Motorola RAZR2 V9x

Specifications
Motorola RAZR2 V9x
Network
2G
3G
GSM 850 / 900 / 1800 / 1900
UMTS 2100
Size
Dimensions
Weight
Display
103 x 53 x 13 mm
125 gram
TFT, 256K colors
240 x 320 pixels, 2.2 inches
Memory
Phonebook
Call records
Internal
Card slot
1000 entries, Photocall
30 dialed, 30 received, 30 missed calls
45 MB
microSD, up to 8 GB
Data
GPRS
HSCSD
EDGE
3G
WLAN
Bluetooth
Infrared port
USB
Class 10 (4+1/3+2 slots), 32 - 48 kbps


HSDPA, 3.6 Mbps

v2.0 with A2DP

v2.0 microUSB
Features
OS
CPU
Messaging
Ringtones
Browser
Radio
GPS
Games
Camera
Video
Colors
Java


SMS, EMS, MMS, Email, Instant Messaging
Vibration; Downloadable polyphonic, MP3 ringtones
WAP 2.0/xHTML, HTML (Opera 8.5)

A-GPS support; AT&T Navigator
Yes
2 MP, 1600x1200 pixels
QCIF
Black
MIDP 2.0
- Second external 256K colors, 2 inches display (240 x 320 pixels) with contextual touch interaction
- Screensavers and wallpapers
- Downloadable logos
- Loudspeaker
- Videocalling
- Video download
- MP3/AAC/AAC+ player
- Predictive text input
- Organizer
- Calendar
- Alarm
Battery

Stand-by
Talk time
Standard battery, Li-Ion 950 mAh
Up to 260 h
Up to 3 h 30 min

Image: http://cellphones.productwiki.com/motorola-razr2-v9x/

Motorola W209

Specifications
Motorola W209
Network2G
3G
GSM 900 / 1800
SizeDimensions
Weight
Display
108 x 44 x 14.9 mm, 65 cc
78 gram
TFT, 65K colors
128 x 128 pixels, 1.6 inches, 28 x 28 mm (~113 ppi pixel density)
MemoryPhonebook
Call records
Internal
Card slot
500 entries
10 dialed, 10 received, 10 missed calls

DataGPRS
HSCSD
EDGE
3G
WLAN
Bluetooth
Infrared port
USB







FeaturesOS
CPU
Messaging
Ringtones
Browser
Radio
GPS
Games
Camera
Video
Colors
Java


SMS
Vibration; Polyphonic(64) ringtones, composer

FM Radio

Yes


Red, silver

- Loudspeaker
- Screensavers and wallpapers
- Downloadable logos
- 750 SMS messages
- iTap (T9)
- Organizer
- Calendar
- Alarm
Battery
Stand-by
Talk time
Standard battery, Li-Ion 720 mAh
Up to 310 h
Up to 7 h 30 min

Image: http://www.gsmpedia.net/motorola_w209-images-2028.html

Motorola A810

Specifications
Motorola A810
Network2GGSM 900 / 1800 / 1900
SizeDimensions
Weight
Display
105 x 51 x 14 mm
100 gram
TFT resistive touchscreen, 256K colors
240 x 320 pixels, 2.2 inches (~182 ppi pixel density)
MemoryPhonebook
Call records
Internal
Card slot
Yes, Photo call
30 dialed, 30 received, 30 missed calls

microSD, up to 2 GB
DataGPRS
HSCSD
EDGE
3G
WLAN
Bluetooth
Infrared port
USB
Class 10 (4+1/3+2 slots), 32 - 48 kbps

Class 10, 236.8 kbps


v1.2 with A2DP

v2.0
FeaturesOS
CPU
Messaging
Ringtones
Browser
Radio
GPS
Games
Camera
Video
Colors
Java


SMS, MMS, Email
Vibration; Downloadable polyphonic, MP3 ringtones
WAP 2.0/xHTML, HTML (Opera v8.5)
Stereo FM radio

Yes
2 MP, 1600x1200 pixels
Yes
Excellent black and white shang-chi
MIDP 2.0
- 3.5 mm jack
- Loudspeaker
- Handwriting recognition
- MP3/WAV/WMA/AAC+ player
- Voice memo
- Organizer
- Calendar
- Alarm
Battery
Stand-by
Talk time
Standard battery, Li-Ion 910 mAh
Up to 150 h
Up to 4 h

Image: http://www.priceindia.in/mobile-phone/motorola-a810-price/

Sisingaan (Kesenian Tradisional Masyarakat Sunda)

Asal Usul
Sisingaan adalah suatu kesenian khas masyarakat Sunda (Jawa Barat) yang menampilkan 2-4 boneka singa yang diusung oleh para pemainnya sambil menari. Di atas boneka singa yang diusung itu biasanya duduk seorang anak yang akan dikhitan atau seorang tokoh masyarakat. Ada beberapa versi tentang asal-usul kesenian yang tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat Jawa Barat ini. Versi pertama mengatakan bahwa sisingaan muncul sekitar tahun 70-an. Waktu itu di anjungan Jawa Barat di TMII ditampilkan kesenian gotong singa atau sisingaan yang bentuknya masih sederhana. Dan, dari penampilan di anjungan Jawa Barat itulah kemudian kesenian sisingaan menjadi dikenal oleh masyarakat hingga saat ini.

Versi kedua mengatakan bahwa kesenian sisingaan diciptakan sekitar tahun 1840 oleh para seniman yang berasal dari daerah Ciherang, sekitar 5 km dari Kota Subang. Waktu itu, Kabupaten Subang pernah menjadi “milik” orang Belanda dan Inggris dengan mendirikan P & T Lands. Hal ini menyebabkan seolah-olah Subang menjadi daerah pemerintahan ganda, karena secara politis dikuasai oleh Belanda, tetapi secara ekonomi berada di bawah pengaruh para pengusaha P & T Lands. Akibatnya, rakyat Subang menjadi sangat menderita. Dalam kondisi semacam ini, kesenian sisingaan lahir sebagai suatu bentuk perlawanan rakyat terhadap kedua bangsa penjajah tersebut. Dan, untuk menegaskan bahwa kesenian sisingaan adalah suatu bentuk perlawanan, maka digunakan dua buah boneka singa yang merupakan lambang dari negara Belanda dan Inggris. Oleh sebab itu, sampai hari ini dalam setiap permainan sisingaan selalu ditampilkan minimal dua buah boneka singa.

Dalam perkembangan selanjutnya, kesenian sisingaan bukan hanya menyebar ke daerah-daerah lain di Kabupaten Subang, melainkan juga ke kabupaten-kabupaten lain di Jawa Barat, seperti Kabupaten Bandung, Purwakarta dan Sumedang. Selain menyebar ke beberapa daerah, kesenian ini juga mengalami perkembangan, baik dalam bentuk penyempurnaan boneka singa, penataan tari, kostum pemain, maupun waditra dan lagu-lagu yang dimainkan.

Pemain
Para pemain sisingaan umumnya adalah laki-laki dewasa yang tergabung dalam sebuah kelompok yang terdiri atas: 8 orang penggotong boneka singa (1 boneka digotong oleh 4 orang), seorang pemimpin kelompok, beberapa orang pemain waditra, dan satu atau dua orang jajangkungan (pemain yang menggunakan kayu sepanjang 3-4 meter untuk berjalan). Para pemain ini adalah orang-orang yang mempunyai keterampilan khusus, baik dalam menari maupun memainkan waditra. Keterampilan khusus itu perlu dimiliki oleh setiap pemain karena dalam sebuah pertunjukan sisingaan yang bersifat kolektif diperlukan suatu tim yang solid agar semua gerak tari yang dimainkan sambil menggotong boneka singa dapat selaras dengan musik yang dimainkan oleh para nayaga.

Tempat dan Peralatan Permainan
Kesenian sisingaan ini umumnya ditampilkan pada siang hari dengan berkeliling kampung pada saat ada acara khitanan, menyambut tamu agung, pelantikan kepala desa, perayaan hari kemerdekaan dan lain sebagainya. Durasi sebuah pementasan sisingaan biasanya memakan waktu cukup lama, bergantung dari luas atau tidaknya kampung yang akan dikelilingi.

Peralatan yang digunakan dalam permainan sisingaan adalah: (1) dua atau empat buah usungan boneka singa. Rangka dan kepala usungan boneka-boneka singa tersebut terbuat dari kayu dan bambu yang dibungkus dengan kain serta diberi tempat duduk di atas punggungnya. Sedangkan, untuk bulu-bulu yang ada di kepala maupun ekor dibuat dari benang rafia. Sebagai catatan, dahulu usungan yang berbentuk singa ini terbuat dari kayu dengan bulu dari kembang kaso dan biasanya dibuat secara dadakan pada waktu akan mengadakan pertunjukan. Jadi, dahulu sisingaan tidak bersifat permanen, tetapi hanya sekali digunakan kemudian dibuang; (2) seperangkat waditra yang terdiri dari: dua buah kendang besar (kendang indung dan kendang anak), sebuah terompet, tiga buah ketuk (bonang), sebuah kentrung (kulanter), sebuah gong kecil, dan sebuah kecrek.; dan (3) busana pemain yang terdiri dari: celana kampret/pangsi, iket barangbang semplak, baju taqwa dan alas kaki tarumpah atau salompak.

Pertunjukan Sisingaan
Pertunjukan sisingaan diawali dengan kata-kata sambutan yang dilakukan oleh pemimpin kelompok. Setelah pemimpin kelompok memberikan kata sambutan, barulah anak yang akan dikhitan atau tokoh masyarakat yang akan diarak dipersilahkan untuk menaiki boneka singa. Selanjutnya, alat pengiring ditabuh dengan membawakan lagu-lagu yang berirama dinamis sebagai tanda dimulainya pertunjukan. Kemudian, sejumlah 8 orang pemain akan mulai menggotong dua buah boneka singa (satu boneka digotong oleh 4 orang).

Setelah para penggotong boneka singa siap, maka sang pemimpin akan mulai memberikan aba-aba agar mereka mulai melakukan gerakan-gerakan tarian secara serempak dan bersamaan. Para penggotong boneka itu segera melakukan gerakan-gerakan akrobatis yang cukup mendebarkan. Gerakan-gerakan tarian yang biasa dimainkan oleh para penggotong boneka singa tersebut adalah: igeul ngayun glempang, pasang/kuda-kuda, mincid, padungdung, gugulingan, bangkaret, masang, sepakan dua, langkah mundur, kael, ewag, jeblang, depok, solor, sesenggehan, genying, putar taktak, nanggeuy singa, angkat jungjung, ngolecer, lambang, pasagi tilu, melek cau, nincak rancatan, dan kakapalan.

Sedangkan, lagu-lagu yang dimainkan oleh juru kawih untuk mengiringi tarian biasanya diambil dari kesenian Ketuk Tilu, Doger, dan Kliningan, seperti: Keringan, Kidung, Titipatipa, Gondang, Kasreng, Gurudugan, Mapay Roko, Kembang gadung, Kangsring, Kembang Beureum, Buah Kawung, Gondang, Tenggong Petit, Sesenggehan, Badudud, Tunggul Kawing, Samping Butut, Sireum Beureum, dan lagu Selingan (Siyur, Tepang Sono, Awet Rajet, Serat Salira, Madu dan Racun, Pria Idaman, Goyang Dombret, Warudoyong dan lain sebagainya).

