Sersan Darmin

Pengantar
Sawangan adalah salah satu kecamatan yang secara administratif termasuk dalam wilayah Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Secara geografis daerahnya berada di dataran tinggi (pegunungan). Daerah yang tertinggi mencapai 1.150 meter dari permukaan air laut, sedang yang terendah berada pada ketinggian 237 meter dari permukaan air laut. Keadaan geografis yang demikian ditambah dengan keadaan tanahnya yang subur (surplus) serta sikap masyarakatnya yang ramah, bersahabat dan mendukung para pejuang dalam mempertahankan kemerdekaan. Hal ini membuat daerah tersebut, di masa lalu tidak hanya sangat strategis tetapi potensial dan menguntungkan. Oleh karena itu, Kecamatan Sawangan sangat tepat untuk dijadikan sebagai daerah pertahanan dan sekaligus persiapan dan perencanaan dalam melancarkan perlawanan terhadap pasukan Belanda. Untuk itu, tidak mengherankan jika daerah Sawangan kemudian dijadikan sebagai basis para gerilyawan. Malahan, tidak hanya sekedar sebagai basis tetapi sekaligus juga sebagai daerah pengungsian bagi masyarakat sekitarnya. Artikel ini akan mencoba mengetengahkan suatu peristiwa kesejarahan yang terjadi di Kecamatan Sawangan (“Peristiwa Sawangan”) yang membawa korban seorang sersan bernama Darmin.

Latarbelakang Kesejarahan
Sawangan dalam percaturan kesejarahan, baik dalam memperjuangkan maupun mempertahankan kemerdekaan mempunyai andil yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Di masa lalu ketika Pangeran Diponegoro melakukan perlawanan secara fisik terhadap Belanda (Perang Diponegoro 1825-1830) daerahnya pernah menjadi salah satu basis pertahanan. Bahkan, sebelumnya (pada akhir abad ke-18) masyarakatnya telah menunjukkan adanya perlawanan terhadap Belanda. Hal itu tercermin dari adanya gerakan-gerakan rakyat yang didukung oleh para pamong desa (lurah). Mereka mendirikan perkumpulan yang bernama “Rukun Agawe Sentosa” (RAS). Ini artinya, masyarakat Sawangan menyadari bahwa melawan penjajah tidak mungkin dilakukan secara perorangan tetapi diperlukan persatuan dan kesatuan sesuai dengan semboyan yang mengatakan bahwa “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”. Jadi, ketika itu sudah ada gerakan rakyat yang menentang perluasan perkebunan (teh dan kopi) Belanda serta perluasan vila-vila ke daerah Sawangan. Selain itu, para lurah juga mendemo Asisten Wedana yang bertingkah laku ke-Belanda-belandaan dan merugikan rakyat.

Di awal kemerdekaan Sawangan tidak hanya dijadikan sebagai basis kota Magelang di bidang pertempuran dan gudang penyimpanan senjata serta amunisi hasil rampasan dari tentara Jepang, serta rumah tahanan bangsa kita yang menjilat Jepang. Akan tetapi, juga sebagai basis pemuda yang setiap saat siap menunggu komando dari Magelang. Ini artinya, bahwa Sawangan tidak hanya sekedar bagian administrasi dari Kabupaten Magelang, tetapi karena perannya yang demikian berarti dalam pencapaian dan pertahanan kemerdekaan, maka ditetapkan sebagai “daerah juang” setelah Magelang. Oleh karena itu, Sawangan bagi Belanda dianggap sebagai daerah rawan. Apalagi, pada masa Perang Kemerdekaan II menjadi basis para gerilyawan. Untuk itu, berkali-kali Belanda melakukan penyerangan ke Sawangan.

Serangan yang pertama dilakukan oleh Belanda yang bermarkas di Muntilan. Mereka menyerang Sawangan melalui Gondowangi. Serangan kedua juga melalui Gondowangi. Dalam serangan yang kedua ini seorang gerilyawan tewas. Serangan ketiga juga dilakukan melalui Gondowangi. Dalam serangan ini tentara Belanda banyak yang tewas. Oleh karena itu, Belanda membakar balai desa dan rumah-rumah yang ditempati oleh para gerilyawan1.

