Gekbreng (Teater Tradisional Jawa Barat)

Sukabumi adalah salah satu kebupaten yang ada di Jawa Barat. Di sana ada teater khas yang bernama “Gekbreng”. Kesenian yang berupa drama tari ini bersifat humor yang menceritakan tentang kehidupan masyarakat sehari-hari. Nama gekbreng itu sendiri merupakan gabungan dari dua kata, yaitu “gek” dan “breng” yang artinya “duduk seketika”. Dengan demikian, gekbreng dapat diartikan ketika seseorang duduk, saat itu pula riuh rendah bunyi gamelan memulai aksi pementasan. Kesenian gekbreng diciptakan oleh Abah Ba’i pada tahun 1918, setelah tamat berguru pada seorang seniman longser yang bernama Abah Emod alias Abah Soang di Kampung Situ Gentang Ranji, Sukabumi.

Konon, kesenian ini timbul dari reaksi masyarakat atas ketidak-adilan yang dilakukan oleh para penguasa waktu itu. Dengan daya kekreatifannya, Abah Ba’i menangkap keluhan-keluhan masyarakat terhadap penguasa itu dan meramunya menjadi suatu bentuk drama tari yang bersifat humor yang kemudian disebut gekbreng. Jadi, dahulu gekbreng adalah suatu kesenian yang bertujuan untuk mengingatkan para penguasa melalui sindiran-sindiran halus yang disampaikan dengan gaya humor agar jangan terlalu sewenang-wenang dalam menggunakan kekuasaannya.

Peralatan, Tempat dan Busana
Peralatan musik yang digunakan untuk mengiring pertunjukan gekbreng adalah seperangkat gamelan berlaras selendro yang terdiri dari: (1) kendang; (2) terompet; (3) ketuk tilu; (4) rebab; (5) rincik; dan (6) gong.

Pertunjukan gekbreng biasanya diadakan di tempat terbuka atau tempat yang agak luas, seperti pendopo atau halaman rumah. Para penontonnya duduk berkeliling membentuk huruf U atau tapal luda. Demikian pula mengenai dekorasi panggungnya, terkesan cukup seadanya dan bahkan bersifat abstrak imajiner. Pertunjukan teater rakyat ini dapat dilakukan pada siang maupun malam hari. Pada malam hari, sebagai pencahayaan dipergunakan obor tradisional bersumbu tiga yang disebut oncor.

Busana yang dipakai oleh para pemain gekbreng dibagi menjadi dua bagian, yaitu busana penari keplok cendol dan busana penari ketuk tilu. Penari keplok cendol mengenakan busana kebaya lengan pendek, kain batik dan selendang. Sedangkan, penari ketul tilu mengenakan busana kebaya lengan pendek, kain batik, celana pangsi, dan selendang yang kadang-kadang dililitkan di pinggang. Sementara itu, busana yang dikenakan oleh para pemain lainnya adalah busana yang biasa dikenakannya sehari-hari, yaitu baju atau kaos oblong dan celana panjang.

Pertunjukan Gekbreng
Oleh karena yang menciptakan adalah seorang seniman longser, maka pertunjukan gekbreng bentuknya mendekati kesenian longser. Pertunjukan gekbreng diawali dengan tatalu (overtur tradisional) dan kemudian berlanjut dengan wawayangan, yaitu penampilan tari awal yang dilakukan oleh semua pemain wanita (ronggeng). Setelah wawayangan, disusul dengan penampilan tari keplok cendol yang biasanya dibawakan oleh primadona panggung.

Pada akhir keplok cendol akan muncul beberapa orang pelawak dalam arena yang menggoyang senyum dan tawa penonton. Para pelawak ini tidak hanya sekedar melawak, tetapi juga memainkan tarian ketuk tilu atau jenis tarian lainnya yang berakar pada gerakan-gerakan pencak silat. Kemudian dimulailah babak-babak lakon pendek yang berselang-seling dengan adegan-adegan lawakan. Pada pertengahan lakon ada suatu babak khusus yang menampilkan penari-penari wanita untuk memasuki kerumunan penonton sambil nyarayudu, yaitu menadahkan alat apa saja (lazimnya kenong yang mirip cawan), meminta uang saweran secara sukarela dari para penonton. Sambil menyawer biasanya para penonton ikut menari (ngibing) bersama para penari wanita itu secara bergiliran. Saat menari ini para pemain akan diiringi lagu-lagu yang juga biasanya dikumandangkan dalam kesenian longser, yaitu: gonjing, kidung, buah kawung, goreng, serendet, macan ucul, jiro, bendrong petiti, sapu nyerepegat simpai. Setelah acara nyawer, kemudian babak lakon dilanjutkan kembali hingga berakhirnya pertunjukan. (gufron)

Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1992. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara IV. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
http://www.sukabumikota.go.id
http://www2.kompas.com

Keciput Besta Manis

Bahan
200 gram tepung ketan putih
40 gram tepung sagu
½ sendok teh garam
2 sendok teh gula pasir halus
1 butir telur, dikocok lepas
1 sendok teh soda kue
180 ml santan hangat dari ¼ butir kelapa
minyak untuk menggoreng

Bahan besta
150 gram gula pasir
150 ml air
100 gram wijen untuk pelapis

Cara membuat
Campur tepung ketan putih, tepung sagu, garam, dan gula pasir halus. Aduk rata. Tambahkan telur dan soda kue. Uleni rata.

Tuang santan sedikit-sedikit sambil diuleni sampai kalis.

Bentuk bola-bola kecil. Celp ke air. Gulingkan di wijen.

Goreng dalam minyak yang dipanaskan di atas api kecil sampai setengah matang. Angkat dan dinginkan.

Goreng lagi di atas apai kecil sampai matang dan kering. Dinginkan.

Besta: rebus gula pasir dan air sambil diaduk sampai berambut. Masukkan keciput. Aduk rata. Matikan api dan aduk terus sampai kering.

Untuk 650 gram

Sumber: Tabloid Saji, Edisi 108/TH.V. 3-16 Oktober 2007

Onde-onde Ketan Hitam

Bahan isi
100 gram kacang hijau kupas, rendam 1 jam
200 ml santan dari ¼ butir kelapa
1 lembar daun pandan
¼ sendok teh garam
60 gram gula pasir

Bahan kulit
150 gram tepung ketan putih
75 gram tepung ketan hitam
25 gram tepung sagu
180 ml air
60 gram gula pasir
¼ sendok teh garam
80 gram wijen putih untuk pelapis
minyak untuk menggoreng

Cara membuat
Isi: kukus kacang hijau 15 menit. Rebus santan, daun pandan, garam, dan gula pasir sambil diaduk sampai mendidih. Tambahkan kacang hijau. Aduk sampai kalis. Bentuk bola-bola. Sisihkan.

Kulit: rebus air, gula pasir, dan garam sampai larut. Hangat-hangat tuang ke sampuran tepung ketan putih, tepung ketan hitam, dan tepung sagu yang sudah diayak. Uleni kalis.

Ambil adonan kulit. Pipihkan. Beri isi. Bentuk bola-bola.

Celup ke air. Gulingkan di wijen.

Goreng dalam minyak yang sudah dipanaskan di atas api sedang sampai matang.

Untuk 15 buah

Sumber: Tabloid Saji, Edisi 108/TH.V. 3-16 Oktober 2007

Kawasaki ZX-10R

Technical Specifications
Kawasaki ZX-10R
Engine
Engine type
Valve/Induction system
Displacement
Max power
Max torque
Bore x Stroke
Compression ratio
Starting system
Fuel system
Ignition System
Lubrication
Clutch Type
Transmission
Final Drive
Gear Ratios

Liquid-cooled, 4-stroke In-Line Four
DOHC, 16 valves
998 cm³
138.3 kW (188 PS) @12,500 rpm
113 N·m (11.5 kgf·m) @8,700 rpm
76.0 x 55.0 mm
12.9:1
Electric starter
Fuel injection: ø43 mm x 4 (Keihin)
Digital
Forced lubrication, wet sump with oil cooler
Wet multi-disc, manual
6-speed, return shift
Sealed chain
1st 2.600 (39/15)
2nd 2.053 (39/19)
3rd 1.737 (33/19)
4th 1.550 (31/20)
5th 1.400 (28/20)
6th 1.304 (30/23)
Dimensions
Overall length
Overall width
Overall height
Wheelbase
Ground clearance
Seat height
Curb mass
Fuel capacity
Frame type
Caster (rake)
Tyre (front)
Tyre (rear)
Suspension (Front)


Suspension (rear)
Brake (front)


Brake (rear)

2,110 mm
710 mm
1,135 mm
1,415 mm
125 mm
830 mm
208 kg
17 litres
Backbone/Twin-tube, aluminium
25.5°/110 mm
120/70ZR17M/C (58W)
190/55ZR17M/C (75W)
43 mm inverted fork with DLC coating,
rebound and compression damping, spring,
preload adjustability and top-out springs
Bottom-Link Uni-Trak
Dual semi-floating 310 mm petal discs,
10-button aluminium rotor carrier, Dual radial-mount, opposed 4-(aluminium) piston
Single 220 mm petal disc,
Single-bore pin-slide, aluminium piston

Image: http://www.bikepoint.com.au

Valentino Rossi

Riwayat Singkat
Valentino Rossi lahir pada tanggal 16 Februari 1979 di Urbino, Italia. Dia adalah putera dari Graziano Rossi dan Stefania Palma. Ayah Vale (panggilan Valentino Rossi), adalah seorang mantan pembalap GP 250cc yang pernah menjadi juara III pada Kejuaraan Dunia Balap Motor di Sirkuit Morbidelli. Jadi, tidak mengherankan apabila Rossi memiliki bakat besar di dunia balap motor. Saat ini dia adalah pembalap tersukses di balap Grand Prix motor dunia setelah era Michael Doohan, dengan meraih titel juara dunia di empat kelas yang berbeda dalam waktu tujuh tahun berkarir. Total pembalap eksentrik ini membukukan 7 gelar juara dunia: sekali di kelas 125cc, sekali di kelas 250cc, dan lima kali di kelas puncak, 500cc dan Motogp.

