Serat Makutha Raja

Para cendekiawan pada zaman dahulu menyadari bahwa seorang pemimpin, mulai dari tataran yang terendah sampai yang tertinggi, harus memiliki kemampuan memimpin yang baik. Di antara para cendekiawan pada waktu itu yang memperhatikan masalah kepemimpinan ini ialah Pangeran Buminata dari Keraton Yogyakarta. Ia berhasil membuat kitab yang diberi judul Makutha Raja, untuk memberi tuntunan kepada para pemimpin, terutama raja agar dapat menjadi pemimpin yang baik dan disenangi oleh rakyatnya.

Isi Serat
Secara ringkas Serat Makutha Raja berisi tentang bagaimana sikap yang seharusnya dilakukan oleh seorang pemimpin/raja. Dalam serat ini seseorang yang sedang memegang kendali kepemimpinan diibaratkan sebagai orang yang sedang mengendalikan kuda. Kuda, walaupun hanya seekor binatang, ternyata harus didekati dengan cara-cara tertentu agar dapat dengan mudah dinaiki dan dikendalikan.

Oleh karena kekhasan sifat yang dimiliki oleh seekor kuda ini, maka Pangeran Buminata mengibaratkannya lagi dengan seorang gadis. Sulitnya membuka tali kekang kuda adalah sama dengan sulitnya mendekati seorang gadis. Untuk mendekati seorang gadis, tentunya diperlukan budi yang halus, kata-kata yang manis dan lembut agar mau menerima dengan senang hati. Apabila pendekatan dilakukan dengan cara yang kasar dan tergesa-gesa, maka kemungkinan besar si gadis akan menolak.

Apabila hal ini diterapkan untuk menaklukkan seekor kuda, maka seseorang harus menggunakan akalnya dan harus memperhatikan saat yang tepat untuk mendekati kuda itu. Ia pun sebaiknya menguasai hal ikhwal tentang piranti tali kekang yang digunakan sebagai sarana menaklukkan kuda. Dalam konteks ini, pengertian memahami tali kekang kuda bukanlah tali kekang yang sebenarnya, melainkan memahami segala permasalahan kuda, termasuk faktor dalam atau faktor kejiwaan dari kuda itu.

Sebagai ilustrasi yang lebih konkret, dalam Serat Makutha Raja juga dikemukakan cara-cara mengatasi kebinalan seekor kuda secara bijaksana yang dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi dan Syekh Janah Katib. Pangeran Mangkubumi menggunakan cara yang disebut anyana mandra. Dengan cara ini si penunggang kuda selain harus waspada dan berhati-hati, juga dituntut untuk bersikap luwes. Luwes dalam pengertian ini ialah menuruti kehendak kuda. Jika kuda meronta, si penunggang kuda hendaknya bersikap bijaksana sehingga kuda tunduk secara perlahan-lahan dan mengikuti segala perintah si penunggang. Sedangkan, Syekh Janah Katib menggunakan cara yang disebut anyana sanga. Cara yang digunakan oleh Syekh Janah Katib ini lebih mengarah ke jalan makrifat.

Dalam Serat Makutha Raja juga dikisahkan cerita tentang Mas Ketib Anom yang menerapkan ajaran “mengendalikan kuda secara arif, luwes dan lemah lembut” untuk memecahkan masalah kerajaan. Waktu itu, pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwana terjadi suatu peristiwa yang berkaitan dengan Kyai Cebolek atau Kyai Haji Ahmat Muntamangkin. Kyai Cebolek dianggap telah salah menafsirkan inti dari cerita “Bimasuci” yang mengakibatkan keresahan di kalangan ulama kerajaan. Mereka (para ulama) kemudian melaporkan hal ini kepada Raden Demang Urawan (seorang punggawa keraton). Dan, sebagai seorang bawahan Raden Demang Urawan lalu meneruskan laporan itu kepada raja.

Menanggapi laporan itu, raja memutuskan bahwa Kyai Cebolek tidak bersalah. Ia hanya dianggap salah menafsirkan makna tamsil dalam cerita “Bimasuci”. Keputusan raja yang menganggap Kyai Cebolek tidak bersalah itu mendapat sanggahan dari seorang ulama Kudus, yakni Mas Ketib Anom. Sanggahan ulama itu sempat sejenak menggegerkan istana. Namun, Mas Ketib Anom menegaskan bahwa keberaniannya menyanggah keputusan raja adalah semata dilakukan demi kewibawaan raja sendiri.

Sebagai jalan keluar mengatasi permasalahan ini, Mas Ketib Anom mengusulkan agar Kyai Cebolek atau Kyai Haji Ahmat Muntamangkin tidak dihukum secara fisik, melainkan diberi kesempatan untuk mengubah sikapnya. Menurut Mas Ketib Anom, hukuman fisik tidak ada gunanya, baik bagi yang bersangkutan maupun bagi khalayak umum. Sebagai contoh, dikemukakan pemberian hukuman kepada Syeh Siti Jenar (hukuman pancung), Pangeran Panggung di Pajang (bakar) dan terhadap Kyai Amongraga (dibuang ke laut). Semuanya itu ternyata tidak bermanfaat karena yang dihukum hanya fisik, sedangkan ideologi yang dianut tetap lestari. Tampak di sini bahwa Mas Ketib Anom dengan bijaksana telah menerapkan ajaran “mengendalikan kuda secara arif, luwes dan lemah lembut”.

Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1992. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara IV. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Pantai Pagatan (Provinsi Kalimantan Selatan)

Kabupaten Tanah Bumbu yang berada di Provinsi Kalimantan Selatan tidak hanya terkenal sebagai penghasil batu bara dan bijih besi. Di kabupaten ini, tepatnya di wilayah Kecamatan Kusan Hilir, terdapat sebuah obyek wisata pantai berpasir putih, yaitu Pantai Pagatan. Dari Kota Banjarmasin jaraknya sekitar 316 kilometer (apabila ditempuh melalui jalan darat dengan menggunakan kendaraan bermotor).

Kawasan pantai Pagatan yang panjangnya sekitar 200 kilometer (mulai dari Kecamatan Sungai Loban hingga Pagatan), mempunyai panorama pantai yang indah. Deburan ombak, birunya langit, dan lambaian nyiur di sepanjang pantai ini membuat banyak orang tertarik untuk mengunjunginya. Selain itu, daya tarik lain dari pantai Pagatan yang cukup menjanjikan sebagai kawasan tujuan wisata adalah adanya suatu upacara yang disebut Mappanretasi (memberi makan laut). Mappanretasi adalah suatu pesta adat yang diadakan setiap satu tahun sekali oleh masyarakat Pagatan yang sebagian besar adalah keturunan sukubangsa Bugis, sebagai ungkapan rasa sukur kepada Tuhan atas hasil laut yang melimpah. (gufron)

Hawaiian Arm Tattoo and Hawaiian Armbands

Autor: ichibanda

One of the biggest and hottest growing trends in the art of tattoo design is Hawaiian arm or leg band tattoos. As this trend goes a lot of people think to themselves, well of course." At least that is what I said to myself at first. You can hardly drive more then 10 minutes on the freeway in southern California where I am from and not see a big SUV like a Lincoln Navigator or a Cadillac Escalade and not see a Hawaiian sticker. Things with flowers designs, or turtles, dolphins. Ya see it started off with the sticker and then the car seat covers with hibiscus flowers everywhere and it just grew from there.

This trend of Hawaiian design has then met it's match with the whole tribal tattoo movement. Tribal tattoos have been the hottest thing in the tattoo world since sliced bread or the old school WWII era Hula dancer. You see these influences have been all around us for a long time my grandpa even has one of those Hula Girls tattoos still. Granted it is a little saggy and faded now but he still has one on his forearm nonetheless.

So the whole tribal tattoo and the growth in interest for Hawaiian designs have combined to make a hot and growing market for Hawaiian tattoos. This is really an up and coming thing and it not huge yet. However many tattoo artists are spotting the trend and jumping on it already.

Of course there is a lot of controversy on this subject also like anything. If you look on the internet there is a controversy about getting Kanji and Japanese Tattoos also. Anytime you try and take the designs of a culture and do not depict them accurately it creates a sense of bastardization or what I call the "Disney Effect" towards the culture. I mean how would you feel if you were in China and someone said, oh you should try this hot new restaurant out it serves this great food that is really American. They have fried chicken and apple pie that is the best." Well, at first you would be excited right? Sure it would be nice for a good home cooked meal if you have been out of the US for a long time. However once you get there you see the place has really tacky and awful reproductions of 50's art and the all the food tastes kind of strange. It would probably bee kind of close or resemble what you were thinking of but it would be missing something or a few key ingredients. I bet this would leave you feeling a little sad and like your culture was not totally understood.

Well, I can not speak for you and maybe you will feel different but I was pretty sad when after staying in Japan for 3 months I was invited to a 1950's classic hamburger joint. When we got there it was Elvis with a funny accent playing on the jukebox and when my hamburger came it had a fried egg on top of it with teriyaki sauce. WOW what a surprise that was for me. I kind of felt weird about being in the place that had tried to recreate something from my own culture.

So, the same controversy rolls on in the world of tattoos. Anytime you get a tattoo design from another culture just make sure you go with a professional. Do not have your friend trace out some Kanji in a book for a tattoo and don't go and rip some design of the internet because it states that it is Hawaiian. Go to a real custom tattoo designer and have them do the research and come up with some designs. After all this is going to be on your body for the rest of your life and since Hawaiian arm band tattoos and leg tattoos are typically big it will be a significant investment in pain, time and money to get the thing done. So you should consult with a professional and get top notch work done.

Source:
http://www.articlecircle.com

Pakaian Tradisional Perempuan Orang Kebanyakan Di Lingkungan Upacara (Kepulauan Riau)

Seperti halnya masyarakat pada sukubangsa lainnya, masyarakat Melayu Kepulauan Riau juga mengenal berbagai macam upacara, baik yang berkenaan dengan keagamaan, lingkungan alam sekitarnya maupun lingkaran hidup individu. Dalam upacara perkawinan misalnya, Perempuan Melayu menggunakan baju kurung leher tulang belut beserta kain songket dari berbagai daerah, seperti: Sambas (Kalimantan Barat), Palembang, Siak Sri Indrapura, dan Malaka (Malaysia). Pada saat-saat seperti itu mereka juga menggunakan selendang yang dilampirkan di atas bahu kiri, dengan rambut tersisir rapi dan disanggul lipat pandan. Sanggul model ini sangat disukai karena terkesan anggun. Adapun warna pakaian yang dikenakan beraneka ragam mulai dari merah, biru, kuning, sampai hitam.

Selain baju kurung leher tulang belut ada juga yang mengenakan kebaya pendek dengan sampin yang terbuat dari songket atau kain batik Jawa. Warna selendang disesuaikan dengan warna bajunya. Sedangkan, pakaian yang dikenakan oleh para orang tua adalah kebaya labuh, yaitu kebaya panjang yang dilengkapi dengan selendang manto (selendang yang terbuat dari kain yang ditekat). Warna pakaian yang disebut sebagai kebaya labuh ini ada yang krem, coklat, biru, dan ada pula yang hijau.

Hiasan kain songket yang dipakai untuk mengikuti berbagai upacara di lingkaran hidup individu dan keagamaan, seperti perkawinan, khitanan, aqiqah, dan pemberian nama bayi, dan Khatam Al Quran adalah pucuk rebung, lebah bergantung, wajik, bunga tabur atau bunga pecah delapan, bunga pecah empat, serta ragam hias kuntum tak jadi. Selain ragam hias itu ada ragam hias yang dikaitkan dengan keadaan kehidupan sehari-hari yang diinginkan. Ragam hias itik pulang petang, semut beriring, dan siku keluang adalah simbol dari kegotong-royongan, kekompakan, keberanian, dan kebebasan. Kemudian, dalam bentuk tumbuh-tumbuhan pun ada seperti: daun, bunga, dan akar. Ketiga unsur tumbuhan tersebut adalah simbol dari: kesuburan, kemakmuran, dan keselarasan. Sedangkan, dalam bentuk yang lain adalah awan larat yang menyimbolkan keabadian, dan wajik yang terpotong-potong sebagai simbol keadilan dalam setiap tindakan.