Oleh karena dalam serangan yang ketiga Belanda banyak mengalami korban, maka pada serangan keempat tidak hanya dilakukan oleh Belanda yang bermarkas di Muntilan saja, tetapi mereka bergabung dengan Belanda yang bermarkas di Magelang. Mereka bergerak dari Blabag menuju Sawangan. Dalam serangan ini mereka mendapat perlawanan yang sengit dari pasukan gerilyawan. Di Desa Treko Sawangan, mereka menembak mati seorang penduduk. Di Desa Gerdu Sawangan mereka menembak lima orang yang diantaranya adalah empat orang wanita yang tidak mau dilanggar kehormatannya2. Korban pun berjatuhan dari kedua belah pihak. Oleh karena itu, Belanda mengamuk dengan membakari rumah-rumah penduduk. Abdullah Singaatmadja menyebutkan sedikitnya ada 48 rumah penduduk yang dibakar oleh pasukan Belanda. Di mana-mana terlihat api yang berkobaran dan asap tebal menyelimuti langit Sawangan, sehingga Sawangan ketika itu bagaikan lautan api3.

Melihat begitu banyaknya perumahan penduduk yang terbakar, para tentara kita tidak hanya tinggal diam. Mereka berusaha untuk membalaskan penderitaan rakyat yang tidak berdosa. Untuk itu, mereka melakukan serangan balik ke markas-markas Belanda yang ada di Muntilan. Penyerangan balik ini dilakukan pada malam hari. Sebab, jika dilakukan pada siang hari dapat dengan mudah diketahui oleh pasukan Belanda. Lagi pula, peralatan perang yang dimiliki oleh pasukan kita tidak secanggih peralatan perang yang dimiliki oleh pasukan Belanda, sehingga mudah dipatahkan. Dalam penyerangan yang dilakukan pada malam hari itu seorang yang berpangkat letnan gugur, yaitu Letnan Tijab yang berasal dari batalyon Kresna.

Pasukan gerilyawan kehilangan seorang perwiranya dalam serangan balik itu, namun pihak pasukan Belanda juga banyak yang menjadi korban. Oleh karena itu, pihak Belanda bagaikan terbakar jenggotnya. Mereka marah dan karenanya bertekad untuk melakukan serangan balik pula. Malahan, mereka merencanakan penyerangan secara besar-besaran. Untuk itu, mereka bergabung dengan pasukan Belanda yang ada di Magelang untuk bersama-sama melakukan serangan balik. Jadi, tidak hanya pasukan Belanda yang bermarkas di Muntilan saja tetapi juga pasukan Belanda yang bermarkas di Magelang. Mereka bergabung dan bersama-sama menyerang Sawangan.

Kedudukan Sawangan sebagai basis para gerilyawan seringkali diserang oleh pasukan Belanda, terutama yang bermarkas di Muntilan. Serangan yang dilakukan oleh gabungan antara pasukan Belanda yang ada di Muntilan dan Megelang ini merupakan serangan kelima yang dilakukan oleh pasukan Belanda terhadap Sawangan. Berbeda dengan serangan-serangan sebelumnya. Kali ini serangan yang dilakukan oleh pasukan gabungan Belanda itu bukan dari Blabag melainkan dari Piyungan. Dalam serangan ini seorang gerilyawan yang berpangkat kapten, yaitu Kapten Bandi menjadi korban (tewas) dalam pertempuran itu. Juga, tewas pula satu-satunya dokter yang dimiliki oleh para gerilyawan dan masyarakat Sawangan, yaitu Dokter Soedjono.

Tampaknya perlu diketahui bahwa Soedjono adalah seorang dokter yang aktif dalam kepalang-merahan. Beliau tidak hanya merawat dan mengobati para pejuang dan pengungsi yang terluka dan atau sakit di pos-pos palang merah. Akan tetapi, juga ikut bersama para pejuang di medan pertempuran. Ini artinya, jasa beliau sangat besar bagi bangsa Indonesia, khususnya bagi para gerilyawan, pengungsi, dan masyarakat Sawangan dan sekitarnya. Oleh karena itu, untuk mengenang jasa-jasanya namanya diabadikan sebagai nama sebuah rumah sakit yang ada di kota Magelang.

Selain beberapa nama pejuang yang gugur sebagaimana telah disebutkan di atas, ada satu nama yang sangat populer di kalangan para pejuang (gerilyawan) dan masyarakat Sawangan dalam Perang Kemerdekaan II, yaitu seorang yang berpangkat sersan yang bernama Darmin (Sersan Darmin). Ia adalah seorang pejuang yang gagah berani. Abdullah Singaatmaja4 menyebutkan bahwa ia adalah orang yang kebal terhadap peluru alias anti peluru. Konon, kekebalannya itu karena ia memiliki jimat yang hanya diketahui oleh dirinya dan orang tuanya. Walaupun demikian, ia bukan termasuk orang yang sombong. Justeru, ia orang yang rendah hati dan ramah. Oleh karena itu, ia sangat dikagumi, disegani, dan sekaligus dihormati.

Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Hadi Waluyo5. Beliau menambahkan bahwa Sersan Darmin tidak hanya populer di kalangan para penjuang dan masyarakat sekitarnya, tetapi juga di kalangan pasukan Belanda. Jadi, jika di satu sisi ia dikagumi, disegani, dan dihormati oleh para pejuang dan masyarakat sekitarnya, di sisi lain ia ditakuti oleh pasukan Belanda. Sampai-sampai Belanda mengidentikkan Sawangan adalah Sersan Darmin. Artinya, jika pasukan Belanda mendengar kata “Sawangan”, maka yang terlintas di benaknya adalah “basis gerilyawan” dan “Sersan Darmin”.

Sersan yang menjadi idola masyarakat Sawangan ini juga gugur di medan laga, yaitu ketika pasukan gabungan Belanda menyerang Sawangan. Ketika itu ada pasukan Belanda yang datang dari Wonosobo. Sebagian dari mereka ada yang masuk Sawangan dan Mangunsari. Sedangkan, sebagian lainnya masuk melalui Tirtosari dan terus menuju daerah Piyungan. Pasukan Belanda yang masuk dari Piyungan ini di luar perhitungan para gerilyawan. Artinya, para gerilyawan sama sekali tidak mengira bahwa pasukan Belanda akan menyerang dari sana. Oleh karena itu, kedatangan mereka tidak diketahui oleh para sersan yang tergabung dalam gerilyawan Sawangan, yaitu: Sersan Darmin, Sersan Dasin, dan Sersan Parwan.

Ketika itu mereka bertiga ada di dekat daerah Piyungan. Celakanya keberadaan mereka diketahui oleh pasukan Belanda, sedangkan mereka bertiga tidak mengetahuinya. Oleh karena itu, ketika secara tiba-tiba pasukan Belanda memberondong dari arah belakangnya, mereka tidak dapat menghindarinya. Namun demikian, ketiga sersan itu tidak menyerah begitu saja. Mereka melakukan perlawanan, sehingga baku-tembak antara Sersan Darmin, Sersan Dasin dan Sersan Parwan di satu pihak dan pasukan Belanda di lain pihak tidak dapat dihindarkan.

“Mujur tak dapat diraih dan malang tak dapat ditolak” adalah dua ungkapan yang menurut penulis pas (tepat) untuk mengomentari apa yang menimpa pada diri ketiga sersan itu. Dalam baku-tembak itu Sersan Darmin, Sersan Dasin, dan Sersan Parwan tertembak oleh pasukan Belanda dan menemui ajalnya (tewas).

Sersan Darmin, sebagaimana disebutkan di atas, dikenal secara luas tidak hanya oleh kalangan gerilyawan, tetapi juga masyarakat Sawangan. Bahkan, menurut salah seorang saksi sejarah, Hadi Waluyo, yang turut menggotong jenazahnya ke tanah kelahirannya (Pakem), juga sangat diperhitungkan oleh Belanda. Bukan karena kegagah-beraniannya dalam pertempuran, tetapi juga karena kekebalannya (anti peluru). Semua itu karena ia memiliki jimat. Lalu, mengapa ia tertembak dan gugur?

Mengingat bahwa Sersan Darmin adalah seorang pejuang yang kebal terhadap peluru, maka pada mulanya banyak orang yang menyangsikan berita tewasnya Sersan Darmin, walaupun faktanya Sersan Darmin dan kedua sersan lainnya tertembak mati dalam pertempuran melawan pasukan Belanda di Piyungan. Beredarlah isu tentang mengapa Sersan Darmin bisa tertembus peluru dan gugur.

Masyarakat setempat menyebutkan bahwa gugurnya Sersan Darmin bermula dari kedaluwarsaan batas keampuhan jimat yang dimilikinya. Berkenaan dengan gugurnya Sersan Darmin ini Hadi Waluyo mengatakan bahwa sebenarnya orang tuanya sudah berpesan agar ia jangan pergi ke medan laga dulu karena jimat yang dimilikinya sudah tidak ampuh lagi. Dalam hal ini mestinya jimat itu harus diperbaharui (“diisi ulang”) agar keampuhannya tetap terjaga. Jadi, orang tuanya memang berancana untuk menemuinya di Sawangan. Namun, ketika ayahnya datang dengan maksud untuk “mengisi” jimat tersebut ternyata Sersan Darmin sudah keburu ada di medan laga. Oleh karena itu, ketika Belanda menembaknya dapat langsung mengenai tubuhnya dan nyawa pun tidak dipertahankan alias gugur6. Dengan gugurnya Sersan Darmin, pasukan lainya diperintahkan untuk mundur agar tidak terjadi lebih banyak korban.