Sebagai pembalap, Rossi mengalami proses metamorfosa dalam merintis karirnya di dunia balap motor. Sejak berusia 6 tahun (1985), dia sudah mulai mengenal dunia balap dengan mengikuti perlombaan gokart di kotanya. Empat tahun kemudian (1989), ia mengawali debutnya di lomba balap karting 60cc. Tidak lama setelah itu (1990), Rossi telah menjadi juara karting regional 60cc dengan memenangi sembilan seri balapan.

Setelah menjadi juara di karting regional kelas 60 cc ini, Rossi mulai menapaki kejuaraan balap yang lebih tinggi lagi kelasnya dan mulai mengukir prestasi. Kejuaraan-kejuaraan itu diantaranya adalah: (1) tahun 1991 meraih peringkat ke-5 di Kejuaraan Junior Gokart se Italia; (2) tahun 1992 menjadi Juara Italian Minibike Endurance; (3) tahun 1993 mengawali debutnya di dunia balap motor dan meraih peringkat ke-12 dalam Italian 125cc Sport Production Championship, dengan menggunakan motor Cagiva; (4) tahun 1994 menjadi juara Italian 125cc Sport Production, dengan menggunakan motor Cagiva; dan (5) tahun 1995 menjadi juara nasional Italia 125cc, peringkat ke-3 125cc di kejuaraan balap motor Eropa, dan peringkat ke-11 di Kejuaraan Spanish Open 125cc, semuanya dengan menggunakan motor Aprilia.

Setahun kemudian, Rossi mencoba mengadu nasib di balapan kelas dunia. Debut pertamanya di Grand Prix 125cc ialah ketika ia berhasil menjuarai GP di Republik Ceko. Hanya berselang satu tahun, di tahun 1997 dia telah berhasil membuktikan dirinya menjadi juara dunia termuda yang menjuarai 11 seri dari 15 seri Grand Prix 125cc, termasuk di Sirkuit Sentul, Indonesia.

Saat merajai kelas 125cc ini, Rossi menjuluki dirinya sebagai Rossifumi. Julukan ini diciptakan oleh temannya karena Rossi sangat kagum pada pembalap Jepang yang mempunyai gaya balap dan gaya rambut panjangnya yang khas, yaitu almarhum Norifumi Abe1 (Norick Abe). Abe yang saat itu baru berumur 17 tahun, berjuang sangat gigih melawan Michael Doohan dan Kevin Scwantz di kelas 500cc. Sebagai catatan, pada tahun 2004 Rossi dan idolanya itu sama-sama membela Yamaha namun dalam tim yang berbeda. Rossi bernaung di Glauoises Fortuna Yamaha Team, sedangkan Abe berada di Fortuna Gauloises Tech 3 Yamaha Team.

Sukses menjadi juara dunia di kelas 125cc, merupakan modal bagi Rossi untuk menjejakkan langkahnya ke kelas yang lebih tinggi, yaitu kelas 250cc. Pada tahun 1998 bersama tim Nastro Azzurro Aprilia, ia menjadi Runner up Grand Prix 250cc. Satu tahun kemudian (1999), barulah ia berhasil menyodok ke peringkat pertama dengan menjuarai 9 seri putaran GP 250cc di tahun itu. Saat berada di kelas 250cc ini Rossi berganti julukan menjadi Valentinik. Julukan ini berasal dari tokoh kartun Duffy Duck yang di Italia bernama Paperinik.

Pada musim balap tahun 2000, Rossi mulai tampil di kelas utama 500cc. Masih dengan tim Nastro Azzurro, ia pindah ke pabrikan Honda dan bergabung dengan tim bekas Michael Doohan yang dikepalai oleh seorang mekanik handal asal Australia bernama Jerremy Burgess. Tahun pertama tampil di kelas 500cc ini prestasi Rossi belumlah seberapa. Selain harus beradaptasi dengan kendaraan barunya, ia juga mendapat saingan ketat dari para pembalap senior yang lebih dulu malang melintang di balapan 500cc. Meskipun begitu, ia sempat menjadi juara di dua seri (GP Inggris dan GP Brazil) dan menjadi Runner up Grand Prix 500cc pada musim balap tahun itu (2000).

Setelah benar-benar memahami karakter tunggangannya, prestasi Rossi melesat bak meteor. Terbukti, setahun kemudian (2001), masih bersama tim Nastro Azzurro Honda, Rossi muncul sebagai juara dunia debutan terbaru setelah menjuarai 11 dari 17 seri GP, dengan total point 325. Keberhasilan ini membuat Rossi tercatat sebagai pembalap termuda ke-4 yang berhasil menjadi juara GP 500cc setelah Freddie Spencer, Mike Hailwood dan John Surtees.

Bahkan rekornya menjuarai tiga kelas, yaitu 125cc, 250cc, dan 500cc menyamai rekor yang pernah ditorehkan pembalap Phil Read (125cc, 250cc, 500cc) dan Mike Hailwood (250cc, 350cc, 500cc). Rossi juga tercatat sebagai juara di 38 GP sebelum genap berusia 23 tahun, sekaligus memecahkan rekor Loris Capirosi yang menjuarai 15 putaran Grand Prix sebelum usia 23 tahun.

Sebagai catatan, sejak menjadi juara dunia di kelas 500cc, Rossi mengubah lagi julukannya menjadi The Doctor. Julukan baru itu ia gunakan karena merasa bahwa balap kelas 500cc membutuhkan tingkat keseriusan yang tinggi. Selain itu, julukan The Doctor timbul karena ia menyukai ide-ide gila seorang ilmuwan yang melakukan eksperimen-eksperimen edan. Sejak itu pula ia merasa bukan anak kecil lagi dan mulai mengurangi perayaan kemenangan yang dianggapnya sudah tidak pantas ia lakukan. “Cukup dengan melambai seperti pembalap lain, lalu malamnya pesta habis-habisan bersama sahabat-sahabat saya,” ujarnya.

Sebagai catatan pula, sepanjang karirnya di dunia balap motor, Rossi selalu memakai nomor 46. Ia memakai nomor itu karena ayahnya, Graziano Rossi, juga memakai nomor 46 ketika memenangkan lomba pertama di Sirkuit Morbidelli pada tahun 1979. Selain itu, ia memakai nomor 46 karena terkesan oleh aksi seorang pembalap wildcard Jepang yang memakai nomor 46 yang tampil sangat mengesankan di salah satu seri balap Grand Prix motor. Saat ini Rossi tetap memakai nomor 46 kebanggaanya itu dan tidak mengikuti pembalap-pembalap sebelumnya yang memilih berganti nomor 1 setelah mendapatkan titel juara dunia.

Pada tahun 2002, ketika GP 500cc berganti nama menjadi MotoGp yang kelas utamanya menggunakan motor 4-tak berkapasitas mesin 1000cc, Rossi yang saat itu telah bergabung dengan Repsol Honda Team menjadi juara dunia lagi. Tahun 2002 itu, saat usianya telah 23 tahun, ia sudah mampu meraih sukses yang belum pernah dicapai oleh siapapun, yaitu memenangkan kejuaraan dunia untuk semua kategori: 125cc, 250cc, 500cc, dan MotoGP. Tahun berikutnya, masih bersama Repsol Honda Team, Rossi menjadi juara dunia MotoGP lagi.

Pada akhir musim 2003 menjelang musim 2004, Valentino Rossi membuat keputusan yang sangat mengejutkan. Ia memilih untuk hengkang dari tim yang telah membesarkan namanya dan yang telah mengantarkannya meraih juara dunia tahun 2002 dan 2003, yaitu Repsol Honda HRC. Tim ini adalah tim besar yang telah membawa Michael Doohan2 merebut gelar juara dunia 5 kali berturut-turut (1994, 1995, 1996, 1997, 1998) dan juga Alex Criville menjadi juara dunia tahun 1999.

Rossi memutuskan untuk meninggalkan tim super tersebut dan memilih bergabung bersama tim Yamaha. Ia tidak pindah ke tim Yamaha sendirian, tetapi juga membawa Jerremy Burgess, kepala mekaniknya yang dahulu juga menangani Doohan dan Criville. Mengenai kepindahannya ini, banyak orang yang pesimis kalau ia akan mampu mempertahankan gelar juaranya. Bagaimana tidak, waktu itu Honda adalah tim yang paling hebat dengan motor RC211V-nya, sedangkan Yamaha adalah tim yang tidak pernah menang sejak tahun 1992. Tapi setelah musim kompetisi 2004 bergulir, ia memantahkan semua pandangan pesimis tersebut. Valentino Rossi tetap menjadi juara dunia dengan motor Yamaha YZR M1-nya bersama tim Gauloises Fortuna Yamaha. Bahkan, pada musim balap berikutnya (2005), ia tetap mempertahankan gelarnya dan menjadi pembalap Yamaha pertama yang paling banyak memenangkan perlombaan dalam satu musim (sembilan kali).

Namun pada tahun 2006 prestasinya agak menurun. Bersama tim Camel Yamaha ia hanya mampu menjadi Runner up Motogp setelah dikalahkan oleh Nicky Hayden, pembalap dari tim Repsol Honda. Setahun berikutnya, prestasinya melorot lagi menjadi juara ketiga, setelah dikalahkan oleh Casey Stoner dari tim Ducati dan Dani Pedrosa dari Tim Repsol Honda. Saat tulisan ini dibuat, Valentino Rossi agaknya mulai menunjukkan kehebatannya lagi. Ia telah berhasil menjadi juara dunia pada musim kejuaraan MotoGp tahun 2008, walaupun masih ada 2 seri lagi yang tersisa.

1 Abe meninggal pada 7 Oktober 2007 setelah motor yang ditungganginya menabrak sebuah truck yang berbelok secara “ilegal” di sebuah tikungan “U” di dekat Kota Kawasaki, Jepang.
2 Tahun 1999 Michael Doohan mengalami kecelakaan serius di Sirkuit Jeres, Spanyol, yang membuatnya harus pensiun dari ajang Grand Prix 500cc.

Goa Nagabumi

(Cerita Rakyat Yogyakarta)

Pada zaman dahulu ada sebuah kerajaan yang sangat besar dan kuat. Kerajaan itu bernama Mataram. Wilayah kekuasaan kerajaan Mataram meliputi seluruh tanah Jawa, bahkan pengaruhnya meluas sampai ke berbagai negeri di seberang lautan. Raja yang bertahta di Kerajaan Mataram itu bergelar Kanjeng Panembahan Senopati. Di bawah pemerintahannya, Kerajaan Mataram dengan pesat berkembang menjadi sebuah kerajaan yang besar.