Pada saat menghadiri upacara keagamaan, seperti: Maulud Nabi Muhammad S.A.W, Isra Miraj, dan Nuzulul Quran, baju yang mereka kenakan antara lain: leher tulang belut, kebaya panjang, dan kebaya pendek. Baju-baju tersebut dilengkapi dengan sampin, songket, atau kain batik yang merupakan pasangannya. Kelengkapan yang lain adalah alas kaki yang berupa sandal atau selipa. Pada saat-saat seperti itu pula rambut disisir rapi, disanggul dan dikerudungi (menggunakan kerudung).

Bagi perempuan yang telah menunaikan rukun Islam kelima (pergi haji ke tanah suci Mekkah), yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai hajjah, baju yang dikenakan adalah gunting jubah. Baju ini sering disebut juga sebagai gamis, yaitu baju longgar yang belahannya ada di bagian depan, berkancing, dan panjangnya sampai ke pertengahan betis. Jubah ini dilengkapi dengan kain yang terbuat dari bahan dan warna yang sama. Adapun warnanya ada yang biru tua, krem, dan ada yang putih. Kelengkapan yang lain adalah penutup kepala yang berupa kerudung atau jilbab.

Pada saat mengikuti kenduri dan juga pesta perkawinan baju yang dikenakan oleh kaum perempuan juga sama, yaitu baju kurung leher tulang belut. Sedangkan, yang jadi pengantin mengenakan songket beserta aksesorisnya. Pada saat akad nikah para perempuannya mengenakan baju kebaya labuh dengan warna putih atau krem yang dipadukan dengan songket yang selaras dengan bajunya. Dalam acara ini aksesoris berkurang. Umumnya hanya mengenakan sanggul lipat pandan yang dihiasi dengan kembang goyang dan kerudung. Tidak beralas kaki karena umumnya duduk di bawah (lantai). Pakaian yang beraneka warna beserta aksesoris yang lengkap baru dikenakan manakala acara bersanding. Demikian banyak aksesoris yang dikenakannya, sehingga terkesan megah. Oleh karena itu, sangatlah tepat apa yang dikatakan orang bahwa pada saat bersanding pengantin diibaratkan “bagaikan ratu sehari”.

Pada acara bersanding barulah mereka mengenakan pakaian yang warna-warni dengan aksesorisnya, sehingga menambah kecantikan pengantin dengan kemegahan pakaian yang dikenakannya. Oleh karena itu, wajarlah apabila mereka disebut sebagai ratu sehari karena penampilannya menyerupai seorang ratu kerajaan. Seorang pengantin tidak baik mengganti pakaian lebih dari tiga kali karena dapat berakibat keadaan rumah tangganya tidak rukun atau tidak awet. Baju pengantin terbuat dari kain songket yang memakai benang emas. Warnanya ada kuning keemasan dan ada pula yang merah. Warna yang disebutkan terakhir ini biasanya digunakan oleh pengantin perempuan pada saat bersanding. Kemudian, alas kaki yang digunakan adalah kasut sendal, yaitu sepatu yang bagian belakangnya terbuka, sehingga terlihat tumitnya. Sementara, jari-jarinya tertutup semua.

Dibandingkan dengan pengantin lelaki, aksesoris pengantin perempuan lebih beragam. Ada sanggul lintang yang terletak tepat di atas ubun-ubun. Sanggul ini fungsinya adalah sebagai tempat untuk menempelkan atau memasukkan kembang goyang, jurai (kote-kote) gandik (penutup kening). Jurai itu sendiri dikenakan pada samping kiri dan kanan kepala, tepatnya di atas telinga. Selain sanggul lintang, ada sanggul lagi yang disebut sebagai sanggul lipat pandan. Sanggul ini terletak di bawah sanggul lintan. Berbeda dengan waktu Ijab Kabul yang hanya memakai tiga buah kembang goyang pada sanggul sebelah kiri. Pada waktu acara bersanding ini, kembang goyang memenuhi sanggul lintang tersebut. Kalung, gelang, cincin juga dikenakan. Selain itu, kuku jari-jari tangannya dan kakinya tidak lepas dari inai (cat kuku yang berwarna merah).

Sekitar tahun 60-an orang yang berprofesi sebagai mak andam tidak pernah rangkap dalam merias pengantin. Jadi, hanya satu pengantin yang ditanganinya, karena sebelum bersanding calon pengantin dalam rawatannya. Padahal, lama rawatan bisa dua sampai tiga bulan. Dalam masa perawatan itu calon pengantin tidak diperbolehkan keluar. Ia dilulur dan dimandikan dengan rempah ratus (ramuan yang terdiri dari bunga-bungan, daun-daun, dan akar wangi). Setelah itu, semua bulu-bulu halus yang ada ditubuhnya dibuang. Perawatan tersebut memerlukan waktu yang lama dan harus sabar serta cermat. Tujuannya adalah agar pada saatnya, yaitu ketika bersanding, pengantin tampak berbeda dari kesehariannya.

Konon, dalam pemotongan rambut pengantin yang hanya beberapa helai, sebelumnya didahului oleh pembacaan mantera. Dan, ini adalah saat-saat yang sangat ditunggu oleh kerabat dan tetangga dekat. Ada apa kiranya dengan pemotongan itu, sehingga banyak yang menunggu? Ternyata jika rambut yang diambil dari ubun-ubun, belakang, dan sisi kanan atau kiri kepala ditaruh di ujung hidung si pengantin, kemudian rambut tersebut dipotong dan jatuh sebagaimana biasanya, maka si pengantin masih perawan. Sebaliknya, jika rambut tersebut jatuh dan tergulung, maka si pengantin sudah tidak perawan lagi. Sekarang tampaknya hal itu tidak pernah dilakukan lagi.

Sementara itu, pakaian yang dikenakan oleh anak-anak perempuan dalam upacara perkawinan adalah baju kurung tulang belut beserta pasangannya, ditambah dengan sarung palekat atau kain songket. Sedangkan, penutup kepalanya adalah kerundung atau jilbab. Kemudian, ketika mereka mengikuti upacara yang berkenaan dengan keagamaan, seperti: Maulud Nabi, Idul Adha, Idul Fitri, dan khataman, maka pakaian yang dikenakan adalah sama, kecuali remajanya. Dalam hal ini para remajanya mengenakan kebaya dengan kain batik atau songket yang juga dilengkapi dengan kerudung dan capal. Selain pakaian tersebut ada juga yang menggunakan baju gamis (jubahnya perempuan). Berbagai bentuk pakaian tersebut warnanya beragam dan kebanyakan bermotif bunga.

Sumber:
Galba, Sindu, Dwi subowati dkk. 2002. Pakaian Tradisional Masyarakat Melayu Kepulauan Riau. Tanjungpinang: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjungpinang.
www.heritage.gov.my
www.tamanmini.com

Contempory Shamanism

Author: Gwendolyn Toynton

Traditional Shamanism is often thought of as a magico-religious tradition of the past, existing today only in indigenous populations. Whilst to many the practice of Shamanism is still limited to such areas, Shamanism itself has survived and perhaps even flourished under the blessing of a new incarnation. At the moment, the revival and new found interest in Shamanism is particularly predominant in the Western world. Finding themselves limited to Western doctrine of Christianity, a number of people have rejected such traditional concepts and have either created for themselves new traditions, or, as in the case of Shamanism, revived a religion which predated Christianity. Collectively, these newly emerged traditions are sometimes referred to as belonging to the ‘New Age’ phenomenon. However, this term is incorrect and often regarded as highly offensive to modern day practitioners of magic, who instead prefer to be called Pagan or Heathen, for to them the term ‘New Age’ conjures up images of ‘pop’ culture and mass commercialism. The ‘New Age’ phenomenon is the commercialised face of the occult, for serious practitioners of magic books of this genre are classed as both uninformative and without substance. They have no roots, no foundations on which to lay there beliefs, although many lay claim to fictitious antiquity. As they have no scholastic merit to followers of the Shamanic Path, ‘New Age’ works shall not be examined here. Instead, what follows will be a comparison of traditional practice of Shamanism in Siberia, and modern day Shamanism as practiced by two international organisations, the Bond of the Grae Wolf and Ásatrú, both of which aspire to following a path soundly based in Norse heritage.

The word Shaman itself originates from the Tungus of Siberia, and is often equated with the titles of ‘witch doctor’ or ‘medicine man’. Whilst this serves to describe some aspects of the versatile character of the Shaman, it does not clarify all the points of the Shamans complexity. In small scale communities, the Shaman was often the only religious specialist within the community, and as such was involved in a wide range of tasks, such as blessings, curative remedies, divination, communication with the spirit world (in all its various forms), and life cycle rituals. In all of these tasks, performance plays an important role in traditional Shamanism. In public ceremonies, the performance of the Shaman, and the techniques which he/she employs are necessary to place the audience in a receptive mode of thought, which is of a similar nature to the trance that Shaman enters, though it is not thought to be as deep. These techniques include the use of percussion, chanting, ventriloquism and sleight of hand. Though some have looked upon the use of trickery (such as sleight of hand) as being evident of the fraudulent nature of the traditional Shamanism, this is not the case. The Shaman needs the belief of the audience in order for the success of the ritual/performance, and sleight of hand serves to convince the audience of the Shamans powers. This is reminiscent of the ‘placebo effect’ employed today by our own modern day healers and doctors; if a person if given what they believe to be a cure by a health professional they can show considerable signs of improvement in their condition. It is easy for a person to believe something if they are but given a sign of its effect.

These techniques of traditional Shamanism are all found in the Shamanism of the Chukchee of Siberia. Prior to the Chukchee Shamans performances, a mixture of tobacco and wood is smoked, a tradition which can be traced back to the Tungus Shamans. Use of stimulants/relaxants prior to performance is feature of Shamanism and is related to the concept of Shamanic ecstasy. To Chukchee, this idea is expressed by the word ‘an-na’arkin’ (He Sinks), and is related to the Shamans ability to employ ecstasy as a tool by which to enter other worlds and communicate with spirits. It is this characteristic moment of ecstasy and the sinking into trance which follows it that marks the beginning of the Shamanic journey. Today, among the Chukchee, trances as deep as this are rarely witnessed, a fact which the Chukchee attribute to the Shamans of the past having greater skill than those in modern times.

One of the most important features in traditional Shamanism is the use of percussion, which Needham has stated as being vital to provide the transition of states in Shamanic performances. The rhythmic noise produced by the drumming and repetitive chanting of the Chukchee Shaman is necessary for the production of trance in both the audience and the Shaman, and is an essential feature of communication with the Other world.

In looking at contemporary Shamanism of the pagan/heathen movements, two groups have been chosen, the Bond of the Grae Wolf, which is an international organisation with a practicing group within New Zealand, and Ásatrú, which is similar to the Bond of the Grae Wolf in some ways, and in others very different. Both the Bond of the Grae Wolf and Ásatrú follow the tradition of the Norse in pre-Christian Europe.

The Bond of the Grae Wolf practices a system of what they call pagan - warrior Shamanism, which they believe has developed from a spiritual warrior code evolved from Shamanic hunters, ‘who adopted hunting skills and magic to the task of protecting and expanding their territories.’ Within the Bond of the Grae Wolf, a belief in the Warrior Code of Honour, Courage and Compassion is paramount to their spiritual success. Shamanic power is believed to be acquired through exercises known as Ordeals, which test not only the individual’s belief in the Warrior Code, but also all of the individual’s spiritual reserves. Shamanic magic is also an integral part of the Warrior’s training. An important aspect of this is Drengskapr (The Warrior’s Way), in which integrity and compassion are also emphasised. The idea of Drengskapr is exemplified by the Norse God Tyr, who sacrificed his right hand to the jaws of the Fenris Wolf to spare the other Gods from the Wolf’s onslaught. The Shamanic principles of the Bond of the Grae Wolf are based on two factors; the inevitability of change and the transformative process of death. This is known as Wyrd (fate). To practice Shamanism, one must become aware of the power of Wyrd (by means of facing the Ordeals), and resolve to live under the influence of Wyrd and accept its presence with dignity, irrespective of what Ordeals Wyrd throws at one. The Bond of the Grae Wolf has have a strong ethical commitment to community service, believing that there is little point to developing one’s self unless it is directed towards the service on others.