Pertunjukan sisingaan ini dilakukan sambil mengelilingi kampung atau desa, hingga akhirnya kembali lagi ke tempat semula. Dan, dengan sampainya para penari di tempat semula, maka pertunjukan pun berakhir.

Nilai Budaya
Seni sebagai ekspresi jiwa manusia sudah barang tentu mengandung nilai estetika, termasuk kesenian tradisional sisingaan yang ditumbuh-kembangkan oleh masyarakat Ciherang, Kabupaten Subang. Namun demikian, jika dicermati secara mendalam sisingaan tidak hanya mengandung nilai estetika semata, tetapi ada nilai-nilai lain yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu antara lain adalah kerja sama, kekompakan, ketertiban, dam ketekunan. Nilai kerja sama terlihat dari adanya kebersamaan dalam melestarikan warisan budaya para pendahulunya. Nilai kekompakan dan ketertiban tercermin dalam suatu pementasan yang dapat berjalan secara lancar. Nilai kerja keras dan ketekunan tercermin dari penguasaan gerakan-gerakan tarian. (ali gufron)
Sumber:
Sariyun, Yugo, dkk,. 1992. Nilai Budaya Dalam Permainan Rakyat Jawa Barat. Bandung: Depdikbud.

Ganjar Kurnia. 2003. Deskripsi Kesenian Jawa Barat. Bandung: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat.

http://id.wikipedia.org
http://www.jabar.go.id
http://www.kabarindonesia.com

The Lisu Ethnic Minority

The Lisu ethnic group numbers 634,912 people, and most of them live in concentrated communities in Bijiang, Fugong, Gongshan and Lushui counties of the Nujiang Lisu Autonomous Prefecture in northwestern Yunnan Province. The rest are scattered in Lijiang, Baoshan, Diqing, Dehong, Dali, Chuxiong prefectures or counties in Yunnan Province as well as in Xichang and Yanbian counties in Sichuan Province, living in small communities with the Han, Bai, Yi and Naxi peoples.

The Lisu language belongs to the Chinese-Tibetan language family. In 1957, a new alphabetic script was created for the Lisu people.

Geography
The Lisus inhabit a mountainous area slashed by rivers. It is flanked by Gaoligong Mountain on the west and Biluo Mountain on the east, both over 4,000 meters above sea level. The Nujiang River and the Lancang River flow through the area, forming two big valleys. The average annual temperature along the river basins ranges between 17 and 26 degrees Centigrade, and the annual rainfall averages 2,500 millimeters. Main farm crops are maize, rice, wheat, buckwheat, sorghum and beans. Cash crops include ramie, lacquer trees and sugarcane. Many parts of the mountains are covered with dense forests, famous for their China firs. In addition to rare animals, the forests yield many medicinal herbs including the rhizome of Chinese gold thread and the bulb of fritillary. The Lisu area also has abundant mineral and water resources.

History
According to historical records and folk legend, the forbears of the Lisu people lived along the banks of the Jinsha River and were once ruled by "Wudeng" and "Lianglin," two powerful tribes. After the 12th century, the Lisu people came under the rule of the Lijiang Prefectural Administration of the Yuan Dynasty, and in the succeeding Ming Dynasty, under the rule of the Lijiang district magistrate with the family surname of Mu.

During the 1820s, the Qing government sent officials to Lijiang, Yongsheng and Huaping, areas where the Lisus lived in compact communities, to replace Naxi and Bai hereditary chieftains. This practice speeded up the transformation of the feudal manorial economy to a landlord economy, and tightened up the rule of the Qing court over Lisu and other ethnic groups. In the years preceding and following the turn of the 20th century, large numbers of Han, Bai and Naxi peoples moved to the Nujiang River valleys, taking with them iron farm tools and more advanced production techniques, giving an impetus to local production.

For a long time the Lisus, under oppression and exploitation by landlords, chieftains and headmen, as well as the Kuomintang and foreign imperialists, led a miserable life. In Eduoluo Village of Bijiang County alone, 237 peasants out of the village's 1,000 population were tortured to death in the 10 years prior to liberation by local officials, chieftains, headmen or landlords. The Lisus also suffered exorbitant taxes and levies. The household tax, for example, was 21 kilograms of maize per capita, accounting for 21 per cent of the annual grain harvest. Moreover, there were unscrupulous merchants and usurers. The arrival of imperialist influence at the turn of the 20th century put the Lisus in a far worse plight.

During the period between the 18th and 19th century, the Lisus waged many struggles against oppression. From 1941 to 1943, together with the Hans, Dais and Jingpos, they heroically resisted the Japanese troops invading western Yunnan Province and succeeded in preventing the aggressors from crossing the Nujiang River, contributing to the defense of China's frontier.

Socio-economic Conditions Before 1949
The social economy in the various Lisu areas was at different levels before China’s national liberation in 1949. In Lijiang, Dali, Baoshan, Weixi, Lanping and Xichang, areas closer to China's interior, a feudal landlord economy was prevalent, with productivity approaching the level in neighboring Han and Bai areas. Some medium and small slave-owners had appeared from among the Lisus living around the Greater and Lesser Liangshan Mountains, taking up agriculture or part-agriculture and part-hunting, and using ploughs in farming.

As for the Lisus living in Bijiang, Fugong, Gongshan and Lushui, the four counties around the Nujiang River valley, their productivity was comparatively low. They had to make up for their scanty agricultural output by collecting fruits and wild vegetables and hunting. Their simple production tools consisted of iron and bamboo implements. Slash-and-burn was practiced. The division of social labor was not distinct, and handicrafts and commerce had not yet been separated from agriculture. Bartering was in practice. Some primitive markets began to appear in Bijiang and Fugong counties.

Improvement in productivity brought about changes in ownership. Prior to 1949, private ownership of land had been established in the four counties around the Nujiang River valley, though landholding was generally small. The rural population had split up into classes, but the remnants of primitive public ownership and patriarchal slavery still existed. Land ownership was in three main forms: private ownership by individual peasants, ownership by the clan, and public ownership by the clan or village. Among the three, the first was dominant, while the second was a transitional form from the primitive public ownership of land to private ownership. Only a small portion of land was publicly owned.

As a result of the penetration of landlord economic factors and the instability of the small peasant economy, more and better land came under the ownership by some clans, village chieftains or rich households. An increasing number of poor peasants became landless. They lived on rented land or as hired farmhands.

Patriarchal slavery existed in the Nujiang River area in the period between the 16th century and the beginning of the 20th century. The slaves were generally regarded as family members or "adopted children." They lived, ate and worked with their masters, and some of the slaves could buy back their freedom. The masters could buy and sell slaves, but had no power over their lives. The slaves were not stratified. All these reflected the characteristics of exploitation under the early slavery system.

In post-1949 days, the remnant of the clan system could still be found among the Lisus in the Nujiang River valley. There were more than a dozen clans there, each with a different name. They included Tiger, Bear, Monkey, Snake, Sheep, Chicken, Bird, Fish, Mouse, Bee, Buckwheat, Bamboo, Teak, Frost and Fire. The names also served as their totems. Within each clan, except for a feeling of kinship, individual households had little economic links with one another.

The clan and village commune played an important part in practical life. The "ka," or village, meant a place where a group of close relatives lived together. Some villages were composed of families of different clans. Every village had a commonly acknowledged headman, generally an influential elderly man. His job was to settle disputes within the clan, give leadership in production, preside over sacrificial ceremonies, declare clan warfare externally, sign alliances with other villages, collect tributes for the imperial court. Under the rule of a chieftain, such headmen were appointed his assistants. When the Kuomintang came, they became the heads of districts, townships or "bao" (10 households). When there was a war, the various communal villages might form a temporary alliance; when the war was over, the alliance ended.

Apart from common ownership of land and working on it together, clan members helped one another in daily life. When there was wine or pork, they shared it. When a girl got married, they shared the betrothal gifts given to her parents; and when a young man took in a wife, the betrothal gifts for the bride's family were borne by all. Debts too, were to be paid by all. These collective rights and obligations in production and daily life made it possible for clan relations to continue for a long time.

Religion
In the past the Lisu people worshipped many gods, nature and a multitude of other things. This appeared to be a remnant of totemism. Religious professionals made a living by offering sacrifices to ghosts and fortune-telling. During the religious activities, animals were slaughtered and a large sum of money spent. In the middle of the 19th century, Christianity and Catholicism were spread into the area by Western missionaries.

Customs and Habits
The monogamous family was the basic unit of Lisu society. Sons left their parents and supported their own families after getting married. The youngest or only son remained with the parents to take care of them and inherit property. The daughter had no right of inheritance but could take her husband into her parents' home instead of being married off. Marriages were arranged by parents, with enormous betrothal gifts.

The dead were buried. Generally the village or the clan had its own common graveyard. For a man, the cutting knives, bows and quivers he had used when alive were buried with him. For a woman, burial objects were her weaving tools, hemp-woven bags and cooking utensils, to be hung by her grave. When an elderly man or woman died, the whole village stopped working for two or three days. People tendered condolences to the bereaved family, bringing along wine and meat. Generally the mound on the burial ground was piled one year after the burial, and respects to the dead were paid three years after the burial, and offerings ended.

In most areas the Lisu people wear home-spun hemp clothes. Women put on short dresses and long skirts. Their heads are decorated with red and white glass beads and their chests with necklaces formed by strings of colored beads. Men wear short dresses and pants reaching the knee. Some of them wear black turban. A cutting knife dangles at a man's left waist, and a quiver hangs at his right waist.

Their main staple foods are maize and buckwheat. Hunting yields abundant meat. During their major festivals, they slaughter oxen and pigs. Both men and women are heavy drinkers.

The Lisu people live in two types of house. One is of wooden structure, with the four sides formed with 12-foot-long pieces of timber, and on top of them is a cover of wooden planks. It looks like a wooden box. The other is of bamboo-wooden structure, supported by 20 to 30 wooden stakes and surrounded with bamboo fences, with a thatched or wooden roof. In the center of the house is a big fireplace.

The festivals of the Lisus living closer to the hinterland are nearly the same as those of the Han, Bai, Naxi and other peoples around. During the Lunar New Year, the first thing they do is to feed their cattle with salt to show respect for their labor. They have the Torch Festival in the sixth month of the year, and the Mid-Autumn Festival in the eighth month. The Lisus in the Nu River and Weixi areas enjoy their "Harvest Festival" in the 10th month, during which people exchange gifts of wine and pork. They sing and dance till dawn.

Life After Liberation in 1949
The Chinese People's Liberation Army liberated the vast area in northwestern Yunnan Province in early 1950, bringing a new life to the Lisu people.

In August 1954 the Nujiang Lisu Autonomous District was established, covering Lushui, Bijiang, Fugong and Gongshan counties. The autonomous district was changed into an autonomous prefecture in January 1957, and Lanping County, too, was placed under its jurisdiction.

