si bombo diperbolehkan untuk mengucapkan perkataan yang lucu agar pemain tertawa; (5) setelah bombo ditutup kepalanya, pemain lain tidak boleh berpindah atau bertukar tempat; dan (6) pemain yang akan ditebak namanya tidak boleh membuka perhiasan yang sedang dikenakannya. Apabila ada pemain yang akan ditebak namanya oleh Si bombo melanggar peraturan yang ditetapkan, maka pemain tersebut akan menggantikan posisi pemain yang menjadi bombo.

Jalannya Permainan
Setelah lokasi permainan ditentukan dan peralatan disiapkan, maka wasit (matowa) akan menentukan siapa yang akan berperan sebagai bombo. Apabila telah ditentukan, maka pemain tersebut akan ditutup sebagian kepalanya (dari rambut hingga mata) oleh matowa. Pada saat Si bombo ditutup sebagian kepalanya tersebut, pemain lain yang akan ditebak namanya berdiri dan membentuk sebuah lingkaran yang mengelilingi Si bombo. Setelah matowa menyatakan permainan siap untuk dimulai, Si bombo akan berjalan ke arah para pemain yang mengelilinginya. Apabila ia telah memegang salah seorang pemain, maka ia akan mulai meraba sambil berucap hal-hal yang lucu agar pemain yang dirabanya tertawa atau mengeluarkan suara, sehingga lebih mudah untuk ditebak namanya. Apabila tebakannya salah, maka ia akan dihukum untuk menangis atau bernyanyi di tengah-tengah lingkaran. Hukuman yang sama juga dijatuhkan apabila bombo melanggar peraturan. Namun, apabila Si bombo berhasil menebak pemain yang ia raba, maka pemain yang ditebak tersebut harus menggantikan posisinya menjadi bombo. Permainan akbombo-bombo akan berakhir apabila para pemainnya sudah merasa lelah atau puas bermain.

Selain dimainkan secara individual, akbombo-bombo juga dapat dimainkan secara beregu (terdiri dari 2 regu) yang masing-masing mempunyai seorang bombo. Pada permainan yang dilakukan secara beregu ini memiliki satu aturan tambahan yaitu, regu yang bombonya sedang menebak tidak diperbolehkan memberikan isyarat-isyarat yang memudahkan si bombo menebak nama anggota regu lawannya. Sedangkan, dalam proses permainannya kedua regu akan berbaris memanjang sebelum salah satu regu ditebak nama pemainnya oleh bombo dari regu lawan. Apabila Si bombo dapat menebak nama pemain regu lawan, maka regu Si bombo akan mendapatkan satu nilai. Begitu seterusnya, hingga seluruh nama anggota regu lawan tertebak seluruhnya. Namun, apabila tidak berhasil menebak, maka akan terjadi pergantian posisi, bombo regu lawan yang akan menjadi penebak. Begitu seterusnya. Regu yang paling banyak mengumpulkan nilai dinyatakan sebagai pemenangnya. Namun, apabila perolehan nilai kedua regu sama, maka penentuannya dilakukan dengan menghitung jumlah pelanggaran yang dilakukan oleh masing-masing regu. Regu yang paling sedikit melakukan pelanggaran, dinyatakan sebagai pemenangnya.

Nilai Budaya
Nilai yang terkandung dalam permainan akbombo-bombo adalah: kerja keras, kerja sama dan sportivitas. Nilai kerja keras tercermin dari usaha pemain yang menjadi bombo untuk mengenali pemain lain hanya dengan rabaan dan perkataan-perkataan yang dapat membuat pemain yang diraba tertawa. Nilai kerja sama tercermin dari permainan yang dilakukan secara beregu. Setiap regu, anggotanya akan bekerja sama untuk mengumpulkan nilai sebanyak-banyaknya agar dapat mengalahkan regu lawan. Nilai sportivitas tercermin dari sikap para pemain yang tidak berbuat curang selama permainan berlangsung dan bersedia menggantikan posisi pemain yang menjadi bombo. Nilai sportivitas juga perlu ditunjukkan oleh sebuah regu yang harus berlapang dada apabila regunya kalah dari regu lawan. (pepeng)

Sumber:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1980. Permainan Anak-Anak Daerah Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Tahu Ranggo

Bahan
Daun singkong untuk pembungkus
2 buah tahu
1 buah wartel diserut halus
1 sendok makan maizena
1 butir telur
1 siung bawang putih dicincang halus
Garam dan merica secukupnya.

Cara membuat
Lumatkan tahu campur dengan wortwl, maizena, telur, bawang putih, garam, merica aduk hingga rata. Daun singkong yang sudah dimasak dengan garam bungkus/bentuk sesuai keinginan dan usahakan tahu kelihatan. Agar lebih rapi pakai cetakan. Kukus hingga matang. Disajikan dengan sambal.

Upacara Perkawinan pada Masyarakat Kubu (Provinsi Jambi)

Pengantar
Orang Kubu tersebar secara mengelompok di daerah pedalaman (hutan) di 3 kabupaten dari 6 kabupaten/kota yang tergabung dalam Provinsi Jambi (Kabupaten: Bungo Tebo, Sarolangon, dan Batanghari). Ini artinya, hanya Kota Jambi, Kabupaten Kerinci, dan Tanjung Jabung yang “bebas” dari Orang Kubu. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika seseorang mendengar kata “Kubu”, maka apa yang terbayang di kepalanya adalah “Jambi”, walaupun Orang Kubu ada juga di daerah Sumatera Selatan, tepatnya di Kecamatan Rawas Ilir, Kabupaten Musi Rawas, Indonesia (Melalatoa, 1995:38).

Populasi yang pasti tentang Orang Kubu sulit diketahui karena mereka hidup secara berkelompok dan berpindah-pindah dari hutan yang satu ke hutan yang lain. Namun, sebagai gambaran di awal abad ke-20, tepatnya tahun 1907, diperkirakan jumlahnya mencapai 7.500 jiwa (Melalatoa, 1995:38). Masing-masing kelompok membentuk komunitas tersendiri. Di kawasan TNBD (Taman Nasional Bukit Duabelas) misalnya, di sana ada tiga kelompok, yakni kelompok yang ada di bagian selatan cagar biosfer (Air Hitam), kemudian yang ada di bagian utara dan timur (Kejagung), dan kelompok yang ada di sebelah barat (Makekal). Sebutan mereka disesuaikan dengan daerah di mana mereka berada. Oleh karena itu, mereka ada yang menyebut sebagai Orang atau Kelompok: “Air Hitam”, “Kejagung”, dan “Makekal”.

Banyak versi yang berkenaan dengan asal-usul orang Kubu, antara lain mereka berasal dari: Palembang (Sumatera Selatan), Sumatera Barat (Pagaruyung), perantau (Bujang Perantau), dan bajak laut. Lepas dari berbagai versi yang berdasarkan ceritera rakyat itu yang jelas bahwa kehidupan mereka tidak lepas dari hutan. Hutan bagi mereka tidak hanya berfungsi sebagai sumber penghidupan, tempat berlindung, dan sarana integrasi sosial, tetapi juga sebagai wahana untuk reproduksi sosial dan aktualisasi diri. Begitu pentingnya keberadaan hutan bagi mereka sehingga memerlukan pengembangan organisasi sosial, pengetahuan, dan pranata-pranata pengendaliannya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika mereka benar-benar menguasai seluk beluk setiap jengkal kawasan hutannya. Mereka tahu di mana harus berlindung dari sergapan binatang buas. Mereka tahu persis potensi hutan tempatnya bermukim dan bagaimana mengolahnya, serta tanaman dan binatang apa yang dapat dimanfaatkan. Bahkan, mereka tahu bagaimana melestarikannya (mempertahankan wilayahnya yang telah dikuasai dari generasi ke generasi, mengendalikan, menguasai, dan memanfaatkannya). Tidak sembarang bagian hutan boleh dibuka sebagai tempat berladang, meramu, berburu atau mendirikan perkampungan baru. Pendek kata, orang Kubu mengetahui persis luas hutan yang boleh dibuka dari tepi sungai hingga puncak bukit. Mereka juga tahu tumbuhan apa yang harus ditanam dan bagaimana caranya.

Tulisan ini tidak mengemukakan berbagai cara yang dilakukan oleh orang Kubu dalam melestarikan lingkungan alamnya. Akan tetapi, akan mengemukakan mengenai terintegrasinya seseorang dalam sistem sosial masyarakat Kubu melalui sebuah perkawinan, karena dengan perkawinan berarti seseorang telah dianggap sebagai anggota masyarakat yang penuh (mempunyai hak dan kewajiban sosial yang sama dengan anggota masyarakat lainnya). Melalui perkawinan akan terbentuk sebuah keluarga yang tidak hanya berfungsi sebagai kesatuan ekonomi, tetapi juga pendidikan dan pengembang-biakan keturunan. Untuk itu, sebuah keluarga di manapun dan pada masyarakat manapun, termasuk orang Kubu, didahului dengan perkawinan (berdasarkan agama dan atau adat-istiadat masyarakat yang bersangkutan). Perkawinan yang ideal di kalangan orang Kubu adalah perkawinan antara seorang pemuda dan gadis anak saudara laki-laki dari pihak ibu (cross causin). Sungguhpun demikian, seorang pemuda boleh memilih jodoh dengan siapa saja asal bukan seperut (sedarah).