Sejak sebelum menjadi raja, Kanjeng Panembahan Senopati adalah seorang prajurit yang tangguh dan perkasa. Sikapnya yang satria memperkuat kedudukannya sebagai senopati yang sangat dicintai oleh para bawahannya, dan sangat disegani, baik oleh kawan maupun lawan.

Kanjeng Panembahan Senopati terkenal memiliki kesaktian yang luar biasa dan sangat pintar dalam menyusun siasat perang. Itulah sebabnya, maka banyak raja dari negeri lain menyatakan takluk di bawah kekuasaan Kerajaan Mataram. Kesaktian Kanjeng Panembahan Senopati tidak hanya membuat kerajaan-kerajaan manusia menjadi takut, tetapi juga membuat gentar kerajaan-kerajaan makhluk halus yang ada di Pulau Jawa.

Salah satu dari sekian banyak kerajaan makhluk halus itu ada yang terletak di sekitar Segara Kidul. Kerajaan itu diperintah oleh seorang ratu (raja perempuan) yang bergelar Kanjeng Ratu Kidul. Oleh karena letaknya yang dekat dengan pusat kerajaan Mataram, maka untuk menghindari agar jangan sampai kerajaannya hancur lebur bila bertentangan dengan Kanjeng Panembahan Senopati, maka Kanjeng Ratu Kidul berusaha menggabungkan kerajaannya dengan Kerajaan Mataram.

Suatu saat, ketika Kanjeng Panembahan Senopati sedang mengasingkan diri di pantai selatan, Kanjeng Ratu Kidul menemuinya dengan menyamar menjadi manusia biasa, dalam wujud seorang puteri yang sangat cantik. Melihat kecantikan puteri jelita yang datang menghampiri itu, Kanjeng Panembahan Senopati terpikat hatinya. Singkat cerita, Kanjeng Ratu Kidul lalu diperisteri oleh Kanjeng Panembahan Senopati. Akibat dari perkawinannya dengan Kanjeng Ratu Kidul itu, maka Kerajaan Mataram wilayahnya menjadi sangat luas. Dan, bukan hanya manusia saja, melainkan juga seluruh mahkluk halus di wilayah Pulau Jawa dan sekitarnya menjadi takluk di bawah kekuasaan Kanjeng Panembahan Senopati.

Dari perkawinannya dengan Kanjeng Ratu Kidul, Kanjeng Panembahan Senopati memiliki seorang putera yang dinamakannya Raden Ronggo. Oleh karena ia adalah anak dari dua orang yang sangat sakti, maka Raden Ronggo pun setelah besar, menjadi seorang pemuda yang tampan, dan terkenal sangat sakti. Tak ada seorang pun yang berani membantah kata-kata Raden Ronggo karena kesaktiannya dan juga karena dia adalah putera Kanjeng Panembahan Senopati, raja Mataram.

Makin lama Raden Ronggo menjadi makin sombong, bahkan mulai bertindak sewenang-wenang pada penduduk Mataram. Setiap kemauannya harus tersampaikan. Apabila ada orang yang berusaha membantah atau menghalangi niatnya, dilawannya dengan kekuatan atau kesaktiannya, juga dengan wewenangnya sebagai putera raja. Tidak segan-segan Raden Ronggo menindas, menyiksa, bahkan membunuh siapa saja yang berani menentang atau merintangi maksudnya. Rakyat Mataram pun menjadi resah.

Berita mengenai sikap semena-mena anaknya terhadap rakyat Mataram itu, membuat Kanjeng Panembahan Senopati prihatin. Beliau menyadari kedudukannya sebagai raja, haruslah menjadi pengayom rakyat dan penjamin kesejahteraan hidup rakyat seluruh negerinya. Sangat sedih hati Kanjeng Panembahan Senopati, mengetahui kelakuan puteranya yang ternyata tercela di mata rakyatnya. Seharusnya puteranya bersikap melindungi rakyatnya, tetapi nyatanya malah bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat.

Kanjeng Panembahan Senopati adalah seorang raja yang adil dan bijaksana. Tidak kepalang tanggung baginda memberikan hadiah kepada rakyatnya yang berjasa kepada negara. Dan, tidak segan-segan pula beliau menjatuhkan hukuman kepada siapa saja yang melanggar undang-undang.

Namun kali ini ia merasa terpojok. Ternyata puteranya sendiri telah bertindak sebagai warga negara yang melanggar undang-undang. Tidak boleh tidak, ia harus menjatuhkan hukuman yang setimpal kepada puteranya.

Kanjeng Panembahan Senopati menyadari bahwa puteranya sangat sakti. Tak seorang pun dari rakyat dan hambanya mampu mengimbangi kesaktian puteranya itu. Maka dari itu, Kanjeng Panembahan Senopati menentukan sikap untuk tidak akan menyerahkan puteranya kepada pengadilan, sebab tak ada seorang pun dari rakyatnya yang berani bertindak atas diri Raden Ronggo, meskipun berdasarkan putusan pengadilan.

Untuk melaksanakan hukuman atas diri puteranya, Kanjeng Panembahan Senopati lalu memanggil Kanjeng Ratu Kidul, yang bertahta di dasar Segara Kidul. Kepada Kanjeng Ratu Kidul, Kanjeng Panembahan Senopati bersabda: “Puteramu, si Ronggo, ternyata mencemarkan kewibaan keluarga raja, dan tentu saja mencemarkan kewibawaanku sebagai raja. Kalau dia tidak segera disingkirkan, aku khawatir rakyatku makin cemas. Maka dari itu, ambillah dia. Bawalah pulang ke keratonmu.”

“Baiklah kakangmas”, jawab Kanjeng Ratu Kidul.

“Terserah bagaimana caramu menyingkirkan dia dari lingkungan kerajaan Mataram”, sabda baginda.

Setelah mendapat perintah dari Kanjeng Panembahan Senopati, maka Kanjeng Ratu Kidul pun lalu mencari akal untuk mengambil puteranya dari daratan Mataram. Untuk itu, Kanjeng Ratu Kidul mengutus seekor naga yang bertempat tinggal di dasar laut pantai selatan menjemput Raden Ronggo. Namun, naga itu diperintahkan terlebih dahulu untuk memporak-porandakan wilayah perkampungan penduduk yang ada di tepi pantai agar Raden Ronggo terpancing dan berusaha membunuh si naga.

Setelah naga itu naik ke darat, kemudian ia langsung mengganas di wilayah perkampungan penduduk. Naga itu mengganggu ketenteraman penduduk. Ternak-ternak penduduk menjadi mangsa si naga. Orang-orang yang tinggal di sekitar pantai berusaha untuk membunuhnya. Namun hal itu ternyata sia-sia, sebab naga itu sangat sakti. Tak ada seorang pun yang mampu membunuhnya. Makin lama rakyat menjadi makin tintrim (resah, cemas, gelisah, takut). Ulah si naga semakin mengganas. Jumlah ternak yang musnah akibat menjadi mangsa naga itu, makin hari makin bertambah. Penduduk khawatir, jangan-jangan naga itu akhirnya akan memangsa mereka bila jumlah ternak sudah makin menipis.

Warga sekitar pantai kemudian bermusyawarah mencari untuk cara agar si naga dapat segera dimusnahkan. Dalam musyawarah itu, salah seorang diantaranya berkata: “Kalau Raden Ronggo mau bertindak, tentu mampu membunuh naga itu.”

“Ya, ia adalah orang sakti”, sambung yang lain.

“Kalau dia mau, naga itu tentu dapat dibunuhnya,” kata yang lainnya lagi.

“Kalau begitu, sebaiknya kita menghadap padanya”, yang lain mengusulkan.

“Setuju”, lainnya lagi menguatkan. “Kita perlu menghadap Kanjeng Panembahan Senopati, memohon kesediaannya untuk menitahkan Raden Ronggo turun tangan membunuh naga itu.”

Begitulah, Raden Ronggo yang semula dibenci oleh rakyat karena sikapnya yang menindas rakyat dan senantiasa menyiksa rakyat, akhirnya diangkat sebagai pahlawan. Kepada Raden Ronggo, segenap rakyat menumpukan seluruh harapan, untuk membebaskan mereka dari ancaman bencana yang mungkin ditimbulkan oleh naga itu.

Setelah Kanjeng Panembahan Senopati mendengarkan permintaan rakyatnya, yang menggantungkan harapannya kepada Raden Ronggo untuk menolong mereka, maka baginda pun lalu memanggil Raden Ronggo untuk menghadap.

“Ronggo, anakku”, kata baginda kepada puteranya setelah Raden Ronggo duduk bersimpuh di hadapannya. “Kau tahu rakyat kita sekarang dalam keadaan cemas karena adanya naga yang mengganggu ketenteraman.”

“Ya, ayahanda”, jawab Raden Ronggo seraya menyembah dengan hormat.

“Dan kau pun tahu, bahwa tak seorang pun dari rakyat kita yang berani menghadapi naga itu,” kata baginda lagi.

“Ya, ayahanda.”

“Sekarang, bagaimanakah sikapmu?”

“Maksud ayahanda?”

“Apakah engkau sampai hati hanya berdiam diri saja, membiarkan rakyat cemas mengkhawatirkan keselamatan hidupnya?”

Raden Ronggo termenung, kepalanya makin merunduk mendengar sabda baginda yang bernada sedih itu.

Selanjutnya bagianda raja berkata lagi: “Kau harus bertindak, anakku.”

“Jadi maksud ayahanda, hamba harus membunuh naga itu?” sembah Raden Ronggo.

“Ya,” kata baginda dengan tegas. “Kau harus turun tangan. Rakyat tahu, bahwa kau memiliki kemampuan luar biasa. Dan rakyat yakin, bahwa hanya kaulah yang mampu membunuh naga itu.”

Raden Ronggo merenung sejenak, lalu sembahnya: “Kalau ayahanda memerintahkan, hamba pun akan melaksanakannya.”

“Bagus!” kata baginda. “Kalau kau mau bertindak membunuh naga itu, berarti tidak sia-sialah harapan rakyat yang ditumpukan ke pundakmu.”

“Atas perintah baginda, hamba akan bertindak”, sembah Raden Ronggo.

“Bagus”, kata baginda. “Demi keselamatan jiwa rakyat dan ketenteraman negara, aku memerintahkan kau membunuh naga itu.”