Source:
http://www.china.org.cn

Permainan Tepuk Gambar (Lampung)

Permainan tepuk gambar biasanya disenangi oleh anak laki-laki. Pemain yang terlibat dalam permainan ini adalah dua orang. Sebelum bermain mereka harus memiliki sejumlah kartu bergambar yang akan dimainkan. Kartu bergambar terbuat dari kertas karton tipis dengan beragam model gambar, seperti yang biasa dilihat dalam film anak-anak yang sedang populer di televisi. Lembar gambar ganya terisi satu bagian, bagian lainnya kosong (tidak bergambar). Gambar-gambar tersebut biasanya diperoleh di warung-warung atau penjaga mainan anak di sekolah-sekolah. Ukuran dan besarnya gambar sangat beragam, ada yang kecil dan ada yang besar.

Permainan tepuk gambar tidak memerlukan keahlian khusus dari pemainnya. Yang penting, dia dapat memilih lembar gambar unggulan yang selalu terbuka bagian bergambarnya. Faktor keberuntungan menjadi hal yang paling menentukan dalam permainan tepuk gambar.

Cara memainkan tepuk gambar pun cukup mudah. Pertama-tama pemain memilih satu gambar yang paling diunggulkan untuk dimainkan. Mereka meletakkan gambar tersebut pada telapak tangan kanan yang terbuka. Kedua telapak tersebut diadukan lalu ditarik kembali. Pada saat itu, gambar terlepas dan jatuh melayang ke bawah. Gambar yang sampai ke bawah dengan posisi terbuka (bagian bergambarnya terlihat) dinyatakan menang apabila gambar lawannya tertutup, itu artinya permainan dinyatakan seri. Pemain yang kalah harus membayar pemain yang menang dengan sejumlah gambar yang telah disepakati. Permainan diakhiri bila kedua pihak sepakat untuk berhenti.

Sumber:
Sucipto, Toto, dkk,. 2003. Kebudayaan Masyarakat Lampung di Kabupaten Lampung Timur. Bandung: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung.

The Bonan ethnic minority

The Bonan is one of China's smallest ethnic minorities, with only 16,505 people. Its language belongs to the Mongolian branch of the Altaic language family and is close to that of the Tu and Dongxiang ethnic minorities. Due to long years of contacts and exchanges with the neighboring Han and Hui people, the Bonan people have borrowed quite a number of words from the Han language. The Han language is accepted as the common written language among the Bonans.

Judging from their legends, language features and customs, many of which were identical with those of the Mongolians, the Bonan minority seems to have taken shape after many years of interchanges during the Yuan and Ming (1271-1644) periods between Islamic Mongolians who settled down as garrison troops in Qinghai's Tongren County, and the neighboring Hui, Han, Tibetan and Tu people. The Bonans used to live in three major villages in the Baoan region, situated along the banks of the Longwu River within the boundaries of Tongren County.

During the early years of the reign of Qing Emperor Tongzhi (1862-1874), they fled from the oppression of the feudal serf owners of the local Lamaist Longwu Monastery. After staying for a few years in Xunhua, they moved on into Gansu Province and finally settled down at the foot of Jishi Mountain in Dahejia and Liuji, Linxia County. Incidentally, they again formed themselves into three villages -- Dadun, Ganmei and Gaoli -- which they referred to as the "tripartite village of Baoan" in remembrance of their roots.

Dahejia in western Linxia County is the place where the Bonans mainly concentrated. The area is thickly wooded and enjoys a moderate temperature supported by plenty of water and lush grass, which make it suitable for farming and stockbreeding. However, until the mid-20th century, under the heavy burden of feudal oppression and exploitation, the place had been bleak and desolate. In Dahejia, Bonan and Hui bureaucrats, landlords and religious leaders owned large tracts of farmland, forests and orchards. They also monopolized the river transport and owned 20 of the 27 water mills. The majority of the people were reduced to tenants toiling under the severe exploitation of land rents and usury. Rent in kind was a form of exploitation widely practiced in the area. In most cases, rentals were as high as 50 per cent. Exploitation by the landlords also took on other forms such as hiring farm labourers on a long-term basis and trading in slave girls.

The Bonan people, mainly Muslims, are divided into two different sects -- the Old and the New.

A sideline occupation for which Bonans are particularly noted is the making of knives. A cottage industry, the Bonan knives are famous all over China for their beauty and sturdiness.

Source:
http://www.china.org.cn

Nang Butuh Mosel

(Cerita Rakyat Bali)

Alkisah, ada dua orang bersaudara yang bernama Nang Butuh Mosel dan pamannya yang bernama Uwa Babrung. Nang Butuh Mosel adalah seorang yang sangat miskin. Bahkan, karena terlalu miskin sampai-sampai ia tidak dapat memberi makan isteri dan dua orang anak perempuannya. Jangankan memberi makan mereka, untuk makan dirinya sendiri saja ia tidak mampu. Untuk hidup sehari-hari, keluarga Nang Butuh Mosel hanya mengandalkan belas kashian dari para tetangganya.

Sementara itu, di sebelah utara rumah Nang Butuh Mosel tinggallah saudaranya yang bernama Uwa Babrung. Berbeda dengan Nang Butuh Mosel, Uwa Babrung adalah seorang yang kaya raya. Ia mempunyai banyak sawah, ladang dan hewan ternak. Namun, walau Uwa Babrung kaya raya, ia sangat kikir dan tidak mempunyai rasa belas kasihan terhadap orang lain. Bahkan terhadap saudaranya sendiri pun Uwa Babrung tidak bersedia membantunya.

Suatu hari, karena isteri Nang Butuh Mosel sudah merasa malu untuk selalu meminta belas kasihan para tetangganya, Nang Butuh Mosel menyuruh anak tertuanya untuk meminta beras kepada Uwa Babrung. Setelah sang anak pergi dan bertemu dengan Uwa Babrung, ia pun berkata, “Paman, saya disuruh oleh bapak untuk meminta sedikit beras.”

“Wah, orang tuamu itu masih sehat dan kuat. Daripada meminta-minta lebih baik suruh orang tuamu pergi bekerja. Aku tidak punya beras!” kata Uwa Babrung.

Tanpa menghiraukan kata-kata Uwa Babrung, si anak berkata lagi, “kalau tidak ada beras, berilah kami sedikit nasi, paman.”

“Nasi juga tidak ada!” jawab Uwa Babrung ketus.

Mendengar kata-kata ketus yang keluar dari mulut pamannya, si anak langsung pulang sambil menangis. Sesampai di rumah ia segera menceritakan kepada orang tuanya.

“Sakit hatiku mendengar perkataan pamanmu itu. Biar aku mati tidak makan!” kata isteri Nang Butuh Mosel.

Karena telah berputus asa, Nang Butuh Mosel segera meninggalkan rumah untuk menghanyutkan diri di sungai. Namun, saat sampai di tepi sungai, ia menjumpai banyak sayuran segar dan juga daun bulung bawang. Ia menjadi heran, sebab selama ini ia tidak pernah melihat sayur-sayuran tersebut tumbuh di sekitar sungai. Dan, tanpa banyak pikir lagi ia segera memetik sayur-sayuran itu untuk dibawanya pulang. Begitulah, hari-hari berikutnya Nang Butuh Mosel selalu mengambil sayuran yang ada di pinggir sungai tersebut agar keluarganya dapat makan.

Suatu hari isteri Nang Butuh Mosel mendengar bahwa Uwa Babrung akan pergi ke Buleleng untuk menjual barang-barang hasil sawah dan ladangnya. Mak Butuh Mosel pun segera mendatangi suaminya dan berkata, “Pak, lebih baik tumpangkan saja dirimu dengan pamanmu di sebelah utara. Dia akan pergi ke Buleleng untuk berjualan.”

“Ya, kalau demikian pergilah ke sana dan katakan kepada saudaraku bahwa aku akan ikut dengannya ke Buleleng,” jawab Nang Butuh Mosel.

Mak Butuh Mosel segera pergi ke rumah Uwa Babrung. Setelah bertemu Uwa Babrung, Mak Butuh Mosel lalu menjelaskan maksudnya, “Paman Babrung, kalau paman akan pergi ke Buleleng ajaklah Nang Butuh Mosel. Apabila diperkenankan ikut, suruhlah dia untuk memegang kuda, membawa beras atau barang-barang lain yang akan paman jual.”

“Baiklah kalau begitu,” jawab Uwa Babrung singkat.

“Lalu, kapan Uwa akan berangkat?” tanya Mak Butuh Mosel dengan gembira.

“Sesudah nasi masak,” jawab Uwa Babrung.

Mendengar jawaban itu, Mak Butuh Mosel langsung mengucapkan terima kasih dan sekaligus minta diri untuk memberitahu suaminya. Setelah sampai di rumah, dengan perasaan gembira ia memberitahukan suaminya, “Pak, besok Uwa Babrung akan pergi ke Buleleng sesudah nasi masak.”

“Apa yang harus aku persiapkan?” tanya Nang Butuh Mosel.

“Bawa saja sebuah besek. Mungkin nanti kamu akan disuruh untuk membawa barang-barang hasil sawah dan ladangnya.”

Keesokan harinya, sebelum tengah hari Nang Butuh Mosel menyuruh salah seorang anak perempuannya untuk menanyakan apakah Uwa Babrung telah siap untuk pergi ke Buleleng. Namun, saat si anak telah berada di rumah Uwa Babrung, ia mendapat penjelasan dari isteri Uwa Babrung bahwa suaminya telah berangkat sejak tengah malam. Setelah mendapat penjelasan itu, si anak buru-buru berpamitan untuk menyampaikan hal tersebut kepada ayahnya. Jadi, telah terjadi suatu kesalahpahaman antara Uwa Babrung dengan Mak Butuh Mosel. Maksud Uwa Babrung mengatakan sesudah nasi masak adalah sesudah nasi masak pada sore hari untuk makan malam. Sementara kata-kata sesudah nasi masak yang dipahami oleh Mak Butuh Mosel adalah setelah nasi masak pada pagi hari untuk persiapan makan siang.

Saat mendengar laporan anaknya, Mak Butuh Mosel segera ke rumah tetangga terdekat untuk meminjam uang sebesar sepuluh kepeng. Uang itu kemudian diberikan kepada suaminya sebagai bekal untuk menyusul Uwa Babrung ke Buleleng. Selain itu, uang tadi dimaksudkan sebagai bekal bagi Nang Butuh Mosel untuk mencari pekerjaan di sana.

Setelah semua perbekalan siap, Nang Butuh Mosel segera berangkat menyusul Uwa Babrung. Beberapa saat setelah meninggalkan rumah, tiba-tiba turun hujan yang cukup lebat. Ia kemudian berlari menuju sebuah gubuk yang telah kosong. Gubuk tersebut pada pagi harinya digunakan oleh pemiliknya sebagai tempat untuk berjualan buah kelapa. Sambil berteduh, Nang Butuh Mosel mengambil dan memakan beberapa potongan kecil buah kelapa yang masih tersisa di gubuk itu.