Similar to the Bond of the Grae Wolf is the practice of Ásatrú, which also believes in the power of Wyrd, but places less emphasis on Warrior ethics and more on trance work. The Shamanic workings involve spae-workings, which are spiritual journeys, conducted by means of trance, usually for the purpose of divination, to the point where all worlds converge in Norse mythology; at the Great World Tree, Yggdrasil. In this process, the spákona (spaewoman), sends out part of her spirit to seek knowledge from these other worlds. The technique itself is called spá, or sometimes, seiðr. Aside from the purpose of divination, spá may also be performed to protect one from physical or psychological danger. The purpose is also sometimes to meet a guardian spirit or gain an animal totem. As with the Chuckee Shaman, drumming and chanting is used as a means to transport the spákona to the other world. Drumming is held by spákona to be a means of gaining the energy required as part of the Shamanic journey. Unlike the Chukchee Shamans, however, most spákonas are female. Two reasons have been put forward by Jenny Jochens (1996) to explain the majority of female spákonas. In traditional Norse society, Jochens claims that spá work was seen as a practice which effeminised men, possibly because the process included working with what she terms as ‘receptive’ female sexual energies. The Shamanic journey to the Other world in order to communicate with spirits and the use of animal imagery, is however, common to both Ásatrú and the Shamanism of the Chukchee people. Communication with the spirits is also sought for similar reasons; protection and divination.

The Bond of the Grae Wolfs method of Shamanism differs from the Shamanism of the Chukchee because of its Warrior Code and aspects of martial training. Despite this difference, there are other ways in which the beliefs of the Bond of the Grae Wolf are similar to aspects found in traditional Shamanism. One of these is the emphasis placed upon the community. In the society of the traditional Shaman, the Shaman played an important role in binding the community together, by working for the good of the society, in ways such as healing the sick, and offering protection to those in danger. The Bond of the Grae Wolf fulfils this role, not by performance, as does the traditional Shaman, but community work. Thus it is only the method which differs, the goal is the same. In stressing the inevitability of death, fate, and the Ordeals which face the Warrior in the Bond of the Grae Wolf, there is also an echo of another important aspect of traditional Shamanism. In many traditional Shamanic societies, a person often gained the powers of the Shaman by facing a near death experience or similar trial. This was supposed to provide the wisdom necessary for one to become a Shaman. In the case of a near death experience it is of particular importance, for in the process of coming close to death, the soon -to-be Shaman would gain experience of the Other World, and have experience of the Spirits.

The differences, then, between traditional and contemporary Shamanism are not that vast; they share a number of common features, such as percussion, chanting, trance work, communication with the Other World, and the playing of a role within the community. The Pagans and Heathens have as much diversity within their beliefs as do their traditional counterparts, with some stressing the role of Shamanic ecstasy (Timothy Leary ), some the role of percussion (the use of modern day Rave-culture as endorsed by Techno-Shamans), and the more traditional groups who practice Shamanism as a means to preserve their own religious and historical heritage, such as Ásatrú and the Bond of the Grae Wolf. Shamanism is also found within Wicca, although Wicca still consists of primarily of the worship of the Three Fold Goddess. Like traditional Shamanism, the contemporary forms of Shamanism and their influence upon other modern pagan/heathen traditions seems to be well established. If we can accept the anthropological significance of traditional Shamanism, then perhaps it is time we learned to be more accepting of the Shamans in our midst.

Source:
http://www.articlesbase.com

Waduk Darma (Kuningan, Jawa Barat)

Pengantar
Waduk Darma adalah sebuah danau buatan yang terletak di Desa Jagara, Kecamatan Darma. Dari Kota Kuningan jaraknya sekitar 12 kilometer. Sedangkan, dari kota Cirebon jaraknya sekitar 37 kilometer. Waduk yang mempunyai luas sekitar 425 ha dan kapasitas maksimal airnya mencapai sekitar 39.000.000 m3 ini mulai dibangun sekitar tahun 1958. Untuk mewujudkan waduk ini, ada sekitar delapan desa yang ditenggelamkan.

Fungsi
Pasokan air di Waduk Darma berasal dari beberapa sungai kecil di sekitar Kabupaten Kuningan, seperti Sungai Cinangka dan Sungai Cisalak. Setelah terkumpul di waduk, air tersebut sebagian digunakan untuk irigasi sawah sampai ke Kabupaten Cirebon dan sebagian lagi digunakan untuk kebutuhan air minum oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di kota Kuningan dan di sekitar Kota Cirebon.

Selain berfungsi sebagai penampung air, Waduk Darma juga dijadikan sebagai sarana rekreasi dan olahraga. Panorama di sekitar waduk, terutama pada saat matahari akan tenggelam, menjadi daya tarik tersendiri bagi orang-orang yang datang ke waduk itu. Apalagi bila menikmatinya sambil duduk di perahu yang mengelilingi pulau mungil bernama Munjul Goong yang ada di tengah-tengah waduk.

Namun, obyek wisata ini belum bisa memberikan kontribusi yang berarti terhadap pendapatan asli daerah Kabupaten Kuningan, karena tidak banyak memiliki fasilitas hiburan dan tempat bermain. Saat ini baru tersedia tempat duduk untuk menikmati udara dan pemandangan di sekitar waduk, areal camping, kolam renang bagi anak-anak, perahu motor, dan cottage.

Apabila fasilitas hiburan dan tempat bermain ditambah dan atau diperbaiki, bukan tidak mungkin pengunjung di Waduk Darma akan bertambah beberapa kali lipat dari sekitar 3000 orang perminggunya. Dengan penambahan beberapa fasilitas hiburan, maka pemasukan dana pun bukan hanya dari retribusi masuk saja, tetapi juga dari fasilitas-fasilitas tersebut. Dan, hal ini tentu saja akan meningkatkan pendapatan asli daerah, sama seperti tempat-tempat wisata lainnya di Kuningan, misalnya Kolam Pemandian Cibulan.

Foto:
http://www.keseharian.com

Sumber:
http://www2.kompas.com
http://www.kuningankab.go.id
http://www.liputan6.com

Pakaian Tradisional laki-laki Orang Bangsawan Di Lingkungan Upacara (Kepulauan Riau)

Seperti halnya mayarakat pada sukubangsa lainnya, masyarakat Melayu kepulauan Riau juga mengenal berbagai macam upacara, baik yang berkenaan dengan kerajaan, keagamaan, lingkungan alam sekitarnya maupun lingkungan hidup individu. Upacara yang berkenaan dengan keagamaan dan atau kepercayaan antara lain: Nuzulul Quran, Isra Mikraj, Idhul Adha, Idul Fitri, Mauludan, khatam Quran, Ratif Saman, dan Ziarah (Marhum Bukit Batu). Pakaian yang dipergunakan untuk mengikuti berbagai upacara tersebut pada dasarnya sama dengan yang dipakai pada saat seserorang bebergian, yaitu cekak musang, teluk belanga, belah bentan atau gunting jubah dan atau pada saat roda pemerintahan kerajaan. Bagian-bagiannya juga sama, yaitu bagian yang berada di ketiak yang bentuknya berupa segitiga siku-siku yang disebut sebagai keke. Kemudian ada bagian yang disebut sebagai pesak, yaitu sambungan yang ada di bagian kiri dan kanan baju. Dan, bagian yang disebut sebagai kocek. Kocek itu sendiri jumlahnya ada tiga, yakni: sebuah terletak di atas (bertepatan dengan dada sebelah kiri). Sedangkan, lainnya (yang dua buah) terletak di bagian kiri dan kanan bawah. Adapun warna yang dikenakan bermacam-macam bergantung selera. Namun demikian, warna kuning dihindari karena warna tersebut adalah simbol kakuasaan dan kemegahan kerajaan. Oleh karena itu, yang boleh mengenakannya adalah para sultan dan kerabat kerajaan. Sampai-sampai perahu yang digunakan oleh sultan berwarna kuning (lancang kuning). Orang kebanyakan, dengan demikian, tidak diperkenankan menggunakan baju yang berwarna kuning. Jadi, hanya orang-orang yang termasuk dalam kelas bangsawan yang diperbolehkan menggunakannya. Namun, seiring dengan runtuhnya kekusaan kerajaan tersebut, lambat laun warna tersebut tidak lagi menjadi monopoli kaum bangsawan. Bahkan, di masa kini ada kecenderungan siapa saja dapat mengenakannya dengan alasan bangga menjadi orang Melayu. Namun demikian, bagi orang luar (pendatang) yang mengerti betul arti simbolik dari warna kuning tidak berani membuat baju kurung dengan warna tersebut, karena, bagaimana pun juga yang bersangkutan tidak ada hubungan darah sama sekali dengan sultan, kecuali mereka-mereka yang nenek-moyangnya diterima oleh sultan dan hidup di lingkungan kerajaan.

Ketika orang Melayu-Kepulauan Riau, baik itu orang Kebanyakan maupun Bangsawan, mengikuti upacara yang berkenaan dengan lingkungan alam, seperti: mangle buaye (di Daik-Lingga) dan mendirikan kelong, pada dasarnya juga sama seperti yang digunakan pada saat bepergian, baik bentuk, jenis maupun kelengkapannya. Demikian juga pakaian yang dikenakan pada saat mengikuti upacara yang berkenaan dengan lingkaran hidup individu, seperti: kehamilan, basuh lantai, khitanan, perkawinan dan kematian. Yang perlu dicatat di sini adalah melakukan kendurian atau selamatan, maka baju yang dipakai umumnya adalah koko (baju muslim) atau baju kurung dan sarung atau celana bebas, tanpa sampin. Yang spesial adalah ketika orang Melayu Bangsawan menyelenggarakan pesta perkawinan. Di sini pakaian Melayu yang dikenakannya adalah selengkap-lengkapnya, khususnya bagi yang punya hajat dan pengantin itu sendiri.

Pakaian yang dikenakan oleh pengantin lelaki bangsawan adalah baju kurung cekak musang beserta celana panjangnya dan sampin yang serba songket. Pakaian yang didominasi oleh warna kuning itu dilengkapi dengan tanjak sebagai penutup kepala. Selain itu, sebilah keris yang terselip pada lipatan sampin, pada pinggang sebelah kanan, menghadap ke arah kanan pula dengan hulu mengarah ke dalam. Kelengkapan yang lain adalah capal atau sepatu sandal, yaitu sejenis sepatu tetapi bagian belakang terbuka. Dengan perkataan lain, bagian tumit kelihatan tetapi bagian jari-jari kaki tidak kelihatan. Selain itu, pengantin mengenakan aksesoris yang disebut sebagai dokoh (kalung tiga tingkat), pending (ikat pinggang), selempang yang disampirkan di bahu sebelah kanan, dan keris. Keris yang diselipkan pada pinggang bagian kanan ada kaitannya dengan apa yang dilakukan oleh para hulubalang dan panglima pada zaman dahulu. Hal itu dimaksudkan untuk mempermudah pencabutan keris itu sendiri jika tiba-tiba ada musuh yang menyerang, karena dengan posisi keris yang demikian tangan kanan akan dapat meraihnya secara cepat.

Pengantin lelaki di tahun 50-an, yang juga dilakukan pada saat-saat kerajaan masih jaya, menggunakan jubah ala Timur Tengah dengan tutup kepala yang bernama tarbus atau serban. Sedangkan, pengantin wanita pakainnya dipengaruhi oleh budaya Cina. Adanya perbedaan pakaian yang dikenakan kedua mempelai itu, menurut salah seorang informan, adalah karena sunnah Rasul yang mengatakan bahwa orang yang menikah (bersanding) hendaknya adalah orang yang sejauh-jauhnya. Dan, itu dalam pakaian yang dikenakan (satu dari Timur Tengah dan satunya lagi dari negeri Cina). Namun, pakaian tersebut sesudah tahun 1950 tidak lagi dikenakan. Masyarakat lebih memilih mengenakan pakaian adat (kebesaran) sultan atau raja-raja Melayu karena dirasakan lebih memperlihatkan jatidiri ketimbang busana dari asing (luar negeri). Jadi, sejak saat itu pakaian yang dikenakan oleh pengantin, baik laki-laki maupun perempuan, adalah pakaian adat para sultan dan atau bangsawan yang mencerminkan kemelayuannya. Namun demikian, ada satu hal yang sekarang mulai menghilang adalah adat dijulang, yaitu pengantin lelaki dipangku di atas pundak, kemudian di arak ke rumah pengantin perempuan. Yang menjulang pun bukan sembarang orang, tetapi ada orang khusus yang ditugasi untuk itu. Satu hal membuat orang sungkan adalah yang ditugasi untuk itu seringkali orang yang berumur (tua), sehingga disamping tidak tega, rasanya kurang pantas. Mungkin itulah yang kemudian adat tersebut pelan-pelan menghilang (tidak dipakai lagi).