Proses Perkawinan Orang Kubu

Perkenalan
Sebagaimana lazimnya proses perkawinan pada masyarakat Indonesia secara umum, perkawinan orang Kubu juga didahului oleh pertemuan antara dua remaja yang berlainan jenis. Pertemuan yang kemudian membuat mereka saling kenal dan saling tetarik ini bisa terjadi di ladang, sungai, hutan, atau di pesta perkawinan. Jika dalam pertemuan tersebut keduanya bersepakat untuk hidup bersama, maka pihak orang tua akan memberitahukannya kepada tetua tenganai (orang-orang tua yang berpengalaman). Jika mereka telah sepakat, maka peminangan dapat dilakukan.

Peminangan dan Pertunangan
Peminangan pada dasarnya adalah suatu kegiatan untuk membicarakan kemungkinan adanya suatu perkawinan. Kegiatan ini oleh orang Kubu disebut sebagai “moro”. Untuk itu, ayah sang pemuda menemui ayah sang gadis untuk memastikan apakah anak laki-lakinya dapat ditunangkan dengan anak gadisnya. Jika dalam pembicaraan itu keduanya sepakat, maka mereka menemui tetua tenganai terdekat. Kemudian, mereka menentukan kapan pertunangan dilakukan.

Ketika hari yang disepakati untuk bertunangan tiba, maka pihak keluarga laki-laki datang ke rumah keluarga perempuan dengan membawa bawaan yang terdiri atas: pakaian perempuan seperlunya, sirih pinang selengkapnya, dan selemak-semanis (beras dan lauk-pauk). Dengan diterimanya bawaan tersebut berarti sepasang remaja yang berlainan jenis telah bertunangan menurut adat mereka.

Lama dan singkatnya waktu pertunangan antara seorang jejaka dan seorang gadis Kubu bergantung kesepakatan orang tua (ayah) kedua belah pihak. Melalatoa (1995:39) menyebutkan 8--9 tahun. Malahan, terkadang sampai 10 tahun. Ada beberapa alasan yang mendasari mengapa masa pertunangan mereka berlangsung dalam waktu yang relatif lama, yaitu umur dan kesiapan pihak keluarga laki-laki untuk memenuhi persyaratan upacara perkawinan yaitu mas kawin yang berupa kain panjang atau sarung sejumlah 140 buah, selemak semanis (bahan makanan yang berupa ubi dan beras), lauk-pauk yang berupa daging binatang buruan, dan masih banyak lainnya yang mesti diserahkan kepada pihak keluarga perempuan sebelum upacara perkawinan dilaksanakan.

Perlu diketahui bahwa umur ketika seorang jejaka menjadi pengantin (kawin) pada umumnya 11--14 tahun, sedangkan seorang gadis pada umunya berumur 17--21 tahun. Jadi, pada umunya calon suami lebih muda ketimbang calon isterinya. Sehubungan dengan itu, calon suami harus “didewasakan” dengan berbagai kegiatan yang biasa dilakukan oleh orang dewasa. Dalam hal ini calon pengantin laki-laki harus menunjukkan ketangkasannya (uji tangkas). Misalnya, ia harus dapat meniti kayu yang telah dikupas kulitnya (licin) dan atau membangun balai1) (bangsal) dalam waktu setengah hari (dikerjakan sendiri mulai dari matahari terbit sampai dengan tengah hari). Jika ia dapat melakukannya (meniti kayu yang licin dan atau mendirikan balai), maka dianggap lulus dan perkawinan dapat dilangsungkan. Akan tetapi, jika tidak dapat melakukannya dengan baik alias gagal, bukan berarti bahwa perkawinan diurungkan atau gagal, tetapi calon pengantin laki-laki masih diberi kesempatan untuk mengulanginya pada hari berikutnya. Pendek kata, sampai calon pengantin laki-laki dapat melakukannya dengan baik (berhasil). Biasanya ujian tersebut dilaksanakan dua hari menjelang perkawinan (upacara perkawinan).

Sebagai catatan, meskipun jangka waktu pertunangan telah disepakati oleh kedua belah pihak, namun percepatan bisa saja terjadi. Hal itu bergantung pada kesiapan pihak keluarga laki-laki untuk melangsungkan perkawinan. Jika itu terjadi, biasanya pihak keluarga laki-laki yang mengusulkannya. Sedangkan, pihak keluarga perempuan sifatnya hanya mengikuti saja.

Upacara Perkawinan
Sebelum upacara perkawinan (akad nikah) dilaksanakan, pihak keluarga laki-laki menyiapkan dan menyerahkan semua persyaratan yang diminta oleh pihak keluraga perempuan. Persyaratan itu tidak hanya mas kawin dan selemak semanis, tetapi masih banyak lainnya, yaitu: seekor ayam berugo pikatan (ayam yang digunakan untuk memburu ayam hutan), seekor anjing yang mau (anjing yang pandai menggiring dan atau menangkap biawak, babi hutan, dan napo-napo (sejenis pelanduk), sebuah pesap atau ambat atau saok-saok (jaring ikan yang berukuran kecil), seekor burung puyul (puyuh) yang pandai berkelahi dengan sejenisnya, dan sepotong pakaian atau kain yang bagus. Jika permintaan yang sekaligus merupakan persyaratan itu dipenuhi, maka perkawinan bisa dilaksanakan. Akan tetapi, jika tidak bisa dipenuhi, maka perkawinan ditangguhkan atau bisa saja dibatalkan.

Upacara perkawinan itu sendiri biasanya bertempat di tengah-tengah pemukiman, sehingga mempermudah bagi sanak-saudara yang akan menghadirinya. Di sana sebelumnya telah dibangun sebuah pondok yang dilakukan secara gotong-royong. Luasnya 4 x 4 meter, atapnya daun rumbia, dan lantainya terbuat dari batang kayu yang garis tengahnya kurang lebih 5 cm. Lantai tersebut tingginya kurang lebih 60 cm dari permukaan tanah. Di pondok inilah kedua mempelai duduk saling berhadapan. Sementara, keluarga kedua belah pihak beserta undangan duduk melingkarinya. Temenggung, yang dalam hal ini bertindak sebagai “pejabat nikah”, duduk menghadap kedua pengantin. Dan memberi nasehat tentang kehidupan dalam sebuah rumah tangga. Kemudian, memegang tangan kedua pengantin dan mengucapkan kata-kata sebagai berikut: “Seko si ... kembali kepada seki si ..., semalam iko si ... nikah sampai menyeluat betongkat tebu seruas, lah lengok nyawo yang jantan maupun betino, nak sedingin air nak sepanjang rotan”. Selanjutnya, kedua tangan pengantin ditepukkan sejumlah tujuh kali. Setelah itu, kedua kening pengantin diadukan (dibenturkan) secara perlahan sejumlah tujuh kali pula. Dengan selesainya benturan itu berarti sepasang remaja yang berlainan jenis itu telah menjadi suami-isteri. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa upacara perkawinan selesai karena di kalangan orang Kubu ada kebiasaan penyelenggaraan suatu upacara perkawinan berlangsung kurang lebih tujuh hari. Jadi, setelah akad nikah dilaksanakan, maka pada malam berikutnya pihak keluarga pengantin perempuan mengadakan kendurian yang bertempat di rumah pengantin perempuan dan di balai yang dibuat oleh pengantin laki-laki ketika uji ketangkasan. Demikian juga pada malam-malam berikutnya sampai kurang lebih tujuh malam, mulai dari pukul 20.00--24.00 WIB. Mengingat bahwa kendurian memerlukan bahan makanan yang tidak sedikit, maka pihak keluarga pengantin laki-laki, melalui kegiatan yang disebut antaran, menyumbang kurang lebih separuh (50%) dari perkiraan kebutuhan.

Ada kebiasaan di kalangan orang Kubu bahwa setelah akad nikah pengantin baru pergi ke hutan selama kurang lebih tujuh hari. Di sana mereka tidak hanya berusaha untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dalam sebuah keluarga, tetapi juga memperoleh binatang buruan. Binatang buruan, apakah itu biawak, babi hutan, atau napo-napo nantinya akan dibawa pulang kepada orang tuanya. Di kalangan orang Kubu hasil buruan yang didapatkan oleh pengantin baru yang pergi ke hutan selama kurang lebih tujuh hari adalah bukan sekedar “oleh-oleh”. Akan tetapi, itu sebagai suatu tanda bahwa kelak kehidupan rumah tangga pengantin baru tersebut banyak rezekinya (berlimpah).

Sepulangnya dari hutan (setelah menyerahkan hasil buruannya), pasangan pengantin baru tersebut mendirikan gubug yang letaknya berdampingan atau tidak jauh dari gubug orang tua laki-laki. Adat menetap seperti ini dalam ilmu antropologi disebut “virilocal”, yaitu adat yang menentukan bahwa pengantin baru menetap di sekitar tempat kediaman kerabat laki-laki (suami).