Setelah hujan reda, Nang Butuh Mosel kembali melanjutkan perjalanan. Ketika ia sampai di sebuah desa, ia melihat ada beberapa orang anak yang sedang menyeret seekor ular yang masih hidup dengan menggunakan tali. Ia lalu mendekati anak-anak itu dan bertanya, “Mengapa kalian mengikat leher ular itu? Apakah hendak kalian bunuh?”

“Ya. Ular ini telah memakan beberapa ekor anak ayam kami.” Jawab salah seorang anak.

“Kalau begitu, bolehkah aku membelinya?” tanya Nang Butuh Mosel.

“Wah, mau dibunuh malah diminta untuk dibeli. Kalau memang mau, ambilah ular sialan ini!” demikian gerutu anak-anak itu.

“Tidak, aku akan membelinya dua kepeng,” jawab Nang Butuh Mosel.

“Ya, baiklah kalau begitu,” jawab mereka gembira.

Ular tersebut lalu diambil dan dimasukkan ke dalam besek. Setelah itu, Nang Butuh Mosel kembali meneruskan perjalanan. Namun belum sampai satu jam berjalan, ia melihat ada orang yang sedang memukuli seekor kucing. Karena merasa kasihan, ia kemudian menghampiri orang tersebut dan bermaksud membeli kucing yang sedang disiksa itu.

“Kalau engkau menghendaki, belilah kucing jahat ini seharga tiga kepeng!” demikian kata pemilik kucing itu.

“Ya, baiklah,” kata Nang Butuh Mosel sambil mengambil dan memasukkan kucing itu ke dalam beseknya.

Saat ia berjalan lagi dan sampai di perempatan jalan, dilihatnya seseorang yang sedang mengejar tikus. Begitu sang tikus tertangkap dan akan dibunuh, ia berlari mendekati orang tersebut dan bermaksud membeli tikus itu.

“Wah, mau dibunuh malah diminta untuk dibeli. Kalau memang mau membeli dengan harga dua kepeng, ambilah tikus sialan ini!” demikian kata orang itu.

“Ya, baiklah,” kata Nang Butuh Mosel sambil mengambil dan memasukkan tikus itu ke dalam beseknya.

Oleh karena beseknya telah menjadi berat dengan isi tikus, kucing dan ular, Nang Butuh Mosel lalu mencari sebuah tempat untuk melepas lelah. Ia kemudian menghampiri sebuah pohon besar yang sangat rindang. Di tempat itu ia berteduh dari panasnya sinar matahari sambil melepaskan lelah.

Saat ia sedang duduk di bawah pohon itu, tiba-tiba datang seekor ular besar. Ular itu berkata kepadanya, “Hai Bapak Mosel, Bapak telah menyelamatkan anak saya. Sekarang saya akan menebusnya kembali. Berapa kepeng pun yang Bapak minta akan saya beri.”

Nang Butuh Mosel yang sangat terkejut melihat ada seekor ular besar telah berada di hadapannya, segera berkata, “Saya tidak bermaksud untuk menjual ular ini. Jadi, harga berapapun yang engkau tawarkan tidak akan saya berikan.”

“Janganlah begitu Bapak. Ular itu adalah anak saya satu-satunya. Kasihanilah saya. Saya akan tebus dengan apapun yang Bapak minta,” kata ular itu memelas.

Setelah berpikir beberapa saat sambil melihat-lihat tubuh ular itu, akhirnya Nang Butuh Mosel berkata, “Ya kalau memang sungguh demikian, saya minta cincin yang ada di ujung ekormu itu. Bagaimana?”

“Sebenarnya cincin ini adalah benda keramat yang dapat memberikan apa saja kepada saya. Namun apabila Bapak menghendaki, saya rela menukarkannya dengan anak saya,” jawab si ular.

Setelah melepaskan cincin dari ekornya dan memberikannya kepada Nang Butuh Mosel, sang ular besar berkata lagi, “Cincin ini dapat mendatangkan kekayaan buat Bapak. Caranya cukup memasukkan benda apa saja melewati lubang cincin. Apabila telah melewati lubang cincin, niscaya benda tersebut akan menjadi emas.”

Nang Butuh Mosel yang merasa kasihan kepada ular besar itu, kemudian membuka beseknya dan menyerahkan anak ular yang tadi dibelinya. Setelah terjadi serah terima, maka si ular beserta anaknya segera masuk ke dalam hutan, sementara Nang Butuh Mosel kembali melanjutkan perjalanannya menuju Buleleng.

Dalam perjalanan ke Buleleng itu, ia melihat orang menghunus pedang dan hendak membunuh seekor anjing. Nang Butuh Mosel langsung menghampiri orang itu dan bertanya, “Hendak engkau apakan anjing itu?”

“Anjing ini sering sekali melarikan pepesku. Sekarang ia akan aku bunuh!” jawab orang itu.

“Kalau begitu, bolehkah aku membelinya?” tanya Nang Butuh Mosel.

“Beli sajalah, seharga berapa saja!” kata orang itu.

“Uangku hanya tinggal tiga kepeng. Bolehkan aku membelinya seharga tiga kepeng?” tanya Nang Butuh Mosel.

“Ya, baiklah!” kata orang itu.

Beberapa saat setelah Nang Butuh Mosel melanjutkan perjalanannya kembali, akhirnya ia bertemu dengan Uwa Babrung yang telah kembali dari Buleleng. Uwa Babrung yang tidak ingin dibilang sebagai orang yang ingkar janji segera berkata, “Aku telah memberitahukan pada isterimu bahwa setelah nasi masak pada sore hari aku akan berangkat. Kenapa engkau tidak datang malam itu?”

“Mungkin telah terjadi kesalahpahaman, Uwa?” jawab Nang Butuh Mosel singkat.

“Wah, apa yang kau bawa itu? Kelihatannya berat sekali?” tanya Uwa Babrung mengalihkan pembicaraan.

Tanpa berkata apa-apa Nang Butuh Mosel segera membuka beseknya dan terlihatlah tiga ekor binatang yang tadi dibelinya.

“Akan kau apakan binatang-binatang itu? Akan kau berikan pada anak dan isterimu sebagai makan malam? Ya sudah, potong dan masaklah binatang itu, aku mau pulang!” kata Uwa Babrung sambil tertawa dan berlalu bersama kudanya.

Mendengar perkataan itu Nang Butuh Mosel hanya tertawa kecut. Di dalam hatinya, ia sendiri juga bingung. Tujuannya ke Buleleng adalah untuk mencari Uwa Babrung. Namun sekarang Uwa Babrung telah kembali dari Buleleng. Sementara tujuannya yang lain yaitu untuk mencari pekerjaan di Buleleng telah pupus, sebab uang yang diberikan oleh isterinya kini telah habis untuk membeli ular, tikus, kucing dan anjing. Dan, setelah berpikir agak lama, akhirnya Nang Butuh Mosel memutuskan untuk tidak meneruskan perjalanan ke Buleleng dan kembali pulang ke rumahnya.

Dalam perjalanan pulang itu terbersit keinginannya untuk mencoba cincin pemberian si ular besar. Ia lalu mengambil sebatang lidi dan memasukkannya ke lubang cincin. Dan, alangkah terkejutnya Nang Butuh Mosel ketika lidi telah melewati lubang cincin, tiba-tiba berubah menjadi emas yang berbentuk lidi. Lidi emas itu kemudian ditukarkannya kepada seorang penjual labu bercampur laklak dan ia memperoleh sebungkus besar buah-buahan tersebut.

Malam harinya setelah sampai di rumah, binatang-binatang yang tadi dibelinya langsung diberikan kepada kedua anak perempuannya untuk teman bermain. Selanjutnya, ia mengajak isterinya masuk ke dalam kamar dan mulai menceritakan segala kejadian yang dialaminya sejak ia berangkat dari rumah hingga pulang kembali. Mendengar seluruh keterangan suaminya, terutama tentang cincin yang dapat membuat semua benda menjadi emas, isterinya sangat gembira. Keesokan harinya mereka bersama-sama pergi ke pura untuk bersembahyang dan mengucapkan terima kasih kepada Tuhan atas segala karunia-Nya.

Singkat cerita, beberapa bulan kemudian keluarga Nang Butuh Mosel sudah hidup bahagia. Kedua anak mereka sudah menjadi gemuk dan mulai terlihat paras cantiknya. Selain itu, keluarga ini juga mempunyai banyak sekali emas yang dihasilkan dengan cara memasukkan suatu benda ke dalam cincin ajaib yang diperoleh dari sang ular besar. Emas-emas itu kemudian dibawa ke seorang tukang pandai emas untuk dijadikan cincin, gelang, kalung dan berbagai macam perhiasan lainnya.

Suatu hari, tanpa sepengetahuan ayahnya cincin ajaib itu dipakai bermain oleh kedua anaknya. Saat mereka bermain, cincin itu terjatuh dan patah menjadi dua bagian. Mereka kemudian mengambilnya dan sambil menangis menyerahkannya kepada ayahnya. Namun, karena Nang Butuh Mosel adalah seorang ayah yang sangat menyayangi anak-anaknya, melihat cincin ajaibnya patah ia tidak marah. Ia lantas mengambil cincin yang diberikan oleh anaknya dan kemudian pergi ke tukang pandai emas.

Sesampai di rumah si pandai emas, Nang Butuh Mosel lalu menyerahkan cincinnya untuk diperbaiki. Namun karena waktu itu sedang sibuk, si pandai emas menyuruh Nang Butuh Mosel meletakkan cincinnya di atas meja kerjanya. Si pandai emas berjanji akan memperbaikinya nanti malam dan besok sore Nang Butuh Mosel boleh mengambilnya kembali.

Malam harinya ketika si pandai emas mulai menempa cincin Nang Butuh Mosel, tiba-tiba landasan dan palu yang digunakan untuk menempa cincin itu berubah menjadi emas. Hal ini membuat si pandai emas terkejut dan dengan akal bulusnya ia segera membuat cincin baru yang bentuknya persis seperti cincin Nang Butuh Mosel. Cincin baru itu yang keesokan harinya akan diberikan kepada Nang Butuh Mosel. Sementara cincin yang asli diperbaikinya dan disimpan untuk dirinya sendiri.

Keesokan harinya ketika Nang Butuh Mosel telah datang untuk mengambil cincinnya, si pandai emas langsung memberikan cincin palsu buatannya dan lantas berpura-pura sibuk dengan pekerjaan lainnya. Nang Butuh Mosel yang tidak ingin mengganggu pekerjaan si pandai emas, tanpa meneliti dahulu cincinnya langsung membayar dan berlalu dari situ. Namun setelah sampai di rumah, cincin itu tidak bekerja sebagaimana biasanya. Ia tidak dapat menjadikan benda apapun menjadi emas. Dan, setelah diperhatikan tahulah ia bahwa cincin itu ternyata palsu. Nang Butuh Mosel menjadi sedih, sebab cincin itulah yang selama ini menjadi tumpuan hidup keluarganya.

Melihat tuannya sedang bersedih hati, ketiga hewan yang dipeliharanya merasa kasihan dan mendekatinya. Setelah emosi Nang Butuh Mosel agak terkendali, mewakili ketiga temannya, si kucing bertanya, “Mengapa Bapak bersedih? Apakah Bapak tidak sanggup lagi memberi makan kami?”