Setelah memohon restu dari baginda raja untuk menunaikan tugas berat itu, Raden Ronggo lalu mundur dari hadapan ayahandanya dan berangkat menghadapi naga yang mencemaskan hati rakyat itu.

Setelah mengetahui bahwa Raden Ronggo bersedia turun tangan akan membunuh naga itu, maka segenap rakyat lalu bersorak-sorak: “Hidup Raden Ronggo, hidup Raden Ronggo.”

Begitu keluar dari istana, dengan tenangnya Raden Ronggo berjalan, dan orang banyak berduyun-duyun berjalan di belakangnya. Kepada Raden Ronggo, orang banyak itu menunjukkan lokasi naga itu berada, yaitu di suatu goa dekat pemukiman mereka. Sesampai di depan pintu goa, orang banyak yang mengiringi perjalanan Raden Ronggo itu pun berhenti, sedang Raden Ronggo meneruskan masuk ke dalam goa.

Tidak lama setelah Raden Ronggo masuk ke dalam goa, terdengarlah suara dahsyat dari dalam goa. Terjadilah pertempuran hebat antara Raden Ronggo dengan naga yang ganas itu. Kedua-duanya memiliki kesaktian yang luar biasa. Suara gelegar bagai guruh dan guntur yang menyambar-nyambar terdengar dari dalam goa itu. Tiap gelegar suara diiringi oleh goncangan bumi bagai gempa.

Pada akhirnya suara menggelegar dan goncangan bumi bagai gempa itu pun berhenti. Itu menandakan bahwa pertempuran telah berakhir. Dan, ternyata baik Raden Ronggo maupun sang naga, kedua-duanya mati. Selesainya pertempuran dahsyat yang diakhiri dengan kematian kedua belah pihak itu, alam menyambutnya dengan curahan hujan yang sangat lebat. Segenap rakyat berterima kasih terhadap jasa Raden Ronggo, yang telah mengorbankan dirinya demi kelangsungan hidup rakyat.

Goa tempat berlangsungnya pertempuran antara Raden Ronggo dengan naga yang ganas itu, sampai sekarang masih ada dan dikenal dengan nama Goa Nagabumi.

Sumber:
Diadaptasi Bebas dari Suwondo, Bambang. 1981. Cerita Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Kamasan (Desa Perajin Wayang Bali)

Pengantar
Kabupaten Klungkung merupakan kabupaten yang paling kecil dari 8 kabupaten yang ada di Provinsi Bali. Kabupaten yang terletak diantara 115 derajat 21’28” – 115 derajat 37’43” Bujur Timur dan 8 derajat 27’37” – 8 derajat 49’00” Lintang Selatan ini sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia, sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Bangli, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Karangasen, dan di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Gianyar. Secara fisik luas wilayahnya sekitar 315 km2. Dari luas itu sepertiganya (112,16 Km2) terletak di daratan Pulau Bali dan sisanya (202, 84 km2) berada di Pulau Nusa Penida, Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan. Sedangkan, secara administratif, Kabupaten Klungkung terbagi menjadi 4 kecamatan, 59 desa/keluarahan dan 241 dusun. Selain desa/kelurahan, di kabupaten ini terdapat juga 87 desa adat dan 391 banjar desa.

Di kabupaten Klungkung terdapat sekitar 18 obyek wisata, baik wisata: alam, sejarah, maupun budaya. Salah satu di antara sekian banyak objek wisata tersebut adalah Desa Kamasan yang berada di Kecamatan Klungkung. Dari Kota Denpasar jaraknya sekitar 43 km ke arah barat. Desa tersebut dijadikan sebagai daerah objek wisata oleh Kabupaten Klungkung karena daerah ini merupakan pusat kerajinan lukisan maupun ukiran tradisional yang mempunyai gaya (style) tersendiri yang disebut gaya Kamasan yang didominasi oleh karakter-karakter tokoh wayang dalam epos Mahabarata, Ramayana, Kekawin Arjuna dan Suthasoma. Gaya Kamasan ini, menurut kesan para kolektor internasional, masih sangat halus, bersih, tidak banyak detail yang tidak penting dan sangat jelas pesan ceritanya. Lukisan dan ukiran yang bertema tokoh-tokoh pewayangan itulah yang membawa daya tarik tersendiri bagi para wisatawan yang berkunjung ke Desa Kamasan.

Asal Usul
Konon, komunitas para perajin di Desa Kamasan sudah ada sejak masa neolitikum (+ 2000 SM). Hal ini dibuktikan dengan adanya data temuan arkeologis pada tahun 1976 dan 1977 di Desa Kamasan, Gelgel dan Tojan yang berupa tahta-tahta batu, arca menhir, palungan batu, monolit yang berbentuk silinder, batu dakon, dan lorong-lorong jalan yang dilapisi batu kali.

Tradisi dari zaman neolitik ini oleh para pande di Kamasan semakin ditingkatkan lagi pada masa Raja Ida Dalem memerintah di Kerajaan Gelgel (1380-1651). Produk seni ukir logam emas atau perak para pande ini yang berwujud bokor, dulang dan lain sebagainya dijadikan sebagai barang-barang perhiasan Keraton Suweca Linggaarsa Pura Gelgel. Pada waktu itu, selain seni ukir, berkembang pula seni lukis wayang dan hiasan di atas kain berupa bendera (kober, umbul-umbul, lelontek), kain hiasan (ider-ider dan parba) yang digunakan sebagai pelengkap dekorasi untuk tempat-tempat suci (pura) dan bangunan keraton.

Pada saat Dalem Waturenggong berkuasa di Kerajaan Gelgel, di daerah Kamasan, terutama di Banjar Sangging dan Banjar Pande Mas menjadi pusat kerajinan ukiran dan lukisan di Klungkung. Kedua banjar ini dapat dikatakan menjadi Banjar Gilda karena seluruh penduduknya berprofesi sebagai perajin dan bekerja atau mengabdi kepada raja. Kedua banjar di Desa Kamasan ini tetap dipertahankan sebagai Banjar Gilda walaupun Kerajaan Gelgel pada tahun 1686 dipindahkan oleh Dewa Agung Jambe ke Klungkung.

Perkembangan Saat Ini
Walaupun Klungkung telah berubah menjadi salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Bali dan Banjar Sangging maupun Banjar Pande Mas bukan lagi Banjar Gilda dari raja Klungkung, para seniman dan perajin di Desa Kamasan masih tetap menghasilkan lukisan dan ukiran gaya Kamasan. Bahkan, saat ini produk yang dihasilkan pun semakin beragam, tidak hanya terbatas pada ukiran emas dan perak tetapi muncul pula seni ukir yang berbahan tembaga, kuningan dan selongsong peluru.

Sejalan dengan berkembangnya sektor pariwisata di Bali, produk seni lukis dan ukiran khas Kamasan ini banyak diminati oleh para wisatawan lokal maupun asing. Dan, untuk memasarkan hasil karyanya ini, para seniman di Kamasan tidak hanya membuka galeri seni di desanya, melainkan juga memasarkannya ke toko-toko souvenir dan seni di Klungkung, pasar seni Gianyar dan hotel-hotel yang ada di daerah Denpasar.

Sumber:
http://www.geocities.com

Tari Torompio (Sulawesi Tengah)

Pengantar
“Torompio” adalah ungkapan dalam bahasa Pamona, Sulawesi Tengah. Ungkapan ini terdiri atas dua kata, yakni “toro” yang berarti “berputar” dan “pio” yang berarti “angin”. Jadi, “torompio” berarti “angin berputar”. Makna yang terkandung dalam ungkapan tersebut adalah “gelora cinta kasih” yang dilambangkan oleh tarian yang dinamis dengan gerakan berputar-putar bagaikan insan yang sedang dilanda cinta kasih, sehingga tarian ini disebut torompio. Pengertian gelora cinta kasih sebenarnya bukan hanya untuk sepasang kekasih yang sedang dimabuk cinta, melainkan juga untuk semua kehidupan, seperti: cinta tanah air, cinta sesama umat, cinta kepada tamu-tamu (menghargai tamu-tamu) dan lain sebagainya. Namun, yang lebih menonjol ialah cinta kasih antarsesama remaja atau muda-mudi, sehingga tarian ini lebih dikenal sebagai tarian muda-mudi. Torompio dalam penampilannya sangat ditentukan oleh syair lagu pengiring yang dinyanyikan oleh penari dan pengiring tari.

Tarian ini dahulu ditarikan secara spontan oleh para remaja dengan jumlah yang tidak terbatas dan dipergelarkan di tempat terbuka, seperti halaman rumah atau tempat tertentu yang agak luas. Para penontonnya muda-mudi yang berdiri dan membentuk lingkaran, karena tari ini didominasi oleh komposisi lingkaran dan berbaris.

Peralatan dan Busana
Peralatan musik yang digunakan untuk mengiringi tari torompio diantaranya adalah: (1) ganda (gendang); (2) nonggi (gong); (3) karatu (gendang duduk); dan gitar. Sedangkan, busana yang dikenakan oleh penari perempuan adalah: (1) lemba (blus berlengan pendek yang berhiaskan manik-manik); (2) topi mombulu (rok bersusun); (3) tali bonto (ikat kepala yang terbuat dai teras bambu dibungkus dengan kain merah sebesar 2 sampai 3 jari dan dihias dengan manik-manik; dan (4) kalung yang terbuat dari sejenis tumbuhan siropu atau dari batu. Sedangkan busana dan perlengkapan pada penari laki-laki adalah: (1) baju banjara (baju seperti teluk belanga yang diberi hiasan dari manik-manik); (2) salana (celana panjang yang berhias manik-manik); (3) siga atau destar; dan (4) salempa (kain untuk selempang).

Selain peralatan musik dan busana bagi penarinya, tarian ini diiringi oleh beberapa buah lagu. Salah satu lagu yang dahulu biasa dinyanyikan pada masa Orde Baru adalah lagu Wati Ndagia. Lagu ini berisi pesan pemerintah untuk menggiatkan pembangunan. Berikut ini adalah terjemahan dari beberapa syair yang dilantunkan:

Tumpah darahku yang kucintai tempat ibu bapaku dan aku dilahirkan. Poso Sulawesi Tengah sangat subur indah permai. Danaunya yang elok indah menawan yang takan kulupakan.