Catatan:
Jika pihak keluarga laki-laki tidak dapat memenuhi persyaratan suatu perkawinan yang relatif berat itu, maka bukan bahwa berarti anaknya tidak dapat membentuk keluarga baru (kawin). Ada cara lain yang disebut dengan kawin lari, yaitu sepasang remaja yang telah bersepakat untuk hidup bersama bertemu pada suatu tempat di malam hari. Oleh karena perginya secara sembunyi-sembunyi (tidak diketahui oleh siapapun), maka kedua sejoli itu dianggap hilang atau ada seorang gadis yang dibawa lari oleh seorang pemuda. Dengan tersebarnya berita itu, maka orang tua kedua belah pihak beserta masyarakat berusaha untuk mencarinya. Setelah ditemukan, pemuda yang membawa lari gadis orang itu dipukuli oleh keluarganya sendiri karena dianggap memalukan keluarga. Masyarakat pun segera menggelar sidang untuk menghukumnya. Dan, berdasarkan ketentuan adat, maka pihak keluarga laki-laki harus membayar denda yang berupa 200 lembar kain sarung kepada pihak keluarga perempuan. Dengan terbayarnya denda tersebut berarti kedua sejoli tersebut dianggap sah sebagai suami-isteri. Dan, upacara perkawinan tidak perlu diadakan, sehingga pihak keluarga laki-laki tidak perlu memenuhi berbagai persyaratan perkawinan sebagaimana lazimnya sebuah perkawinan di kalangan orang Kubu.

Nilai Budaya
Perkawinan, di manapun dan pada masyarakat manapun, termasuk masyarakat Kubu, adalah masalah sosial. Artinya, ia tidak hanya menjadi urusan individu-individu yang berlainan jenis semata (yang akan mendirikan sebuah rumah tangga). Akan tetapi, akan melibatkan berbagai pihak, yaitu: keluarga pihak laki-laki, keluarga pihak perempuan, dan masyarakatnya. Untuk itu, sebuah perkawinan mesti mengikuti ketentuan-ketentuan adat yang berlaku dalam masyarakatnya. Sistem perkawinan di kalangan orang Kubu, jika dicermati, mengandung nilai-nilai yang tidak hanya dapat dijadikan sebagai acuan bagi keluarga baru dalam menjalani kehidupan bersamanya, tetapi juga bagi masyarakat pada umumnya. Nilai-nilai itu, antara lain: kerja keras, kerjasama, dan tanggung jawab.

Nilai kerja keras tidak hanya tercermin dari usaha calon pengantin (laki-laki) melewati kayu-bulat yang licin dan atau membuat balai dalam waktu yang relatif singkat (setengah hari), tetapi juga dalam hidup berdua selama kurang lebih tujuh hari di hutan dan sekaligus berburu sekuat tenaga untuk menemukan dan mendapatkan binatang buruan (biawak, babi hutan, atau napo-napo). Nilai kerjasama juga tercermin dalam kehidupan bersama selama tujuh hari di hutan. Untuk dapat bertahan, mereka mesti bahu-membahu (kerjasama), baik dalam memperoleh makanan maupun binatang buruan. Kemudian, nilai tanggung jawab tercerimin dalam makna simbolik dari binatang buruan yang diserahkan kepada mertuanya. (Pepeng)

Sumber:
Galba, Sindu. 2002. “Manusia dan Kebudayaan Kubu” (Nasakah Laporan Hasil Penelitian)

Hidayah, Z. 1996. Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia. Jakarta: LP3ES.

Melalatoa, J. 1995. Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia. Jilid A--K. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

1) Balai adalah bangunan yang bertiang kayu atau rotan dan beratap daun rumbia dengan luas balai 7x7 depa (kurang lebih 10x10 meter).

Iga Bakar Saus Rujak

Bahan
500 gr iga sapi, potong-potong
2 lbr daun salam
4 lbr daun jeruk purut
1 btg serai, memarkan
1000 ml air

Haluskan
5 bh bawang merah
2 siung bawang putih
3 bh cabai merah, buang bijinya
2 cm jahe, kupas
1 sdt ketumbar
2 btr kemiri, sangrai
1/2 sdt garam
Minyak untuk menumis

Saus
50 gr kacang tanah goreng, haluskan
7 bh cabai rawit merah, haluskan
150 ml air
1/2 sdt garam
Minyak untuk menumis

Cara Membuat
Tumis bumbu halus, daun salam, daun jeruk purut dan serai hingga harum. Masukkan iga, aduk hingga berubah warna.

Tuang air masak hingga empuk dan kuah agak kering, angkat.

Bakar iga di atas bara api hingga berwarna kecokelatan, angkat.

Saus : panaskan minyak, tumis cabai halus hingga harum, masukkan kacang tanah halus, kuah sisa iga, air dan garam, aduk rata. Masak hingga mendidih dan mengental, angkat.

Sajikan iga bakar dengan saus

Untuk 4 orang

Lodeh Kerupuk Kulit

Oleh Nita Yunitawati, Bandung
Bahan
10 buah tahu kulit
150 gr kerupuk kulit
150 gr udang, kupas, tinggalkan ekornya
3 papan petai, kupas
100 gr cabai rawit merah
300 ml santan kental
500 ml santan cair
1 lembar daun salam
2 cm lengkuas, memarkan
3 sdm minyak untuk menumis
Haluskan
6 bh bawang merah
3 siung bawang putih
1 cm kunyit
6 bh cabai merah
4 butir kemiri
1 sdt garam
1 sdt gula merah
Cara membuat
Panaskan minyak, tumis bumbu halus sampai harum dan matang. Masukkan udang, masak hingga udang berubah warna, tambahkan daun salam, lengkuas, aduk rata.
Masukkan santan cair, kerupuk kulit, tahu kulit, pete, cabai rawit merah, masak hingga matang. Sebelum diangkat tambahkan santan kental, jaga supaya santan tidak pecah.
Angkat, sajikan lodeh dengan ketupat dan taburan bawang goreng.
Untuk 4 orang

Sumber: http://www.tabloidnova.com/Nova/Sedap/Makanan/Lodeh-Kerupuk-Kulit

Soto Bandung

Bahan
500 gr daging sengkel
250 gr daging sandung lamur
11/2 ltr air
3 cm jahe memarkan
2 btg serai memarkan
3 lbr daun jeruk
300 gr lobak, kupas, iris tipis

Haluskan
10 bh bawang merah
5 siung bawang putih
1 sdt garam
½ sdt lada

Pelengkap
150 gr kacang kedelai goreng
irisan daun bawang seledri
kecap manis
kerupuk merah
sambal cabe rawit

Cara membuat
Rebus daging sengkel dan sandung lamur bersama jahe, serai dan daun jeruk hingga daging empuk, angkat, lalu potong-potong menurut selera.

Panaskan sedikit minyak, tumis bumbu halus hingga harum, masukkan irisan lobak masak sebentar, tambahkan kaldu daging, didihkan kembali, masukkan daging, masak hingga mendidih. Angkat.

Sajikan hangat dengan taburan irisan daun bawang, seledri, bawang goreng, kacang kedelai goreng dan sambal rebus.

Untuk 6 orang

Sumber: http://www.tabloidnova.com

K-Touch V918

Specifications
General
Network
GSM 900 / 1800
Size
Dimensions
Weight
Display
115 x 56 x 15.6 mm
-
TFT QVGA, 262.000 color
320 x 240 pixels, 2,8 inches
Memory
Phonebook
Call records
Internal
Card slot
500 entries
-
-
Cardslot Micro SD up to 2 GB
Data
GPRS
HSCSD
EDGE
3G
WLAN
Bluetooth
Infrared port
USB
GPRS class 12
-
-
-
-
v2.0 with A2DP
None
V2.0 microUSB
Features
OS
CPU
Messaging
Ringtones
Browser
Radio
GPS
Games
Camera
Video
Colors
Java
-
-
SMS, MMS, Email, Chat
Polyphonic (64 channel), MP3, WAV
WAP 2.0/xHTML
-
-
Yes
1.3 MP with flash, 4 x digital Zoom
Yes
-
JavaMIDP2.0
- MP3/AAC/MPEG4 player
- Organiser
- Built-in handsfree
- Voice memo/dial
- T9
- TV Tuner
- FM Radio
- Image Editor
Battery

Stand-by
Talk time
Standard battery Li-Ion 1800 mAh
Up to 120 h
Up to 3 h

K-Touch V908

Specifications
General
Network
GSM 900 / 1800
Size
Dimensions
Weight
Display
115 x 56 x 15.6 mm
136 g
TFT QVGA, 262.000 color
320 x 240 pixels, 2,8 inches
Memory
Phonebook
Call records
Internal
Card slot
500 entries
-
-
Cardslot Micro SD up to 2 GB
Data
GPRS
HSCSD
EDGE
3G
WLAN
Bluetooth
Infrared port
USB
GPRS class 12
-
-
-
-
v2.0 with A2DP
None
V2.0 microUSB
Features
OS
CPU
Messaging
Ringtones
Browser
Radio
GPS
Games
Camera
Video
Colors
Java
-
-
SMS, MMS, Email, Chat
Polyphonic (64 channel), MP3, WAV
WAP 2.0/xHTML
-
-
Yes + downloadable
1.3 MP with flash, 4 x digital Zoom
Yes
-
JavaMIDP2.0
- MP3/AAC/MPEG4 player
- Organiser
- Built-in handsfree
- Voice memo/dial
- T9
- TV Tuner
- FM Radio
- Image Editor
Battery

Stand-by
Talk time
Standard battery Li-Ion 1800 mAh
Up to 120 h
Up to 3 h

Image:
http://www.ponseljakarta.com

Sanggah Cucuk (Bali)

Sanggah cucuk adalah salah satu peralatan teater tradisional Calonarang. Sanggah cucuk ini disebut pula dengan nama sanggah suku telu sebab bagian dari sanggah cucuk ini berbentuk segitiga.