Mendengar kuncing peliharaannya tiba-tiba dapat berbicara, Nang Butuh Mosel menjadi kaget setengah mati. Beberapa saat kamudian, setelah dapat mengatasi keterkejutannya itu, ia berkata, “Ah, bukan demikian. Kalian jangan salah sangka, aku bersedih karena cincinku telah ditukar oleh si pandai emas.”

Tiba-tiba menyahutlah si tikus, “Kalau demikian mari kita ambil kembali cincin itu dari tangan si pandai emas.”

“Tapi, bagaimana caranya? Kita sama-sama kecil,” kata si anjing.

Sang tikus berkata, “Jangan takut pada orang yang lebih besar. Kalau memang salah, pasti ia akan kalah. Dan, meskipun tubuhku paling kecil, aku tidak takut. Apalagi sudah demikian besar jasa dan kasih sayang yang kita peroleh dari Pak Nang Butuh Mosel.”

“Kalau begitu, marilah kita berangkat ke rumah si pandai emas,” kata si kucing sambil berjalan keluar rumah.

Singkat cerita, tidak berapa lama kemudian mereka pun telah tiba di rumah si pandai emas. Mereka lalu membagi tugas. Kucing dan tikus akan menyelinap masuk melewati lubang yang ada di tembok rumah itu. Sedangkan, anjing akan berdiri di depan pintu, berjaga-jaga kalau si pandai emas atau isterinya tiba-tiba terbangun.

Setelah itu, si kucing dan tikus pun masuk ke dalam rumah dan mulai mencari di mana cincin ajaib itu disembunyikan. Saat berkeliling mencari, akhirnya mereka melihat sinar cincin milik Nang Butuh Mosel berada di dalam sebuh peti. Si kucing kemudian berbisik pada tikus, “Wah, bagaimana cara mengeluarkannya?”

“Mudah, akan kugigit bagian tepi peti itu!” kata tikus sambil berjalan ke arah peti.

Saat si tikus sedang menggerogoti peti, isteri si pandai emas terbangun dan berkata pada suaminya, “Wah, suara apa itu?”

Si kucing yang melihat pemilik rumah terbangun, segera mengeong untuk mengalihkan perhatiannya. Sementara si anjing yang mendengar suara kucing segera menggonggong, agar terkesan seperti sedang mengejar kucing.

“Sepertinya ada anjing yang sedang mengejar kucing,” kata si pandai emas lalu melanjutkan tidurnya kembali.

Setelah berhasil melubangi peti, si tikus segera mengambil cincin ajaib itu dan bersama si kucing dan si anjing berlalu dari rumah si pandai emas. Namun, sewaktu mereka menyeberangi sungai untuk sampai di rumah Nang Butuh Mosel, cincin yang dipegang oleh si tikus terjatuh. Untunglah pada saat itu ada seekor katak yang bersedia menyelam dan mengambilnya, sehingga ketiga binatang itu tidak pulang dengan tangan hampa.

Sesampainya di rumah cincin itu langsung diberikan kepada majikannya. Nang Butuh Mosel dan keluarganya yang telah lama menanti, segera mencoba cincin itu untuk memastikan keasliannya. Dan, setelah dicoba dengan memasukkan sebatang lidi, ternyata lidi seketika berubah menjadi emas. Keluarga Nang Butuh Mosel menjadi sangat bahagia dan sejak saat itu mereka selalu menjaga cincin ajaib pemberian ular besar dengan sebaik-baiknya.

Sumber:
Diadaptasi bebas dari Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Budaya Bagian Proyek Pengkajian dan Pemanfaatan Sejarah dan Tradisi Bali. 2002. Cerita Rakyat Daerah Bali. Denpasar: Departeman Kebudayaan dan Pariwisata.

The Nu Ethnic Minority

The Nu ethnic minority, numbering some 28,759, live mainly in Yunnan Province's Bijiang, Fugong, Gongshan and Lanping counties, which comprise the Nujiang Lisu Autonomous Prefecture. Others are found in Weixi County in the Diqing Tibetan Autonomous Prefecture.

The Nu people speak a language belonging to the Tibetan-Myanmese group of the Chinese-Tibetan language family. It has no written form, and, like many of their ethnic minority neighbors, the Nus used to keep records by carving notches on sticks; educated Nus nowadays use the Han language (Chinese) for administrative purposes.

The Nu homeland is a country of high mountains and deep ravines crossed by the Lancang, Dulong and Nujiang rivers. The famous Grand Nujiang Canyon is surrounded by mountains, which reach 3,000 meters above sea level. Dense virgin forests of pines and firs cover the mountain slopes and are the habitat of tigers, leopards, bears, deer, giant hawks and pheasants.

The area is rich in mineral deposits and valuable medicinal herbs. In addition, with a warm climate and plentiful rain, it promises great hydroelectric potential.

Origins and History
In the eighth century, the area inhabited by the Nus came under the jurisdiction of the Nanzhao and Dali principalities, which were tributary to the Tang (618-907) court. During the Yuan and Ming dynasties it came under the rule of a Naxi headman in Lijiang. From the 17th century, rulers comprised various Tibetan and Bai headmen and Tibetan lamaseries. These rulers usurped the Nus' land and carried many of them off as slaves.

From the mid-1850s, the British colonialists who had conquered Myanmur pushed up the Nujiang River valley. They were followed by American, French and German adventurers. This caused friction with the Nu and other minority peoples in the area, such as the Lisu, Tibetan and Drung ethnic minorities. In 1907, these peoples banded together to stage a mass uprising against the encroachments of French missionaries.

Culture and Customs
Before the founding of the People’s Republic of China in 1949, social development was uneven among the various Nu communities. The Nu people in Lanping and Weixi counties had long entered the feudal stage, and their methods of production and standard of living were similar to those of the Hans, Bais and Naxis. There were vestiges of primitive communalism in the Nu communities in Bijiang, Fugong and Gongshan, where private ownership and class polarization had only just begun.

Bamboo and wooden farm tools were the main implements of production, and major crops were maize, buckwheat, barley, Tibetan barley, potatoes, yams and beans. Output was low, as fertilizer was not used and crop techniques were primitive. The annual grain harvest was some 100 kg short of the per capita need and the diet was supplemented by hunting and fishing using bows and poisoned arrows.

Industry was represented by handicraft products made on a cottage-industry basis -- linen, bamboo and wooden articles, iron tools, and liquor. Surplus handicrafts were bartered for necessities in the small markets.

Before China’s national liberation in 1949, land ownership took three forms: primitive communal type, private and group-ownership. The older Nu villages in Bijiang and Fugong retained vestiges of the ancient patriarchal clan system; there were ten clan communes located in ten separate villages, which each had communal land. According to a 1953 survey, a landlord economy had emerged in Bijiang County, with an increasing number of land sales, mortgages and leases. In some places, rich peasants exploited their poorer neighbors by a system called "washua," under which peasants labored in semi-serf conditions. Slavery was practiced in a fraudulent form of son adoption.

Monogamy was the general practice, although a few wealthy landlords and commune headmen sometimes had more than one wife. After marriage, men would move out of the family dwelling and set up a new household with some of the family property. The new family, however, still retained a cooperative relationship with the parental family and the whole clan. The youngest son lived with his parents and inherited their property. Women had low social status, doing the household chores and working in the fields but having no economic rights at all.

The traditional burial forms dictated that males be buried face upward with straight limbs, while females lay sideways with bent limbs. In the case of a dead couple, the female was made to lie on her side facing the man and with bent limbs -- symbolizing the submission of the female to the male. When an adult died, all the members of the clan or village commune observed three days of mourning.

The Nus live in wooden or bamboo houses, each usually consisting of two rooms. The outer one is for guests and also serves as the kitchen. In the middle is the fireplace, with an iron or stone tripod for hanging cooking pots from. The inner room is used as a bedroom and grain storage, and is off-limits to outsiders. The houses are built by the common efforts of all the villagers and are usually erected in one day.

Until the mid-20th century, both men and women wore linen clothes. Girls after puberty wore long skirts and jackets with buttons on the right side. Nu women in Gongshan wrapped themselves in two pieces of linen cloth and stuck elaborately-worked bamboo tubes through their pierced ears. Married women in Bijiang and Fugong wore coral, agate, shell and silver coin ornaments in their hair and on their chests. For earrings they used shoulder-length copper rings. Besides, all Nu women like to adorn themselves with thin rattan bracelets, belts and anklets. Nu men wear linen gowns and shorts, and carry axes and bows and arrows.

The staple food of the Nus is maize and buckwheat. They rarely grow vegetables. In the past, just before the summer harvest they had to gather wild plants to keep alive. Both men and women drink large quantities of strong liquor.

The Nus were animists, and objects of worship included the sun, moon, stars, mountains, rivers, trees and rocks. The shamans were often clan or commune chiefs and practiced divination to ensure good harvests. Apart from that, their duties also included primitive medicine and the handing down of the tribe's folklore. Any small mishap was the occasion for holding an elaborate appeasement rite, involving huge waste and hardship to the Nu people. In addition, Lamaism and Christianity had made some headway among the Nus before liberation.

The Nus practice an extempore type of singing accompanied on the lute, flute, mouth organ or reed pipe. Their dances are bold and energetic -- mainly imitations of animal movements.

New Life
China’s national liberation came to the Nu areas in 1950. Local governments gave out free food grains, seeds, farm implements and articles of daily use to the Nu people to help them tide over their difficulties and boost production. In 1954 the Nujiang Lisu Autonomous Prefecture was established, which had under its jurisdiction the counties of Bijiang, Fugong, Gongshan, Lushui and Lanping (this last incorporated in 1957). On October 1, 1956 the Gongshan Drung and Nu Autonomous County was set up.

The pace of social reform varied in the different Nu areas. For instance, in the more-developed Lanping County, where feudalism had gained a strong hold, land reform was carried out, followed by the establishment of cooperatives in 1956. In Bijiang, Fugong and Gongshan counties, where vestiges of primitive communalism still survived, the government adopted a policy of first developing production and then gradually eliminating exploitation and primitive practices.

People from outside were sent in to promote advanced production techniques, and start up educational and public health projects. Special funds were earmarked for irrigation projects, land reclamation, paddy-field development and sideline production.

Light industries and mining, too, have gained a foothold among the Nus, and grain production has increased several times owing to the transformation of poor land into paddy fields. The formerly isolated Nu communities are now linked to each other by a network of highways, and some 20 chain bridges now span the Nujiang, Lancang and Dulong rivers.

At the time of the mid-20th century, only about 20 people of Nu origin had received primary education. Now there are primary schools in all townships and most villages, and a middle school in every county. The majority of Nu children are in school.

Four hospitals and a network of clinics and community healthcare centers have done much to control dysentery, typhoid, cholera and other epidemics.