Inilah kami anak-anak dari seberang akan bermain khas daerah kami.

Pada pertemuan ini begitu indah kita bernyanyi, bersyair dengan rasa yang sesungguhnya. Pembangunan negara kita ini telah dirasakan sampai ke pedesaan. Wahai teman-teman, kita seirama dalam pembangunan ini.

Serasi selaras pertemuan kita ini melambangkan persatuan kita. Budaya yang datang dari luar datang di negeri kita dan filter bagi bangsa kita adalah Pancasila.

Ingat wahai kawan, tahun depan adalah pesta nasional kita perlihara keamanannya. Repelita adalah perjuangan bangsa sama kita laksanakan. Hapuskan rongrongan baik dari luar maupun dari dalam. Masyarakat adil dan makmur yang diimpikan bersama, bersatulah dalam perjuangan agar tercapai tujuan ini. Kekuatan adil dan makmur yang diimpikan bersama, bersatulah dalam perjuangan agar tercapai tujuan ini. Kekuatan harapan bangsa melalui kerja keras jeli dalam tindakan agar nyata dan tercapai cita-cita bangsa.

Dengan selesainya permainan ini kami mohon diri sebab pertemuan yang begitu indah membuat kesan yang tak terlupakan. Kalung kenangan akan kutinggalkan sebagai lambang persatuan kita.

Selamat tinggal wahai kawan, jangan lupa pesan pemerintah, sukseskan pembangunan di segala bidang, (baik siang dan malam).

Pertunjukan Tari Torompio
Pertunjukan tari torompio diawali dengan gerakan linggi doe atau panggilan buat para penari. Dalam linggi doe para penari akan masuk ke pentas dari dua arah. Penari pria dari arah kiri dan wanita dari kanan. Selanjutnya, mereka bertemu dalam satu barisan dan kemudian berpisah membentuk satu baris memanjang untuk melakukan gerakan penghormatan. Setelah itu, disusul dengan gerakan mantuju ada. Dalam gerakan ini penari membentuk bulatan besar kemudian bulatan kecil, dengan maksud menyampaikan pesan bahwa mereka anak-seberang akan mempertunjukkan tari torompio.

Setelah introduksi selesai, maka tarian dilanjutkan dengan gerakan masinpanca, yaitu para penari bertemu untuk mencari pasangan masing-masing sambil menyanyikan lagu yang menceritakan indahnya pertemuan tersebut. Kemudian, penari pria akan membuat gerakan-gerakan yang seakan merayu penari wanita. Gerakan ini disebut mencolodi. Dalam mencolodi ini lagu yang dibawakan syairnya menceritakan bahwa pertemuan antara penari pria dan wanita melambangkan persatuan di antara mereka.

Setelah gerakan moncoldi selesai, maka dilanjutkan dengan gerakan mompalakanamo dan mosangko lima. Pada gerakan mompalakanamo penari dalam posisi berhadapan sambil menyanyikan syair yang menceritakan pertemuan ini sangat indah, berkesan dan tak dapat dilupakan. Sedangkan, gerakan selanjutnya yaitu mosangko lima, penari pria menyematkan seuntai kalung kepada penari wanita dan diteruskan dengan berjabat tangan sebaga ungkapan eratnya persatuan. Kemudian, dilanjutkan dengan ucapan selamat tinggal yang ditandai dengan lambaian tangan. Pada masa Orde Baru, saat melambaikan tangan tersebut digunakan juga untuk menyampaikan pesan pemerintah kepada para penonton, yang berisi tentang ajakan untuk mensukseskan pembangunan di segala bidang. (gufron)

Foto: http://www.berutapalu.com
Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1993. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
http://www.beritapalu.com

Parou (Lampung)

Parou terbuat dari bilahan bambu yang disusun menyerupai rak. Parou ditempatkan di atas tungku. Pada parou ini disimpan bermacam-macam bumbu masak seperti gula aren yang telah dibungkus dengan daun pisang, garam, atau ikan kering. Disamping untuk menaruh bumbu dapur parou dapat dipakai untuk memeram buah-buahan seperti pisang, mangga, atau nenas. Mengingat parou ditempatkan di atas tungku maka suhunya akan tetap panas sehingga bumbu dapur akan tetap kering dan pisang yang diperamkan akan cepat matang. Barang ini pengadaannya dengan cara membuat sendiri.

Sumber:
Sucipto, Toto, dkk,. 2003. Kebudayaan Masyarakat Lampung di Kabupaten Lampung Timur. Bandung: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung.

Kawasaki Ninja ZX-9R

(August 2004)
By Rob Smith

Talk about Kawasaki's ZX-9R with a group of educated riders and you'll get all sorts of responses. One thing's for sure, you'll be there for a while. Early ones had their share of critics, but could be made to work, while the later ones were well-sorted sportsters... When Kawasaki jumped into the supersports market in 1994 with the ZX-9R B1 the Honda FireBlade had already been on the roads for two years, so the benchmark had already been set unbelievably high. As a result when the B1 turned out to be a bit of a dud Kawasaki's engineers must have been a trifle dismayed. However they went back to the drawing board and ten years later the ZX-9R is a superb, but often overlooked, alternative to the current crop. In this Hindsight we're going to look at the years 1994 to 2002 when Kawasaki launched the F1 model.

History
The Kawasaki ZX-9R is a continuation of a 32-year association with 900cc motorcycles starting with the legendary Z1. Following on from the then groundbreaking Z1 came the GPz900R in 1984 and then ten years later the first ZX-9R B1 in 1994. Fast, with 125hp, the B1 was a heavy old thing at 215kg but had a decent fairing and really was more of road bike than a track weapon.

In 1996 the B3 arrived, which was more of the same but with a bit more power, different brakes, revised suspension and a better gearbox. In truth the earlier B models owed more to the ZX-7R and while the engine was a peach, the handling and weight meant that it couldn't compete with the lightweight sportsters emerging from the other factories.

Then in 1998 there was a significant upgrade with the C1, a bike that owed more to the ZX-6R than the ZX-7R. A totally new engine, frame and suspension should have put Kawasaki back at the top of the heap, but the R1 had arrived and the poor old ZX-9R slipped back into the background. Mind you there were still those who looked at the specs and bought the new bike as an arguably more credible road bike. Weight was now down to 183kg and the engine made a claimed 143bhp.

The next major changes to hit the 9R came in 2000 with the E1 that sported changes to the engine, chassis, brakes and styling. Essentially the recipe stayed the same with the focus being on road manners and accessible performance. Power was down by one to 142hp and weight remained at 183kg. The final E2 was discontinued in 2002 with the arrival of the F1, which we'll deal with further down the track.

On the road
Editor Leech thinks I'm deranged - but I don't mind the earlier B models. Sure they took some muscling around because it was heavy and the rear suspension and tyre choice was fundamentally wrong. But the reality is they were still a good road bike with a bomb-proof engine that made loads of power - but more importantly - plenty of torque. Handling was never in the supremely-planted class as say the FZR1000 Exup Yamaha, but it sat on the road with enough confidence to hustle along when it needed to. Comfort was acceptable but, as with all sports bikes, the handlebars put load through the wrists at legitimate road speeds and the vibration that came through the right hand grip soon killed any sensation the throttle hand might have had at the start of a journey.

Brakes and equipment were adequate. In fact I always thought the brakes were pretty good. Kawasaki took notice of all the journos' comments about the B1 and the B2 was a fair bit better with a gearbox that needed less effort and a front-end that offered more feedback through its 41mm conventional forks.

With the arrival of the C1 the 9R became a much nicer machine to ride. Gone was the old top heavy feeling so reminiscent of early Triumphs, replaced with a much more agile feeling. The steering isn't stupidly quick, but it does change line with a lightness and accuracy that just wasn't there before, enabling a rider to flick through turns and drop into an easy and secure line. Compared to other sports bikes the springs and damping had a softer, more plush quality that lent itself well to real road riding and exceptional feedback.

The new engine made good power from as little as 3000rpm and, as the needle jumped up the dial, there's a satisfying surge of midrange before the thing goes psycho at 8000rpm all the way to the 12,000rpm redline. All that, in conjunction with the moan from the ram air system, makes the bike feel faster than, say, a FireBlade from the same era.

Up front the disc sizes were reduced from the previous models - 320mm down to 296mm - but operating in concert with a pair of six-piston calipers to bring the plot to a stop with an urgency that even now would be hard to better. If there's a fly in the ointment it's that the gearbox is still rather notchy, a quirk that's made frustratingly worse by a worn or poorly adjusted chain.

And so to the E models. Still not sylph-like in terms of size and weight, the 9R appears to have stuck to its chosen path of clearly being a road bike first and a track bike second. As it should be? Probably.

Once again a makeover in the styling department changed the looks subtly but retained the identity. Riding one was even more refined but still with the trademark Kawasaki raw and wounded edge. How raw? Subtlety is not it's strong suit - feed the throttle open on the way out of a bend and you can feel the latent energy of the engine building before exploding through the contact patch. There's still plenty of torque but it's not the subterranean well that the R1 possesses. None the less the result is grin-splitting addictive.

Compared to a FireBlade a 9R whether it be a C or an E is a far more comfortable proposition over a long distance, so much so that on web sites the world over there are testimonies to the cosseting nature of the 9R's ergonomics. In terms of running costs there's always going to be a cost for this kind of performance. Fuel will disappear out of the 19 litre tank and into the atmosphere at the rate of as little as 14.6km/l on a sporting run with plenty of gear music type curves. Doing the deadhead freeway drone will stretch things to close to 18km/l - enough for a range of around 300km with a bit in hand.

In the workshop
In terms of servicing costs, being a regular kind of a Japanese four-cylinder there's little to be scared of if you fancy having a go yourself. If not a minor service every 6000km will cost about $200 if that's all there is to be done and a major every 12 will cost $400. Valve clearances need to be adjusted every 24,000km and may well put the service cost up to around $500.

What goes wrong and what to look for
Right up front I said these things were bomb proof and generally they are. The early B model had a few little problems such as the oil pump chain and tensioner wearing and getting noisy - ultimately needing replacing. Second through to third gear also gave a few problems and there were definitely a few that needed extensive gearbox work. Although, as Ken Nixon from Brighton Kawasaki said, much depends on the way they've been treated.

Probably the only issue associated with the C model is that the discs wear very quickly - something that needs checking before purchase.