Sumber:
Galba, Sindu, Dwi subowati dkk. 2002. Pakaian Tradisional Masyarakat Melayu Kepulauan Riau. Tanjungpinang: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjungpinang.

www.heritage.gov.my
www.tamanmini.com

Permainan Tilako (Sulawesi Tengah)

Pengantar
Sulawesi Tengah adalah salah satu provinsi yang ada di Indonesia. Di sana ada satu sukubangsa yang bernama Kaili. Di kalangan mereka ada satu jenis permainan yang disebut sebagai tilako, yaitu sebuah permainan berjalan menggunakan alat yang terbuat dari bambu dan pelepah sagu atau tempurung kelapa. Tilako disamping nama sebuah permainan juga sekaligus nama alat yang digunakan untuk permainan tersebut. Tilako itu sendiri merupakan gabungan dari dua kata, yaitu “ti” dan “lako”. “Ti” adalah kata awalan yang menunjukkan kata kerja dan “lako” secara harafiah berarti “langkah/jalan”. Dalam permainan ini “tilako” adalah alat yang dipakai untuk melangkah atau berjalan. Permainan ini dalam dialek Rai disebut kalempa yang juga merupakan gabungan dari dua kata, yaitu “ka” dan “lempa”. “Ka” adalah kata awalan yang menunjukkan kata kerja dan “lempa” berarti “langkah”.

Pemain
Permainan tilako dapat dikategorikan sebagai permainan anak-anak. Pada umumnya permainan ini dilakukan dilakukan oleh anak laki-laki yang berusia 7--13 tahun. Jumlah pemainnya 2--6 orang.

Tempat dan Peralatan Permainan
Permainan tilako ini tidak membutuhkan tempat (lapangan) yang khusus. Ia dapat dimainkan di mana saja, asalkan di atas tanah. Jadi, dapat di tepi pantai, di tanah lapang atau di jalan. Luas arena permainan tilako ini hanya sepanjang 7--15 meter dan lebar sekitar 3-4 meter.

Peralatan yang digunakan adalah dua batang bambu bata (volo vatu) yang relatif lurus dan sudah tua dengan panjang masing-masing antara 1,5-3 meter. Cara membuatnya adalah sebagai berikut. Mula-mula bambu dipotong menjadi dua bagian yang panjangnya masing-masing sekitar 2½-3 meter. Setelah itu, dipotong lagi bambu yang lain menjadi dua bagian dengan ukuran masing-masing sekitar 20-30 cm untuk dijadikan pijakan kaki. Selanjutnya, salah satu ruas bambu yang berukuran panjang dilubangi untuk memasukkan bambu yang berukuran pendek. Setelah bambu untuk pijakan kaki terpasang, maka bambu tersebut siap untuk digunakan.

Aturan Permainan
Aturan permainan tilako dapat dibagi menjadi dua, yaitu perlombaan lari dan pertandingan untuk saling menjatuhkan dengan cara saling memukulkan kaki-kaki bambu. Perlombaan adu kecepatan biasanya dilakukan oleh anak-anak yang berusia antara 7-11 tahun dengan jumlah 2--5 orang. Sedangkan, permainan untuk saling menjatuhkan lawan biasanya dilakukan oleh anak-anak yang berusia antara 11-13 tahun dengan menggunakan sistem kompetisi.

Jalannya Permainan
Apabila permainan hanya berupa adu kecepatan (lomba lari), maka diawali dengan berdirinya 3-4 pemain di garis start sambil menaiki bambu masing-masing. Bagi anak-anak yang kurang tinggi atau baru belajar bermain tilako, mereka dapat menaikinya dari tempat yang agak tinggi atau menggunakan tangga dan baru berjalan ke arah garis start. Apabila telah siap, orang lain yang tidak ikut bermain akan memberikan aba-aba untuk segera memulai permainan. Mendengar aba-aba itu, para pemain akan berlari menuju garis finish. Pemain yang lebih dahulu mencapai garis finish dinyatakan sebagai pemenangnya.

Sedangkan, apabila permainan bertujuan untuk mengadu bambu masing-masing pemain, maka diawali dengan pemilihan dua orang pemain yang dilakukan secara musyawarah/mufakat. Setelah itu, mereka akan berdiri berhadapan. Apabila telah siap, peserta lain yang belum mendapat giliran bermain akan memberikan aba-aba untuk segera memulai permainan. Mendengar aba-aba itu, kedua pemain akan mulai mengadukan bambu-bambu yang mereka naiki. Pemain yang dapat menjatuhkan lawan dari bambu yang dinaikinya dinyatakan sebagai pemenangnya.

Nilai Budaya
Nilai budaya yang terkandung dalam permainan tilako adalah: kerja keras, keuletan, dan sportivitas. Nilai kerja keras tercermin dari semangat para pemain yang berusaha agar dapat mengalahkan lawannya. Nilai keuletan tercermin dari proses pembuatan alat yang digunakan untuk berjalan yang memerlukan keuletan dan ketekunan agar seimbang dan mudah digunakan untuk berjalan. Dan, nilai sportivitas tercermin tidak hanya dari sikap para pemain yang tidak berbuat curang saat berlangsungnya permainan, tetapi juga mau menerima kekalahan dengan lapang dada. (gufron)

Sumber:
http://infokom-sulteng.go.id
http://disnakerpalu.com
http://beritapalu.com

Ni Timun Mas dan I Lantang Hidung

(Cerita Rakyat Daerah Bali)

Alkisah, di sebuah desa tinggallah seorang janda bersama anak semata wayangnya yang bernama Ni Timun Mas. Ni Timun Mas memiliki tubuh yang sangat kurus dan terlihat lemah, namun parasnya cantik sekali. Apabila telah akil balik serta sudah berisi badannya, tentulah tidak ada yang akan mengalahkan kecantikannya di dunia ini. Setiap pagi, apabila ibunya akan pergi ke sawah, Ni Timun Mas tinggal di rumah dengan pintu yang selalu dikuncinya dari dalam.

Apabila hari telah senja dan ibunya telah datang dari sawah, maka ia akan memberikan isyarat kepada Ni Timun Mas untuk membukakan pintu rumah. Isyarat itu berupa sebuah nyanyian yang liriknya: Timun Mas, bukakanlah ibu pintu sejenak. Ibu sudah datang dari menuai padi.

Mendengar lagu itu, Ni Timun Mas biasanya akan keluar dari rumah untuk menyambut ibunya. Setelah itu, mereka berdua lantas ke dapur untuk memasak makanan. Begitulah kegiatan keseharian ibu dan anak tersebut.

Suatu hari ketika ibunya sedang berada di sawah, ada raksasa yang bernama I Lantang hidung melewati rumah Ni Timun Mas. Ia adalah raksasa yang senang minum darah dan makan daging manusia. Oleh karena waktu itu ia sedang lapar, maka didekatinya rumah Ni Timun Mas dan kemudian menggoncang-goncangkan pintunya. Namun, karena tidak ada sahutan dari dalam, raksasa itu pun pergi lagi.

Sebenarnya di dalam rumah itu ada Ni Timun Mas, tetapi dia tidak berani bersuara karena takut. Setelah ibunya datang, ia langsung menceritakan kejadian tersebut: “Ibu, tadi ada raksasa yang datang ke rumah yang menggoncang-goncangkan daun pintu.”

Mendengar cerita anaknya itu, ibu Timun Mas takut sekali. Ia tahu bahwa raksasa yang diceritakan oleh anaknya itu pastilah I Lantang Hidung, yang tinggal di dalam hutan yang berdekatan dengan desa tempat tinggal mereka. Lalu ibunya berkata: “Anakku, kalau tidak ada orang yang bertembang seperti ibu, jangan sekali-kali engkau bukakan pintu.”

“Ya, Baiklah bu,” sahut Ni Timun Mas.

Keesokan harinya, I Lantang Hidung menghampiri lagi rumah Ni Timun Mas. Ia kembali menggoncang-goncangkan pintu rumah yang dari luar terlihat kosong itu. Namun, karena tidak ada juga yang menjawab atau berteriak, maka I Lantang Hidung memutuskan untuk mengintainya. Ia lalu pergi bersembunyi di balik rerimbunan pohon yang ada di samping rumah itu.

Tidak berapa lama setelah I Lantang Hidung bersembunyi, ibu Ni Timun Mas pun datang dari sawah. Si ibu kemudian mulai menembang seperti biasanya, agar dibukakan pintu oleh anaknya: “Timun Mas, bukakanlah Ibu pintu sejenak. Ibu sudah datang dari menuai padi.”

Setelah mengetahui “rahasia” rumah itu, I Lantang Hidung segera pulang ke rumahnya. Ia berencana akan menculik Ni Timun Mas setelah ibunya pergi ke sawah untuk menuai padi.

Keesokan harinya, I Lantang Hidung berangkat lagi ke rumah Ni Timun Mas. Setelah tiba di depan pintu, ia kemudian menirukan tembang yang biasa dinyanyikan oleh ibu Ni Timun Mas: “Timun Mas, bukakanlah Ibu pintu sejenak. Ibu sudah datang dari menuai padi.”

Mendengar tembang itu, seperti biasanya, tanpa merasa curiga sedikit pun Ni Timun Mas langsung membuka pintu dan berlari keluar untuk menyambut orang yang dikira ibunya. Namun, ketika Ni Timun Mas keluar, ia lalu disergap dan dilarikan oleh I Lantang Hidung menuju rumahnya yang ada di dalam hutan. Ni Timun Mas hanya bisa menangis dan menjerit-jerit, tetapi tidak ada orang yang menolongnya karena rumah-rumah di desa itu letaknya saling berjauhan.

Sesampai di rumahnya, I Lantang Hidung lantas memasukkan dan mengurung Ni Timun Mas di atap rumahnya. Ia tidak berniat untuk langsung memakan Ni Timun Mas, karena tubuhnya terlalu kurus dan tidak ada dagingnya. Nanti apabila tubuh Ni Timun Mas sudah gemuk dan berisi, barulah ia akan memakannya.

Beberapa jam kemudian, ibu Timun Mas pun pulang dari sawah. Saat sampai di depan rumah, ia terkejut melihat pintu rumahnya sudah terbuka. Ia lalu memanggil anaknya tanpa bersenandung lagi: “Timun Mas, Timun Maaaas.”

Si ibu lalu mencari-cari anaknya di sekeliling rumah hingga ke perigi, tempat biasanya Ni Timun Mas mencuci pakaian atau piring. Setelah berada di perigi dan tidak menjumpai anaknya, ia mulai menangis. Ia menyangka kalau anak semata wayangnya itu telah dibawa lari oleh I Lantang Hidung.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ibu Timun Mas sudah pergi untuk mencari anaknya. Ketika ia sampai di perempatan jalan, ia melihat ada orang yang sedang memukuli seekor kucing. Karena merasa kasihan, ia kemudian menghampiri orang tersebut dan bermaksud membeli kucing yang sedang disiksa itu.

“Kalau engkau menghendaki, ambillah kucing jahat ini!” demikian kata pemilik kucing itu.

Kucing itu pun kemudian dibawanya pulang dan dipelihara. Hari berikutnya ia berjalan lagi mencari anaknya. Saat di tengah jalan, dilihatnya seseorang yang sedang mengejar tikus. Begitu sang tikus tertangkap dan akan dibunuh, ia berlari mendekati orang tersebut dan bermaksud membeli tikus itu.

“Wah, mau dibunuh malah diminta untuk dibeli. Kalau memang mau, ambilah tikus sialan ini!” demikian gerutu orang itu.

Lalu tikus itu dibawa ke rumah dan dipelihara oleh ibu Timun Mas. Setelah itu, ia pergi lagi mencari anaknya. Dalam usahanya untuk mencari anaknya itu, di tengah jalan ia bertemu lagi dengan orang yang sedang memegang ular dan golok. Ketika ular yang dipegangnya itu akan dibunuhnya, ibu Timun Mas berlari mendekatinya dan membeli ular itu.

Dalam perjalanan pulang sambil membawa ular, ia melihat orang menghunus pedang dan hendak membunuh anjing. Anjing itu diminta pula oleh ibu Timun Mas. Kedua binatang itu pun lalu dibawa pulang dan dipelihara bersama-sama dengan tikus dan kucing.