Source:
http://www.china.org.cn

Ghana Ethnic Groups

In 1960 roughly 100 linguistic and cultural groups were recorded in Ghana. Although later censuses placed less emphasis on the ethnic and cultural composition of the population, differences of course existed and had not disappeared by the mid-1990s The major ethnic groups in Ghana include the Akan, Ewe, Mole-Dagbane, Guan, and Ga-Adangbe. The subdivisions of each group share a common cultural heritage, history, language, and origin. These shared attributes were among the variables that contributed to state formation in the precolonial period. Competition to acquire land for cultivation, to control trade routes, or to form alliances for protection also promoted group solidarity and state formation. The creation of the union that became the Asante confederacy in the late seventeenth century is a good example of such processes at work in Ghana's past.

Ethnic rivalries of the precolonial era, variance in the impact of colonialism upon different regions of the country, and the uneven distribution of social and economic amenities in postindependence Ghana have all contributed to present-day ethnic tensions. For example, in February 1994, more than 1,000 persons were killed and 150,000 others displaced in the northeastern part of Ghana in fighting between Konkomba on one side and Nanumba, Dagomba, and Gonja on the other. The clashes resulted from longstanding grievances over land ownership and the prerogatives of chiefs. A military task force restored order, but a state of emergency in the region remained in force until mid-August.

Although this violence was certainly evidence of ethnic tension in the country, most observers agreed that the case in point was exceptional. As one prolific writer on modern Ghana, Naomi Chazan, has aptly observed, undifferentiated recourse to ethnic categories has obscured the essential fluidity that lies at the core of shared ties in the country. Evidence of this fluidity lies in the heterogeneous nature of all administrative regions, in rural-urban migration that results in interethnic mixing, in the shared concerns of professionals and trade unionists that cut across ethnic lines, and in the multi-ethnic composition of secondary school and university classes. Ethnicity, nonetheless, continues to be one of the most potent factors affecting political behavior in Ghana. For this reason, ethnically based political parties are unconstitutional under the present Fourth Republic.

Despite the cultural differences among Ghana's various peoples, linguists have placed Ghanaian languages in one or the other of only two major linguistic subfamilies of the Niger-Congo language family, one of the large language groups in Africa. These are the Kwa and Gur groups, found to the south and north of the Volta River, respectively. The Kwa group, which comprises about 75 percent of the country's population, includes the Akan, Ga-Adangbe, and Ewe. The Akan are further divided into the Asante, Fante, Akwapim, Akyem, Akwamu, Ahanta, Bono, Nzema, Kwahu, and Safwi. The Ga-Adangbe people and language group include the Ga, Adangbe, Ada, and Krobo or Kloli. Even the Ewe, who constitute a single linguistic group, are divided into the Nkonya, Tafi, Logba, Sontrokofi, Lolobi, and Likpe. North of the Volta River are the three subdivisions of the Gur-speaking people. These are the Gurma, Grusi, and Mole-Dagbane. Like the Kwa subfamilies, further divisions exist within the principal Gur groups.

Any one group may be distinguished from others in the same linguistically defined category or subcategory, even when the members of the category are characterized by essentially the same social institutions. Each has a historical tradition of group identity, if nothingelse, and, usually, of political autonomy. In some cases, however, what is considered a single unit for census and other purposes may have been divided into identifiable separate groups before and during much of the colonial period and, in some manner, may have continued to be separate after independence.

No part of Ghana, however, is ethnically homogeneous. Urban centers are the most ethnically mixed because of migration to towns and cities by those in search of employment. Rural areas, with the exception of cocoa-producing areas that have attracted migrant labor, tend to reflect more traditional population distributions. One overriding feature of the country's ethnic population is that groups to the south who are closer to the Atlantic coast have long been influenced by the money economy, Western education, and Christianity, whereas Gur-speakers to the north, who have been less exposed to those influences, have came under Islamic influence. These influences were not pervasive in the respective regions, however, nor were they wholly restricted to them.

Source:
http://www.ghanaweb.com

Pantai Sundak (Yogyakarta)

Wisata alam, khususnya wisata pantai di Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, banyak sekali jumlahnya. Selain pantai-pantai yang sudah tenar, seperti Baron, Kukup, Krakal, Gesing, Ngobaran, Sepanjang, Wediombo, Drini, Ngandong dan Ngrenehan, terdapat sebuah pantai lain dengan panorama yang tak kalah indahnya. Pantai itu adalah Pantai Sundak yang terletak di Desa Sidoharjo, Kecamatan Tepus. Untuk mencapai pantai ini relatif mudah karena jalannya telah beraspal dan disertai dengan rambu-rambu petunjuk, sehingga memudahkan para wisatawan yang hendak berkunjung.

Pantai Sundak dahulu bernama Pantai Wedibedah, yang diambil dari kata wedi yang berarti pasir dan mbedah yang berarti membelah. Penamaan ini disebabkan karena pada saat musim hujan tiba banyak air dari daratan yang mengalir menuju pantai. Akibatnya, daratan di sebelah timur pantai membelah (mbedah) hingga membentuk seperti sungai. Namun, apabila musim kemarau tiba, belahan itu menghilang karena digerus oleh air laut. Fenomena alam inilah yang menyebabkan pantai ini disebut Wedibedah.

Pada sekitar tahun 1976 nama pantai ini berubah, karena ada suatu kejadian menarik di sekitar pantai. Waktu itu ada seekor anjing yang sedang berlari memasuki sebuah gua karang untuk mengejar seekor landak laut. Mungkin karena lapar si anjing bermaksud memakan si landak hingga akhirnya terjadi perkelahian. Dalam perkelahian tersebut ternyata si anjing berhasil menang dan membawa pulang sebagian tubuh landak laut itu. Saat sang anjing pulang dalam keadaan tubuh yang penuh lumpur sambil membawa sebagian tubuh landak, pemiliknya menjadi penasaran sebab di tempat itu semuanya berpasir putih dan tidak ada lumpurnya.

Karena penasaran, si pemilik yang bernama Mbah Arjasangku pun kemudian berjalan menyusuri arah yang tadi dilewati oleh anjingnya, hingga tiba di sebuah gua tempat si anjing berkelahi. Di gua tersebut, Mbah Arjasangku tidak hanya menemukan lumpur dan sisa tubuh landak laut yang tidak dibawa oleh anjingnya, tetapi juga sebuah sumber mata air. Singkat cerita, mata air itu kemudian dijadikan sebagai sumber air tawar yang dimanfaatkan untuk keperluan hidup penduduk di sekitar pantai. Dan, karena perkelahian antara anjing dan landak itu telah membawa berkah bagi penduduk setempat, maka Pantai Wedibedah diubah namanya menjadi Sundak yang merupakan akronim dari kata asu (anjing) dan landak.

Lepas dari masalah penamaan itu, yang jelas Pantai Sundak dapat dijadikan sebagai obyek wisata alternatif yang tidak kalah indahnya dibanding dengan pantai-pantai lain yang ada di wilayah Kabupaten Gunung Kidul. Di pantai yang berpasir putih ini pengunjung dapat menyaksikan terumbu-terumbu karang yang indah sambil menikmati hembusan angin laut yang menyegarkan. Selain itu, pengunjung juga dapat menikmati makanan laut dengan harga terjangkau yang banyak disediakan oleh warung-warung yang ada di sekitar pantai. Dan, sama seperti tempat-tempat rekreasi lainnya di Indonesia, Pantai Sundak dilengkapi pula dengan fasilitas khas tempat rekreasi, seperti kamar mandi untuk bilas, rumah ibadah (masjid), panggung hiburan, gardu pandang, areal perkemahan, hingga areal parkir kendaraan bermotor yang cukup luas. (gufron)

Foto:
http://a174h.blogspot.com/


Sumber:

http://www.yogyes.com/
http://www.indonesia-tourism.com/

Museum Kapal Samudraraksa

Museum Kapal Samudraraksa terletak di dalam zona penyangga II areal Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Pembangunan museum ini ditujukan untuk mengingatkan kembali akan kejayaan nenek moyang bangsa Indonesia yang berhasil mengarungi Samudera Hindia hingga ke wilayah Afrika. Museum yang diresmikan pada tanggal 31 Agustus 2005 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhyono ini terdiri dari tiga bangunan. Bangunan pertama merupakan tempat informasi, display foto, poster, relief, serta pemutaran film. Bangunan kedua yang berbentuk rumah joglo merupakan tempat kapal Samudraraksa dipajang. Selain kapal, di bangunan kedua ini disimpan barang-barang yang dipergunakan oleh para awak kapalnya sewaktu berlayar mengarungi samudera, seperti: peralatan memasak, peralatan rumah tangga sehari-hari, buku, kaset, cd, vcd, dan obat-obatan. Sedangkan bangunan ketiga berfungsi sebagai kantor dan tempat penjualan suvenir.

Sejarah Kapal Samudraraksa
Sejarah Kapal Samuderaraksa berawal ketika Phillipe Beale (mantan Angkatan Laut Inggris), berkunjung ke Candi Borobudur pada tanggal 8 November 1982. Saat berada di Borobudur, ia melihat relief sebuah kapal yang dipahatkan pada salah satu dindingnya. Keindahan relief kapal tersebut menjadikannya tertarik untuk membuat kapal serupa, sekaligus untuk melakukan ekspedisi seperti yang dilakukan oleh para pelaut Indonesia pada abad ke-8. Namun, 20 tahun kemudian cita-citanya itu baru terwujud, setelah pada bulan September 2002 ia menghubungi Nick Burningham (ahli arkeologi maritim berkebangsaan Australia), untuk merancang sebuah kapal seperti yang dilihatnya pada relief di Candi Borobudur. Setelah berhasil merancang kapal, pada 19 Januari 2003 mereka kemudian menghubungi As’ad Abdullah (69 tahun) yang bertempat tinggal di Pulau Pagerungan Kecil, Kabupaten Sumenep, Madura, untuk membuat perahu rancangan mereka. Oleh As’ad Abdullah dan sejumlah arsitek asing, kapal dibuat dengan menggunakan teknologi tradisional dan seluruh bahan bakunya dari kayu.

Pada bulan Mei 2003 kapal pesanan Phillipe Beale selesai dibangun. Kapal ini berukuran panjang 18,29 meter, lebar 4,50 meter, dan tinggi 2,25 meter. Bagian depan kapal digunakan sebagai kabin dan tempat tidur, bagian tengah sebagai ruang makan dan navigasi, sedangkan bagian buritan digunakan sebagai ruang kemudi, dapur, dan tempat cuci piring. Untuk berlayar, karena tidak menggunakan mesin, kapal dilengkapi dengan 2 layar tanjak, 2 buah kemudi dan cadik ganda. Selain itu, kapal juga dilengkapi dengan peralatan keselamatan seperti: Global Positioning Satelite (untuk mengetahui posisi kapal), NavTex (untuk menerima informasi cuaca), EchoSounder (untuk mendeteksi kedalaman air), Inmarst Telephone Satelite (untuk komunikasi di tengah laut), dan Lift Raft (dua buah rakit apung).

Setelah kapal selesai dibuat, pada bulan Mei 2003 diadakan seleksi untuk calon anak buah kapal. Dari seleksi itu, diambil 27 orang yang berasal dari Indonesia, Australia, Selandia Baru, Inggris, Swedia, dan Perancis. Selesai melakukan seleksi untuk anak buah kapal, dan juga menunjuk salah seorang diantara mereka untuk menjadi kapten, yaitu I Gusti Putu Ngurah Sedaha, maka pada tanggal 25 mei 2003 kapal diluncurkan untuk pertama kalinya ke laut.