Check under the rear bodywork to make sure the rear subframe is straight as its construction is fairly flimsy and is a good indicator of crash damage, Apart from these few things no matter where I looked no-one had a bad word for the big K's 900 with the later E model getting an astoundingly good rap for reliability.

Naturally whenever you buy any secondhand bike it pays to check everything from nose to tail and make a list of all the consumables that will need replacing in the near future. Pay particular attention to all the parts that can carry witness marks of drops and crashes. Get the engine good and warm and blip the throttle looking for a puff of smoke on the shut down - a sure indicator that the top end is getting tired. Check all the bearings and linkages for play and ask for a service history. Always test ride and give the brakes and gearbox a good work out.

Which model
If you've read this far you'll have worked out that the later models were the pick of the bunch and to be honest you get a lot of performance for your dollar with a 9R. Even so I'd still look at an early B as although the handling was dreadful when it was launched much of the problem was associated with the tyres and an overly soft rear suspension unit. Both of which can now be cured. Flawed undoubtedly, evil handling - possibly. But so what? History has shown us that Kawasaki has always had a wild side to its line up. Look at the Z1, or the two stroke triple Mach 1 and 2 both of which in truth were evil handlers. Now look at the prices they are starting to command and the position they hold in the history of motorcycling.

Modifications
A full system and air filter plus some tweaking on the Dyno will get you get a sizeable increase in both peak power and torque. Letting a good mechanic loose on the cylinder head will get close to 150hp with monster midrange. Don't fight it - you know it makes sense.

AMT rating:
A B model scores a 5 if the price is right, but a C or E is a solid gold alternative for hardcore road riders and scores a big 8.

SPEX
Kawasaki Ninja ZX-9R

ENGINE
Type: Liquid cooled, in line, four-cylinder, DOHC, four-stroke
Displacement: 899 cc
Bore x stroke 75mm x 50.9mm
Compression ratio: 12.2:1

TRANSMISSION
Type: Six-speed, constant mesh
Final drive: Chain

CHASSIS AND RUNNING GEAR
Frame type: Pressed aluminium beam perimeter
Front suspension: E1-2 - 46mm telescopic fork (C1-2 46mm)(B1-3 41mm), adjustable for preload, rebound and compression damping
Rear suspension: Uni-Trak, adjustable for rebound, compression and preload

DIMENSIONS AND CAPACITIES
Dry weight (claimed): 186kg
Seat height (claimed: 815mm
Fuel capacity: 19lt

PERFORMANCE
Max power (claimed): 142hp at 11,000rpm
(p class+maintext>Max torque 9.8kgm at 9000rpm

Glass's Guide
1994 - $8900
1995 - $9000
1996 - $9200
1997 - $9600
1998 - $10400
1999 - $11100
2000 - $11600
2001 - $12100
2002 - $13000

Mechanic's view

Ken Nixon is the Numero Uno spanner magician at Brighton Kawasaki and has had a lifelong association with motorcycles and Kawasakis in particular. Having pulled apart just about everything Kawasaki has ever made, quietly spoken Ken's opinion is worthy of note. The ZX-9R is a particular favourite especially the C and E models.

What do you think Ken? "We had a mechanic here who had a C model, and when he sold it with 118,000 kms on it and it was like new. What are they like to work on?

"The B can be a bit of a complicated thing to get your head around but the C is a lovely thing to work on and the E is even better."

Should someone looking for a alternative to a FireBlade or R1 be looking at a used ZX-9R?

"For sure the ZX-9R was a better road bike and would probably suit more people."

Source:
http://www.bikepoint.com.au

Kukukh (Lampung)

Kukukh adalah alat dapur yang dipakai untuk mengukur kelapa. Alat ini terbuat dari kayu atau cabang dahan pohon yang dibentuk menyerupai kuda-kuda, pada bagian ujung sebelah atas dipasangi kukukh yang terbuat dari logam bergerigi. Bagian badan yang terbuat dari kayu atau cabang pohon dapat diperoleh sendiri sedangkan kukukh-nya harus membeli di pasar.

Sumber:
Sucipto, Toto, dkk,. 2003. Kebudayaan Masyarakat Lampung di Kabupaten Lampung Timur. Bandung: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung.

Yawan (Lampung)

Yawan terbuat dari bahan tempurung kelapa yang dibelah dua secara horizontal. Yawan ini dipergunakan untuk menakar beras atau memindahkan beras dari periuk ke bakul. Pengadaan alat ini sangat mudah yaitu dengan cara membelah batok kelapa menjadi dua bagian kemudian menghaluskannya dengan menggunakan penghalus seperti pisau atau ampelas. Sangat jarang penduduk yang membeli alat ini, ditambah pula barang ini jarang dijual di pasar.

Sumber:
Sucipto, Toto, dkk,. 2003. Kebudayaan Masyarakat Lampung di Kabupaten Lampung Timur. Bandung: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung.

Honda New Megapro CW

Spesifikasi
Honda New Megapro CW
- Tipe mesin: 4 Langkah OHC, pendinginan udara
- Diameter x langkah: 63,5 x 49,5 mm
- Volume langkah: 156,7 cc
- Perbandingan kompresi: 9,0 : 1
- Daya maksimum: 13,8 PS / 8.500 RPM
- Torsi maksimum: 1,3 kgf.m / 6.500 RPM
- Kopling: Manual, tipe basah dan pelat majemuk
- Gigi transmisi: 5 kecepatan, bertautan tetap
- Pola pengoperan gigi: 1-N-2-3-4-5
- Panjang X lebar X tinggi: 2.033 x 754 x 1.062 mm
- Starter: Pedal dan elektrik
- Jarak sumbu roda: 1.281 mm
- Jarak terendah ke tanah: 149 mm
- Berat kosong: 114 kg
- Tipe rangka: Pola Berlian
- Tipe suspensi depan: Teleskopik
- Tipe suspensi belakang: Swing Arm with Adjustable Shock
- Ukuran ban depan: 2,75 - 18 - 42P
- Ukuran ban belakang: 3,00 - 18 - 47P
- Rem depan: Tipe cakram hidrolik piston ganda
- Rem belakang: Tromol
- Kapasitas tangki: 12,4 liter (cadangan 2,3 liter)
- Kapasitas pelumas mesin: 0,9 liter pada penggantian periodik
- Aki: 12 V - 5 Ah
- Busi: ND X 24 EP-U9 / NGK DP8EA-9
- Sistem pengapian: CDI-DC, Baterai
- Jenis rantai mesin: Silent chain
- Konsumsi bahan bakar: 51,4 km / liter pada kecepatan 50 km/jam

Yamaha Jupiter MX 135LC

MESIN
Tipe 4 Langkah, SOHC, 4 Klep (Berpendingin Cairan)
Volume Cylinder 135 cc
Diameter x Langkah 54 x 58,7 mm
Perbandingan Kompresi 10,9 : 1
Power Max 8,45kW (11,33HP) pada 8500 rpm
Torsi Max 11,65N.m (1,165 kgf.m) pada 5500 rpm
Sistem pelumasan Pelumasan Basah
Kapasitas Oli Mesin Penggantian Berkala 800cc
Penggantian Total 1000cc
Kapasitas Air Pendingin Radiator dan Mesin 620cc
Tangki Recovery 280cc, Total 900cc
Karburator Mikuni VM 22 x 1, Setelan Pilot Screw 1-5/8 putaran keluar
Putaran Langsam mesin 1.400 rpm
Saringan Udara Mesin Tipe kering
Sistem Starter Motor Starter dan Starter Engkol
Tipe Transmisi Tipe ROTARY 4 Kecepatan, dengan kopling manual

RANGKA
Tipe Rangka Diamond Frame
Suspensi Depan Telescopic Fork
Suspensi Belakang Tunggal / Monocross
Rem Depan Cakram Tunggak 220 mm
Rem Belakang Tromol dengan Bahan “Non Asbestos”
Ban Depan 70/90 - 17 dengan Velg Racing
Ban Belakang 80/90 - 17 dengan Velg Racing
Ukuran Rantai 428

KELISTRIKAN
Lampu Depan 12 Volt, 32 W / 32 W
Lampu Sein Depan 12 Volt, 10 W x 2 buah
Lampu Sein Belakang 12 Volt, 10 W x 2 buah
Lampu Rem 12 Volt, 5 W / 21 W x 1 buah
Battery GM5Z - 3B / YB 5L-B 12 Volt 5,0 Ah
Busi / Spark Plug NGK CPR 8 EA-9 / DENSO U 24 EPR-9
Sistem Pengapian DC CDI
Sekring 10 Ampere

DIMENSI
Panjang x Lebar x Tinggi 1.945 mm x 705 mm x 1.065 mm
Tinggi Tempat Duduk 770 mm
Jarak Sumbu Roda 1.245 mm
Jarak Terendah ke Tanah 140 mm
Kapasitas Tangki Bahan Bakar 4 Liter
Berat Isi 109 kg
Berat Kosong 104 kg

Sumber:
http://dh1en.wordpress.com

Foto:
http://i95.photobucket.com

Yamaha Vixion

MESIN
Model : 3C11
Tipe Mesin : Liquid Cooled, 4T, SOHC
Diameter x Langkah : 57 x 58,7 (mm)
Volume Silinder : 149.8 cc
Perbandingan Kompresi : 10.4 : 1
Sistem Starter : Kick & Electric Starter
Putaran Langsam : 1300 – 1500 rpm
Power : 11.10 kw (14.88 HP) / 8,500 rpm
Torsi : 13.10 nm (1.34 Kgf.m)/ 7,500 rpm

BAHAN BAKAR
Bahan baker disarankan : Unleaded Gasoline (Premium tanpa timbal)
Kapasitas tangki : 12 Ltr

OLI MESIN
Oli disarankan : SAE 20W40 / SAE 20W50 API SERVICE SJ
Sistem pelumasan : Tipe basah
Jumlah Oli Mesin
- Penggantian berkala (tanpa melepas filter) : 0.95 Ltr
- Penggantian berkala (dengan melepas filter) : 1.00 Ltr
- Penggantian total : 1.15 Ltr

THROTLE BODY
Tipe : AC 28/1
Merk / Buatan : MIKUNI
Cam Chain : Silent Chain / 96
Tensioner : Automatic
Celah Katup
- Masuk : 0.10 ~ 0.14 mm
- Buang : 0.20 ~ 0.24 mm