Begitulah, setiap hari ibu Timun Mas pergi mencari anaknya dan baru pulang setelah matahari hampir terbenam. Dan, sesampainya di rumah, si ibu selalu menangis, mengenang nasib anaknya yang dibawa lari oleh I Lantang Hidung.

Melihat kejadian itu, keempat hewan yang dipeliharanya merasa kasihan dan mendekati ibu Timun Mas. Setelah agak renda tangisnya, mewakili ketiga temannya, si kucing bertanya kepada ibu Timun Mas: “Mengapa setiap tiba di rumah ibu selalu menangis? Apakah ibu tidak sanggup lagi memberi makan kami?”

Mendengar kuncing peliharaannya tiba-tiba dapat berbicara, ibu Timun Mas menjadi kaget setengah mati. Beberapa saat kamudian, setelah dapat mengatasi keterkejutannya itu, ia berkata “Ah, bukan demikian. Kalian jangan salah sangka, aku hanya merindukan anakku Ni Timun Mas yang diculik oleh I Lantang Hidung.”

Tiba-tiba menyahutlah sang ular: “Kalau demikian mari kita mencarinya. Aku tahu dimana rumah si Lantang Hidung.”

“Tapi, bagaimana caranya? Kita sama-sama kecil, sedangkan I Lantang Hidung adalah raksasa,” kata si anjing.

Sang tikus berkata: “Jangan takut pada orang yang lebih besar. Kalau memang salah, pasti ia akan kalah. Dan, meskipun tubuhku paling kecil, aku tidak takut. Apalagi sudah demikian besar jasa dan kasih sayang yang kita peroleh dari ibu Timun Mas.”

“Kalau begitu, marilah kita berangkat ke rumah I Lantang Hidung,” kata si kucing sambil berjalan keluar rumah.

Tidak berapa lama kemudian, mereka pun telah tiba di rumah I Lantang Hidung. Mereka lalu membagi tugas. Kucing dan tikus akan menyelinap masuk melewati lubang yang ada di tembok rumah itu. Sedangkan, anjing dan ular akan berdiri di depan pintu, berjaga-jaga kalau I Lantang Hidung tiba-tiba terbangun.

Setelah itu, si kucing dan tikus pun masuk ke dalam rumah dan mulai mencari di mana Ni Timun Mas disembunyikan. Saat berkeliling mencari itu, akhirnya mereka melihat Ni Timun Mas sedang dikurung di atap rumah. Si kucing kemudian berbisik pada tikus: “Wah, bagaimana cara mengeluarkannya?”

“Mudah, akan kugigit tali pengikat di pintu kurungan itu!” kata tikus sambil berjalan ke arah kurungan.

Saat si tikus sedang menggerogoti tali pengikat itu, I Lantang Hidung tersadar dan berkata: “Wah, suara apa itu?”

Si kucing yang melihat I Lantang Hidung bangun, segera mengeong untuk mengalihkan perhatiannya.

“Wah, sepertinya ada kucing yang sedang memburu tikus,” kata I Lantang Hidung lalu melanjutkan tidurnya kembali.

Singkat certia, setelah berhasil membuka pintu kurungan, si tikus berkata: “Timun Mas, marilah kita pulang. Ibumu sudah menunggu di rumah.”

Tanpa berkata sepatah pun Ni Timun Mas lalu mengikuti kucing dan tikus keluar dari rumah I Lantang Hidung. Namun, pada saat mereka berhasil membuka pintu dan berada di serambi rumah, I Lantang Hidung tiba-tiba terbangun dan melompat hendak menangkap.

Ketika ia berlari hendak mengejar Ni Timun Mas, dengan gesit sang ular mematuk kakinya. Dan, saat I Lantang Hidung menunduk hendak mengetahui binatang apa yang telah mematuknya itu, tiba-tiba sang anjing segera melompat dan menggigit lehernya hingga mengeluarkan banyak sekali darah. Sang raksasa pun langsung ambruk dan mati karena kehabisan darah.

Setelah raksasa itu mati, Ni Timun Mas bersama keempat binatang itu lalu pulang. Sesampai di rumah, mereka disambut dengan gembira oleh ibu Ni Timun Mas. Alangkah bahagianya hati mereka karena telah dapat berkumpul kembali seperti sedia kala.

Sumber:
Diadaptasi bebas dari
Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Budaya Bagian Proyek Pengkajian dan Pemanfaatan Sejarah dan Tradisi Bali. 2002. Cerita Rakyat Daerah Bali. Denpasar: Departeman Kebudayaan dan Pariwisata.

Astadusta dalam Perundang-undangan Majapahit

Pengantar
Di dalam Kitab Perundang-undangan Majapahit yang disebut Kutara Manawa terdapat 19 macam masalah (bab) yang terbagi dalam 275 pasal. Salah satu di antara kesembilan belas masalah atau bab tersebut adalah astadusta (delapan dusta). Masalah lainnya ialah: kejahatan yang dilakukan oleh anak di bawah umur, masalah budak, astacorah (delapan pencurian), sahasa (pemaksaan), jual-beli-gadai, utang-piutang, titipan, tukon (mahar/mas kawin), perkawinan, paradara (mengganggu isteri orang lain), warisan, parusya (perusakan) dan daparusya (penyiksaan fisik), kelalaian, perkelahian, tanah, dan fitnah.

Sebagai catatan, kitab perundang-undangan yang dipergunakan di kerajaan Majapahit dalam abad XIV-XV Masehi ini pernah dijadikan disertasi oleh J.C.G. Jonker dengan judul Een Oud-Javaansche Wetboek vergeleken met Indische bronnen pada 1885 Masehi, kemudian diterjemahkan dan disusun berdasarkan kelompok isi oleh Slamet Muljana (Perundang-undangan Madjapahit), diterbitkan oleh Bhatara tahun 1967.

Astadusta
Istilah astadusta diartikan sebagai delapan macam kejahatan yang harus dihukum berat. Kedelapan tindak kejahatan yang termasuk dalam golongan astadusta tersebut adalah: (1) membunuh orang yang tidak berdosa; (2) menyuruh bunuh orang yang tidak berdosa; (3) melukai orang yang tidak berdosa; (4) makan bersama dengan seorang pembunuh; (5) mengikuti jejak pembunuh; (6) bersahabat dengan pembunuh; (7) memberi tempat kepada pembunuh; dan (8) memberi pertolongan kepada pembunuh.

Seluruh tindak kejahatan yang termasuk dalam kelompok astadusta ini diatur dalam kitab Kutara Manawa pasal 3 dan 4 (versi Slamet Muljana). Pasal 3 kitab perundang-undangan Kutara Manawa menyebutkan bahwa membunuh orang yang tidak berdosa, menyuruh bunuh orang yang tidak berdosa, dan melukai orang yang tidak berdosa, jika terbukti, tebusannya adalah hukuman mati. Ketiga dusta itu disebut dengan “dusta bertaruh jiwa”. Namun, apabila yang bersangkutan ingin mengajukan permohonan hidup kepada raja yang sedang berkuasa, ia dapat menggantinya dengan membayar denda sebanyak empat laksa untuk setiap satu tindakan. Pembayaran denda tersebut adalah sebagai syarat bagi penghapusan dosa yang telah dilakukannya.

Sedangkan, pasal 4 dalam kitab tersebut menyebutkan bahwa orang yang makan bersama pembunuh, bersahabat dengan pembunuh, mengikuti jejak pembunuh, memberi tempat kepada pembunuh dan memberi pertolongan kepada pembunuh, jika terbukti, maka hukumannya adalah denda berupa uang sejumlah dua laksa untuk setiap satu tindakan.

Selain pasal 3 dan 4, dalam Kitab Kutara Manawa juga memuat sebuah pasal lagi yang mengatur tentang tindakan yang digolongkan sebagai suatu kejahatan, yaitu pasal 23. Bunyi pasal 23 tersebut adalah sebagai berikut:

“Kejahatan seperti mencuri, menyamun, membegal, menculik, mengawini wanita larangan (perempuan yang masih dalam status kawin), membunuh orang yang tidak bersalah, meracuni, menenung, itu semua disebut sebagai perusuh. Jika perbuatannya itu terbukti, maka hukumannya adalah mati. Demikianlah ujar para sarjana yang telah putus dalam kitab hukum Kutara Manawa. Mereka paham membedakan yang jahat dan yang baik; tahu mana jalan yang menuju duka-nestapa dan menuju surga. Barang siapa memihak perusuh, merintangi dan menghalangi tindakan raja hanya dengan ucapan, supaya didenda dua laksa oleh raja yang berkuasa. Perbuatan menghalangi tindakan raja dengan ucapan itu disebut “meletakkan bahagia pada bangkai”.

Demikianlah uraian singkat mengenai astadusta, yang hanya merupakan salah satu faset saja dari hukum kuna yang lahir di bumi Indonesia. Sebagai catatan, selain Kutara Manawa, masih banyak kitab perundang-undangan yang ada di daerah Jawa dan Bali kuna, seperti: Sarasamuccaya, Swara Jambu, Siwasasana, Purwadhigama, Purwagama, Dewagama, Kertasima, Kertasima Subak, dan Paswara. Bahkan pada masa kesultanan Yogyakarta, Cirebon dan Palembang pun juga memiliki kitab perundang-undangannya sendiri. Seluruh kitab perundang-undangan tersebut dibuat sebagai pedoman untuk mengatur segala tingkah laku manusia agar tercipta suatu kehidupan yang aman, tenteram dan sentosa.

Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1996. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara VII. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Tibet and Chinese herbs

In the present-day world, Tibet is a hot topic for discussion. The discussion is generally centered around culture and Lamaism. Of curse, great attention is also paid to the scenery of enchanting beauty and the Tibetan people’s life and customs, which are of great importance to the development of Tibetan tourism. As the raw material of the chief ingredient of SANLIDA golden cordycepin and ginseng capsules comes from Tibet, it should be a responsibility of the SANLIDA World Healthcare Products Company of Hong Kong to introduce you to Tibet, so that, you may understand better this roof-ridge of the world, which has been for a long time in the past a mystery in people’s minds. Owing to its peculiar geographic, geologic and climatic characteristics, Tibet produces a multitude of medicinal herbs. Perhaps for this reason, a special branch of medical knowledge, Tibetan medicine, sprang up centuries ago. The inception of Tibetan medicine was connected with, if not based on, traditional Chinese medicine. According to a survey made by traditional Chinese medical scholars there are over 1,000 Tibetan medicines, of which about 300 are frequently used. The Tibetan medicines are generally sold as ready-made products. Strange to say, the marvelous efficacy of the Chinese caterpillar fungus (Cordyceps sinensis) was not discovered in Tibet, where this fungus of the greatest value is produced. It was brought to light somewhere else in China decades ago and soon came to be acknowledged as a wonderful medicine and tonic. It was popularly called the Winter-worm Summer-herb. Strictly speaking, it is a herb, not a worm. The name Winter-worm Summer-herb arose from a peculiarity in the life cycle of the Chinese caterpillar fungus, which causes it to be confused with a larva which goes underground to hibernate in winter with the reproductive cells of the fungus attached to it. Chemical analyses were made and the essence cordycepin was found. This essence came to be used first as a tonic and later as a medicine. In fact, there is no contradiction between these two views, because cordycepin has both short-term effect and long-term benefit. For example, satisfactory sexual performance depends on the maintenance of good health over a long period and also on the timely replenishment of vigor and energy. The dosage is to be varied according to the consumer’s requirement. A survey showed that a great majority of people prefer to have long-term health and longevity. As the demand for cordycepin increased, the price skyrocketed. Since there was no systematic cultivation of this herb the supply of it soon became near exhaustion. The Tibetan plateau naturally attracted medicinal suppliers’ attention. Thus the whole story about cordycepin, so far as the change in the source of supply is concerned, is opposite in direction to that of ginseng. Ginseng was discovered before the establishment of the Qing Dynasty in what is now the northeast part of China. It was produced in the Manchurian mountains. The supply was, to general dismay, very small. The word “ginseng” was a phonetic translation from a Chinese word. The translation contains an inaccuracy. The first syllable should have been translated as “ren”. In the Chinese language, “ren” means “human being”. This word is used because the whole entity of ginseng is in the form of a human being. The best ginseng produced in Manchurian mountains is very large and has a head with fluffy hair on the top, four limbs extended like arms and legs with a protruding part between the two lower limbs like the male genital organ. Ginseng of this shape was deemed to be of the highest quality and was sold at a very high price. Ginseng is big in size and difficult to cultivate artificially. Therefore, traditional Chinese medical practioners bethought themselves and decided to use a replacement for it. The replacement is what is called “Western overseas ginseng” or “American ginseng”, which is very small in size, without any limbs and easy to cultivate artificially. It is often imported from Canada. The SANLIDA golden cordycepin and ginseng capsules are made by using as raw materials the Chinese caterpillar fungus produced in Tibet and genuine ginseng of the former Manchurian type cultivated in the Himalayas and, therefore, are highly efficacious whether used as a tonic or as a medicine. Tibet is thus a wonderful place for the development of tourism and also for the production of medicinal herbs. For more details, please read: http://www.sldinter.com

Source:
http://getmyarticles.com

Tunggul (Lampung)

Tunggul adalah tanda kebesaran raja adat, yang dibuat dari mata logam tajam bergagang kayu dan pada pangkal gagang diberi hiasan ekor kuda. Bila dipakai untuk ketetapan kepala adat, maka tunggul (tombak) itu ditancapkan pada tanah dan dipegang gagangnya oleh juru keputusan. Tunggul ini tidak berlaku di daerah pepadun (pedalaman).