Dinamakan sanggah cucuk karena mengandung arti bahwa sanggah itu merupakan perwujudan dari perasaan manusia yakni sebagai “pemucuk” yang berarti pendahulu atau perintis jalan dalam kehidupan manusia.

Adapun bahan-bahan yang dipergunakan untuk membuat sanggah cucuk ini adalah terdiri atas:
- Bambu
- Ijuk
- Daun pisang
- Kain putih

Adapun cara pembuatan dari sanggah cucuk ini adalah sebagai berikut: ruas batang bambu yang telah dipilih dipotong-potong dengan ukuran “apengadeg” (suatu ukuran yang sejajar dengan tinggi manusia dewasa). Potongan ini nantinya dipergunakan sebagai tiang dari sanggah cucuk itu. Bagian atas dari potongan bambu tadi dibelah menjadi empat dengan ukuran belahan kira-kira 35 cm. Dari masing-masing belahan itu lebih kurang 10 cm dari ujung belahan tu dibuat “cekak” (lubang sebagai tempat menaruh kelatkat).

Setelah pekerjaan pertama tadi selesai kemudian dilanjutkan dengan membuat kelatkat (anyaman bambu berbentuk segi empat). Kelatkat ini dibuat dari ruas-ruas bambu yang telah diraut dengan ukuran panjang “alangkat teken atebah” (kurang lebih 30 cm), tebal lebih kurang 25 mm dan ukuran lebar kira-kira 1,5 cm. Kemudian potongan-potongan tadi dianyam sedemikian rupa hingga merupakan segi empat sama sisi dan membentuk enam belas lubang kelatkat. Kelatkat semacam ini dibuat sebanyak tiga buah.

Salah satu kelatkat kemudian dipasang pada belahan tiang bambu yang sudah dicekak, selanjutnya di bagian kiri dan kanannya dipasang dua buah kelatkat lagi dan kedua ujung dari kedua kelatkat tersebut ditemukan diatas, sehingga membentuk suatu segitiga.

Kemudian salah sat lubang di bagian belakang segi tiga itu ditutup dengan sebuah kelatkat lagi yang bentuknya segitiga dengan ukuran yang lebih kecil, sehingga bagian atas sanggah cucuk ini tinggal satu lubang lagi yaitu lubang bagian depannya yang merupakan pintu untuk memasukkan “banten” (sesajen).

Sebagai kelengkapan sanggah cucuk ini dipasang pada pangkal belahan tiang dua buah ruas bambu dengan ukuran panjang kira-kira 30 cm dalam bentuk bersilang sehingga merupakan sebuah “tampak dara” (tanda tambah yang menyerupai kaki burung merpati), di dalam bambu ini diisi dengan cairan-cairan seperti: tuak, arak, berem, dan air.

Setelah semua itu selesai dikerjakan kemudian bagian depannya diisi dengan “daun kelindungan” (daun pisang yang masih muda dan diambil ujungnya saja). Dan di bagian belakang dihiasi dengan seikat ijuk, di belakang ikatan ijuk inilah dipasang sepotong kain putih yang berisi “rerajahan Gana Pati”.

Pada umumnya ruasan-ruasan bambu yang dipakai bahan sanggah cucuk ini adalah bambu yang baru ditebang dan tidak diperbolehkan menggunakan bambu yang sudah pernah dipakai demikian pula “tiing punggul” (bambu yang sebelum ditebang sudah tidak memiliki ujung) tidak boleh dipergunakan sebagai bahan pembuatan sanggah cucuk ini.

Sanggah cucuk bisa dikerjakan/bisa dibuat oleh setiap orang yang bisa mengerjakannya. Jadi tidak dikerjakan oleh orang-orang tertentu saja.

Dalam pementasan teater tradisional Calonarang terutama mempunyai fungsi simbolis di samping fungsi estetis dan fungsi religius.

Fungsi simbolis dari sanggah cucuk dalam teater tradisional Calonarang adalah sebagai tanda dalam pementasan teater itu ada bagian (episode) yang menceritakan tentang upacara penguburan mayat. Episode tersebut menceritakan keadaan suatu daerah tertentu terkena wabah “kegeringan atau gerubug” sebagai akibat dari perbuatan ilmu hitam yang disebarkan oleh seorang janda yang bernama “Rangda Ing Dirah”.

Ketika terjadi gerubug itu banyak penduduk yang meninggal dunia dan setiap penduduk yang meninggal itu harus segera dikuburkan. Di dalam upacara penguburan mayat inilah diperlukan sarana upacara antara lain seperti sanggah cucuk.

Fungsi estetis dari sanggah cucuk dalam pementasan teater tradisional Calonarang adalah terletak pada bentuk yang dibuat sedemikian rupa sehingga kelihatan indah dan serasi dengan suasana panggung dalam episode cerita yang ditampilkan.

Disamping kedua fungsi tersebut di atas sanggah cucuk juga mempunyai fungsi lain yaitu fungsi religius. Dalam fungsi ini sanggah cucuk berfungsi sebagai sarana upacara-upacara yadnya antara lain: 

1. Dalam uacara Dewa Yadnya seperti upacara Medus Agung maupun Medudus Alit. Di dalam rentetan upacara tersebut di atas diadakan “mepekideh” yang dilaksanakan pada “Sanga Mandala” atau pada kesembilan tata zoning yaitu pada delapan penjuru mata angin. Ditengah-tengah penjuru tersebut sebagai pusatnya. Pada kesembilan tata zoning itulah ditempatkan sanggah cucuk tersebut.

2. Dalam upacara Bhuta Yadnya sanggah cucuk dipergunakan mulai dari tingkat upacara yang paling kecil sampai tingkat yang terbesar (dari upacara Caru Ekasata sampai Tawur Kesanga).

3. Dalam upacara Manusa Yadnya, sanggah cucuk dipergunakan dalam upacara ketika bayi lahir (sanggah cucuk ditempatkan di atas tempat menanam ari-ari si bayi).

4. Dalam upacara Pitra Yadnya sanggah cucuk dipergunakan dalam upacara Maligia, Memukur, Nyekah dan sebagainya.

Sumber:
Triguna, Ida Bagus Gde Yudha, dkk,. 1994. Peralatan Hiburan dan Kesenian Tradisional Bali. Denpasar: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sony Ericsson C905

Specifications
GeneralNetworkGSM 850 / 900 / 1800 / 1900
HSDPA 2100
SizeDimensions
Weight
Display
104 x 49 x 18-19.5 m
136 g
TFT, 256K colors
240 x 320 pixels, 2.4 inches
MemoryPhonebook
Call records
Internal
Card slot
1000 x 20 fields, Photo call
30 received, dialed and missed calls
160 MB internal memory
Memory Stick Micro (M2)
DataGPRS
HSCSD
EDGE
3G
WLAN
Bluetooth
Infrared port
USB
Class 10 (4+1/3+2 slots), 32 - 48 kbps
Yes
Class 10, 236.8 kbps
HSDPA, 3.6 Mbps
Wi-Fi 802.11 b/g, DLNA
v2.0 with A2DP
None
V2.0 microUSB
FeaturesOS
CPU
Messaging
Ringtones
Browser
Radio
GPS
Games
Camera
Video
Colors
Java
-
-
SMS, MMS, Email, Instant Messaging
Polyphonic, MP3
WAP 2.0/xHTML, HTML
Stereo FM radio with RDS
Built-in GPS receiver
Yes + downloadable
8.0 megapixel color camera with auto focus
-
Night Black, Ice Silver, Copper Gold
JavaMIDP2.0
- Accelerometer sensor for auto-rotate
- A-GPS function
- Google maps
- Wayfinder Navigator 7
- Camera images geo-tagging
- MP3/AAC/MPEG4 player
- TrackID music recognition
- Picture editor/blogging
- TV out
- Organiser
- Built-in handsfree
- Voice memo/dial
- T9
Battery
Stand-by
Talk time
Standard battery Li-Po 930 mAh (BST-38)
Up to 380 h
Up to 9 h