DIMENSI
Lebar : 705 mm
Tinggi : 1,035 mm
Panjang : 2,000 mm
Tinggi Tempat Duduk : 790 mm
Jarak Sumbu Roda : 1,282 mm
Sudut Caster : 260
Trail : 100 mm
Jarak terendah ke tanah : 167 mm
Berat Bersih : 114 Kg
Berat Kotor (+ cairan) : 125 Kg

FILTER UDARA
Tipe : Tipe Kering

BUSI
Tipe / Buatan : CR 8 E (NGK) / U 24 ESR-N (DENSO)
Gap Busi : 0.7 ~0.8 mm

KELISTRIKAN
Timing pengapian : 100 / 1,400 rpm
Tahanan pick up coil : 248 ~ 372 ohm
Tahanan primary coil : 2.16 ~ 2.64 ohm
Tahanan secondary oil : 8.64 ~ 12.96 ohm
Fuse (Sekring) : 20 Ampere
Bulb (bohlam) lampu depan : 12V 35/35W, 12V 5W (Lampu senja)
Bulb (bohlam) lampu belakang : 12V 5/21W

BATERRY
Tipe : YTZ5S MF BATTERY
Kapasitas : 12V 3.5 Ampere

Foto:
http://ninja250r.files.wordpress.com

Sumber:
http://paulustony.wordpress.com

I Teruna Tua

(Cerita Rakyat Bali)

Di sebuah desa ada seorang bujangan yang sudah lanjut usia alias bujang lapuk yang bernama I Teruna Tua. Orang ini kira-kira berumur lebih dari lima puluh tahun. Sampai umur setua itu ia masih melajang, karena ia hanya mau mengambil isteri apabila ada perempuan yang hari larinya sama dengan dirinya.

Setelah menunggu bertahun-tahun, pada suatu hari yang bertepatan dengan hari ulang tahunnya, di desanya ada seorang bayi perempuan lahir. Tiga hari kemudian, saat si bayi telah lepas tali pusatnya, I Teruna Tua segera membuat tongkat dari tongkol jagung. Setelah tongkat jadi, ia langsung menuju ke rumah orang tua si bayi.

Sesampai di rumah si bayi, I Teruna Tua disambut oleh ayah si bayi: “Oh Kakak datang.” Ayah bayi itu memanggil Kakak, karena I Teruna Tua lebih tua daripada dirinya.

“Kata orang, isterimu baru saja melahirkan tiga hari yang lalu. Laki-laki atau perempuan?” tanya I Teruna Tua.

“Oh, perempuan.”

“Apakah sehat?”

“Ya sehat keadaannya.”

“Kapan melakukan upacara tanggal tali pusat?”

“Hari ini.”

“Baiklah. Sekarang begini saja. Karena kebetulan hari ini engkau akan melakukan upacara, saya akan menitipkan tongkat di sini.”

“Ya. Silahkan taruh di bawah kolong bale ini!”

I Teruna Tua lantas menaruh tongkat di kolong bale dan kemudian berkata, “Tongkat ini jangan diberikan jika ada orang yang memintanya!”

“Tidak,” jawab orang itu.

Setelah berselang beberapa bulan lamanya, I Teruna Tua mendatangi lagi rumah si bayi.

“Kak, mengapa sudah lama tak pernah kemari?” tanya orang tua si bayi.

Tanpa menghiraukan pertanyaan tuan rumah, I Teruna Tua malah balik bertanya, “Sekarang di mana tongkatku? Kenapa tak kelihatan?”

Saat itu di bawah bale tempat dahulu tongkat I Teruna Tua diletakkan, dilihat ada banyak sekali rayap yang sedang memakan tongkat. Oleh karena tongkat sudah hampir habis dimakan rayap, maka I Teruna Tua berkata pada si pemilik rumah yang bernama Pak Kayan: “Sekarang begini saja Pan Kayan, karena tongkatku sudah habis di makan rayap, maka rayap itu menjadi milikku, dan akan kutitipkan lagi di sini.”

Beberapa bulan kemudian I Teruna Tua kembali lagi ke rumah Pan Kayan untuk melihat rayap-rayap miliknya. Saat tiba di rumah Pan Kayan, ia melihat rumah rayapnya sedang dirusak oleh ayam milik Pan Kayan. I Teruna Tua bergegas menemui Pan Kayan dan segera bertanya: “Aduh, ini mengapa dihabiskan rayapku oleh ayammu?”

“Aduh, saya lupa mengusirnya?” jawab Pan Kayan.

“Rayapku habis dimakan oleh ayammu, sekarang ayammu yang kuminta. Tetapi, aku akan tetap menitipkannya di sini,” kata I Teruna Tua.

Oleh karena ayam yang sekarang menjadi milik I Teruna Tua adalah betina, maka lama-kelamaan ayam itu bertelur dan menetas menjadi beberapa ekor anak ayam. Pada saat I Teruna Tua berkunjung lagi ke rumah Pan Kayan, ayam-ayamnya sedang berkumpul mencari makan di halaman samping rumah. Pada waktu itu, tiba-tiba anjing milik Pan Kayan datang menyergap. Melihat kedatangan anjing itu, induk ayam menjadi marah dan langsung menyerang. Namun karena ukurannya jauh lebih kecil, maka sang induk itu pun akhirnya mati diterkam anjing.

Dan, sama seperti tongkat, rayap dan ayam, anjing milik Pan Kayan itu pun akhirnya menjadi milik I Teruna Tua. Anjing itu dititipkan lagi pada Pan Kayan. Namun tidak berapa lama kemudian, anjing milik I Terua Tua mulai berulah lagi. Ia mengejar dan hendak menerkam anak kerbau yang baru lahir milik Pan Kayan. Melihat hal itu induk kerbau menjadi marah dan langsung menanduk si anjing hingga mati.

Beberapa bulan kemudian I Teruna Tua datang lagi untuk melihat keadaan anjingnya. Setelah bertemu dengan Pan Kayan, I Teruna Tua diberi penjelasan tentang anjingnya yang telah mati ditanduk oleh kerbau milik Pan Kayan. Mendengar penjelasan itu I eruna Tua berkata: “Sekarang kerbau itu pun akan kuambil sebagai ganti anjingku. Namun karena saya kasihan melihat anak kerbau itu yang masih kecil, maka saya akan meminjamkan induknya kepadamu.”

Suatu hari saat Pan Kayan selesai memandikan kerbau milik I Teruna Tua, kerbau itu kemudian diikatnya di sebuah pohon mangga yang besar dan sangat lebat buahnya. Namun, nasib naas menimpa si kerbau. Tidak berapa lama setelah si kerbau ditambatkan, sebuah cabang pohon mangga tiba-tiba patah dan menimpa si kerbau hingga mati. Pada waktu itu kebetulan sekali I Teruna Tua melihatnya, “Wah kenapa ini, badan kerbauku terkujur ditimpa pohon mangga?”

“Wah sial. Patah cabang mangga yang besar ini karena terlalu lebat buahnya,” jawab Pan Kayan.

“Wah, kalau begitu pohon mangga ini akan kuambil sebagai ganti kerbauku,” kata I Teruna Tua.

“Ya. Apa boleh buat. Ambillah,” demikian kata Pan Kayan.

Selang beberapa tahun kemudian, anak Pan Kayan sudah tumbuh dewasa. Pada saat itu, secara kebetulan buah mangga milik I Teruna Tua sedang berbuah. Namun, I Teruna Tua belum juga berkunjung ke sana. Ia hanya mengintai sampai buah mangganya tinggal dua buah. Saat buah itu tinggal dua buah, anak perempuan Pan Kayan itu mengambil dan mengupasnya. Belum selesai mengupas, tiba-tiba I Teruna Tua datang dan berkata: “Mengapa sudah habis manggaku?”

“Ini masih dua buah,” jawab anak Pan Kayan yang bernama Wayan.

“Siapa yang mengupas?”

“Saya sendiri yang memungut dan mengupasnya,” jawab Wayan.

I Teruna Tua langsung mendatangi Pan Kayan dan berkata: “Anakmu telah menghabiskan buah manggaku. Oleh karena itu, dia akan kuambil sebagai pengganti manggaku.”

“Apa yang akan aku perbuat sekarang?” tanya Pan Kayan.

“Terserahlah, sebab aku melihat sendiri anakmu yang mengupas manggaku.”

“Jika demikian baiklah,” demikian jawab Pan Kayan.

Singkat cerita, anak itu tidak dititipkan kepada Pan Kayan, melainkan diambil dan dikawini sendiri oleh I Teruna Tua. Beberapa bulan kemudian, isterinya hamil dan akhirnya melahirkan seorang bayi perempuan.

Suatu hari saat akan menumbuk padi, isterinya berkata: “Pak, tolong bawakan anak kita.”

“Jangan panggil bapak, sebaiknya panggil kakak saja!” kata suaminya.

“Ya Kak. Tolong kakak jaga anak ini, saya akan menumbuk padi,” sahutnya isterinya.

“Baiklah!”

Saat ditinggal oleh isterinya itu, anaknya selalu menangis. Untuk menghentikan tangisan anaknya, I Teruna tua kemudian menyanyikan lagu tentang asal-usul si anak itu. “Diam anakku, ibumu asal mulanya adalah sebuah tongkat, setelah tongkat menjadi rayap, setelah rayap menjadi ayam, setelah ayam menjadi anjing, setelah anjing menjadi kerbau, setelah kerbau menjadi mangga, setelah mangga baru menjadi ibumu sendiri.”

Mendengar nyanyian itu isterinya menjadi marah serta melemparkan alunya. Kemudian ia mendatangi I Teruna Tua dan berkata: “Peliharalah anakmu itu. Aku ini orang hina yang berasal dari tongkat.” Setelah itu isterinya pergi meninggalkan I Teruna Tua menuju ke rumah orang tuanya.

Setelah isterinya pergi, I Teruna Tua segera menyusulnya. Sampai di rumah mertuanya, I Teruna Tua berkata pada isterinya: “Kasihanilah anakmu. Mari kita pulang!”

“Aku tak akan ke sana dan menjadi pelayan orang tua bangka sepertimu. Walaupun dijemput dengan juli emas1 aku tak mau kembali,” demikian kata isterinya.