Sumber:
Hadikusuma, Hilman, dkk. 1978. Adat Istiadat Derah Lampung. Jakarta: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Dances In India: The Celebration Of A Rich Culture

By: Sonal Arya

India is said to have the richest cultural heritage in all countries around the globe. This is due to the different communities that thrive under the same sky and the tolerance that they have for each other. Different types of cultures have different dances in India. These are not just a form but an expression of their love to god and other human beings. Also, they form an inseparable part of any occasion and festival.

Dance is a form of expression to the people through which they can give a vent to their emotions, appreciation and worship. Initially with what started as a tribute to god and a way to worship, dance has now evolved greatly in India and has a different place in every variety of culture that is found in the country. It is a silent connection between the different races of people which co-exist in India.

Different states in the country have their different dance forms like Bihar has Bihu, Odissi is seen in Orissa, Bhangra in Punjab, Bharatnatyam in Tamil Nadu etc. There are other forms of dance as well which belong to the tribes in West Bengal, Orissa and Jharkhand and is called the Chau dance.

Other parts of the country like Gujarat have their own dance like the Garba and the Dandiya which is played with sticks. Every dance has a special significance in the specific culture. Some dances are ways to worship god or tell stories about the gods like the Raasleela. All these dances are performed win different ways from each other and form a great variety in the same country.

The differences in the cultures that are found in the country have defined the diversity in the country for so many years of its freedom and overall existence. The Dances In India are a mirror of the growth and existence of these cultures in India and the way they have grown and made their existence known to the world.

Sonal Arya is offering advice for quite some time. Having completed her Ph.d in Archaeology from The Jawaharlal Nehru University. She provide useful advice through her articles that have been found very useful. To find dances in india, famous in india, cities in india, temples in india, personalities in india visit http://www.famousinindia.com/

Source:
http://www.articlefasttrack.com

Payung Agung (Lampung)

Payung agung adalah tanda kebesaran raja adat, terbuat dari bahan kain berwarna untuk payung dan bergagang kayu bulat yang berhias tatah. Di daerah pesisir (Peminggir) masing-masing Sebatin (kepala adat) mempunyai warna sendiri yang bermacam-macam. Di daerah adat pepadun (pedalaman) hanya tiga warna, yaitu putih untuk punyimbang (kepala adat) Marga atau Punyimbang Bumi, kuning untuk punyimbang Tiyuh, dan merah untuk punyimbang suku. Payung ini hanya dipakai dan dikembangkan pada upacara adat besar.

Sumber:
Hadikusuma, Hilman, dkk. 1978. Adat Istiadat Derah Lampung. Jakarta: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

The History of the Jamaican People and Their Culture

By: Stephanie Larkin

Jamaica is one of the most popular tourist destinations in the Caribbean, but this country is also called home by millions of people. Most tourists never learn about the history of the Jamaican people, but if you’re planning to vacation here, you will enjoy and understand it more if you better understand their culture.

Early History of Jamaica

The history of Jamaica begins with the natives that inhabited the island before Christopher Columbus discovered it in 1494. These people, the Taino, were the original residents of the island, but they quickly died out with the arrival of Spanish colonists. They were peaceful people and thrived in the agricultural industry. The smallpox epidemic that European settlers brought to Jamaica caused their ultimate extinction. Today, there are no known direct descendants of the Taino people, but branches of the same family tree from other tribes do still exist in Puerto Rico, Aruba, and parts of South America. Due to intermarrying, however, some of the inhabitants of Jamaica may still carry a Taino bloodline.

Jamaica, like the United States, is known as a melting pot due to European settlement, most of which was British. This was also a hub for slavery in the Americas until 1838, when the practice was abolished by the English who still owned the island. During this time period, Jamaica was also a hot spot for pirates. It remained in British control on varying levels until the 1960s.

Jamaican Language and Religion

Because of this port-based country’s draw for various groups of people, the culture you will find on this island is a mixture of the cultures of the native people, most of whom are Spanish and English settlers, African slaves, and tourists from around the world who decided to move to this island. English is the official language of the country, but most people speak Jamaican Patois, which some consider to be an English dialect while others consider it to be a separate language.

Although Jamaica is a small country with under three million inhabitants, its culture has influenced the world. Without Tainos-influenced Jamaica, we would not have words such as canoe, hammock, and barbecue. The hammock is an ever-popular way to relax in the sun, and in the 16th century, Jamaicans created hammocks as a way to change sailors’ sleeping quarters. It was much cleaner than the traditional bug-filled beds of soggy straw which lay on the ground.

Jamaica’s culture is deeply rooted in religion. Due to the high number of missionary immigrants initially, Christianity is by far the strongest religion in this country. However, an offshoot of traditional Christianity called Rastafari developed in Jamaica, and this religion (made more famous in the Western World by musician Bob Marley) is the backbone to much of Jamaica’s musical and spiritual practices. This religious sect is based on the Old Testament with the belief that Haile Selassie of Ethiopia is the true descendant of Christianity.

Jamaican Music

Music is one of the most important parts of Jamaican culture, in part due to its strong ties to the church. This small nation is home to a number of musical genres, including reggae, dance hall, and ska. This is also the birthplace of toasting, a chant/speech style of music with a strong beat, which is said to be one of the grandfathers of today’s rap and hip-hop culture. Some of the most famous Jamaican musicians include Bob Marley, The Skatalites, Alton Ellis, Peter Tosh, Beenie Man, and most recently Sean Kingston. In addition, a number of artists have cited Jamaican music as an influence in their work. These artists include rock bands such as The Clash and The Police, and rap artists Wu-Tang Clan.

Dance is quite important in Jamaican culture. These include both religious types of dancing, which are an integral part of ceremonies, and secular dancing, which is a response to the reggae, ska, and dance hall music that became so popular in this country in the 20th century. Other nearby islands, like Trinidad and Tobago, also influenced dance in Jamaica.

Jamaica Today

Today, Jamaica is still a melting pot of cultures. Over all cultures, however, the focus has slowly been shifting to tourism and the environment, and today most major cruise lines have ships that port in Jamaica. There is also a keen awareness of the decline in healthy coral reefs in this country, and a movement to bring them back.

Jamaica might be a tiny island, but this country has a big personality. If you’re traveling to Jamaica, take a moment to find out more about the culture of the Jamaican people. They are some of the most friendly, welcoming people you’ll ever meet.

About Author:

Stephanie Larkin is a freelance writer who writes about topics pertaining to vacations and the travel industry such as a Jamaica Vacation

Source:
http://www.articlefasttrack.com

History and People of Papua New Guinea

The first inhabitants of Papua New Guinea, probably migrants from the Indonesian archipelago, arrived about 50,000 years ago. These migrants arrived in several waves, and the land that they encountered had a remarkable effect on cultural development. Because New Guinea's terrain is marked by imposing mountains and extremely rugged territory, different population groups developed in virtual isolation. Each group developed its own language and its own tribal culture, a development that gives Papua New Guinea one of the world's most diverse and fascinating cultural landscapes.

The first contact with the island by Europeans occurred in the early 16th century, when the Portuguese explorer Jorge de Meneses sighted the country and named it Ilhas dos Papuas (Land of the Fuzzy-Haired People). However, it wasn't until the mid-1800's that European missionaries and traders began to settle on the island, and even those few settlers limited their presence mostly to the accessible coastal areas. Over the next several decades Papua New Guinea was claimed by the Germans, the British, and the Dutch, but it came under the control of Australia after World War One. The inland Highland region, thought to be too inhospitable for habitation, wasn't even explored until the 1930s. Astoundingly, European explorers in search of gold instead discovered over one million people, living in fertile mountain valleys and in cultures that hadn't changed since the Stone Age. By the 1960s there had emerged a significant independence movement in the country, and in 1975, after a brief period of internal autonomy, Papua New Guinea declared its full independence.

The people can be divided into four ethnic groups: New Guineans (from the north of the main island), Papuans (from the south), Highlanders, and Islanders. There is, however, considerable cultural variation within each of these groups. The peoples of the south coast were notorious for headhunting and cannibalism before the arrival of the Europeans. Many people still live in small villages and follow traditional tribal customs. Although English is the official language in schools and government, almost 800 distinct languages are spoken in the islands.

Permainan Makbenteng (Sulawesi Selatan)

Pengantar
Polewali-Mandar adalah sebuah daerah yang tergabung dalam wilayah Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Di masa lalu, di daerah yang terletak di pesisir utara Sulawesi Selatan ini pernah berdiri sebuah kerajaan yang bernama Pitu Baba Binaga. Saharudin (1977), menyebutkan bahwa kerajaan ini ketika berperang dengan kerajaan lainnya selalu mengusung panji-panji (bendera) yang harus dibela mati-matian oleh para jowak-nya (prajuritnya). Tradisi inilah yang kemudian melahirkan suatu permainan yang disebut sebagai makbenteng. Makbenteng itu sendiri adalah bahasa setempat yang merupakan gabungan atas dua kata, yaitu “mak” yang berarti “tiang” dan “benteng” yang berarti “tempat pertahanan”. Dengan demikian, makbenteng dapat diartikan sebagai usaha mempertahankan benteng.

Pada masa lalu, permainan yang intinya adalah mempertahankan benteng ini hanya diselenggakan oleh dan untuk kerajaan. Artinya, hanya para remaja bangsawanlah yang melakukannya. Tujuannya, di samping untuk menghibur pejabat-pejabat istana dan keluarga kerajaan, juga untuk menanamkan rasa cinta tanah air dan menjunjung tinggi panji-panji kebesaran kerajaan (arajang[1]). Selain itu, melalui permainan ini anak-anak remaja kaum bangsawan akan terlatih dalam membela dan mempertahankan kerajaan dari serangan musuh.

Seiring dengan perkembangan zaman, ditambah dengan runtuhnya kerajaan Pitu Baba Binaga, maka permainan ini tidak hanya menjadi “milik” para bangsawan lagi, melainkan dewasa ini siapa saja dapat melakukannya.

Pemain
Permainan yang disebut sebagai makbenteng termasuk dalam kategori “keras” karena membutuhkan fisik yang kuat dan tenaga yang prima. Sehubungan dengan itu, maka permainan ini pada umumnya hanya dimainkan oleh anak laki-laki yang berusia sekitar 10--16 tahun. Bentuk permainan ini adalah beregu dengan anggota 4 orang.

Tempat Permainan
Makbenteng memerlukan tempat yang agak luas (sekitar 10 x 20 meter). Luas tersebut dibagi menjadi dua bagian; sebagian untuk regu yang satu dan sebagian regu yang lain. Mengingat arena yang dibutuhkan relatif luas, maka permainan ini biasanya dilakukan di sebuah tanah yang lapangan (lapangan) atau halaman rumah yang cukup luas.