Pada bulan Juni 2003 kapal bersama awaknya melakukan uji coba pelayaran dari Pulau Pangerungan Kecil ke Benoa (Bali), melewati perairan Banyuwangi. Setelah berhasil melakukan uji coba, pada tanggal 2 Juli 2003 diadakan seminar pra peluncuran kapal di Jakarta. Dua minggu kemudian, yaitu tangal 16 Juli 2003, kapal diresmikan oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata I Gede Ardika.

Pada tanggal 22 Juli 2003 kapal meninggalkan Benoa menuju Ancol, Jakarta, melewati Surabaya, Karimunjawa, dan Semarang. Setelah sampai di Jakarta, pada tanggal 15 Agustus 2003 kapal ini diberi nama Samudraraksa yang berarti “Pelindung Lautan” dan sekaligus diberangkatkan menuju Madagaskar oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Dalam pelayaran yang menyusuri rute Kayu Manis (Jakarta, Madagaskar, Cape Town dan berakhir di Ghana) itu, Kapal Samudraraksa membawa barang-barang kebutuhan awak kapal, seperti: 1500 liter air tawar, 900 kg beras, 2 upright sails, 1 ton kayu bakar, 0,5 ton bahan makanan dan bumbu, dan lain sebagainya.

Tanggal 12 September 2003, kapal Samudraraksa berhasil berlabuh di pelabuhan Victoria, Seychelles. Dua minggu kemudian, tepatnya tanggal 29 September 2003, Samudraraksa meninggalkan Seychelles menuju Madagaskar. Tanggal 14 Oktober, kapal Samudraraksa mencapai Mahajanga, Madagaskar. Dari Madagaskar, pada tanggal 26 Oktober, Samudraraksa berlayar lagi menuju Cape Town, Afrika Selatan. Dalam pelayaran menuju Cape Town itu, pada tanggal 16 November mereka singgah di Richard Bay. Tanggal 1 Desember singgah di Pelabuhan Durban. Tanggal 7 Desember singgah di Pelabuhan Elizabeth. Baru pada tanggal 5 Januari 2004, Samudraraksa tiba di Cape Town.

Sekitar 2 minggu kemudian, tepatnya tanggal 17 Januari 2004, Samudraraksa berangkat lagi menuju Ghana. Setelah beberapa minggu mengarungi lautan, pada tanggal 23 Februari kapal Samudraraksa sampai di tujuan akhir dan berlabuh di Pelabuhan Tema, Accra, Graha. Dengan berlabuhnya Samudraraksa di Ghana, maka berakhirlah ekspedisi menyusuri jalur Kayu Manis. Para awak pun kembali ke tanah air untuk menerima penghargaan Satya Lencana dari Presiden Megawati Soekarnoputri. Sedangkan kapal Samudraraksa yang masih berada di Ghana, tujuh bulan kemudian dibongkar dan dibawa pulang ke Indonesia. Sesampai di Indonesia, bongkahan-bongkahan kapal Samudraraksa itu dibawa ke Borobudur dan dirakit kembali untuk selanjutnya dimuseumkan, sebagai tanda akan kejayaan nenek moyang bangsa Indonesia yang berhasil mengarungi Samudera Hindia hingga ke wilayah Afrika. (ali gufron)







Permainan Puteran (Lampung)

Puteran adalah nama permainan yang biasa dilakukan oleh anak perempuan, meskipun laki-laki tidak dilarang. Bermain puteran memerlukan pemain paling sedikit 3 orang. Umumnya mereka bermain dengan lima orang pemain. Alat yang digunakan dalam permainan ini adalah tali dari karet gelang yang diuntai memanjang hingga berukuran dua hingga tiga meter. Untuk melakukan permainan ini diperlukan lahan yang agak luas. Oleh karena itu, halaman rumah termasuk salah satu tempat yang cocok untuk bermain puteran.

Cara bermain puteran cukup sederhana. Terlebih dahulu melakukan penentuan urutan pemain, siapa yang mendapat giliran bermain kesatu, kedua, ketiga dan seterusnya. Dua orang yang mendapat urutan terakhir dibebani tugas memegang ujung-ujung rentangan tali karet. Jarak rentangan tali karet disesuaikan dengan ruang gerak pemainnya agar bisa bermain dengan leluasa. Selanjutnya kedua ujung tali karet diputar-putarkan sehingga membentuk rongga lingkaran yang cukup nyaman bagi pemain melakukan gerakan di dalamnya. Ayunan tali karet terus dilakukan. Pada saat yang tepat, pemain masuk dan melompat ke dalam ruang lingkaran karet. Setelah melakukan seluruh rangkaian gerakan yang harus diharuskan, pemain pertama keluar. Kemudian, masuk lagi pemain urutan berikutnya yang melakukan seluruh gerakan seperti pemain sebelumnya. Begitulah seterusnya sampai seluruh pemain yang melakukan kesalahan. Kesalahan terjadi karena gerakan pemain menyentuh tali karet yang diputarkan hingga menghentikan laju putaran karet.

Permainan puteran memerlukan keterampilan tersendiri. Pemain harus mampu mengikuti irama ayunan tali. Tentu saja ini memerlukan tenaga dengan nafas yang kuat. Jika pemain tidak memiliki kemampuan tersebut, gerakannya menjadi tersendat, dan badan akan menyentuh tali karet serta menghentikan ayunan karet.

Pengayun tali juga harus dapat menjaga ayunan tali agar tetap berputar secara konstan agar dapat selaras dengan gerakan pemain. Jika hal ini tidak dilakukan, pemain akan menegur pengayun untuk melakukan gerakan ayunan yang enak dan nyaman.

Sumber:
Sucipto, Toto, dkk,. 2003. Kebudayaan Masyarakat Lampung di Kabupaten Lampung Timur. Bandung: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung.

Samsung L170

Specifications
Samsung L170

Network2G
3G
GSM 900 / 1800 / 1900
UMTS 2100
SizeDimensions
Weight
Display
102.3 x 45.8 x 10.7 mm
86 gram
TFT, 256K colors
176 x 220 pixels, 1.6 inches (~176 ppi pixel density)
MemoryPhonebook
Call records
Internal
Card slot
1000 entries, Photocall
30 dialed, 30 received, 30 missed calls
21 MB
microSD
DataGPRS
EDGE
3G
WLAN
Bluetooth
Infrared port
USB
Class 10 (4+1/3+2 slots), 32 - 48 kbps
Class 11, 236.8 kbps
384 kbps

v2.0 with A2DP

microUSB v2.0
FeaturesOS
CPU
Messaging
Ringtones
Browser
Radio
GPS
Games
Camera
Video
Colors
Java


SMS, EMS, MMS, Email
Vibration; downloadable polyphonic, MP3 ringtones
WAP 2.0/xHTML, HTML(NetFront), RSS feeds
Stereo FM radio with RDS

Yes
2 MP, 1600x1200 pixels, autofocus
Yes
Metallic silver
MIDP 2.0
- Loudspeaker
- VGA videocall camera
- MP3/AAC/eACC/WMA player
- Mobile blogging
- Google search
- Predictive text input
- Picture editing
- Organizer
- Clock
- Calendar
- Alarm
Battery
Stand-by
Talk time
Standard battery, Li-Ion 880 mAh
Up to 250 h
Up to 5 h

Image: http://www.zirveiletisim.net

Kabupaten Cianjur

Letak dan Keadaan Alam
Cianjur adalah salah satu kabupaten yang ada di Jawa Barat. Daerah yang letaknya diantara Bogor dan Bandung ini dilalui oleh jalur lintas selatan yang menghubungkan antara ibukota negara (Jakarta) dan ibukota Provinsi Jawa Barat (Bandung). Secara astronomis letaknya antara 106°,42¢--107°,25¢ Bujur Timur dan 06°,21¢--07°,32¢ Lintang Selatan.

Daerahnya sebagian merupakan dataran tinggi dan sebagian lainnya dataran rendah. Dataran tingginya merupakan kaki Gunung Gede yang berketinggian kurang lebih 2.962 meter dari permukaan air laut. Sedangkan, dataran rendahnya berada di daerah selatan yang didominasi oleh persawahan. Ini pertanda bahwa sebagian besar masyarakatnya bermatapencaharian sebagai petani, baik itu buruh tani, petani penggarap maupun petani penggarap dan sekaligus pemilik. Sebagai catatan, sawah yang mereka garap tidak semuanya menggunakan sistem irigasi karena ada juga yang bergantung pada turunnya hujan (sawah tadah hujan). Sebelum musim penghujan biasanya sawah ini ditanami dengan tanaman palawija seperti: bawang merah, kacang tanah, dan kedelai. Jenis tanahnya yang sedemikian rupa dan cocok untuk jenis padi tertentu, khususnya pada sawah yang menggunakan sistem irigasi, pada gilirannya menghasilkan beras yang khas, yaitu beras cianjur.

Pada sawah yang menggunakan sistem irigasi, biasanya setelah padinya dituai, sawah tersebut segera dicangkul dan atau dibajak. Sebelum sawah ditanami dengan benih padi, ada juga yang memanfaatkan untuk memelihara ikan. Dan, ikan tersebut segera dipindahkan ke balong (kolam) ketika benih padi sudah siap untuk ditanam. Seminggu sebelum padi dituai, pemiliknya biasanya mengundang seorang dukun candoli atau wali puhun dan beberapa orang tetangga. Pengundangan tersebut bertujuan untuk memberitahukan kepada khalayak ramai bahwa si pemilik sawah akan melakukan penuaian padi. Dalam konteks ini sang candoli bertugas menentukan waktu yang tepat untuk menuai padi berdasarkan hari pasaran seperti: kliwon, manis, pon, dan wage. Setelah waktu yang ditetapkan tiba dan persyaratan penuaian telah tersedia, (sesajian) seperti: sawen, pucuk tanjeur, pucuk gantung, empos (kukus yang berkaki), nasi tumpeng beserta lauk pauknya, maka sang candoli pun mengucapkan mantra, kemudian menyemburkan air sirih ke empat penjuru angin. Setelah itu, ia pun memotong padi sebagai simbol bahwa penuaian sudah dapat dilaksanakan.

Cianjur tampaknya tidak hanya dikenal karena sebagian wilayahnya termasuk dalam “kawasan puncak” (bahkan “puncak pas” ada di wilayahnya) dan berasnya yang khas, tetapi juga bahasa Sundanya yang “murni” dan “halus” dan kesenian kecapi-suling-nya. “Kemurnian” dan “kehalusan” karena daerahnya termasuk dalam wilayah Priangan (Harsojo, 1999:307). Sedangkan, kecapi-suling-nya yang khas pada gilirannya membuat kesenian tersebut disebut sebagai kecapi-suling-cianjuran. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika Harsojo (1999:308) mengatakan bahwa kecapi-suling-cianjuran, sesuai dengan namanya, berasal dari daerah Cianjur. Selain itu, ada satu hal lagi yang mengingatkan nama daerah ini, yaitu asinan-nya. Asinan yang cukup tersohor di daerah ini adalah yang berada di dekat persimpangan yang jika lurus akan menuju ke Sukabumi (dari Bandung) dan jika belok kanan menuju Bogor dan atau Jakarta.