Image:
http://otakugadgets.com/cell-phones/sony-ericsson-cyber-shot-c905-a-camera-comes-to-town/

HTC Hero Android A6262

Specifications
General
Network
HSPA/WCDMA 900/2100 MHz
GSM 850/900/1800/1900 MHz
Size
Dimensions
Weight
Display
112 x 56.2 x 14.35 mm
135 g
3.2-inch TFT-LCD touch-sensitive screen
320x480 HVGA resolution
Memory
Phonebook
Call records
Internal
Card slot
-
-
-
microSD™ memory card (SD 2.0 compatible)
Data
GPRS
HSCSD
EDGE
3G
WLAN
Bluetooth
Infrared port
USB
Class 10 (4+1/3+2 slots), 32 - 48 kbps
Yes
Class 10, 236.8 kbps
HSDPA
None
v2.0 with A2DP
None
V2.0 microUSB
Features
OS
CPU
Messaging
Ringtones
Browser
Radio
GPS
Games
Camera
Video
Colors
Java
Android™
Qualcomm® MSM7200A™, 528 MHz
SMS (threaded view), MMS, Email, Push Email
Polyphonic, MP3, AAC
WAP 2.0/xHTML, HTML
Stereo FM radio with RDS
Internal GPS antenna
Yes + downloadable
5.0 megapixel color camera with auto focus
-
-
JavaMIDP2.1
- Trackball with Enter button
- MP3, WAV, MIDI and Windows Media® Audio 9
- MPEG-4, H.263, H.264 and Windows Media® Video 9
- G-sensor
- Calendar
- Calculator
- Alarm
Battery

Stand-by
Talk time
Standard battery Lithium-ion 1350 mAh
Up to 440 hours
Up to 470 minutes

Image:
http://www.alibaba.com

Motorola W7 Active Edition

Specifications
Motorola W7 Active Edition
Network
2G
3G
GSM 850 / 900 / 1800 / 1900
UMTS 850 / 1900 / 2100
Size
Dimensions
Weight
Display
99 x 49 x 15 mm
105 gram
TFT, 256K colors
240 x 320 pixels, 2.2 inches
Memory
Phonebook
Call records
Internal
Card slot
500 entries, Photocall
20 dialed, 20 received, 20 missed calls
30 MB
microSD, up to 8GB
Data
GPRS
HSCSD
EDGE
3G
WLAN
Bluetooth
Infrared port
USB
Class 12 (4+1/3+2/2+3/1+4 slots), 32 - 48 kbps

Class 12
384 kbps

v2.0 with A2DP

v2.0 microUSB
Features
OS
CPU
Messaging
Ringtones
Browser
Radio
GPS
Games
Camera
Video
Colors
Java

Qualcomm ESC6240 processor
SMS, EMS, MMS, Email
Vibration; Downloadable polyphonic, MP3 ringtones
WAP 2.0/xHTML
FM radio

Yes, motion-based
2 MP, 1600 x 1200 pixels
QCIF@15fps
Black, licorice and alpine white
MIDP 2.0
- Accelerometer sensor
- Turn-to-mute
- Gesture control
- 3.5mm jack
- Loudspeaker
- MP3/AAC+ player
- Organizer
- Voice memo
- Fitness applications
- Pedometer
- Stopwatch
- MotoID music recognition
- Push-to-Talk
- Predictive text input
- Calendar
- Alarm
Battery

Stand-by
Talk time
Standard battery, Li-Ion 910 mAh
Up to 300 h (2G)/300 h (3G)
Up to 8 h (2G)/3 h 30 min (3G)

Image: http://www.mobile-price.in/2011/07/04/motorola-w7-active-edition-price-india/

Guntang (Bali)

Guntang adalah salah satu dari nama instrumen barungan gambelan untuk mengiringi tari Arja. Meskipun sekarang ada kecenderungan tari Arja itu diiringi dengan barungan gong Kebyar, namun untuk memberikan suasana yang khas pada ketradisionalan tari Arja masih tetap dipergunakan barungan gambelan “Geguntangan”. Diberi nama demikian sebab guntang itu merupakan instrumen pokok yang sangat penting di samping instrumen-instrumen lainnya seperti suling, kendang, klenang dan cengceng.

Di samping itu guntang bila dipukul tidak menyuarakan nada tertentu seperti instrumen-instrumen lainnya, baik termasuk laras pelog maupun selendro. Sebab dalam barungan gamblengan geguntangan melodi dipegang oleh suling, sedangkan guntang sebagai pemegang mat dan penanda akhir suatu bagian lagu. Dilihat dari fungsinya guntang ada dua macam, yaitu: pertama guntang kajar atau pemegang mat, bernada tinggi. Kedua guntang wadon berfungsi sebagai kempur atau penanda akhir suatu bagian lagu, yang bernada lebih rendah dari guntang lanang. Pukulan guntang wadon lebih jarang yaitu empat kali pukulan lanang sama dengan satu kali pukulan wadon.

Meskipun tidak mendukung nada tertentu, getaran suaranya yang empuk dan lembut memberikan suasana yang khas baik kepada barungan geguntangan itu sendiri maupun pementasan tari Arjanya. Terutama pada saat instrumen-instrumen lainnya dihentikan sesaat, dan dalam suasana pementasan sedih atau sentimential, maka suara guntang memberi irama sahdu.

Bahan untuk guntang adalah bambu “petung” yang agak besar, lebih besar dari ukuran terbesar bambu untuk membuat gerantang Joged Bungbung. Guntang Lanang mempunyai ukuran panjang silinder dan garis tengah lingkaran penampangnya masing-masing 40 cm dan 10 cm. Sedangkan guntang wadon masing-masing 60 cm dan 15 cm. berbeda dengan gambelan bambu lainnya guntang dibuat dari seruas bambu dengan kedua penampangnya masih tertutup oleh buku-buku ruas.

Tahap pertama dibersihkan dengan air, digosok dengan sabut kelapa dicampur pasir sampai kulitnya halus. Setelah kering, yang mula-mula dikerjakan adalah bagian yang berfungsi sebagai senar. Biasanya bahan untuk senarnya itu tidak diambil dari bahan lain tetapi dari kulitnya sendiri. Caranya yaitu dengan membuat potongan melintang dengan lebar kira-kira dua cm, kemudian diangkat dengan memberikan ganjalan di bagian ujung kanan dan ujung kiri buku ruas bambu. Memotongnya harus hati-hati jangan sampai terlalu dalam hingga membuat lubang pada bambu. Potongan atau irisan yang lebarnya dua cm itu dihaluskan dan dibuat lurus, hingga apabila sudah selesai lebarnya tinggal satu cm saja. Untuk menjaga supaya irisan tersebut tidak terlepas, maka di kedua ujungnya kiri dan kanan, yang berjarak kira-kira lima cm dari batas ruas buku, diikat atau dijepit dengan benda agak keras kemudian dipaku.

Selanjutnya untuk membuat supaya resonansi udara dalam batangan bambu bisa keluar, pada titik yang berjarak setengah bagian panjang bambu dan tepat di bawah senar dibuat irisan lubang bundar bergaris tengah dua cm. Atau irisan itu bisa pula berbentuk segi empat ataupun segitiga. Setelah lubang itu selesati, tepat diatasnya dibuatkan irisan kayu pipih yang berbentuk segilima atau segienam agak memanjang dan ditempelkan pada senar tersebut yang disebut “palayah”. Gunanya adalah untuk mengatur getaran udara yang keluar dari lubang bambu. Disamping berdasarkan ukuran batangan bambu, tinggi rendah suara guntang ditentukan oleh kencang kendornya senar bambu tersebut. Untuk membuat suara guntang lebih mengalun, maka pada tengah-tengah penampang buku ruas guntang di sebelah kiri ditinjau dari posisi waktu kita membunyikannya, dibuat lubang melingkar dengan garis tengah kurang lebih dua cm. Hembusan udaranya diatur oleh telapak tangan kiri.

Alat pemukul atau “panggulanya” dibuat dari batangan bambu atau kayu bundar sepanjang kira-kira 25 cm dan garis tengah penampangnya satu cm. Pada bagian ujungnya yang akan dipukulkan mengenai senar dibalut dengan kain atau benda lunak lainnya. Pukulan tidak boleh mengenai palayah, atau memukul terlalu keras sehingga palayah bersentuhan dengan batang bambu.

Posisi memukul guntang adalah dengan bersila dan memangkunya. Tangan kanan memegang panggul, sedang telapak tangan kiri menempel pada penampang buku ruas sebelah kiri tepat pada lubang tadi.