Demikianlah, walaupun I Teruna Tua terus membujuk, namun isterinya tetap tidak mau pulang. Akhirnya, karena putus asa, I Teruna Tua lalu memberikan anaknya pada mertuanya untuk dipelihara. Kemudian ia kembali pulang ke rumahnya

Setelah sekian lama peristiwa itu berlalu, suatu hari mertuanya akan melakukan upacara ngrasakin2 di bawah pohon mangga yang dahulu menjadi milik I Teruna Tua. Mendengar mertuanya akan mengadakan upacara, I Teruna Tua yang masih kesal karena ditinggalkan isterinya berniat akan mempermainkan mertuanya. I Teruna Tua segera menuju ke rumah mertuanya dan memanjat pohon mangga itu.

Tidak berapa lama kemudian mertuanya pun datang dan langsung membakar dupa dan mempersiapkan tepung tawar3 di bawah pohon mangga tempat I Teruna tua bersembunyi. Setelah itu Pan Kayan pun berkata: “Dewa Ratu Jero Sedahan Abian, hamba sekarang menghaturkan tepung tawar majagau.”

“Cek…cek…cek…cek…cek,” sahut menantunya dari atas seperti suara cicak.

“Hamba menghaturkan asap kemenyan majagu dan babi guling supaya Jero Sedahan Abian sudi menikmati baktiku ini,” kata Pan Kayan.

“Cek…cek…cek…cek…cek…cek. Jika tak disediakan juga satu paha babi guling untuk menantuku, tak akan kuterima baktimu!” ujar I Teruna Tua dari atas pohon.

“Baiklah, Jero Sedahan Abian. Tatapi, bagaimana caranya saya memberikan paha babi guling pada menantu saya?”

“Suruh saja supaya anakmu membawakannya ke rumah suaminya,” demikian kata I Teruna Tua.

Singkat cerita, isteri I Teruna Tua lalu disuruh oleh ayahnya ke rumah suaminya untuk menghantarkan paha babi guling. Setelah berada di sana, dengan segala bujuk rayunya, akhirnya I Wayan bersedia berkumpul dan hidup serumah lagi dengan I Teruna Tua. Begitulah, suami-isteri itu hidup rukun kembali hingga akhir hayat.

Sumber:
Diadaptasi bebas dari Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Budaya Bagian Proyek Pengkajian dan Pemanfaatan Sejarah dan Tradisi Bali. 2002. Cerita Rakyat Daerah Bali. Denpasar: Departeman Kebudayaan dan Pariwisata.

1 Juli mas atau joni mas adalah semacam kursi berisi alat penyandang, yang pada zaman dahulu dipakai mengusung raja. Dewasa ini joli semacam itu di Bali masih berfungsi untuk mengusung orang-orang yang melakukan upacara potong gigi.
2 Ngrasakin adalah nama upacara yang ditujukan kepada dewa pertanian atau makhluk halus penghuni halaman rumah. Salah satu syarat dalam upacara ngrasakin ini adalah adanya babi guling untuk disuguhkan pada dewa.
3 Tepung tawar adalah himpunan dari beberapa bahan (daun intaran, beras, kelapa diparut, kunir, nasi dan lain-lainnya) yang dipakai dalam upacara pembukaan.

Rengkong (Kesenian Tradisional Masyarakat Cianjur, Jawa Barat)

Asal-usul
Cianjur adalah salah satu kabupaten yang secara administratif termasuk dalam Kabupaten Cianjur. Masyarakatnya sebagian besar beragama Islam dan pada umumnya menggantungkan hidupnya dari bercocok tanam. Di daerah ini, tepatnya di Kampung Kandangsapi, Desa Cisarandi, Kecamatan Warungkondang ada sebuah kesenian tradisional yang bernama “rengkong”. Asal-usul kesenian ini bermula dari pemindahan padi huma (ladang) ke saung (lumbung padi). Masyarakat Jawa Barat pada umumnya, termasuk masyarakat Warungkondang (Cianjur), di masa lalu --sebelum mengenal bercocok tanam padi di sawah (sistem irigarasi)-- pada umumnya adalah sebagai peladang (ngahuma) yang berpindah-pindah. Padi ladang yang telah dituai tentunya tidak dibiarkan di ladang, tetapi mesti dibawa pulang. Mengingat bahwa jarak antara areal ladang dan pemukiman (rumah peladang) relatif jauh, maka diperlukan suatu alat untuk membawanya, yaitu pikulan yang terbuat dari bambu. Mereka menyebutnya sebagai “awi gombong”. Pikulan yang diberi beban padi kurang lebih 25 kilogram yang diikat dengan injuk kawung (tali ijuk) ini jika dibawa akan menimbulkan suara atau bunyi yang dihasilkan dari gesekan antara tali ijuk dan batang pikulan itu sendiri. Dan, bunyi yang dihasilkan menyerupai suara burung rangkong (sejenis angsa). Oleh karena itu, ketika bunyi yang dihasilkan dari gesekan antara tali ijuk dan pikulan dikembangkan menjadi sebuah jenis kesenian disebut “rengkong”.

Konon, kesenian rengkong ini dikenal oleh masyarakat Warungkondang, khususnya masyarakat Kampung Sukaratu, Desa Cisarandi, sejak akhir abad ke-19. Adupan orang memperkenalkan dan atau mengembangkannya adalah Said (almarhum). Di kampung lain (Sukaratu) dikembangkan oleh seorang pengusaha genteng (1920--1967). Jadi, beban yang semula berupa padi diganti dengan genteng. Sedangkan, di Kampung Kandangsapi dikembangkan oleh Sopian sejak tahun 1967.

Peralatan
Peralatan yang diperlukan untuk mewujudkan kesenian yang disebut sebagai rengkong ini adalah peralatan yang menghasilkan bunyi rengkong itu sendiri dengan berbagai ukuran (ada yang besar dan kecil). Peralatan itu terdiri dan atau terbuat dari pikulan, tambang ijuk, padi, dan minyak tanah. Pikulan terbuat dari dari sebatang awi gombong (bambu gombong) yang tipis dengan panjang 2 atau 2,5 meter. Ujung yang satu dan lainnya terbuka (tidak tertutup oleh ruas bambu). Kemudian, kurang lebih 30 centimeter dari ujung-ujungnya dilubangi (menyerupai kentongan) sepanjang kurang lebih 38 centimeter. Tambang ijuk yang panjangnya 2 sampai 2,5 meter berfungsi sebagai pengikat padi padi yang akan digantungkan pada sebatang awi gombong yang berfungsi sebagai pikulan. Kemudian, padi yang beratnya 20—25 kilogram sebagai beban pikulan. Lebih dari itu dikhawatirkan pikulan akan patah. Dan, minyak tanah berfungsi sebagai pengesat gesekan antara tali dan pikulan, sehingga gesekan menghasilkan bunyi yang nyaring. Peralatan lainnya adalah dodog dan angkung buncis.

Pemain dan Busana
Jumlah pemain rengkong secara keseluruhan ada 14 orang dengan rincian: 2 orang sebagai pembawa rengkong besar; 3 orang sebagai pembawa rengkong kecil; 4 orang sebagai pemain dodog, yaitu dodog: tingrit, tongsong, brung-brung, dan gedeblag; dan pemain angklung buncis yang terdiri atas 5 orang. Sedangkan, busana atau pakaian yang dikenakan adalah pakaian tradisional yang berupa: kampret atau pangsi, ikat kepala, dan sarung.

Pementasan
Kesenian rengkong yang ada di Warungkondang ini biasanya hanya dipentaskan dalam rangka memeriahkan hari-hari besar agama dan atau nasional (17 Agustusan) dalam bentuk arak-arakan. Dalam sebuah pementasan biasanya pemain rengkong yang berjumlah 5 orang berada di barisan depan. Kemudian, diikuti oleh para pemain angklung buncis dan para pemain dodog. Namun demikian, adakalanya pementasan dikemas secara kolektif. Artinya, para pemain boleh bergerak kemana saja (bercampur jadi satu).

Fungsi
Ketika rengkong belum dikembangkan menjadi sebuah jenis kesenian, ia semata-mata hanya berfungsi sebagai pengalihan perhatian dari seseorang yang membawa beban (padi) dengan cara dipikul. Dalam hal ini gesekan antara tali pikulan dan pikulan dimanfaatkan sebagai irama pengiring, sehingga beban yang relatif berat tidak begitu dirasakan karena karena diiringi oleh bunyi-bunyian yang khas. Dan, ketika rengkong menjadi sebuah jenis kesenian fungsinya juga tidak jauh berbeda, yaitu sebagai hiburan.

Sebagai catatan, kesenian yang disebut sebagai rengkong ini tidak hanya ada di daerah Cianjunr semata, tetapi juga di daerah Sukabumi dan Banten. Bedanya, di kedua daerah tersebut rengkong tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi ada fungsi lain yang melatarbelakanginya, yaitu ungkapan terima kasih kepada Dewi padi yang telah memberikan kesejahteraan berupa panen yang melimpah. Oleh karena itu, rengkong selalu ditampilkan dan kegiatan atau upacara penyimpanan padi ke lumbung.

Nilai Budaya
Kesenian adalah ekspresi jiwa manusia yang terwujud dalam keindahan. Oleh karena itu, kesenian apapun termasuk kesenian rengkong yang didukung dengan peralatan sederhana, mengandung nilai estetika (keindahan). Namun demikian, jika dikaji secara teliti kesenian yang disebut sebagai rengkong ini tidak hanya mengandung nilai estetika saja, tetapi ada nilai-nilai lainnya yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai itu antara lain adalah kerja keras dan kerjasama. Nilai kerja keras tercermin dalam membunyikan suara khas yang dihasilkan dari gesekan antara tali ijuk dan pikulan. Ini artinya, padi dengan berat tertentu dipikul. Dan, ini tentunya memerlukan kerja keras. Kemudian, nilai kerja sama tercermin dalam pementasan. Dalam hal ini tanpa kerja sama yang baik mustahil pementasan dapat berjalan dengan baik dan lancar. Malahan, ada nilai lainnya (religius) sebagaimana yang ditunjukkan oleh masyarakat Sukabumi dan Banten. (gufron)
Foto: Pepeng
Sumber:
Galba, Sindu. 2007. “Kesenian Tradisional Masyarakat Cianjur”.

Tim Seksi Kebudayaan.2002. Deskripsi Seni Tradisional Reak. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Cianjur.
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Keraton Surosowan

Archive