Sosial-Budaya
Bahasa
Masyarakat Cianjur adalah pendukung kebudayaan Sunda. Dalam berkomunikasi mereka menggunakan.bahasa Sunda-Priangan yang menurut Harjoso lebih “murni” dan “halus” dibandingkan dengan bahasa Sunda-non-Priangan, seperti orang: Banten, Karawang, Bogor, dan Cirebon. Sayangnya Harsojo tidak menjelaskan secara rinci mengapa bisa demikian. Ia hanya menjelaskan bahwa adanya perbedaan “kemurnian” dan “kekurang-murnian” serta “kehalusan” dan “kekurangan-halusan” bahasa di kalangan orang Sunda barangkali sangat erat kaitannya dengan aspek sejarah. Di masa lalu misalnya, budaya Mataram-Islam pernah berpengaruh di daerah Priangan. Bahkan, pada abad ke-19 ada jalinan hubungan kekerabatan dan kebudayaan antara kaum bangsawan Sunda (khususnya di daerah Sumedang) dan kaum bangsawan di Surakarta dan Yogyakarta. Selain itu, ada kemungkinan bahwa iklim-iklim dan lingkungan alam memberikan pengaruh kepada aspek-aspek tertentu dari bahasa (Harsojo,1999:308). Ini artinya geografis merupakan salah satu faktor yang ikut mempengaruhi adanya perbedaan unsur-unsur budaya suatu masyarakat, walaupun masyarakat tersebut masih merupakan bagian dari masyarakat suatu sukubangsa.(Sunda). Kedua faktor itu (bahasa dan kebudayaan) yang kemudian menjadi jatidiri orang Sunda. Untuk itu, tidak berlebihan jika Ajip Rosidi dalam Ekadjati (1984) yang dikutip oleh Sucipto, dkk (2000) mengatakan bahwa secara umum dapat dikatakan bahwa yang disebut orang Sunda adalah mereka yang sehari-hari mempergunakan bahasa Sunda dan menjadi pendukung kebudayaan Sunda. Tumbuh dan berkembangnya kebudayaan Sunda itu sendiri, termasuk budaya masyarakat Cianjur, tidak lepas dari adanya kontak-kontak dengan kebudayaan lain. Ini bermakna bahwa masyarakat Sunda terbuka. Dalam konteks ini masyarakat Sunda mudah sekali menerima (menyerap) unsur-unsur budaya lain, kemudian menjadikannya sebagai bagian dari budayanya.

Sistem Kekerabatan
Masyarakat Cianjur, sebagaimana masyarakat Sunda lainnya, dalam menentukan siapa-siapa yang termasuk dalam kerabatnya mengacu pada garis keturunan garis ayah dan ibu. Dengan perkataan lain, prinsip keturunan yang mereka anut adalah bilateral (kerabat tidak hanya didasarkan pada garis keturunan ayah seperti halnya masyarakat Batak dan atau ibu saja seperti halnya masyarakat Minangkabau, tetapi keduanya). Bentuk keluarga terpenting adalah keluarga-batih. Keluarga ini terdiri atas suami, isteri, dan anak-anak yang diperoleh dari perkawinan atau adopsi. Hubungan antaranggota keluarga-batih sangat erat karena merupakan tempat yang paling aman bagi anggotanya di tengah-tengah hubungan kerabat yang lebih besar dan di tengah-tengah masyarakat. Di dalam rumah tangga keluarga-batih itu juga sering terdapat anggota-anggota keluarga lain seperti ibu mertua atau keponakan (anak adik suami dan atau isteri). Selain keluarga-batih ada pula sekelompok kerabat sekitar keluarga-batih yang masih sadar akan hubungan kekerabatannya yang disebut sebagai golongan yang dalam ilmu antropologi disebut kindred (Harsojo, 1999:320). Masyarakat Sunda, termasuk masyarakat Cianjur, juga mengenal kelompok yang berupa ambilineal karena mencakup kerabat sekitar keluarga-batih seorang ego yang diorientasikan ke arah nenek moyang yang jauh di dalam masa lampau. Kelompok ini disebut bondoroyot (lihat Harsojo, 1999).

Sejalan dengan prinsip keturunannya yang bilateral maka istilah kekerabatannya juga mengarah ke sana. Dilihat dari sudut ego mereka mengenal istilah-istilah tujuh generasi ke atas dan ke bawah. Ketujuh generasi ke atas adalah: kolot, embah, buyut, bao, janggawareng, udeg-udeg, dan gantung siwur. Sedangkan, ketujuh generasi ke bawah adalah: anak, incu, buyut, bao, janggawareng, udeg-udeg, dan gantung siwur. Meskipun mereka mengenal tujuh generasi ke atas dan ke bawah, namun dewasa ini pada umumnya hanya dua generasi ke atas dan ke bawah yang dalam kehidupan sehari-hari masih berfungsi dalam hubungan kekerabatan. Sedangkan, generasi ketiga, baik ke atas maupun ke bawah hanya mempunyai tradisional dalam hubungan kekerabatan. Selain istilah-istilah yang ada kaitannya dengan generasi ada juga istilah-istilah yang digunakan untuk menyebut seorang ego dalam kaitannya dengan sistem kekerabatan, seperti: ayah dengan sebutan: apa, bapa, pa; ibu dengan sebutan: ema, ma; kakak laki-laki dengan sebutan: kakang, kaka, akang atau kang; kakak perempuan dengan sebutan: ceuceu, euceu, ceu; kakak laki-laki ayah atau ibu sebutan: uwa atau wa; adik laki-laki ayah atau ibu dengan sebutan: mamang, emang atau mang; dan adik perempuan ayah atau ibu dengan sebutan: bibi, ibi,embi atau bi.

Perkawinan
Keluarga dalam suatu masyarakat tidak hanya berfungsi sebagai kesatauan ekonomi, tetapi juga sosialisasi (pendidikan) dan meneruskan keturunan. Mengingat fungsinya yang demikian kompleks itu, maka pembentukan sebuah kelaurga mesti mengikuti adat-istiadat dan atau agama yang diacu oleh masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu, sistem perkawinan nasyarakat sukubangsa yang satu dengan lainnya berbeda. Bahkan, dalam satu sukubangsa pun tidak sama persis karena faktor geografis (variasi geeografis). Ini bukan berarti bahwa sistem pekawinan yang dilakukan oleh masyarakat Cianjur secara keseluruhan berbeda dengan masyarakat Sunda lainnya. Dalam konteks ini proses perkawinan .yang dilakukan oleh masyarakat Cianjur hampir semua menunjukkan kesamaan dengan masyarakat Sunda lainnya, yaitu sebelum menentukan seseorang menjadi menantu, ada kegiatan penyelidikan yang dilakukan oleh kedua belah pihak (calon mertua). Kegiatan tersebut bertujuan untuk mendapatkan menantu yang baik. Calon menantu yang baik adalah yang sesuai dengan ungkapan “Lampu nyiar jodo kudu kakapuna”. Artinya, kalau mencari jodoh harus kepada orang yang sesuai dalam segalanya, baik rupa, kekayaan, maupun keturunannya. Ungkapan lain yang ada kaitannya dengan pencarian seorang menantu adalah “Lamun nyiar jodo kudu kanu sawaja sabeusi”. Artinya, mencari jodoh itu harus mencari yang sesuai dan cocok dalam segala hal (Harsojo, 1999: 319). Jika dalam penyelidikan itu calon menantu sesuai dengan yang diinginkan, maka pihak orang tua pemuda melakukan neundeun omong (mengutarakan semacam keinginan untuk menjadikan yang bersangkutan sebagai calon menantu). Meskipun demikian, pengamatan dan atau penyelidikan tetap berjalan ke tahap nyeureuhan (pelamaran). Tahap selanjutnya adalah masing-masing pihak mempersiapkan segala sesuatu yang berkenaan dengan upacara pernikahan. Setelah itu, orang tua laki-laki mengirim kabar kepada orang tua gadis mengenai seserahan. Seserahan itu sendiri biasanya dilakukan tiga hari sebelum upacara pernikahan. Setelah calon pengantin laki-laki diserahkan, pada prinsipnya segala sesuatu telah menjadi tanggungjawab orang tua perempuan. Satu hal yang mendapat perhatian orang banyak upacara pernikahan adalah ketika nyawer dan buka pintu karena disertai dengan dialog melalui bahasa puisi dan lagu. Dengan dilaluinya tahap demi tahap dalam proses perkawinan, maka terbentuklah sebuah keluarga.

Sistem Religi
Agama-agama besar yang ada di Indonesia, seperti: Islam, Kristen, Katolik, Budha, dan Hindu, semuanya ada di daerah Cianjur. Namun demikian, agama yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Cianjur adalah agama Islam. Dan, mereka pada umumnya dapat dikategorikan sebagai santri (orang-orang yang patuh terhadap ajaran-ajaran Islam). Meskipun demikian, dalam kehidupan sehari-hari, bukan berarti bahwa mereka tidak lepas dari unsur-unsur non-Islam. Hal itu tercermin adanya kunjungan-kunjungan ke makam-makam suci sebagai tanda kaul atau untuk menyampaikan permohonan dan restu sebelum mengadakan sesuatu usaha, pesta atau perlawatan. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika Harsojo (1999) mengatakan bahwa kepercayaan kepada ceritera-ceritera mite dan ajaran-ajaran agama sering diliputi oleh kekuatan-kekuatan gaib. Upacara-upacara yang berhubungan dengan salah satu fase dalam lingkaran individu, atau yang berhubungan dengan kaul, atau mendirikan rumah, menanam padi, yang mengandung banyak unsur-unsur bukan Islam masih sering dilakukan. Semua itu terjadi karena batas antara unsur Islam dan bukan Islam sudah tidak disadari lagi. Unsur-unsur dari berbagai sumber itu sudah terintegrasikan menjadi satu dalam sistem kepercayaannya, dan telah ditanggapinya dengan emosi yang sama.

Aktivitas sistem religi (agama dan kepercayaan) yang paling nampak dalam kehidupan sehari-hari adalah pelaksanaan upacara. Dan, salah satu upacara yang menonjol adalah apa yang disebut sebagai slamatan. Untuk itu, tidak berlebihan jika Harsojo (1999) mengatakan bahwa upacara slamatan merupakan suatu upacara terpenting bagi masyarakat Sunda pada umumnya dan khususnya masyarakat Cianjur, terutama yang ada di pedesaan. Slamatan itu sendiri biasanya dilakukan pada hari Kamis malam (malam Jumat). Upacara ini biasanya dipimpin oleh modin seorang guru ngaji. Upacara yang diikuti oleh para tetangga ini diawali dengan mengucapkan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat yang sama. Isinya bergantung pada maksud pengadaannya. (pepeng)
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Keraton Surosowan

Archive