Sumber:
Triguna, Ida Bagus Gde Yudha, dkk,. 1994. Peralatan Hiburan dan Kesenian Tradisional Bali. Denpasar: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sony Ericsson T707

Specifications
General
Network
GSM 850 / 900 / 1800 / 1900
HSDPA 2100
Size
Dimensions
Weight
Display
93 x 50 x 14.1 mm
95 g
TFT, 256k colors
240 x 320 pixels, 2.2 inches
Memory
Phonebook
Call records
Internal
Card slot
1000 contacts, Photo call
30 received, dialed and missed calls
100 MB internal memory
Memory Stick Micro (M2), up to 16GB
Data
GPRS
HSCSD
EDGE
3G
WLAN
Bluetooth
Infrared port
USB
Class 10 (4+1/3+2 slots), 32 - 48 kbps
Yes
Class 10, 236.8 kbps
HSDPA
None
v2.0 with A2DP
None
V2.0 microUSB
Features
OS
CPU
Messaging
Ringtones
Browser
Radio
GPS
Games
Camera
Video
Colors
Java
-
-
SMS (threaded view), MMS, Email, Push Email
Polyphonic, MP3, AAC
WAP 2.0/xHTML, HTML
Stereo FM radio with RDS
None
Yes + downloadable
3.15 MP, 2048x1536 pixels
QVGA@15fps, video light
Mysterious Black, Spring Rose, Lucid Blue, Lime Forest
JavaMIDP2.1
- 3.5 mm headset jack
- MP3/AAC player
- Calendar
- Calculator
- Alarm
Battery

Stand-by
Talk time
Standard battery
Up to 400 h
Up to 4 h

Image:
http://atrikaorvladya.wordpress.com

Motorola E8

Specifications
General
Network
GSM 850 / 900 / 1800 / 1900
Size
Dimensions
Weight
Display
115 x 53 x 10.6 mm
100 g
TFT, 256k colors
320 x 240 pixels, 2.0 inches
Memory
Phonebook
Call records
Internal
Card slot
Yes, Photocall
Call Records 50 dialed,received,missed calls
2 GB internal memory
microSD (TransFlash)
Data
GPRS
HSCSD
EDGE
3G
WLAN
Bluetooth
Infrared port
USB
Class 12 (4+1/3+2/2+3/1+4 slots), 32 - 48 kbps
None
Class 12
None
None
v2.0 with A2DP
None
V2.0 microUSB
Features
OS
CPU
Messaging
Ringtones
Browser
Radio
GPS
Games
Camera
Video
Colors
Java
-
-
SMS, EMS, MMS, Email, Instant Messaging
Polyphonic, MP3, AAC
WAP 2.0/xHTML, HTML
Stereo FM radio
-
Yes
2.0 megapixel camera, 8x digital zoom
-
Black
JavaMIDP2.1
- Touch-sensitive keypad
- Navigation scroll wheel
- 3.5 mm headset jack
- MP3/AAC player
- Calendar
- Calculator
- Alarm
- Built-in handsfree
Battery

Stand-by
Talk time
Standard battery, Li-Ion 970 mAh (BK60)
Up to 300 h
Up to 5 h

Image:
http://www.unwiredview.com

Sekilas Pengenalan Ajaran “Gerak Langkah” serta Peran Serta Paguyuban Sukoreno dalam Membangun Bangsa

Oleh M. Hardjo Soedarjono, S.H., M.Kn

I. Pendahuluan
Untuk membangun bangsa Indonesia sesuai cita-cita perjuangan bangsa Indonesia yakni mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur serta memajukan kesejahteraan umum dilaksanakan melalui pembangunan berbagai aspek. Salah satu aspek yang dipandang mempunyai kontribusi cukup besar dalam membangun bangsa adalah melalui aspek kebudayaan.

Penjelasan Pasal 32 Undang Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa kebudayaan bangsa adalah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia seluruhnya, termasuk kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa usaha kebudayaan harus menuju kemajuan adab, budaya, dan persatuan, memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.

Dari penjelasan ini maka dapat disimpulkan bahwa aspek pembangunan kebudayaan merupakan salah satu aspek yang cukup strategis bagi pembangunan bangsa Indonesia secara keseluruhan.

Diketahui bahwa budaya atau kebudayaan lahir dan mewujud sebagai hasil dari karya cipta, rasa dan karsanya manusia. Dengan demikian wujud dari kebudayaan meliputi berbagai aspek kehidupan manusia. Dan dengan maksud hanya untuk menyederhanakan pengklasifikasian dari kebudayaan-kebudayaan tersebut, maka kebudayaan dapat diklasifikasikan atau dibedakan antara kebudayaan lahiriyah dan Kebudayaan Batiniyah/Spiritual. Secara gampangnya Kebudayaan Lahiriyah dimaksudkan sebagai kebudayaan yang ada wujud lahiriyahnya sehingga dapat dilihat, diraba maupun didengar, dan pada umumnya bersifat bendawi dan atau ragawi, misalnya bangunan, kesenian (lukisan, tari, musik, dsb), adat istiadat atau tradisi, dll. Sebaliknya Kebudayaan Batiniyah/Spiritual adalah kebudayaan yang tidak ada wujud lahiriyahnya sehingga tidak dapat dilihat, diraba maupun didengar akan tetapi dapat dirasakan. Salah satu dari produk Budaya Spiritual/Batiniyah adalah berupa ajaran-ajaran luhur penghayat terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Di berbagai daerah di Indonesia banyak terdapat paguyuban atau organisasi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang pada umumnya bervisi melestarikan dan mengembangkan ajaran luhur kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang salah satunya adalah Paguyuban Sukoreno. Secara umum masing-masing warganya diharapkan mengetahui dan sadar secara lahir batin akan keberadaannya sebagai makhluk Tuhan (“Kawulaning Pangeran”) yang mengemban dan wajib melaksanakan kewajiban-kewajibannya di dunia dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa. Ajaran budi luhur sebagai ajaran sikap perilakunya manusia dalam hubungannya dengan sesama merupakan salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai bentuk “panembah” kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Dari uraian tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa peran sertanya semua paguyuban penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam membangun bangsa Indonesia adalah diujudkan memberi kontribusi bagi pembangunan bangsa Indonesia melalui pelestarian serta pengembangan juga pengamalan Budaya Spiritual ajaran luhur kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai bagian dari kebudayaan bangsa Indonesia, khususnya untuk membentuk pribadi-pribadi yang berbudi luhur dan memberikan keteladanan bagi sesamanya.

II. Sekilas Ajaran Luhur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dari Paguyuban Sukoreno
Secara garis besar ajaran luhur terhadap Tuhan Yang Maha Esa dari Paguyuban Sukoreno dapat diketahui dari makna maupun filosofi lambang Paguyuban Sukoreno yang dari ujudnya terdiri dari gambar Gunungan, di dalamnya (atas) terdapat tulisan (dalam huruf Jawa) berbunyi Pakempalan Guyub Rukun Lahir Batin, di tengah-tengahnya ada gambar berujud Keris Berluk Sembilan, gambar Rumah Joglo dengan Pintu Terbuka dan di bawahnya ada tulisan Jawa berbunyi Sukoreno, serta tulisan angka 10-10-1954.

Makna ataupun filosofinya dari gambar-gambar tersebut sejatinya adalah mengandung makna pokok-pokok ajaran luhur kepenghayatan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sbb :

a. Gunungan, adalah merupakan simbol dari “Jagad Gedhe” (alam semesta) maupun simbol dari “Jagad Cilik”. Menurut ajaran kepenghayatan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (selanjutnya disebut ajaran kepercayaan), bahwa setiap manusia juga mempunyai “Jagad Cilik” yang terdapat pada dalam diri pribadinya atau batin manusia, dimana di dalamnya juga penuh dengan dinamika dan perubahan sebagaimana yang selalu terjadi dalam alam semesta (Jagad Gedhe) ini. Dalam “Jagad Cilik”nya setiap manusia diyakini terdapat “Rasa Sejati” yang merupakan pancaran dari Tuhan Yang Maha Esa, serta beberapa piranti batin berupa “Pikiran”, “Penggalih”, serta “Rasa”. Perubahan “obah mooosiking jagad gedhe” ditentukan oleh kondisi piranti “Pikiran, Penggalih dan Rasa”. Diyakini bahwa “Rasa Sejati” sebagai pancaran dari Tuhan Yang Maha Esa, maka di dalam ajaran diwajibkan kepada setiap manusia untuk selalu mendekat kepada “Rasa Sejati”nya masing-masing yaitu dengan jalan mengkondisikan piranti pikiran, penggalih, dan rasa sesuai kehendak Tuhan Yang Maha Esa, yaitu piranti “Pikiran” agar selalu “Wening” (jernih), artinya pikiran kita masing-masing jangan digunakan untuk memikirkan hal-hal duniawi yang dapat mengakibatkan tidak jernihnya pikiran, misal pikiran bingung, kalut, judheg karena sesuatu hal, dsb. Juga “Penggalih” agar selalu dikondisikan “Padhang” (terang). Kebalikannya terang adalah gelap. Maka jangan menimbulkan hal-hal yang dapat menjadikan gelapnya “Penggalih”, seperti stress, susah, dsb. Sedangkan piranti “Rasa” agar selalu “Resik” (bersih), artinya kita mempunyai “Rasa” jangan sampai digunakan untuk merasakan hal-hal yang dapat mengotori rasa, seperti merasakan berbagai macam persoalan yang menjadikan pikiran bingung, susah, dsb.