Peralatan Permainan
Peralatan yang digunakan dalam permainan ini adalah: (1) dua buah bendera yang terbuat dari kain, berukuran 15 x 20 cm dan berbentuk segi empat (bendera yang digunakan oleh setiap regu memiliki warna yang berbeda agar pemain tidak keliru saat memperebutkannya); (2) dua buah tiang bendera dengan tinggi sekitar 1,5 meter; dan (3) sebuah kentongan bambu beserta kayu pemukulnya yang nantinya akan digunakan oleh wasit untuk mengatur jalannya permainan. Wasit itu sendiri dari salah seorang penonton.

Peraturan Permainan
Permainan yang disebut sebagai makbenteng intinya adalah saling menyerang ke daerah pertahanan lawan dan merobohkan benderanya. Siapa diantara kedua regu tersebut yang dapat merobohkan bendera paling banyak akan menjadi pemenangnya. Agar permainan itu dapat berjalan secara baik, maka dibutuhkan aturan main. Aturan-aturan itu adalah sebagai berikut: (1) permainan baru dimulai ketika kentongan telah dipukul oleh wasit sebanyak 3 kali; (2) setiap terjadi pelanggaran, kentongan akan berbunyi 1 kali; (3) setiap pemain tidak boleh keluar dari arena permainan; (4) pada waktu menyerang tidak boleh menyakiti atau melukai lawan; (5) saat menjatuhkan lawan harus dilakukan secara perlahan-lahan; (6) pemain boleh menangkap lawan untuk menghalangi pergerakannya; (7) tiang bendera tidak boleh dipindahkan dari tempatnya semula karena jika hal itu dilakukan, maka dianggap sebagai suatu kesalahan dan regu lawan akan mendapatkan satu nilai; (8) tiang bendera tidak boleh ditanam terlalu dalam agar mudah ketika dirobohkan; (9) ujung tiang bendera tidak boleh menyentuh tanah ketika dirobohkan, jika itu terjadi (dilanggar), maka regu pemilik bendera akan mendapatkan satu nilai; dan (10) selain dirobohkan, bendera yang berhasil dipegang oleh anggota regu lawan dalam waktu yang agak lama, maka regu lawan akan mendapatkan satu nilai. Penentuan lama tidaknya bendera dipegang ditentukan oleh wasit.

Jalannya Permainan
Setelah lokasi permainan ditentukan, peralatan permainan disiapkan, dan pembagian regu telah dilakukan, maka pemain akan berdiri pada posisinya masing-masing. Dalam satu regu, 3 orang anggotanya akan ditempatkan sebagai penyerang dan satu orang yang dianggap paling kuat sebagai penjaga bendera (jowak). Para penyerang tersebut nantinya dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: penyerang tengah (jowak tangnga), penyerang sayap kiri (jowak biring) dan penyerang sayap kanan (jowak biring) yang akan berdiri tepat di belakang garis batas wilayah kekuasaan regunya dengan regu lawan. Selanjutnya, wasit akan memberikan aba-aba dengan memukul kentongan sebanyak tiga kali agar permainan dimulai. Ketika kentongan telah dipukul tiga kali, barulah para penyerang akan berlari dan berhadapan untuk saling menghalangi dengan memegang, mendorong atau membanting lawannya. Apabila ada penyerang yang berhasil lolos dari hadangan penyerang regu lain, maka akan berhadapan dengan penjaga bendera. Dan, apabila berhasil memegang atau menjatuhkan bendera lawan, kelompoknya akan mendapatkan satu nilai dan permainan dimulai kembali seperti semula. Pelanggaran yang dilakukan pada saat permainan sedang berlangsung ditentukan oleh wasit dengan membunyikan kentongan satu kali. Jumlah pelanggaran yang dilakukan oleh setiap regu nantinya akan digunakan sebagai perhitungan kalah-menangnya sebuah regu. Permainan akan berhenti apabila para pemain sudah merasa lelah atau salah satu regu mengaku kalah. Permainan akan diakhiri oleh wasit dengan memukul kentongan sebanyak tiga kali.

Regu yang dinyatakan sebagai pemenang adalah regu yang dapat mengumpulkan nilai lebih banyak dari regu lawannya. Regu yang menang ini disebut sebagai topuang (penguasa). Sedangkan regu yang kalah disebut sebagai batuah musuk atau orang yang dijadikan budak karena kalah perang. Namun, apabila perolehan nilainya sama, penentuannya adalah dengan menghitung banyaknya pelanggaran “ringan” yang dilakukan oleh setiap anggota regu (keluar lapangan atau menjatuhkan bendera hingga menyentuh tanah). Dan, jika ternyata pelanggaran yang dilakukan oleh kedua regu itu pun sama banyaknya, maka jumlah pelanggaran “berat” yang akan dihitung, seperti membanting secara sengaja dan menyakiti lawan (taupalik).

Nilai Budaya
Nilai yang terkandung dalam permainan yang disebut sebagai makbenteng ini adalah kecintaan terhadap wilayah (tanah air), kerja keras, kerja sama, dan sportivitas. Nilai kecintaan terhadap wilayah tercermin dari usaha para pemain untuk mempertahankan bentengnya. Nilai kerja keras dan kerja sama tercermin dari usaha untuk mempertahankan bendera regunya dan merobohkan bendera lawan. Dan, nilai sportivitas tercermin dari sikap dan perilaku yang sportif dari para pemain. Dalam konteks ini jika kalah akan mengakui kekalahannya dengan lapang dada, dan jika menang tidak menyombongkan diri. Sikap sportif perlu ditunjukkan karena permainan ini adalah permainan fisik (adu kekuatan) yang dapat menyulut emosi setiap pemain yang pada gilirannya dapat menimbulkan perkelahian. (pepeng)

Sumber:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1980. Permainan Anak-Anak Daerah Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Saharudin. 1977. Susunan dan Sistem Pemerintahan Kerajaan Bala. Ujung Pandang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

[1] Arajang adalah alat-alat kerajaan yang dipelihara dan sangat dihormati oleh masyarakat pendukungnya, dan merupakan simbol yang dapat mempersatukan seluruh penduduk di suatu kerajaan.

Gunung Tangkuban Perahu (Provinsi Jawa Barat)

Provinsi Jawa Barat memiliki banyak objek wisata, baik wisata alam, sejarah maupun budaya. Salah satu di antara sekian banyak objek wisata tersebut adalah Gunung Tangkuban Perahu. Gunung ini terletak di Desa Cikole, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung. Letaknya sekitar 30 kilometer ke arah utara Kota Bandung. Gunung yang berada pada ketinggian sekitar 1.860 meter di atas permukaan laut ini merupakan salah satu objek wisata andalan Kabupaten Bandung karena panoramanya yang indah dan banyak dikunjungi wisatawan dari dalam maupun luar negeri.
Di kalangan masyarakat Sunda, Gunung yang dari kejauhan tampak seperti sebuah perahu yang terbalik ini erat hubungannya dengan sebuah legenda yang sangat terkenal, yaitu Sangkuriang. Konon, gunung ini tercipta dari sebuah perahu yang ditendang oleh Sangkuriang hingga terbalik. Waktu itu, Sangkuriang yang hendak mempersunting ibunya sendiri, Dayang Sumbi, diharuskan untuk membuat sebuah perahu dalam waktu satu malam saja, sebagai syarat pernikahan. Namun, karena Dayang Sumbi tidak mau dikawini oleh anak kandungnya sendiri, maka sebelum matahari terbit ia pun menumbuk lesung. Suara lesung itu membuat ayam-ayam mulai berkokok karena mengira matahari telah terbit. Hal ini membuat Sangkuriang harus menghentikan pekerjaan membuat perahunya, sebab waktu yang diberikan oleh Dayang Sumbi telah habis. Karena kesal, perahu yang belum jadi itu kemudian ditendangnya hingga terbalik dan akhirnya membentuk sebuah gunung yang dinamakan Tangkuban Perahu.
Kondisi Gunung
Tangkuban Perahu merupakan salah satu gunung berapi yang masih aktif hingga saat ini. Gunung yang terakhir kali meletus pada tahun 1910 ini memiliki sembilan kawah yang tersebar di berbagai tempat di puncaknya, yaitu: Kawah Ratu, Upas, Domas, Baru, Jurig, Badak, Jurian, Siluman, dan Paguyangan Badag.

Di antara kawah-kawah tersebut, Kawah Ratu merupakan kawah yang terbesar. Kawah Ratu berbentuk seperti mangkuk yang sangat besar dan dalam. Pada saat cuaca cerah, lekukan tanah pada dinding dan dasar kawah dapat terlihat dengan jelas sehingga mampu menyajikan pemandangan yang mengagumkan.

Sebagian bibir Kawah Ratu tersebut banyak terdapat kios-kios yang menjual makanan, minuman dan cinderamata. Cinderamata yang diperdagangkan diantaranya adalah: baju, celana, selendang, topi, gelang, cincin, kalung, batu alam, tanaman bonsai, alat musik (angklung), senjata tajam khas daerah Jawa Barat dan lain sebagainya. Selain cinderamata, makanan dan minuman, ada pula orang-orang yang menjual jasa sebagai pengantar pengunjung berkeliling kawah dengan menggunakan kuda.

Sekitar 1.500 meter atau 25 menit berjalan kaki dari Kawah Ratu, terdapat kawah terbesar kedua, yaitu Kawah Upas. Kawah Upas memiliki dasar yang dangkal dan relatif datar dengan pepohonan yang ada di salah satu sisi dasar kawah. Kawah ini agak jarang dikunjungi wisatawan karena letaknya yang agak jauh dan hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Selain itu, pemandangan di Kawah Upas cenderung “biasa-biasa” saja jika dibandingkan dengan Kawah Ratu.

Meski gunung itu masih mengeluarkan bau asap belerang, dan bahkan ada beberapa kawah yang dilarang untuk dikunjungi karena asapnya mengandung racun, namun kawah-kawah lainnya tetap dibuka dan dijadikan sebagai tempat rekreasi. Dan, sama seperti tempat-tempat rekreasi lainnya di Indonesia, Tangkuban Perahu dilengkapi pula dengan fasilitas khas tempat rekreasi, seperti toilet, rumah ibadah (mushola), hingga pusat informasi wisata yang siap memberikan berbagai informasi yang dibutuhkan wisatawan.

Obyek Wisata Tangkuban Perahu yang dikelola oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung ini setiap minggunya mendapat pemasukan rata-rata mencapai Rp3.000.000,00. Uang sebesar itu didapat dari penjualan tiket masuk seharga Rp8.000,00. Namun, pada saat lebaran jumlah pemasukan bisa naik puluhan kali lipat dibanding hari-hari biasa. Belum lagi, pendapatan yang diperoleh secara langsung dari transaksi jual-beli makanan maupun cinderamata yang ada di sekitar lokasi tersebut, yang tentunya juga ikut menyumbang dalam jumlah yang tidak sedikit bagi kas pendapatan daerah.

Taman Waruga (Minahasa, Sulawesi Utara)

Pengantar
Di Sulawesi Utara, tepatnya di Desa Sawangan, Kecamatan Airmadidi, Kabupaten Minahasa, ada sebuah pekuburan yang dinamakan Taman Waruga. Ada beberapa versi mengenai asal usul nama waruga. Versi pertama mengatakan bahwa istilah “waruga” berasal dari kata “maruga” (bahasa Tombulu, Tondano, Tonsea) yang artinya “direbus”. Versi kedua mengatakan bahwa “waruga” berasal dari kata “meruga” (bahasa Minahasa Kuna) yang berarti “lembek” atau “cair”. Sedangkan, versi yang lain menyebutkan bahwa “waruga” berasal dari dua kata, yaitu “waru” yang berarti “rumah” dan “ruga” yang berarti “badan”. Jadi, waruga dapat diartikan sebagai “rumah tempat badan yang akan kembali ke surga”.

Konon, makam yang terbuat dari batu yang dipahat dan dibentuk seperti rumah khas orang Minahasa ini adalah salah satu warisan tradisi zaman megalitikum yang terus dipertahankan hingga kira-kira pertengahan abad ke-19. Hal ini dapat dibuktikan dari pahatan angka tahun pada beberapa waruga seperti: 1769, 1839, 1850 dan lain sebagainya. Waruga dahulu digunakan sebagai sarana pemakaman keluarga yang ditaruh di pekarangan atau di kolong rumah. Namun, tidak semua orang Minahasa Utara memiliki waruga. Hanya orang-orang yang mempunyai status sosial yang cukup tinggi saja yang memilikinya. Itu pun jumlahnya tidak terlalu banyak. Menurut catatan, di seluruh daerah Minahasa bagian utara, termasuk Kodya Manado, hanya terdapat sekitar 2.000 buah waruga yang tersebar di beberapa tempat seperti: Sawangan 142 buah, Airmadidi Bawah 155 buah, Kema 14 buah, Kaima 9 buah, Tanggari 14 buah, Woloan 19 buah, Tondano 40 buah dan lain sebagainya.