Berita gugurnya Sersan Darmin membuat sedih masyarakat Sawangan. Mereka merasa kehilangan kebanggaan dan sekaligus idolanya. Pada malam harinya jenasahnya pun diambil dari tengah medan pertempuran. Kemudian, diusung oleh anak buahnya untuk dikebumikan di daerah kelahirannya, yaitu di Cangkringan, Pakem. Mereka berjalan melewati daerah pegunungan melalui kaki Merapi menuju Kecamatan Dukuh, Kecamatan Srumbung dan akhirnya masuk ke wilayah Kecamatan Cangkringan, Pakem.

Monumen Sersan Darmin
Untuk mengenang jasa-jasanya, maka tempat terjadinya pertempuran didirikan monumen agar generasi muda mengetahui semangat juangnya dalam menghadapi Belanda dan meneladani jiwa kepahlawanannya. Selanjutnya, pemerintah dalam hal ini TNI menganugerahi kenaikan pangkat satu tingkat (dari Sersan menjadi Sersan Mayor). Mengingat begitu besar jasanya terhadap bangsa dan negara, khususnya dalam mempertahankan kemerdekaan (Perang Kemerdekaan II) di daerah Sawangan, maka sampai sekarang masyarakat Sawangan masih selalu ingat akan sosok Sersan Mayor Darmin yang berjiwa patriotik, ramah kepada siapa saja, dan berjuang sampai titik darah penghabisan demi utuhnya kedaulatan bangsa Indonesia dari campur tangan pihak asing (Belanda).

Sesungguhnya monumen yang berada di Desa Piyungan tidak hanya semata-mata ditujukan bagi Sersan Darmin, tetapi juga para pejuang lainnya yang gugur di tempat itu. Sersan Darmin begitu dekat dengan masyarakat Sawangan dan sekitarnya, maka monumen itu kemudian dikenal sebagai “Monumen Sersan Darmin” atau “Monumen Piyungan” karena monumen tersebut berada di Desa Piyungan. Dari Balai Desa Sawangan, Piyungan kurang lebih jaraknya 5 kilometer ke arah barat-timur (barat laut).

Dewasa ini monumen tersebut dapat dicapai dengan mudah karena jalan yang menuju ke sana sudah merupakan jalan aspal. Jika dari kota Blabag, seseorang dapat mencapainya melalui jalan yang menghubungkan Blabag-Sawangan-Boyolali. Sebelum mencapai Desa Sawangan ada persimpangan (simpang tiga). Di persimpangan yang jaraknya kurang 5 kilometer dari kota Blabag, arah yang dimbil adalah yang menuju ke cabang Pondok Pesantren Modern Gontor (belok kiri atau ke arah utara). Dengan menyusuri jalan yang tidak begitu lebar tetapi sudah beraspal ini monumen Sersan Darmin yang berada di kanan jalan segera dapat dijumpai karena jaraknya kurang lebih hanya 3 kilometer. Jika seseorang berangkat dari Balai Desa Sawangan, maka dengan melalui jalan yang sama (Blabag-Sawangan-Boyolali) tetapi dengan arah yang berbeda (ke barat) juga setelah sampai di simpang tiga ambil yang menuju ke Cabang Pondok Pesantren Modern Gontor.

Sebagai catatan, pada umumnya jika seseorang mendengar kata “monumen” seringkali yang terlintas di benaknya adalah sebuah bangunan yang megah. Misalnya, “Monumen Yogya Kembali” (Monjali) dan “Monumen Serangan Umum”. Akan tetapi, “Monumen Sersan Darmin” yang berada di Desa Piyungan jauh sangat sederhana. Letaknya di daerah persawahan dan bangunannya tidak menonjol serta tidak ada tanda-tanda (semacam petunjuk), sehingga jika tidak memperhatikan secara seksama orang tidak mengira bahwa itu adalah sebuah monumen.

Sumber:
Sindu, Titi Suwarti. 2008. “Peranan Masyarakat Desa Sawangan, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang pada Masa Perang Kemerdekaan II 1948—1949” (Skripsi). Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).

1 Abdullah Singaatmaja. “Catatan tentang Peristiwa-peristiwa di Daerah Sawangan” (tulisan tangan). 1993.
2 A. H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia 10. Bandung: Disjarah AD dan Angkasa,1979, hlm. 57.
3 Abdullah Singaatmaja, loc.cit.
4 Ibid.
5Wawancara dengan Bapak Hadi Waluyo,tanggal 17 Juli 2008 di Sawangan.
6 Ibid
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Keraton Surosowan

Archive