Kondisi “Pikiran Wening”, “Penggalih Padhang”, serta “Rasa Resik” sangat ditentukan oleh panca indriya. Ketidakmampuan mengendalikan pancaindriya (mata, telinga, hidung, perasa) akan sangat berakibat pada kemapanan ketiga piranti tersebut, dengan demikian manusia tidak akan bisa mendekat pada “Rasa Sejati” yang diyakini dapat menangkap kehendak dari Tuhan Yang Maha Esa.

Untuk mengendalikan kondisi ketiga piranti di atas agar selalu “Wening Padhang Resik”, diajarkan setiap manusia diwajibkan oleh Tuhan Yang Maha Esa secara lahir batin agar selalu dan dapat melakukan “Lampah Kautamen/Kabecikan” (perilaku budi luhur/keutamaan/kebaikan), “Lampah Kebatosan” (Laku Kebatinan), dan “Lampah Kendel” (Laku Diam). Lampah Kautamen seperti perilaku mementingkan keguyuprukunan antar sesama, kejujuran, kegotongroyongan, penghormatan pada sesama, suka memberi pertolongan yang tanpa pamrih, sopan santun, tidak menyakiti hati pada sesama, berani “ngalah” yang tidak berarti kalah, sikap mengayomi, dsb. Sedangkan “Lampah Kebatosan” pada intinya diartikan sebagai kewajiban setiap manusia untuk selalu “manembah” (menyembah) kepada Tuhan Yang Maha Esa baik secara Panembah Lahir maupun Panembah Batin. Melaksanakan “Lampah Kautamen” dan “Lampah Kebatosan” jika dilakukan dengan niat dalam rangka “manembah” kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah merupakan “Panembah Lahir”. Sedangkan “Panembah Batin” dilakukan melalui “pasujudan”, “pamunjukan”, atau “semedi” pada saat-saat tertentu.

b. Tulisan Jawa berbunyi Pakempalan Guyub Rukun Lahir Batin, adalah mengandung ajaran bahwa setiap pribadi diwajibkan untuk dapat mewujudkan “kumpuling” atau “guyubing lahir batin”. Artinya, apabila seseorang dapat mengendalikan ketiga piranti batin dalam kondisi “Pikiran Wening, Penggalih Padhang, serta Rasa Resik” (disebut sebagai “guyubing batin” atau keselarasan batin) maka dapat dipastikan sikap perilaku kesehariannya menunjukkan sifat-sifat yang serba mementingkan keutamaan, kebaikan, keluhuran budi, kewelasasihan, kesabaran, “tepa selira”, “sareh”, “pikoleh”, “ngrumangsani”, dsb. Sikap perilaku demikianlah yang akan membentuk ketenteraman hidup bagi diri pribadi, keluarga, maupun dalam pergaulan hidup di masyarakat (disebut juga “guyubing lahir”). Pelaksanaan dari kesemuanya ini sejatinya merupakan aplikasi dari ajaran “Lampah Kautamen” sekaligus “Lampah Kebatosan”.

c. Tulisan (Jawa) berbunyi Sukoreno, adalah juga mengandung ajaran luhur dimana kata Sukoreno terdiri dari kata “suko”, yang diartikan sebagai “weweh” (memberi), sedangkan “reno” diartikan sebagai “karenan” (kegembiraan, kebahagiaan, atau sejatinya maksud adalah “pepadhang”). Jadi kata “Sukoreno” mengandung ajaran luhur bahwa seseorang sebagai hamba Tuhan diwajibkan agar selalu dapat memberikan “pepadhang” kepada semua makhluk Tuhan Yang Maha Esa, seperti memberi kelegaan rasa, kewelasasihan, keikhlasan, cinta damai, dapat “ngudhari karuwetaning liyan”, menghormati sesamanya tanpa pandang bulu, dsb. Sedangkan tulisan Jawa angka 10-10-1954 hanyalah merupakan peringatan pada tanggal bulan dan tahun saat secara resmi dinyatakan berdirinya Paguyuban Sukoreno oleh para Sesepuh-sesepuh pendahulu beserta para warganya saat itu.

d. Gambar keris, adalah simbol dari ilmu pengetahuan spiritual atau pengertian ajaran luhur spiritual kepenghayatan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Adapun “Keris Berluk Sembilan” memberikan pengertian bahwa setiap pribadi manusia sebagai penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam melakukan kewajiban “manembah batin” kepada Tuhan Yang Maha Esa melalui “pasujudan” atau “pamunjukan” atau “samadi” itu ada sembilan tingkatan. Tingkatan ini mengajarkan tentang seberapa jauh kualitas seseorang dalam melakukan “pamunjukan”. Kualitas tertinggi ada pada tataran kesembilan, dimana diajarkan bahwa pada tingkat itu seseorang dapat “manunggal” dengan “Rasa Sejati”nya, yang disebut juga dengan istilah “manunggaling Kawula Gusti”, sehingga pada tataran ini dimungkinkan seseorang tersebut dapat menerima kehendak atau “dhawuh” atau petunjuk langsung dari Tuhan Yang Maha Esa. Akan tetapi menurut para Sesepuh untuk mencapai tingkatan tertinggi ini adalah sangat sangat teramat sulit.

e. Gambar Rumah Joglo, merupakan penggambaran dari tempat bersemayamnya (“palenggahan”) dari “Rasa Sejati” yang ada di dalam setiap pribadi manusia yang diyakini merupakan pancaran dari keberadaan Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan Rumah Joglo dengan pintu terbuka adalah merupakan gambaran yang jika setiap manusia dalam menjalankan “pamunjukan” atau samadi benar-benar dapat sampai ke tingkat kualitas tertinggi yaitu tingkat sembilan, maka ini merupakan kunci pembuka pintu untuk dapat manunggal dengan “Rasa Sejati”nya.

III. Gerak Langkah dan Peran Serta Dalam Membangun Bangsa
Membangun bangsa sebagai bagian dari pembangunan nasional untuk menuju segera terwujudnya masyarakat adil makmur serta sejahtera jelas merupakan tanggung jawab seluruh masyarakat Indonesia tanpa kecuali. Dengan demikian Paguyuban Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai komponen bangsa sudah sangat semestinya dan bahkan wajib hukumnya untuk ikut berperan serta.

Peran serta yang teraplikasi dalam gerak dan langkah Paguyuban Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang cukup strategis sesuai sifatnya paguyuban penghayat tidak lain adalah ikut membentuk pribadi-pribadi berbudi luhur melalui pelestarian, pengembangan, dan pengamalan ajaran-ajaran luhur kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai bagian dari budaya nasional. Dengan terbentuknya prbadi-pribadi luhur tersebut maka dengan sendirinya akan memberikan kontribusi cukup berarti bagi terwujudnya kerukunan hidup bermasyarakat yang menjadi salah satu landasan percepatan pembangunan nasional secara keseluruhan.

Demikian sedikit uraian mengenai ajaran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai budaya spiritual dari Paguyuban Sukoreno Rahayu, Rahayu, Rahayu.

Sumber:
Makalah disampaikan dalam Dialog Budaya Spiritual DIY di Wisma PU Yogyakarta, 29-30 Juni 2009 yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta.

Pepaga (Bali)

Pepaga biasanya dapat dibuat oleh setiap orang dewasa. Jadi tidak mutlak dikerjakan oleh orang-orang tertentu saja.

Pepaga di dalam teater tradisional Calonarang adalah memiliki fungsi praktis dan estetis. Fungsi praktisnya adalah sebagai alat yang mudah dikerjakan dan praktis juga sebagai alat pengusungan mayat-mayatan. Sedangkan fungsi estetisnya adalah terlihat pada bentuk dan hiasan dari pepaga yang sesuai dan serasi dengan suasana episode cerita yang ditampilkan.

Dalam teater tradisional Calonarang, pepaga ini dipakai pada saat episode yang menceritakan upacara penguburan mayat.

Pepaga dipakai sebagai alat untuk mengusung mayat ke kuburan oleh beberapa pemain (empat orang pemain) yang berperan sebagai anggota masyarakat yang tertimpa kematian.

Penggunaan pepaga baik di dalam teater Calonarang maupun di dalam upacara kematian yang sebenarnya masih tetap dipakai dan berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat. Sebagai contoh perkembangan pepaga ini dapat dikemukakan misalnya di daerah-daerah tertentu khususnya di kota-kota. Pepaga tidak semata-mata dibuat dari bambu tetapi juga dibuat dari bahan kayu dengan hiasan yang beraneka ragam (memakai kertas emas, kertas minyak dan beberapa cat pewarna).