Pada awal abad ke-20, tradisi mengubur mayat dalam waruga ini berhenti karena muncul wabah penyakit (kolera dan tifus) yang diduga bersumber dari mayat yang membusuk dalam waruga. Di daerah Sawangan, atas instruksi Hukum Tua (kepala desa), waruga-waruga yang tersebar diseluruh desa dikumpulkan dan di taruh di pinggir desa. Hal ini dilakukan agar warga desa tidak terjangkit wabah penyakit yang disebabkan oleh mayat yang membusuk tadi.

Waruga-waruga yang ada di daerah Minahasa ini mulai banyak menarik perhatian orang luar, terutama para peneliti, sejak C.T. Bertling menulis artikel De Minahasche Waruga en Hockernestattung yang dimuat dalam majalah Nederlansche Indis Oud en Niew (NION), No. XVI, tahun 1931. Setelah itu, C.I.J. Sluijk juga menulis artikel tentang waruga berjudul Tekeningen op Grafsten uit de Minahasa.

Pada tahun 1976, Drs. Hadi Moeljono yang waktu itu menjabat sebagai Kepala Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Provinsi Sulawesi Selatan, mengadakan penelitian tentang waruga di Kabupaten Minahasa. Dari hasi penelitiannya itu, pada tahun 1977 Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Provinsi Sulawesi Selatan melakukan pemugaran terhadap kompleks waruga di Sawangan dan Airmadidi. Hasilnya, pada tahun 1978 kompleks makam itu menjadi suatu Taman Waruga. Oleh pemerintah taman waruga ini kemudian dijadikan sebagai benda cagar budaya dan sekaligus juga sebagai obyek wisata budaya yang unik dan menarik. Kompleks makam waruga Sawangan peresmiannya dilakukan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Dr. Daoed Joeseof pada tanggal 23 Oktober 1978.

Kompleks Taman Waruga Sawangan
Taman Waruga dapat dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu: tempat pemakaman, museum, dan bangunan tambahan. Berikut ini adalah uraian tentang bagian-bagian tersebut.

Tempat pemakaman yang berisi ratusan buah waruga berada di bagian belakang taman. Waruga-waruga yang ada di tempat ini bahannya terbuat dari batu dengan lebar rata-rata 1 meter dan tinggi 1-2 meter, terdiri atas dua bagian yang berfungsi sebagai wadah dan tutup. Bagian tutup waruga bentuknya menyerupai atap rumah yang menjulang tinggi. Di bagian tutup ini banyak dipahatkan berbagai macam hiasan berupa: manusia dalam berbagai posisi, binatang, benda alam, tumbuh-tumbuhan, matahari, tumpal, untaian permata, rumbai-rumbai, ragam hias geometris dan lain-lain. Ada yang mengatakan bahwa hiasan-hiasan tersebut merupakan gambaran situasi surgawi atau gambaran situasi saat orang yang ada di dalamnya mati. Misalnya, ada yang meninggal waktu melahirkan, digambarkan dalam posisi mengangkang. Namun, ada pula yang mengatakan bahwa hiasan-hiasan itu merupakan gambaran profesi saat orang itu masih hidup. Misalnya, apabila di waruga tersebut ada gambar binatang, maka orang yang dikubur di dalamnya, dahulunya adalah seorang pemburu. Atau hiasan orang yang sedang bermusyawarah, maka dahulu orang yang dikuburkan di waruga itu adalah seorang Dotu Tangkudu (hakim).

Pada bagian depan kompleks kubur Waruga terdapat sebuah museum yang bentuknya berupa rumah panggung khas Minahasa. Di dalam museum itu terdapat beberapa lemari kaca yang menyimpan berbagai macam cincin, gelang, kalung, keramik Cina dari Dinasti Ming dan Ching, tulang belulang manusia dan lain sebagainya. Barang-barang tersebut adalah isi dari waruga yang telah dibongkar dan dipindahkan ke dalam museum. Sebagai catatan, mayat yang akan ditaruh di dalam waruga biasanya disertai dengan berang-barang perhiasan miliknya.

Selain itu, di beberapa dinding bagian dalam museum ini juga terpampang peta kompleks waruga, foto-foto pemugaran kompleks, dan kliping foto orang-orang terkenal yang pernah datang ke kompleks waruga ini, yaitu: Ratu Beatrix dari Belanda yang pernah datang tahun 1995, Ratu Juliana pada tahun 1971, dan Pangeran Bernard.

Di sebelah museum, ada sebuah bangunan pendukung yang berbentuk rumah “modern”. Bangunan ini pada bagian depannya tidak berdinding dan di dalamnya terdapat sebuah kereta yang tampak seperti kereta pengangkut jenazah.

Foto:
http://www.highlandresort.info

Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Dierktorat Jenderal Kebudayaan. 1988. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara I. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

http://gried.multiply.com
http://www.sinarharapan.co.id
http://www.indonesia.go.id
http://www.woc2009.org

Candi Sewu (Provinsi Jawa Tengah)

Pengantar
Candi Sewu terletak di Dukuh Bener, Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Secara geografis, letak candi ini berada pada koordinat 110-29’29” bujur timur 7-44’40” lintang selatan, dan berada pada ketinggian 160,793 meter dari permukaan air laut. Dahulu, candi yang berada di sebelah utara Candi Prambanan ini berada di tengah-tengah pemukiman penduduk yang cukup padat. Namun, saat ini sebagian areal di kompleks Candi Sewu telah dikosongkan untuk lokasi Taman Wisata Prambanan-Borobudur yang menjadi satu kawasan dengan Candi Prambanan, Candi Lumbung dan Candi Bubrah.

Candi Sewu merupakan kompleks candi yang berlatar belakang agama Buddha terbesar kedua setelah Candi Borobudur, yang dibangun pada sekitar abad VIII Masehi. Berdasar prasasti berangka tahun 714 S atau 792 M yang ditemukan di kompleks Candi Sewu pada tahun 1960, menyebutkan bahwa di tempat itu pernah ada penyempurnaan bangunan suci yang bernama Manjusrigra. Manjusriga yang berarti rumah Manjusri1 diduga adalah nama asli Candi Sewu. Sedangkan, mengenai tahun pendirian dan siapa pendiri bangunan tersebut, sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Namun, berdasarkan prasasti yang berangka tahun 792 M tersebut dan prasasti Kelurak yang berangka tahun 782 M (ditemukan di dekat Candi Lumbung, beberapa ratus meter dari Candi Sewu), dapat diperkirakan bahwa candi ini didirikan pada akhir masa pemerintahan Rakai Panangkaran, seorang raja besar dari kerajaan Mataram kuna yang memerintah tahun 746-784 M.

Tahun 1901 Candi Sewu “dibersihkan” untuk pertama kalinya oleh Van Erp pada bagian ambang pintu, bilik candi, dan candi perwara deret pertama. Hal ini dilakukan karena pada tahun 1825 Candi Sewu pernah rusak berat akibat batu-batunya dimanfaatkan oleh Belanda untuk membuat benteng. Pemugaran berikutnya terjadi pada tahun 1928 pada Candi Perwara nomor 72, sebagai upaya penyelamatan bangunan dari kehancuran. Sedangkan, pemugaran secara total dilakukan pada tahun 1980/1982 dan 1992/1993 oleh pemerintah dan sekaligus dijadikan sebagai benda cagar budaya.

Data Bangunan
Komplek Candi Sewu berdenah menyerupai bujur sangkar yang di dalamnya terdapat 249 buah bangunan, terdiri atas: satu buah candi induk, delapan buah candi apit, dan 240 buah candi perwara. Berdasarkan hasil temuan pata tahun 1984, komplek Candi Sewu dapat dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu: halaman pertama (utama), tengah, dan luar. Masing-masing halaman tersebut dibatasi oleh pagar keliling. Berikut ini adalah uraian tentang bagian-bagian tersebut.

Pada halaman pertama terdapat candi induk yang dibatasi oleh pagar keliling berdenah persegi empat (40x41 meter). Bangunan candi induk berbentuk palang bersudut 20 derajat dengan garis tengah 28,9 meter dan tinggi 29,8 meter. Seperti candi-candi yang lain, Candi Sewu terdiri atas tiga bagian, yaitu: kaki, badan dan atap. Sebagian besar bangunan terbuat dari batu andesit, dan hanya inti bangunan yang terbuat dari tatanan batu merah yang membentuk kubus. Struktur bata merah berbentuk kubus ini tidak dapat dilihat dari luar karena letaknya berada di dalam bangunan. Pada kaki candi terdapat sederetan relief yang menggambarkan motif purnakalasa (jambangan bunga) dan arca singa pada setiap sudut pertemuan antara kaki dan struktur tangga. Selain itu, pada sisi luar pipi tangga yang ujungnya berbentuk makara, terdapat relief yang menggambarkan yaksa, kalpawrsa dan jambangan bunga berbentuk sankha.

Badan candi induk dibagi menjadi 13 bagian, yaitu: sebuah bangunan tengah, empat lorong, empat selasar, dan empat penampil. Setiap penampil mempunyai pintu keluar dan pintu penghubung dengan lorong. Sedangkan, setiap lorong mempunyai pintu penghubung dengan selasar di kanan-kirinya. Khusus pada lorong timur terdapat pintu penghubung dengan bilik tengah. Di dalam bilik tengah terdapat sebuah asana lengkap dengan sandaran yang ditempatkan merapat ke dinding barat ruangan. Diduga asana tersebut dahulu diisi arca Manjusri yang tingginya kurang lebih 360 sentimeter. Dan, dalam setiap bilik penampil dahulu diduga berisi enam arca yang diletakkan dalam enam relung, tiga relung berjajar di dinding kanan dan tiga relung berjajar di dinding kiri.

Sedangkan, hiasan-hiasan yang ada pada tubuh candi antara lain: (1) kala makara pada ambang pintu-pintunya; (2) relief dewa yang duduk dalam posisi vajrasana dan kepalanya dikelilingi rangkaian api (siracakra) sebagai lambang kedewaan; (3) relief yang menggambarkan beberapa penari dan pemain gendang; dan (4) guna (makhluk kayangan yang bertubuh cebol) yang terdapat pada setiap sudut bangunan.

Candi induk mempunyai sembilan atap yang terdiri atas empat atap penampil, empat atap lorong, dan satu atap bilik utama, yang semua puncaknya berbentuk stupa. Atap bilik utama merupakan atap yang paling besar dan paling tinggi yang terdiri dari tiga tingkatan. Hiasan-hiasan yang ada pada atap candi antara lain pilaster-pilaster, relung-relung, dan antefik-antefik berhias dewa dan motif tumbuh-tumbuhan.

Pada halaman tengah dan luar terletak Candi Perwara dan Candi Apit. Candi Perwara disusun dalam empat deret membentuk persegi panjang yang sejajar. Deret pertama terdiri 28 bangunan, deret kedua 44 bangunan, deret ketiga 80 bangunan, dan deret keempat terdiri dari 88 bangunan. Seluruh candi perwara yang berada pada deret kedua, ketiga dan keempat berorientasi ke luar (membelakangi candi induk), sedangkan deret ketiga berorientasi ke dalam (menghadap candi induk). Kedudukan Candi Apit yang berjumlah 90 buah terletak diantara Candi Perwara deret pertama dan kedua, masing-masing sepasang di setiap penjuru. Setiap pasang Candi Apit tersebut mengapit jalan yang membelah halaman kedua, tepat pada sumbu-sumbunya. Pada keempat ujung jalan di dekat pagar halaman kedua, masing-masing terdapat sepasang arca Dwarapala ukuran raksasa. Tinggi arca kurang lebih 229,5 cm dan ditempatkan di atas lapik persegi setinggi kurang lebih 111 cm.

Foto:
http://www.bhumisambhara.org

Sumber:

Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1998. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara IX. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

http://candidiy.tripod.com

http://id.wikipedia.org

http://students.ukdw.ac.id

http://www.indonesia.go.id


Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Keraton Surosowan

Archive