Sumber:
Triguna, Ida Bagus Gde Yudha, dkk,. 1994. Peralatan Hiburan dan Kesenian Tradisional Bali. Denpasar: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Gulai Daun Labu

Bahan
1000 ml santan encer dari 1 btr kelapa
250 gr daging sandung lamur potong 2 x 2 x 2 cm
2 btg serai ambil bagian putihnya, memarkan
1 helai daun kunyit
500 gr daun labu segar, siangi, potong 3 cm

Haluskan
10 bh bawang merah
3 siung bawang putih
10 bh cabai merah
4 cm kunyit
1 sdt garam
1 sdt gula pasir

Cara membuat
Masak santan cair bersama daging, bumbu halus, serai, daun kunyit, hingga daging empuk.

Tambahkan santan kental, aduk-aduk supaya santan tidak pecah, kecilkan apinya, masak hingga kuah mengental.

Sebelum diangkat masukkan daun labu, masak hingga daun labu matang.

Untuk 4 orang

Sumber: http://www.tabloidnova.com

Balado Kering Teri Tawar

Bahan
250 gr ikan teri tawar, buang kepalanya
minyak untuk menggoreng
2 lbr daun salam

Haluskan
50 gr cabai merah keriting
7 bh bawang merah
4 siung bawang putih
½ sdt garam

Cara Membuat
Goreng ikan teri sampai kering dan renyah di atas api kecil, sisihkan.

Panaskan 3 sdm minyak goreng, tumis bumbu halus dan daun salam sampai matang sambil diaduk-aduk. Angkat, dinginkan.

Masukkan teri tawar yang sudah dingin, aduk rata.

Sumber: http://www.tabloidnova.com

Pewarisan pada Masyarakat Rejang di Bengkulu

Harta-Waris
Pada masyarakat yang berada di suatu daerah, terutama yang telah dipengaruhi Islam atau yang telah memeluk agama Islam, pada umumnya memiliki sistem hukum-waris yang mengacu kepada agamanya. Namun karena setiap daerah juga mempunyai kebudayaan yang mereka tumbuh-kembangkan sendiri, maka sistem hukum-warisnya pun berbeda-beda. Masyarakat Melayu yang sebagian besar beragama Islam mempunyai sistem pewarisan yang dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu: (1) sistem pewarisan yang berdasarkan hukum Islam; (2) sistem pewarisan yang berdasarkan hukum adat setempat; dan (3) sistem pewarisan yang berasal dari proses akulturasi antara hukum Islam dan hukum adat setempat. Dalam sebuah keluarga Melayu, baik yang mempunyai keturunan maupun tidak, pada akhirnya dihadapkan pada persoalan harta-benda yang dimilikinya (harta-waris), baik karena kematian orang tua (bapak, ibu, kakek, nenek), maupun karena perceraian.

Sistem pewarisan pada masyarakat Rejang1 yang tinggal di Provinsi Bengkulu dalam tulisan ini menyangkut masalah benda warisan, pewaris atau ahli waris dan norma-norma adat yang mengatur pembagian warisan. Masyarakat Rejang membedakan hak-waris ke dalam dua kategori, yakni: hak sorang dan hak suwarang. Sistem pewarisan kedua hak-waris tersebut adalah sebagai berikut.

Harta-waris yang disebut sebagai hak sorang adalah harta benda seorang laki-laki atau perempuan sebelum ia kawin, baik berupa hasil jerih payahnya sendiri maupun berupa pemberian atau peninggalan orang tua yang diturunkan (diberikan) kepadanya. Demikian seterusnya.

Harta-waris yang disebut sebagai hak suwarang adalah harta benda yang berasal dari hasil jerih payah suami isteri sesudah mereka kawin. Meskipun harta benda yang dimiliki berasal dari hak sorang, apabila telah kawin hasilnya menjadi milik bersama atau menjadi hak suwarang. Misalnya, sawah dan atau ladang bawaan adalah hak sorang, tetapi hasil dari jerih payah mereka menggarapnya adalah hak suwarang.

Sistem Pewarisan
Apabila terjadi perceraian hidup (soak) dan tanpa dikaruniai anak, maka hak sorang akan diambil orang masing-masing pihak dan hak suwarang akan dibagi sama rata. Namun, apabila salah satu meninggal dunia, maka hak sorang dan hak suwarang tersebut akan dikembalikan kepada keluarganya. Dalam pembagian tersebut berlaku ketentuan adat yaitu, hak sorang berpulang dan hak suwarang berbagi. Makna dari pepatah ini adalah harta yang menjadi hak sorang akan dikembalikan pada masing-masing pihak, sedangkan harta yang didapatkan ketika sudah menikah akan dibagi sama banyak antara suami dan isteri. Pepatah di atas memang berlaku tetapi dalam beberapa hal saja, misalnya bagi suami-isteri yang setelah menikah memilih adat menetap menurut asen semendo rajo-rajo2.

Apabila keduanya masih hidup dan kemudian bercerai tetapi telah memiliki anak, maka hak sorang dan hak suwarang yang diambil tersebut nantinya akan diserahkan kepada anak-anaknya. Namun apabila perceraian terjadi karena salah seorang meninggal dunia, maka hak sorang jatuh kepada anak, dan hak suwarang dikuasai oleh yang masih hidup. Harta peninggalan baik yang berasal dari sorang maupun suwarang lama-kelamaan akan menjadi harta pusaka, dan apabila kedua orang tua telah meninggal, maka harta pusaka tersebut dibagi ke seluruh ahli warisnya (anak, orang tua, cucu, saudara kandung, saudara ayah dan ibu dan saudara sepupu).

Hukum Waris
Pembagian harta-waris pada masyarakat Rejang sangat erat kaitannya dengan sistem yang digunakan untuk menentukan jumlah warisan yang diterima seorang pewaris. Ada dua sistem yang berkenaan dengan pembagian harta-waris, yaitu agiak lai dan agiak titik. Agiak lai (pembagian besar) diterima oleh anak-anak pewaris, sedangkan agiak titik (pembagian kecil) diterima oleh cucu-cucunya. Misalnya, ada harta pusaka yang dipelihara bersama berupa pohon buah-buahan dan tebat (kolam) ikan. Hasilnya dibagi rata dahulu sebelum diserahkan kepada ahli waris pertama yang setingkat (anak-anaknya). Dalam pembagian tersebut, baik ahli waris laki-laki maupun perempuan akan mendapat jumlah bagian yang sama banyaknya. Ini artinya, sistem pembagian harta-waris pada masyarakat Rejang tidak mengenal adanya perbedaan gender. Sedangkan apabila salah satu ahli waris itu telah meninggal pula dan ia mempunyai anak, maka anak-anaknya berbagi lagi dari bagian orang tua mereka. Pembagian inilah yang disebut agiak titik atau pembagian kecil.

Sebagai catatan, menurut adat yang berlaku, urut-urutan pembagian harta-waris apabila seseorang meninggal, ahli waris yang pertama adalah suami atau isteri kemudian baru anak-anak. Jika tidak mempunyai anak dan isteri lagi dan masih mempunyai orang tua maka hak waris jatuh kepada orang tua, dan bila orang tua pun tiada lagi, maka hak waris jatuh kepada saudara sekandung yang tinggal dalam lingkungan keluarga asalnya. Apabila saudara sekandung pun juga sudah tidak ada lagi, maka harta warisan akan jatuh pada saudara ayah atau ibu dan saudara sepupu. Namun di dalam prakteknya harta warisan ini tidak pernah dibagi sebegitu jauh, sebab biasanya hanya sampai pada suami atau isteri, anak, orang tua, cucu dan saudara kandung.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hukum waris yang dianut oleh masyarakat Rejang adalah hukum adat yang mereka tumbuh-kembangkan.

Sumber:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1979. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Bengkulu. Bengkulu: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
http://www.tamanmini.com
http://www.wikipedia.org
__________________
1. Suku bangsa Rejang adalah salah satu etnik tertua di Pulau Sumatera. Etnik ini sebagian besar berada di Provinsi Bengkulu, khususnya di Kabupaten Bengkulu Utara, Lebong dan Rejang Lebong. (www.wikipedia.org)

2. Semendo rajo-rajo adalah adat menetap sesudah menikah yang boleh memilih untuk tinggal di keluarga suami atau isteri atau kedua-duanya (bilokal). Adat ini biasanya ditetapkan sebelum perkawinan dilaksanakan. Selain adat semendo rajo-rajo, terdapat dua adat lain sesudah menikah, yaitu asen beleketasen semendo. Asen beleket adalah adat menetap sesudah menikah di keluarga suami (patrilokal), sedangkan asen semendo adalah adat menetap sesudah menikah di keluarga isteri (matrilokal). www.tamanmini.com

Bakwan Otak-Otak

Bahan
4 bh otak-otak ikan, potong-potong
1 btg daun bawang, potong-potong
100 gr taoge
1 btr telur, kocok lepas
100 gr tepung terigu
100 ml air
1 sdt garam
minyak untuk menggoreng

Haluskan
3 siung bawang putih
1 sdt ketumbar

Cara Membuat
Aduk rata semua bahan.

Sendokkan adonan ke dalam minyak panas, goreng hingga berwarna kuning kecokelatan.

Angkat, hidangkan panas-panas dengan cabai rawit.

Untuk 5 orang

Resep: Erwin Kuditawati

Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Keraton Surosowan

Archive